2 Part 2

Alarm yang berdering keras di meja nakas membangunkan Julian yang tengah dalam mimpi indah. Ia membuka matanya yang masih lengket. Meraba jam meja yang menunjukkan pukul lima tepat itu dan mematikannya. Menguap. Mengintip tirai beberapa senti dekat kasur. Di luar masih gelap. Julian memutuskan untuk bangun dan menekan saklar lampu kamarnya. Ia terdiam sebentar saat terdengar kegaduhan dari arah dapur.

Mungkin sekali-kali tidak masalah jika ia turun ke bawah dan melihatnya, pikir Julian. Maka begitu ia membuka pintu kamarnya, ia langsung menengok ke dapur dan melihat Ibu Hazel sedang memasak. Biasanya ia tak akan sering melihat wanita yang sibuk kerja pagi pulang malam itu hampir setiap hari.

"Pagi, Ma," katanya, ia tak sadar ucapannya membuat si empunya menghentikan aktifitas dan melihat ke arahnya. Ia kelepasan. "Ma-masak apa, Bun?" ralatnya.

"Semur ayam nih. Tumben udah bangun?" kata Ibu Hazel. Julian hanya mengangguk. "Tolong cuciin beras dong, Bunda buru-buru."

Julian mengangguk tanpa bantahan, mengambil beras yang sudah ditakar di baskom dan menyalakan air keran. Ia sempat geli. Sebenarnya aneh, mendengar ia memanggil Ibu Hazel dengan sebutan 'bunda', bahkan ia tidak bisa membayangkan orang seperti Hazel yang akan memanggil ibunya seperti itu.

"Nanti kalau kamu mau sarapan tinggal diangetin, abis itu taruh di kulkas aja sayurnya, Zel."

"Iya, Bun."

Julian yang penurut benar-benar menarik seluruh perhatian wanita itu. "Kamu sekarang nurut, ya. Biasanya boro-boro kamu mau bangun sepagi ini. Apalagi bantuin."

Julian tersenyum kaku. Begini toh hidup Hazel yang membosankan itu? Bangun siang dan jadi anak pemalas sejati. Tidak ada yang bisa dibanggakan, pikirnya.

"Bunda harap kamu nggak kayak ayah kamu, yang suka main perempuan."

Ucapan itu seketika membuat ruang napas Julian mendadak sempit. Selanjutnya ia hanya menatap kosong air keran yang jatuh mengenai tangannya. Ia termenung, kalau memang ayah Hazel laki-laki yang suka main perempuan, bukankah berarti pepatah buah jatuh tak jauh dari pohonnya itu memang benar? Karena Julian tahu sebuah fakta mengejutkan bahwa Hazel juga seseorang yang suka 'main' perempuan.

"Zel? Zel? Hazel!"

Julian lepas dari lamunannya.

"Liat dong airnya penuh, nanti berasnya tumpah. Ngelamunin apa sih?!" sungut wanita paruh baya itu sambil mengambil alih baskom. "Ya udah, ini tinggal dimasukin aja kok ke penanak nasi. Kalau kamu masih ngantuk tidur aja."

"Bun ...." Julian memerhatikan ibu Hazel yang tengah menuangkan sayur. "Sebenernya Bunda kenapa kerja sampe malem terus? Nggak capek?"

Wanita itu berhenti sebentar dari aktifitasnya. "Ya namanya kerja buat anak. Kamu aja sering pulang malem wara-wiri nggak jelas sama temen-temen kamu," lanjutnya.

Julian memandangi wajah wanita itu. Kerutan di sekitar matanya tampak jelas. Lalu ia terkejut ketika wanita itu tiba-tiba menatapnya dengan tajam.

"Kalau nggak ada kamu juga, Bunda nggak bakal kerja keras kayak gini."

"Eh?"

***

"Kak Hazel!"

Julian menoleh ketika suara yang tak asing berteriak memanggil—yang tertuju padanya. Ia tertawa geli karena Kiki tiba-tiba datang dan memanggilnya Hazel. Jam istirahat baru saja berbunyi. Ia, Adam dan dua temannya yang lain sedang asyik nongkrong di depan kelas sekarang. Ada Aneshka juga. Cewek itu sepertinya tak mau lepas dengan 'Hazel-nya'.

"Siapa, Zel?" tanya Adam.

"Adek kelas kita, anak klub basket," jawab Julian sekenanya, ia beruntung karena Kiki yang notabene anak basket bisa dijadikan alasan.

"Sejak kapan lo main basket?" tanya pemuda tambun di samping Adam—kalau tak salah namanya Riko. Julian hanya menggedikkan bahu.

"Sekarang kamu sering main sama adek kelas, ya?" tanya Aneshka, yang hanya Julian jawab dengan anggukkan. Kiki akhirnya tiba di hadapan mereka dengan napas terengah-engah. Matanya menatap teman-teman Hazel dengan pandangan malas. Mereka semua sangar. Khas kakak kelas yang berkuasa di atas junior-juniornya.

"Kak, bisa ikut gue sekarang? Tadi gue disuruh manggil kakak sama guru BK." Kiki akting. Julian mengernyit seolah-olah ingin mengatakan pada yang lain bahwa Kiki cuma berbohong. "Penting, Kak!"

"Abis ngapain lo? Jangan bilang kita ketauan ngerokok di atap," kata Adam.

"Nggak, emang siapa yang mau ngaduin kita? Paling soal anak SMK itu." Julian mencoba berkelit.

"Minta dihajar rame-rame tuh anak!" Riko melipat tangannya di dada dan bersandar di dinding. Wajahnya terlihat kesal. Julian melirik ke arah Kiki dan mengisyaratkannya untuk cepat pergi.

"Ya udah gue nemuin pak Ali dulu, gue juga penasaran," kata Julian dan mendapat anggukkan dari Adam.

"Nitip pop es ya, Zel!" kata cowok kurus yang sejak tadi hanya terdiam. Namanya Hari. Ucapannya langsung membuat lehernya jadi sasaran lengan Riko yang gemuk.

Aneshka yang sedari tadi bergelayut di lengan Julian, kini melepaskannya. "Oh, ya udah. Nanti kabarin, ya."

Julian langsung pergi menarik lengan Kiki. Sampai di tangga lantai dua, Julian melepaskannya. Mereka jalan beriringan ke kelas Kiki. Beberapa siswi menyapanya, ada yang berbisik-bisik kagum pada Julian—mungkin lebih ke Hazel sih. Julian mulai terbiasa dengan itu.

"Kenapa, Ki? Gue nggak beneran dipanggil guru BK, kan?" tanyanya.

"Ya nggak lah, lo absen tanpa keterangan nih, tadi Bu Siska nanya ke gue, katanya cuma gue yang deket sama lo, kali aja gue tau."

Julian tersenyum miris. "Kasian, ya, gue temennya cuma lo."

"Lo beruntung temenan sama gue, gue nggak kalah populer kok." Kiki tertawa bangga. "Rata-rata anak basket itu terkenal."

Siapa juga yang mencetuskan kata-kata itu? Kalau Kiki yang bilang, Julian masih maklum sama temannya yang punya daya khayal tinggi itu. Setelah melewati tangga, Kiki tak mengajaknya ke kelas mereka, melainkan ke lapangan basket yang ada di dalam gedung. Cowok jangkung itu sumringah sekali memungut beberapa bola di keranjang, menembaknya satu persatu denga mulus ke ring basket.

"Tangkep, Jul!"

Lamunan Julian buyar dan reflek ia menangkap bola dari Kiki. Untung ia cepat sadar dan bola itu tidak mendarat di kepalanya.

"Coba lo masukin ke ring!" kata Kiki, suaranya menggema di dalam sana. Julian dengan serius mengambil ancang-ancang melempar. Tangannya dengan hati-hati menembak. Bola oranye itu masuk mulus. Mulut Kiki menganga melihat bola yang dilempar Julian masuk tanpa cacat. "Kebetulan yang bagus, mungkin kalau lo lebih sering main basket sama gue, kepinteran gue nge-shoot bola bakal pindah ke lo, Jul."

Julian memungut bola yang menggelinding lalu melemparnya ke arah Kiki. Yang langsung mengenai pinggulnya. "Bacot lo, ah!"

"Sakit, bego!"

Kaki Julian melangkah menuju bangku panjang di sisi lapangan. Ia tak suka olahraga. "Tapi, badannya Hazel emang ringan banget sih, trus tinggi juga," katanya sambil menatap kedua tangan milik Hazel. Meski ia tahu benar jarak tinggi antara tubuhnya dan Hazel tidak terlampau jauh. Kalau dengan Kiki, mereka akan terlihat seperti dua tongkat; yang satu utuh dan satunya patah.

"Cie, jadi sekarang udah mulai muji-muji? Awas homo."

Julian membuang napas kasar. Ini ia lakukan setiap kali tidak bisa membalas cercaan Kiki yang membuatnya dongkol. Kiki menghampirinya dan merangkul pundaknya erat-erat. "Jadi?"

"Jadi apanya?"

"Gimana kesan lo setelah sembilan hari tinggal di rumah Hazel?" tanya Kiki sembari memutar-mutar bola di tangan kanannya.

"Biasa aja, bisa dibilang flat."

Kiki tertawa. Sejujurnya ini baru pertama kali Julian terus-terusan ngeluh seperti perempuan. Biasanya ia enjoy saja dengan kehidupannya yang apatis. "Lo kalau di rumah sama aja, nggak ada siapa-siapa di rumah lo. Paling nyokap. Itu juga nggak setiap detik ngomong sama lo, 'kan? Bokap lo juga seringan dinas."

"Tapi, Ki, ini beda. Rumahnya tuh, gimana ya, auranya tuh nggak enak gitu. Nyokapnya juga dingin, ngomongnya kasar."

Kiki tertawa. "Mungkin lo aja yang overthinking."

"Bunda juga pulangnya malem terus, tiap hari. Nggak tau kerjanya aja."

"Bunda?" Kiki mengerutkan dahi.

"Nyokapnya Hazel."

"Pffft."

Julian mengabaikan tawa mengejek itu. "Menurut lo Hazel ke mana?"

"Nyantai, dia biasa bolos kali."

"Tapi, nggak pake badan gue juga, 'kan."

"Daripada lo bertanya-tanya kayak gini, kenapa lo nggak nginep aja di rumah lo, sekalian ketemu nyokap lo. Kangen 'kan sama 'Mama'?"

"Sok tau!" jawab Julian. "Gue nggak kepikiran ide itu sama sekali. Bukan nggak kepikiran sih, cuma bingung gue alesan apa nginep ke sana."

"Kan ada gue!" ujar Kiki dengan nada final. Julian tak berkata apa-apa lagi karena sahabatnya itu langsung keluar dari gedung olahraga itu. Ia masih mendengar tawa Kiki yang terdengar lambat di telinganya, bahkan ketika ia berjalan menuju kelas ketika bel masuk berbunyi.

Dan Maksud Kiki mengatakan kata-kata 'kan ada gue'-nya itu baru dimengerti Julian. Sekarang bocah banyak bicara itu mengajaknya pulang ke rumahnya dulu, alih-alih izin dengan orangtuanya untuk menginap di rumah Julian. Bukan ide yang buruk mengajak Kiki ikut serta di acara nginep bareng di rumahnya—bersama Hazel juga yang kini bersandiwara menjadi tuan rumah, di rumah Julian.

Julian ingin langsung masuk ke dalam rumah, tapi dengan cepat Kiki melarang. Kiki menatapnya seolah Julian adalah detektif yang sudah banyak mendapatkan hint tapi belum bisa memecahkan kasusnya. "Lo bego, ya? Ketuk pintu dulu kali!"

"Ini rumah gue, Ki!" ralat Julian, yang membuat Kiki menoyor kepalanya.

"Tapi lo liat dong sekarang sikonnya gimana?! Lo itu di badannya Hazel!" Kiki berbalik lagi ke depan pintu dan mengetuk pintu, masih mengomeli Julian. "Kalau tiba-tiba lo masuk terus nyokap lo teriak maling gimana? Kalaupun lo mau cerita 'Ma, ini aku Julian, anak Mama.' yang kayak di sinetron-sinetron itu, sumpah, gue yakin nyokap lo bakal pingsan!"

"Oke, oke."

Tak lama kemudian pintu rumahnya terbuka. Seorang wanita berusia sekitar empat puluhan, berada di ambang pintu. Itu ibu Julian; Yulia.

"Malem, Tante Yuli," sapa Kiki, ibunya Julian langsung tersenyum sumringah. Kiki langsung melihat Julian di sampingnya yang mendesiskan kata 'Mama' yang tak terdengar siapa pun. Kiki langsung menghadiahi Julian sikutan di perutnya.

"T-Tante," katanya cepat.

"Ternyata Kiki, kirain siapa. Udah lama banget kamu nggak main," kata Tante Yulia, Kiki tersenyum mengingat terakhir kali main ke sini sebelum Julian kecelakaan. "Ini siapa?" tanyanya, menunjuk Julian.

"I-ini Hazel, Tante, temen kita juga."

Ibu Julian menggangguk sambil mempersilakan keduanya masuk. "Temen baru Julian, ya, Tante baru liat. Setau Tante temen Julian itu cuma kamu aja, Ki."

Kiki tertawa prihatin sedangkan Julian yang berkedok Hazel itu tertohok.

"Julian lagi melebarkan sayap, Tant." Kiki tertawa puas menanggapi ekspresi Julian yang muram. "Oh iya, Tante, Julian ada di dalem? Tadi sih, dia chat minta aku nginep di sini untuk nanya pelajaran hari ini."

Julian berdecih, mungkin lain kali Kiki akan menjadi artis terkenal karena aktingnya bisa senatural itu.

"Iya, dia bilang nggak enak badan, tapi dari tadi nggak mau keluar kamar. Tante khawatir, untung kamu dateng. Tadi pagi aku nggak di rumah, jadi nggak sempat izin karena nggak tau kalau Julian sakit."

"Emang Tante ke mana?" tanya Julian tiba-tiba. Kiki segera menyenggol lengannya memperingatkan.

"Baru pulang dari Bandung ke pernikahan saudara," jawab wanita itu.

"Oh, yang di—"

"Tant, kita langsung ke kamar Julian boleh, ya," potong Kiki cepat-cepat.

"Nggak perlu tante anter, 'kan? Kiki 'kan udah biasa main ke sini."

"Iya, Tante, makasih." Mereka berdua langsung pergi ke lantai dua di mana kamar Julian berada. Setelah mereka berada jauh dari ibunya Julian, Kiki langsung memukul keras pundak temennya. "Bego, suruh liat sikon juga!"

Saat itu Hazel baru akan menyumpal telinganya dengan headset colongan di laci kamar Julian ketika ada ketukan pintu. Ia pura-pura tidak mendengar. Paling juga ibunya Julian. Ketika ia mencoba menutup mata, ketukan itu lama kelamaan terdengar keras dan memekakkan. Hazel yakin yang mengetuk pintu sedang mengeluarkan seluruh tenaganya. Karena gedoran itu makin membuatnya kesal, ia segera membukanya dan berniat memasang wajah ngantuk. Tapi sebaliknya waktu pintu terbuka, matanya melotot seakan mau keluar dari tempatnya.

"Buka pintu aja lama bener!" seru Julian yang ternyata adalah pelaku utama yang akan merusak pintunya sendiri. Hazel berdeham, baru siap untuk ngomong, Julian langsung masuk mendorong bahunya. Melihat kamarnya yang super berantakan.

Hazel buru-buru membenahi pakaian-pakaian yang berserakan di lantai dan meja belajar. Ia mengambil bokser kuningnya dan menyumpalkannya di lemari asal-asalan. "Lagian dateng nggak bilang-bilang."

"Ini rumah gue, ngapain mesti bilang?" ujar Julian ketus. Ia melihat Hazel masih membereskan 'pakaian-pakaian' yang berantakan.

Kiki yang tadi masih di depan pintu nyelonong masuk dan langsung duduk di kasur. Hazel baru benar-benar sadar ada orang lain yang masuk. "Eh, eh, dia tau?" bisik Hazel sambil narik lengan Julian.

"Iya, memang kenapa?" jawabnya.

Hazel langsung menatap Kiki dari atas ke bawah seperti scanner di bandara. Cowok itu terlihat santai dengan celana jeans pendek dan kaus V neck hitamnya. Kiki langsung nyengir waktu sadar Hazel menatapnya.

"Lo apain ini film-film gue? Laptop hidup, DVD buyar!" Julian dengan geram membereskan satu kekacauan dari semua kekacauan yang ada di kamarnya. Hazel membantu dengan diam dan wajahnya kikuk. Julian menghela napas. "Katanya lo sakit? Kok gue lihat sehat-sehat aja."

Hazel terdiam sebentar lalu melanjutkan acara beres-beresnya. "Gue bolos."

Semua DVD di tangan Julian jatuh bersamaan dengan dirinya yang langsung mendorong Hazel geram. Kiki langsung turun dari kasur dan melerai.

"Lo kalau mau bolos liat sikon dong, lo di badan siapa sekarang? Kalau lo nggak suka dan pengen ngehancurin gue, jangan kayak gini caranya."

Hazel tiba-tiba ikut emosi. Ia bangkit dari duduknya dan mencengkeram kerah baju Julian. Mereka berdua saling menatap dengan mata yang tajam. Suara Kiki yang melerai mereka seolah tidak terdengar.

"Mendingan sekarang lo pergi, biar gue ngomong yang sebenernya langsung ke nyokap gue." Julian berdiri sambil berteriak. Tangan Hazel masih mencengkeram bajunya.

"Sana, lo bilang aja ke nyokap lo. Terserah!" bentak Hazel sambil mendorong Julian sampai menabrak meja belajar. Ia merogoh saku celana Julian dan mengambil ponselnya yang masih berada di Julian. Hazel tak mengatakan apa-apa lagi sambil berlalu keluar dengan wajah kesal bukan main. Julian membuang napas kasar tanda berakhirnya kekesalannya.

"Ah, elah. Sekarang lo ngacauin semuanya, Jul." Cuma itu yang keluar dari mulut Kiki. "Mending gue kejer dulu, pasti nyokap lo nanyain nanti."

Begitu Kiki lari melewati ruang tengah, ibunya Julian langsung memanggilnya. Wanita itu menatapnya dengan khawatir. "Kenapa, Ki? Ian kenapa lari? Kalian berantem?"

"Nggak, Tant, katanya Julian mau cari udara segar. Kiki susul dulu ya, Tant." Selanjutnya Kiki tak mendengar apa yang dikatakan ibunya Julian. Wanita itu langsung menemukan sosok Julian yang asli di belakangnya.

"Ma—"

"Hazel, kamu berantem sama Julian?" potong wanita itu. Julian langsung menatapnya dengan kaget. "Hazel?"

"S-sebenernya ..."

Julian menimbang untuk memberi tahu apa tidak. Tatapan ibunya begitu cemas sekaligus menuntut. Semoga saja apa yang dikatakan Kiki tentang ibunya yang akan pingsan setelah mendengar ceritanya tak akan terjadi. Semoga ini bisa dilewatinya dengan mudah. Suara derap lari yang terdengar, membungkam mulut Julian seketika. Lalu ia melihat Kiki lari ke arahnya.

Aku ini Julian.

Tbc ....

avataravatar
Next chapter