1 Accomplish The Mission

Namanya Rizky Aksal Kurniawan, panggilan; Kiki.

Saat ini Kiki tengah berpanas-panasan di bawah terik matahari yang masih menyorot padahal sudah masuk waktu sore. Dia sendirian, seperti orang tolol. Kali ini dia rela mengorbankan diri seperti sekarang ini hanya demi satu tujuan; yaitu misi penting membantu sahabatnya, Julian Marvel.

Saat ini hidup Julian tengah jungkir balik layaknya sinetron-sinetron televisi. Sejak kecelakaannya beberapa minggu yang lalu, hal yang tidak masuk akal terjadi; ruhnya tertukar dengan seorang cowok lain. Masalah memang sudah selesai dan Julian telah kembali ke tubuhnya sendiri, tapi Kiki masih ingin mengungkap tokoh di balik kejadian ini. Karena semenjak masalah ini membebani hidup Julian, kabar baiknya sahabatnya yang apatis itu benar-benar berubah jadi lebih terbuka. Tapi, gara-gara pertukaran itu pula Julian jadi banyak terlibat masalah. Mengalami kejadian serumit ini adalah yang pertama kalinya buat Julian dan Kiki mengerti bagaimana perasaannya.

Untuk itu, hari ini Kiki semakin yakin. Dia bersumpah untuk hari ini dengan rencana yang matang. Rencana itu adalah mengintai seorang penjahat. Kiki tidak berbohong, ini serius. Dan bersama partner in crime-nya, namanya disamarkan—dia bilang lebih afdhol pakai nama inisial dan inisialnya adalah Rendy—Kiki akan melakukan misi besar.

Rendy bilang, kemungkinan misi kali ini bakal banyak menguras tenaga dan uang.

Menghela napas, Kiki mengambil ponsel yang ada di kantungnya, dia merasa semakin kegerahan di sini dan ingin partner-nya segera datang sebelum dia emosi.

"Posisi?" tanya Kiki to the point.

Terjadi jeda yang lumayan lama, sampai akhirnya si partner menjawab,

"Di depan sebuah kotak kecil. Di bawah terik matahari dan dikelilingi pagar berlumut."

Kiki memutar bola mata. Sepertinya dia tahu apa yang dimaksud, sebab saat ini Kiki sedang berada di gardu pinggir jalan, dan duduk sendirian termenung di bawah terik yang menembus gentingnya yang rapuh berlumut.

"Sekarang balik badan dan segera enyah dari kotak itu! Disinyalir isi kotak itu adalah bom."

Suara tawa tertahan segera menginvasi telinganya. Matanya berkeliling ke sekitar dan melihat makhluk mencurigakan di depannya tak jauh sedang memegangi perutnya kegelian.

Kiki bangun, menghampirinya dengan kesal.

"Bilang kek kalau udah sampe!" Kiki mematikan sambungan begitu sampai di depan Rendy. Cowok itu masuk ke mobil mentereng putih dan Kiki mengikutinya. "Jadi, kita ke mana dulu?"

Terdengar suara pintu ditutup disusul starter mobil menyala.

"Pake seatbelt lo."

"Apa kita langsung ke rumah dukun itu? Emang lo udah tau kalau Gilang bakal ke sana?"

Rendy menatap Kiki dengan jengkel, dia menarik tali seatbelt di samping sebelah kiri Kiki dan memasangnya. Ada aroma yang menginvasi lubang hidung Kiki, percampuran wangi floral dan vanilla. Apa ini bau parfum wanita?

Kiki mengendus-ngendus lengan Rendy yang masih sibuk dengan seatbelt.

"Ngapain lo?" kata Rendy, dahinya berkerut-kerut.

"Lo pake parfum cewek, ya?"

"Nggak," setelah menjawab singkat, mobil berjalan mundur. Dia bergumam sendiri, "Sabunnya Kak Taya nih pasti."

Perjalanan itu diwarnai dengan keheningan. Sayangnya Kiki sedang malas basa-basi, dia tengah menyimpan tenaga untuk misi pertumpahan darah ini. Sampai akhirnya Kiki merasa bosan, dan melihat FM Modulator yang menganggur di atas dashboard. Di dalamnya ada memory card dan Kiki segera mencolokkannya ke plug yang tersedia di mobil itu.

"Nggak usah, lo nggak akan suka lagunya," kata Rendy tanpa mengalihkan matanya dari jalanan.

Kiki tak menggubris karena dia suka all genre musik.

"Lo nggak akan suka lagu-lagu di dalem situ, serius."

Oh iya, Kiki lupa kalau Rendy itu orangnya suka mengulang-ngulang jawaban yang sama. Kalau dalam bahasa jenius Julian; semacam majas repetisi.

"Ah elah, buruan anuin. Sepi banget! Nggak kuat abang."

Akhirnya setelah mengeluarkan kekuatan ngambek andalannya, Rendy tergerak untuk mengotak-atik benda di tangan Kiki. Dia mengambil remot mini yang ada di atas dashboard setelah mencolokkann FM Modulator itu ke dalam lighter rokok di mobilnya.

Musik langsung terdengar.

Tak lama setelah itu, ternyata Kiki baru sadar; dia memang tidak menyukai lagunya—tepatnya tidak mengerti. Di mana-mana musik memang bukan soal bahasa saja, tapi soal bagaimana cara kita menikmatinya.

"Gue bilang juga apa?!" dengus Rendy sambil mencoba untuk mematikan musiknya.

"JANGAANNN!"

WALAUPUN INI LAGU KOREA! TAPI SEBAGAI PECINTA JEPANG, GUE NGERTI BANGET PERASAAN RENDY! batin Kiki teriak.

Akhirnya Kiki tahu kalau Rendy menyukai lagu-lagu Korea. Dasar cowok-cowok tipe kalem tapi dalem. Ternyata dia suka cowok-cowok boyband.

"Nggak usah mikir macem-macem. Itu punya kakak gue!"

Kiki menatap Rendy curiga. "Kakak lo maho?"

Rendy menatapnya dengan aneh, tak menjawab.

Setelah hampir satu jam mereka sampai di ujung dunia—ini hanya anggapan Kiki karena sejauh mata memandang yang dia lihat hanya pepohonan. Ada satu pondok yang waktu itu sempat dia lihat bersama Rendy ketika membuntuti Gilang.

Rendy menarik tangan Kiki dan bersembunyi di balik pohon. Posisi Kiki tidak begitu menguntungkan karena Rendy tepat di depannya—memeluknya.

"HOI! SIALAN LO—HMMP!!"

Rendy membekapnya, lalu dilepaskan saat yakin Kiki tak akan berteriak lagi. Jarak mereka sangat tipis, Kiki meneguk ludah.

"Kenapa ngumpet? Bukannya lo udah CS sama kakek dukunnya?" sindir Kiki.

"Oh iya, lupa."

Lantas Rendy meninggalkan Kiki setelah berkata dengan wajah polos. Rendy mengetuk pintu kayu yang sudah lapuk di beberapa bagian. Lalu pintu terbuka dengan suara derit yang parah.

Kakek dukun dan Rendy kompak mengangguk begitu bertemu. Dukun itu menunjuk ruangan memakai jempolnya. Ini maksudnya mereka berbicara pakai bahasa isyarat?

Ketika dalam perjalanan, Rendy sudah bercerita kalau tanpa sepengetahuan Kiki, dia telah bergerak satu langkah untuk membungkam mulut dukun itu. Rendy meminta si kakek dukun untuk menghubungi Gilang supaya datang hari ini.

Dijanjikan uang sogokan, akhirnya dukun itu mau kerja sama dengan Rendy. Jaman sekarang dukun mana yang tidak mata duitan? Bahkan tas yang Kiki bawa, kata Rendy, berisi uang dan beberapa perlengkapan yang dibutuhkan mereka nanti.

Mereka sampai di satu ruangan yang lumayan luas. Bau kemenyan tercium di mana-mana. Kalau tidak ingat mereka sedang di rumah dukun, Kiki pasti sudah kabur karena mengira bau itu pertanda datangnya hantu.

"Bawa sini tasnya."

Kiki menahan diri untuk tidak mengumpat karena nada memerintah yang keluar dari mulut Rendy.

"Pasang ini di setiap sudut," suruhnya lagi.

Ada beberapa kamera pengintai mini dan satu gulung lakban hitam yang dikeluarin Rendy dari dalam tasnya. Belum lagi, di dalam tas juga sudah lengkap dengan rambut palsu, aksesoris tengkorak dan jubah hitam.

Setelah semua kamera dipasang amatir di sudut ruangan, Kiki menghampiri Rendy yang ada di ruangan sebelah—dan Kiki speechless. Kemudian tak bisa menahan diri untuk tertawa terpingkal-pingkal.

"Ren lo pantes jadi generasi terbaru dukun alay! Serius!"

Rendy menatapnya dengan datar, tak terlihat bagaimana bentuk bibirnya di balik brewok putih yang dipakai. "Mau jadi dukun atau bukan, gue tetep ganteng, 'kan?"

***

Rambut—check!

Brewok—check!

Jubah—check!

Suara—ehem, ehem—check!

Sekarang Kiki telah bertransformasi seperti dukun. Seketika Mbah Badrum—Kiki baru tahu namanya dari Rendy—masuk ke ruangan di mana Kiki berganti baju. Dia kelihatan shock.

"Kenapa, Mbah?"

Dia menggeleng, Kiki baru sadar kalau penampilan dukun ini lebih nge-trend. Astaga, Rendy pasti nonton serial dukun yang jadul ketika merencanakan penyamaran ini. Alhasil, Kiki bukan terlihat seperti dukun malah seperti penyihir.

Rendy masuk masih dengan penampilan dukunnya.

"Dari mana lo?" tanya Kiki.

"Ngumpetin mobil."

Kiki mengangguk.

Singkat kata, ketika jam lima sore tiba, akhirnya korban yang mereka tunggu datang juga. Kiki dan Rendy duduk manis di depan pintu, sudah siap dengan pose tubuh yang meyakinkan.

"Mau ketemu Mbah Badrum?" kata Kiki dengan suara yang dibuat-buat. Terdengar berat dan seram.

Gilang terlihat ragu, tapi dia mengangguk.

"Mbah Badrum ada di dalam, sudah menunggu."

Gilang mengangguk lagi. Sepertinya memang cara berkomunikasi di sini memang pakai telepati.

"Tunggu!" Rendy menahan Gilang yang hampir masuk ke pintu dengan tangannya. "Tasnya tolong tinggal di sini."

Refleks Gilang memeluk tasnya dengan posesif. "Buat apa?"

Kiki dan Rendy langsung saling pandang.

"Kalian siapa?"

"Tenang saja, Nak. Itu sudah peraturan baru di sini. Kami adalah asisten Mbah Badrum. Kalau tidak percaya, bisa ditanyakan langsung padanya."

Suara Rendy terdengar seperti suara laki-laki yang sudah melewati malam pertama. Eh, ngawur. Yang jelas, suara Rendy terdengar seperti tipe-tipe cowok kantoran yang berwibawa.

Setelah melewati ketegangan yang ekstrim, akhirnya Gilang setuju untuk melepas tasnya untuk dititipkan. Sedangkan Rendy dengan cekatan mengobrak-abrik isi tas tanpa izin.

Kiki menunggu dengan manis.

Dari tasnya, Rendy mengeluarkan beberapa gepok uang, botol berisi obat, botol parfum (mungkin), ponsel (ada tiga buah), dompet, ipod, headset, remasan beberapa kertas dan boneka polos.

Kiki tergiur saat melihat uang berwarna merah itu, tangannya ditepis oleh Rendy ketika berniat mengambilnya. Akhirnya Kiki mengambil botol obat dan membaca keterangan yang ada di labelnya, tapi tidak mengerti.

"Ini obat apaan, ya? Hah? Jangan-jangan racun!"

"Mungkin itu obat tidur atau obat penenang mungkin." Rendy menjawab kalem.

"Sok tau lo!"

"Ya udah, kalau gue bilang racun, lo bakal diem? Coba minum."

"Ogah!

Karena tidak menemukan sesuatu yang menarik, akhirnya Kiki iseng membuka dompet Gilang. Isinya beberapa lembar uang, beberapa kartu-kartu penting dan foto Julian. JULIAN! Dengan tanda silang di mukanya.

Ini foto diambil kapan?!

"Ternyata bener, dia pasti punya dendam sama Julian," celetuk Rendy, dia juga melihat pada foto yang Kiki pegang.

"Tapi, kenapa?"

Rendy tak menjawab, ekspresinya sangat keruh. "Kalau kasusnya sama kayak waktu itu, kemungkinan ..."

"Apa? Apa, Ren?"

"Nggak, nggak apa-apa."

Kiki tidak bertanya lebih lanjut karena dia tahu kalau Rendy tidak ingin membahasnya, mau dipaksa bagaimanapun tidak akan berhasil. Sifat ini baru dipelajari Kiki belakangan setelah mereka dekat.

Sebenarnya Rendy itu ganteng, tinggi, terlihat pintar, juga kaya. Belum sempat datang ke rumahnya, Kiki sudah membayangkan banyak pembantu yang berjajar di depan pintu yang akan menyambut Rendy ketika pulang. Seperti adegan anime kebanyakan.

"Beresin lagi, Ki."

Kiki dengan patuh membereskan semua barang-barang tadi dan liurnya hampir menetes melihat uang warna merah itu lagi. Apa daya, itu memang bukan uang Kiki, lagipula Kiki juga tahu kalau Gilang merupakan anak orang kaya karena tinggal di kompleks perumahan mewah yang sama dengan Rendy.

Tak sampai satu jam, Gilang akhirnya keluar dari ruangan Mbah Badrum dan mengambil kembali tasnya dari tangan Rendy. Gilang menyerahkan segepok uang sama dukun itu, lalu pergi tanpa berbasa-basi.

Setelah memastikan Gilang telah menghilang jauh dari area pondok itu, akhirnya Rendy buru-buru melepas semua kamera dan menghubungkan semuanya pada notebook-nya. Mereka berdua menonton hasil rekaman itu dengan serius.

Mbah Badrum sudah di-briefing oleh Rendy sebelum kita merencanakan sandiwara ini. Untuk itu di video kelihatan Mbah Badrum beberapa kali memancing Gilang untuk mengutarakan apa-apa saja yang tidak disukai tentang Julian.

Kiki hanya bisa melotot kaget.

Ternyata Gilang memang segila itu, dan dia yang merencanakan pertukaran tubuh antara Julian dan Hazel dengan bantuan dukun. Bahkan dia masih punya rencana lain untuk mencelakakan Julian. Ini tak bisa dibiarkan.

***

"Ren, gue pengen ke rumah lo," kata Kiki saat mereka dalam perjalanan pulang. Kiki sudah sangat lelah fisik dan batin. Rendy pasti bisa merasakan bagaimana shock dan marahnya seorang Kiki saat tahu kalau Gilang bisa melakukan hal sepicik itu untuk membalas Julian.

Alasannya pun sangat remeh, hanya karena Julian lebih unggul di kelasnya dalam hal akademik.

Rendy meliriknya. "Mau ngapain ke rumah? Tumben."

"Nenangin diri."

Rendy tidak berkomentar, sedangkan Kiki sibuk dengan pikirannya sendiri. Walaupun Kiki sangat ingin mencekik Julian dengan maniak bakso dan kehomoannya itu, bagaimanapun Julian tetap sahabatnya. Memang tidak kentara, tapi sebenarnya Julian itu orang yang sangat peduli dengan Kiki dan begitu juga sebaliknya. Persahabatan mereka sudah terjalin sangat kuat.

Satu jam kemudian mereka berdua sampai di rumah Rendy. Gerbang berpelitur kayu yang kuat dan tinggi itu terbuka saat Rendy usai membunyikan klakson. Ada satu satpam di sana. Ketika mobil masuk pekarangan, Kiki baru sadar, rumahnya sangat besar dan mewah, juga memiliki halaman yang luas.

"Lo nggak takut dicariin sama nyokap lo?" tanya Rendy ketika Kiki kesusahan melepas seatbelt.

"Nggak."

Melihatnya kesulitan, akhirnya Rendy membantunya untuk melepas seatbelt dan Kiki mendengus tak terima.

"Bukannya gue nggak bisa, ya! Tangan gue gemeteran ini!" Kiki mengelak.

"Oh."

"Oh?"

"Gue kira emang nggak bisa, soalnya ini tali emang suka seret. Maklum jarang dipake."

Memang benar! Tetapi Kiki malu mengakuinya.

Rendy mengajaknya masuk ke dalam rumah, tak ada pelayan yang berjajar menyambut mereka dan karpet merah yang tergelar di lantai—seperti dugaan Kiki.  Yang ada cuma udara dingin yang mencucuk di kulit, seolah-olah ruangan ini benar-benar kosong dan udara dari luar tidak masuk ke dalam.

Akan tetapi ternyata ada orang lain yang di rumah itu, ketika Kiki masuk lebih dalam. Di balik sofa dengan televisi yang menyala, Kiki melihat seseorang di sana.

"Udah pulang, Dek?"

Ada suara cewek yang Kiki dengar dari sosok itu. Dia berdiri dan menoleh pada Rendy dengan terkejut.

"Renren sama siapa?" tanya cewek itu, yang Kiki duga usianya mungkin dua puluh tahunan.

"Temen," jawab Rendy sambil melirik Kiki. "Ki, ini kakak gue."

ANJIR, KAKAK LO CEWEK?! GUE KIRA COWOK DAN DIA PECINTA BOYBAND KOREA! Kiki berteriak dalam hati.

"Aku Pataya, panggil Taya aja ya," Pataya mengulurkan tangannya pada Kiki. Terlihat sedikit mengobservasinya. "Tumben Renren bawa temen, kamu yang pertama lho," lanjutnya.

"Eh, masa sih?"

"Iya, pasti terpaksa 'kan temenan sama Renren?"

Kok tau?

Kiki tersenyum malu pada Pataya. Kakaknya terlihat lebih manusiawi daripada Rendy sendiri. Dia perempuan yang punya rambut sebahu dan penampilan rapi khas anak-anak kuliahan.

"Baru pulang, Kak?"

"Huum, masakin dong, kakak pengen nasgor."

Tanpa berbasa-basi lagi, Rendy langsung melesat ke dalam, yang Kiki duga sebuah dapur. Karena tak ingin ditinggal sendiri dengan Pataya, Kiki pamit untuk menyusul Rendy. Di sana Rendy telah memakai celemek bunga-bunga dan sibuk memilih cabai.

Bayangkan betapa absurdnya Rendy disandingkan dengan dapur. Namun melihat bagaimana wajahnya yang serius, Kiki merasa kalau Rendy terlihat lebih baik dari biasanya.

Kiki hanya sangsi dengan masakan yang akan dibuat cowok itu. Beracun atau tidak, ya?

"Mau gue bantuin nggak?!" tawar Kiki.

"Mana cabe mana bawang aja lo nggak tau, sok mau bantuin."

Kiki menyesal karena menawarkan bantuan pada cowok bermulut sampah ini. Dia bersumpah akan membuktikan bahwa dia tahu berbagai macam cabai. Sampai cabai yang paling kekinian; cabe-cabean.

Kiki memisahkan cabai dari batang dan menaruhnya di mangkuk yang sudah diisi air oleh Rendy.

"Itu kebanyakan. Lo sengaja ya mau bikin kakak gue mules-mules?" katanya, judes. "Udah sana, mendingan lo duduk di pojokan situ, berdoa supaya gue mau ngasih lo makan."

"Dasar mulut sampah!"

Begitu Kiki berbalik badan dan berniat pergi, dia baru sadar kalau perbuatan itu terlalu nista baginya. Maka Kiki balik lagi, menatap Rendy dalam-dalam.

"Gue mau bantuin lo masak pokoknya!!!"

Kiki merebut pisau yang ada di tangan Rendy lalu memotong-motong cabai dengan lihai a la chef terkenal. Masalah rapi atau tidak, itu belakangan.

Jadi jangan meremehkan seorang Rizky Aksal Kurniawan yang multitalenta, ya!

"Ngapain cabenya lo potong-potong gitu?" tanya Rendy bingung.

"Trus lo mau makan bulet-bulet gini? Silakan aja!"

"Ya, nggak harus dipotong-potong juga! Lo nggak punya otak, ya, Ki?"

"Nggak! Udah abis!"

Kiki membanting pisau itu dan jatuh dengan bunyi yang berisik. Biasanya Julian langsung bungkam kalau Kiki sudah mengomel dengan kalimat yang kasar.

"Pantes aja," Rendy mengambil pisau dan menjauhkannya dari Kiki. "Cabenya diulek, bukan dipotong, Banci otaku."

Oh, iya. Kiki lupa! Duh.

"Orang yang taunya baca komik mesum kayak lo, mana mungkin bisa masak."

"Bangsat!"

Untung ada talenan yang langsung digunakan Kiki untuk menggeplak kepala Rendy.

Ketika akhirnya makanan sudah rampung dimasak, mereka membawa sajian itu ke ruang makan. Meja makan di rumah Rendy cukup panjang dan bisa menampung hampir sepuluh orang.

Kiki melihatnya dengan pandangan aneh.

"Jangan mikir mesum, Ki!" sindir Rendy, yang membuatnya segera mendapat pukulan sendok di dahinya.

Di meja sudah ada Pataya yang sibuk dengan ponsel, melihat mereka datang, dia tersenyum.

"Dek, tolong charge-in HP ini dong," kata Pataya pada Rendy. Kiki mengira Rendy bakal mengomel dan tak mau menuruti suruhan kakaknya, tapi ternyata dengan patuh dia mengambil ponsel sang kakak untuk melakukan apa yang diminta.

Kiki memasang wajah tak percaya melihat sisi lain Rendy hari ini, cowok itu benar-benar kalem di depan kakaknya.

Ada hal selain itu yang bikin Kiki penasaran, tapi tak berniat menanyakannya sekarang. Mereka makan dalam keadaan diam dan di pikiran masing-masing. Menghayati nasi goreng buatan Rendy yang ternyata rasanya enak dan gurih seperti buatan Mami Tercinta.

"Kiki satu sekolah sama Renren?" tanya Pataya.

"Iya, sekarang satu bangku malah," Kiki tersenyum lebar—terbawa suasana karena melihat kakaknya Rendy yang begitu cantik seperti wanita muda pada umumnya. Tak terlalu sadar bahwa Pataya kaget mendengar jawaban itu.

"Bagus deh, padahal Renren susah dapet temen lho."

Kiki masih merasa geli dengan panggilan itu.

"Emang sih cuma aku doang yang mau temenan sama Rendy," Kiki menjawab jujur, seketika ada aura-aura panas di sekitarnya yang berasal dari Rendy.

"Tuh 'kan bener, aku aja kaget Renren bawa temen ke rumah."

"Apaan sih, Kak. Buka kartu aja di depan ini anak."

Rendy mengerucutkan bibirnya. Catat! Ini pertama kalinya Kiki melihatnya seperti itu, jadi Kiki lumayan kaget. Apalagi melihat mereka saling ejek tanpa berniat menyinggung. Pataya tertawa sangat tulus dan bahkan berkata bahwa Rendy cukup menggemaskan.

Ups, apa ini semacam brother complex gitu?

Sebelum meninggalkan meja makan, Pataya mengusap kepala Rendy dan dibalas dengan wajah tersipu dari si empunya. Setelah kakaknya pergi, Rendy langsung membereskan semua peralatan makan dan dibawa ke wastafel.

"Kakak lo baik banget, ya?"

Rendy hanya menjawab dengan gumaman negatif yang punya arti kalau dia malas membalas hal itu.

"Btw, orang tua lo ke mana?" Kiki menangkap jelas tangan Rendy yang berhenti bergerak di piringnya.

"Mereka udah meninggal."

Nada yang keluar dari mulut Rendy mempunyai intonasi yang sama seperti dia berkata; mereka lagi ke rumah nenek.

Entah kenapa, itu justru bikin Kiki khawatir.

"Nggak usah pasang muka kasihan kayak gitu, udah lama kok meninggalnya. Udah lupa gue," kata Rendy.

Kiki tetap merasa kasihan. Pantas saja di rumah mereka yang besar itu terkesan dingin layaknya tak berpenghuni. Fakta ini membuat hatinya sakit. Selama ini Kiki masih punya orang tua yang lengkap dan dia selalu melawan mereka.

Bagaimana kalau mereka sudah tidak ada? Apakah Kiki masih bisa berekspresi tenang seperti Rendy?

Air kran mati. Rendy mengelap tangannya di serbet lalu mengajak Kiki ke kamarnya. Ternyata dia siap-siap untuk mengantar Kiki untuk pulang, padahal Kiki tidak memintanya melakukan itu. Memang jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi Kiki tidak ingin pulang buru-buru.

Gara-gara mengetahui kalau Rendy tidak punya orang tua lagi, Kiki menjadi tak enak hati. Tetapi kalau Rendy berkata bahwa dia tak boleh memasang ekspresi kasihan, maka Kiki akan melakukannya. Kiki tidak akan menganggap siapa pun yang ada di posisi itu sebagai yang lemah, karena orang lemah tak mungkin bisa bertahan selama ini tanpa orang tua.

Bagaimana Kiki akan bersikap jika dia ada di posisi itu; tanpa orang tua, tanpa masakan Mami Tercinta?

"Lo nggak ada pembantu?" tanya Kiki.

"Ada," jawabnya singkat. "Pembantu gue cuma dateng untuk beres-beres dan pulang kalau udah selesai. Dan nggak nginep."

Rendy menyerahkan salinan rekaman Gilang bersama Mbah Badrum pada Kiki.

"Kok kasih ke gue?"

"Daripada gue kasih ke Gilang?"

"Ya, bukan gitu maksud gue!"

"Ya, ya, serah. Jadi, kapan lo bakal ngasih tau Julian?" Rendy bertanya lagi ketika mereka sudah di mobil. Seperti rutinitas, dia lagi-lagi memasangkan seatbelt Kiki.

Julian, ya? Yang pasti tidak sekarang. "Masalahnya dia masih kayak gitu sih, gue nggak mau nambahin bebannya dulu."

"Lebih cepat lebih baik."

Kiki mengangguk. Kini misi mereka sudah selesai. Yang terpenting bukti di tangannya sudah lebih dari cukup untuk membuktikan kenapa Julian bisa terlibat dalam hal-hal tabu yang tak masuk akal selain virus kehomoannya itu.

Mengingatnya membuat Kiki ingin sekali mencekik Julian supaya dia sadar kalau semua yang dia lakukan itu tidak benar.  Dan kata homo juga mengingatkan Kiki pada kakaknya Rendy.

"Gue kira kakak lo cowok dan homo, Ren."

tbc.

avataravatar
Next chapter