18 Part 18

Panas terik matahari jam sepuluh pagi benar-benar membuat emosi Kiki makin meningkat. Mengantuk pada jam-jam ini di hari Minggu adalah hal yang wajar baginya, apalagi semalam ia begadang menemani sang ayah nobar pertandingan bola di rumahnya. Ia hanya minta untuk memeluk guling minimal sampai jam dua belas saja, kalau bisa. Tapi, karena pagi-pagi sekali ada makhluk aneh yang menculiknya dan memaksanya untuk pergi, tidurnya benar-benar terganggu.

Kiki mendengus, dengan manisnya tadi pagi sang ibu membangunkannya dengan menjewer kupingnya sampai panas. Ibunya bilang ada orang kaya yang menjemputnya di luar. Begitu melihat mobil putih mentereng terparkir di depan rumahnya, Kiki langsung berpikir bahwa ibunya pasti hendak menjualnya untuk dijadikan budak. Namun, pikiran gila itu hilang saat melihat sosok jangkung keluar dari mobil mewah itu dan menghampirinya sambil berkata, "Buruan mandi, ikut gue."

Kalau ia tak sayang dengan kepalanya saat itu, ia pasti langsung membenturkannya ke tembok terdekat.

"Trus intinya lo ngajak ke sini apaan?" tanya Kiki, jemarinya masih mengumpulkan kupon permainan yang sudah dikumpulkan Rendy.

Sekarang Kiki berada di game center. Setelah mandi, Rendy tidak mengizinkannya bertanya bahkan sarapan, ia langsung dibawa kabur ke Mall besar dan terdampar di gudang permainan ini. Rendy memang maniak game, tapi dari sekian banyak orang yang ada di dunia ini kenapa ia harus mengajak Kiki?

"Nggak ada," jawab Rendy, tidak mengindahkan bagaimana asap di kepala Kiki sudah mengepul hingga membentuk petir-petir. Itu terlalu hiperbolis, tapi dari beberapa anime yang Kiki tonton di rumah, gambaran orang yang sedang marah selalu seperti itu.

"Ya, udah, gue pulang."

Akan tetapi Rendy tidak mengizinkannya, ia segera menarik tangan Kiki dan menahannya lagi di sebelahnya. Kemudian ia kembali berfokus pada mesin boneka yang sejak tadi mengolok-oloknya. Sudah hampir setengah jam di sana, tapi Rendy tidak berhasil mengambil satu boneka yang diinginkannya.

"Tunggu sampe gue dapet boneka itu."

Rendy sama sekali tidak menunjuk boneka mana yang ingin ia ambil. Tangannya bergerak memutar konsol di badan mesin, lalu gagal lagi dan lagi. Tidak tahu sudah berapa uang yang disedot mesin itu dari powercard yang dibawanya. Kiki hanya mendengus melihatnya, powercard yang dibawa Rendy itu jenis Card Sapphire—yang diisinya pun membutuhkan duit yang lumayan banyak baginya. Memangnya Rendy itu benar-benar orang kaya, ya? Kenapa selama ini terlihat sangat lusuh?

"Sini, sini, gue bisa ambilin buat lo!" Kiki mencoba mengambil alih konsol itu, tapi Rendy terburu menepisnya.

"Gue bisa sendiri!"

"Bisa apaan? Gagal mulu gitu."

"Berisik!"

Kiki mengangkat bahu, ia melirik ratusan tiket yang ada di tangannya. Kalau dipikir-pikir, ini terlalu banyak. Jika bisa diberikan ke kasir dan ditukar dengan hadiah, mungkin saja Rendy akan bersukarela memberikan barang itu untuknya. Lagipula ia diseret ke sini sekarang tidak semata-mata gratis, ia harus meminta setidaknya pajak jalan-jalan dihitung perjam. Dan ia sudah menemani Rendy sejak jam delapan pagi.

Kiki menggelengkan kepalanya dramatis. Ia tidak menyangka bisa semudah itu diseret ke sana kemari mencoba setiap permainan; dimulai dari main basket, mesin boneka, mesin balapan sampai yang bertipe lebih canggih seperti DJMAX Technika Q, Deadstorm Pirates, dan lain-lain. Kiki tidak bisa mengingat semua permainan itu. Semuanya sudah dicicipi oleh Rendy.

"Nah, dapet kan," gumam Rendy yang masih terdengar jelas oleh Kiki. Ia langsung menunduk saat Rendy mengulurkan tangannya di mulut keluarnya boneka. Satu boneka kecil sebesar genggaman tangan diraihnya. Warnanya kuning—dan itu tidak asing di mata Kiki.

"Pikachu?"

Kiki refleks menangkap saat Rendy melempar boneka itu ke arahnya.

"Gue nggak tau pikachu itu anime atau bukan, tapi itu termasuk serial Jepang, 'kan?"

"Ha?"

Otak Kiki selalu macet dengan kejadian ambigu yang berada di sekitarnya. Rendy salah satu alasan kenapa ia bisa jadi setolol ini jadi manusia. Ia tidak mengerti, maksudnya Rendy berkata seperti itu apa? Lalu pikachu ini—untuknya, begitu?

"Ayo, jalan, Banci otaku. Gue laper." Rendy menyeringai tipis melihat bagaimana bodohnya wajah Kiki. Pengakuannya kepada Julian tempo lalu—kalau Kiki itu anaknya lucu—memang benar. Entah kenapa ia selalu nyaman dengan kelucuan anak itu.

"Trus?"

"Ya, makan."

Butuh dua kali Rendy melangkah kembali dan menarik tangan Kiki dari tempat itu. Keduanya berjalan dalam diam dengan pikiran masing-masing. Kiki sendiri masih sedikit tidak mengerti dengan boneka kuning bertenaga listrik itu di tangannya.

"Ni anak ngincer boneka ini buat gue, gitu?" ucap Kiki dalam hati. "Kok gue kayak perawan digombalin perjaka, ya?" tambahnya dengan bergidik.

"Lo mau pesen apa?"

Ah.

Kiki baru sadar kalau mereka sudah sampai di salah satu restoran gaya Jepang di Mall tersebut. Ia mengedarkan matanya berkeliling tempat itu. Ada satu pelayan berseragam hitam khas dengan buku menu menghampiri mereka. Berbasa-basi ramah lalu undur diri.

Meskipun Rendy menanyakan apa yang diinginkannya, tetap saja ia dengan semaunya memesan makanan yang tidak—atau belum dipilih Kiki.

"Ramen di sini enak katanya," kata Rendy tiba-tiba.

"Tunggu deh, lo ngajak gue ke sini untuk apa?"

Sebenarnya Kiki ingin bertanya sejak tadi tentang; menghampirinya ke rumah, mengajaknya ke Timezone, memberinya ratusan kupon, lalu pikachu, makan di restoran di Jepang. Ini sebenarnya ada perayaan apa?

Rendy tersenyum miring. "Kasian aja, pasti lo gak pernah ke sini."

Kiki mendengus menanggapi kekehan Rendy yang terlihat seperti remaja psycho itu. Lalu, karena tidak bisa membalas apa pun, ia memilih duduk manis dan siap mendengarkan kalimat berbisa dari sahabatnya itu. Sebenarnya ia sudah pernah ke sini, tapi itu sudah lama sekali, bermodal pajak—entah apa—dari Julian. Mereka berdua begitu-begitu juga sering pergi bareng, walaupun lebih sering ke toko buku, sih.

"Jangan harap gue bakal terima kasih."

Rendy angkat bahu. "Tapi, kalau gue ajak ke tempat selanjutnya pasti lo bakal bilang terima kasih ke gue."

"Nggak, ini tempat terakhir karena gue mau balik!"

"Ya, udah, berarti hari ini nggak jadi ngintai rumah Gilang."

Kiki menoleh dengan kecepatan di atas rata-rata.

Mendengar nama Gilang disebut, Kiki langsung teringat dengan Julian. Sahabatnya itu sedang terbebat masalah serius—ia ingin membantu. Kalau tidak berurusan dengan pihak sekolah, sih, tidak akan menjadi rumit. Tapi ini sangkutannya dengan pihak sekolah, dan masalah seperti ini awam untuk Julian. Ia takut temannya stres mendadak dan gila—walau kenyataannya tidak begitu.

Kemarin, Kiki sempat mengutarakan keinginannya untuk mengintai Gilang. Sebenarnya itu ia lakukan karena Rendy ngotot kalau Gilang itu pelakunya, dengan embel-embel kalau Gilang itu ternyata adalah tetangga Rendy yang tinggal beberapa blok dari rumah Rendy—di kawasan Raffles Hills. Rendy juga bercerita kalau Gilang itu sebenarnya anak yang aneh. Suka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu. Dan Rendy sedikit tahu tentang anak itu.

"Serius?"

"Nggak jadi, kan katanya lo mau balik."

Kiki langsung menggebrak meja dengan kedua tangannya. "Jadi, jadi ... Yang Mulia Rendy antar hamba ke sana!"

"Cih."

***

Niat Hazel untuk mengajak Julian jalan-jalan hari ini terpaksa ditunda. Sejak pulang sekolah dengan basah kuyup kemarin, Julian jadi banyak diam. Julian memang sudah pendiam dari sananya, tapi kali ini ia bahkan lebih diam. Hazel berkali-kali berusaha mengajaknya mengobrol ringan yang dibalas dengan gumaman dan terkadang diabaikan sama sekali.

Seperti pagi ini, Hazel duduk menyebelahi Julian di ruang televisi. Layar plasma itu menyala di salah satu stasiun hiburan—tanpa dilirik. Keduanya hanyut dalam pikiran masing-masing. Sesekali Hazel memergoki Julian tengah mengusap lengan kanannya yang sempat mengalami dislokasi. Hazel jadi khawatir, ia takut kalau di bagian itu masih membuat Julian merasa nyeri.

"Nay? Lo ada masalah?" Hazel menyenggol Julian dengan lengannya. Kulit mereka bersentuhan, Hazel merasakan kulit Julian yang hangat.

"Nggak," kilahnya.

Hazel menepuk paha Julian yang terbalut celana training panjang. Selama beberapa detik tangannya bertahan di sana, membuat Julian meremang—tapi tidak bisa melakukan apa pun.

"Bunda pernah bilang sama gue, masalah itu nggak baik dipendem sendiri. Supaya beban lo sedikit lega, mungkin lo bisa ceritain masalah itu sama—"

Ucapan Hazel terputus saat merasakan beban di pundak kirinya. Ia menoleh.

"Kalimat itu berlaku buat lo, nggak nyadar?"

Terkekeh, Hazel memukul-mukul gemas paha Julian dengan kepalan tangannya. "Nggak semua masalah bisa diceritain gitu aja, Nay."

"Kalau gitu gue juga sama."

Bebal memang salah satu sifat Julian yang sangat dibenci Hazel. Jelas saja pemuda itu curiga—dan menanyai macam-macam. Kalau pun sedang bosan atau malas, Julian tidak akan sependiam ini. Tidak heran kalau Hazel merasa seperti sendirian karena diabaikan terus menerus seperti ini. Diam adalah hal yang paling tidak bisa ditoleransi olehnya.

Tepat ketika Julian mengangkat kepalanya lagi, Hazel langsung menoleh. Raut wajah Julian sangat kacau dengan kantung mata yang menebal. Hazel menahan diri untuk tidak mengumpat melihat wajah serupa zombie itu.

"Lo ngantuk, tidur lagi sana."

"Don't wanna."

"Minimal makan kek, lo mau buat gue ikut-ikutan kurus?"

"Shut up!"

Hazel tertawa, tapi tawanya tidak terlalu keras. Julian di sampingnya sudah menutup matanya rapat. Mungkin ucapan tadi setengah sadar setengah melindur—Hazel geleng-geleng. Daripada mengulur-ulur waktu sarapan lebih lama, ia berinisiatif untuk keluar mencari makanan. Mudah-mudahan masih ada yang menjual bubur pada jam-jam ini. Setuju dengan pemikirannya, Hazel langsung bergegas mengambil dompet dan keluar setelah berpamitan singkat.

Tepat ketika pintu menutup, Julian membuka matanya. Pandangannya lurus ke arah televisi yang menyala. Ia mendesah, butuh keberanian yang cukup banyak untuk menatap Hazel. Setelah kejadian kemarin, semalaman ia terus memikirkan bagaimana kalau Hazel sampai tahu tentang pertemuannya dengan Indri. Selama ini ia jarang melihat Hazel marah, dan ia juga tidak berminat sama sekali melihat hal tersebut.

Apakah sebaiknya ia jujur?

Kenapa begitu menyesakkan?

***

Julian menatap tanpa minat bubur ayam yang sudah Hazel siapkan. Asapnya mengepul tebal, sajian lembek itu terlihat menggiurkan. Tapi, lidahnya sudah terlanjur tidak bisa merasakan apa pun selain pahit. Fokus matanya langsung tertuju pada orang yang sudah mengganggu kinerja otaknya sejak semalam. Gerakan luwesnya saat menyuap nasi ke mulutnya sendiri, tak luput dari mata Julian.

"Gue mau kita ciuman."

Hazel tersedak dengan hebatnya di seberang meja. Ia meraup air putih dengan rakus dan sesekali terbatuk-batuk. Beberapa butir nasi pasti masuk ke arah yang salah.

"Bercanda," lanjut Julian, menyomot sendok dan mulai memakan buburnya dengan tak acuh.

Terkadang mulutnya yang terlalu gamblang untuk mengutarakan sesuatu itu perlu diberi sedikit pelajaran. Saat seperti ini bukan hal yang tepat mengutarakan hal absurd semacam itu. Lihat saja Hazel, ia sukses tersedak dengan hinanya.

"Abis makan."

Julian mengerjap. Bingung. "Apanya?"

"Lo mau ngebuktiin kalau ciuman itu bisa bikin kita balik ke raga masing-masing, kan?"

"Bukan itu." Julian bahkan tidak bisa menjelaskan alasan kenapa ia meminta hal itu. "Gue asal ngomong aja."

"Ada yang lo sembunyiin dari gue?" Hazel mengangkat tangan saat Julian ingin menyela. "Gue khawatir beneran sama lo, Nay. Udah dari semalem lo diem kayak gini."

"Gue nggak apa-apa." Karena ia memang tidak apa-apa. Julian hanya ingin minta diberikan waktu untuk berpikir.

"Ya—kalau emang nggak apa-apa, tolong jangan pasang muka seolah-olah lo nanggung semua masalah yang ada di dunia ini. Lo bisa cerita sama gue, Nay. Bukannya ngediemin gue kayak gini." Hazel mendengus, suaranya meninggi tanpa disadarinya.

"Kok lo nyolot, sih?"

"Siapa yang nyolot? Gue ngomongnya udah baik-baik."

"Terserah."

Hazel mencoba menarik napasnya selembut mungkin. Tatapannya melunak. "Lo nggak bisa bohong, walaupun dengan mimik muka gue sekalipun. Tolong jangan buat gue—"

"Apa? Lo mau bilang kalau gue ngerepotin lo?" potong Julian.

"Bukan itu, Nay!"

Julian membuang sendok buburnya. Kalau satu menit lagi ia masih terus berada di sana, ia tidak bisa menjamin bahwa ia tidak akan marah lebih dari ini. Untuk itu ia memutuskan untuk meninggalkan ruang makan itu—dan pembicaraan mereka.

"Hoi, gue belom selesai ngomong! Laaaaahh, sensi banget sih tu anak!"

Saat Hazel berniat untuk menyusul Julian, pintu diketuk dengan keras dan berkali-kali. Dengan malas, Hazel mengurungkan niatnya, lalu menuju pintu ganda di depan. Wajah Kiki dan Rendy menyambutnya.

"Lama!" sungut Kiki.

Hazel tidak menjawab, melebarkan pintunya dan membiarkan mereka masuk. Mereka mengekori Hazel masuk sampai ke depan pintu kamar. Ia memerhatikan bagaimana Hazel teriak-teriak minta dibukakan pintu yang ternyata dikunci dari dalam. Kiki mengernyitkan dahi.

"Siapa di dalem?" tanya Kiki.

"Hazel."

"Lo dikunciin pintu sama orang nggak jelas itu? Emang berengsek! Woi! Hazel buka!"

Hazel menepuk jidatnya saat Kiki menggedor pintu kamar itu dengan lebih brutal. Semoga Julian yang mendengar suara Kiki segera membuka pintunya. Tapi, di sisi lain ia khawatir kalau Kiki akan mengamuk—karena ia tahu kalau belakangan ini Kiki terlihat tidak suka kalau Julian dekat dengan Hazel, tanpa diketahui alasannya.

"Jangan!"

"Kenapa?" tanya Rendy yang sejak tadi diam.

Mata Kiki sudah memicing sejak Hazel menginterupsi kegiatannya. Ia mencium sesuatu yang janggal.

"Iya, kenapa? Di sini ada Rendy, gue nggak takut sama si kunyuk itu!" timpal Kiki. Sedangkan Rendy di sebelahnya menaikkan satu alisnya. Kenapa ia dibawa-bawa?

"Julian lagi nggak bisa diganggu."

"Hah? Julian?"

Hazel gelagapan. "Ah, maksud gue—"

"Nggak, nggak, tunggu—" potong Kiki, Hazel berusaha untuk menyela, tapi Kiki lebih cepat. "Gue bilang tunggu, anjing! Lo siapa?"

Kesabaran Hazel sudah hampir habis karena dipanggil 'anjing' dengan seenak jidat oleh Kiki. Tapi, demi menjaga agar perdebatan tidak semakin meluas, Hazel mengalah. Ia menatap Kiki dan Rendy bergantian, lalu meringis. Ia sudah ketahuan.

"Oh, shit! Jangan bilang kalian ketuker lagi?" pekik wakapten basket itu. Mengacak rambutnya tidak percaya.

Hazel sudah sangat pasrah kalau Kiki tahu mengenai hal ini. Tidak ada untungnya bagi Hazel jika ia terus menutup-nutupinya. Sebelumnya saat mereka pertama kali bertukar tubuh, Julian juga memberitahu Kiki dan anak itu bisa menjaga mulutnya. Bedanya, sekarang ada satu orang lagi yang tahu. Hazel refleks menoleh ke arah Rendy yang menatap mereka kebingungan.

"Nanti gue jelasin, Ren, ini di depan lo bukan Julian tapi—Ah, itu nggak penting sekarang!" Kiki berbalik ke depan pintu dan menggedornya dengan tangan terkepal. "Julian, buka pintunya! Gue tau lo denger! Buka sekarang, Jul! Lo perlu ngejelasin sesuatu di sini!"

Pintu tiba-tiba terbuka dan sosok Julian muncul dengan tampang yang tidak jauh lebih baik dari tadi. Matanya menatap dengan datar ketiga orang di depannya.

"Jelasin sama gue sekarang!" todong Kiki, ia mendorong bahu Julian. "Jawab, Jul!"

Hazel merangsek menghalangi Kiki. Bisa bahaya kalau Kiki benar-benar mengamuk dan menggunakan kekerasan. Keadaan Julian sedang tidak stabil sekarang dan ia tahu dari mana sebab musababnya.

"Minggir!" Tapi Kiki lebih rela melampiaskan tenaganya untuk mendorong Hazel sekuat tenaga dan kembali menatap Julian. Ia sudah sangat marah dan kecewa. "Kenapa lo nggak cerita sama gue?"

Julian membuka mulutnya untuk berucap, tapi tidak ada yang dikatakannya.

"Apa lo nggak percaya sama gue, hah? Lo mikir kek, Jul. Gue susah payah nyari bukti supaya lo bebas dari masalah lo di lab itu. Tapi, apa balesan lo? Untuk percaya sama gue aja segitu susahnya. Di antara kita nggak ada yang namanya rahasia."

Sementara Julian kebingungan merangkai pembelaan untuk dikatakan pada sahabatnya, di sisi lain Hazel sudah bersiap untuk menahan Kiki memuntahkan semua kekesalannya secara sia-sia. Akan tetapi niat itu berhasil ditahan oleh Rendy, ia melihat Rendy menggeleng ke arahnya—memberi isyarat mundur.

"Astaga, Julian, kenapa lo ngerahasiain ini dari gue?"

"Lo nggak suka?" Di luar dugaan, ucapan yang pertama kali keluar dari Julian justru sebuah pertanyaan lain, membuat mata Kiki memicing dengan geram. "Kalau nggak suka, lo boleh pergi dari sini."

Akan tetapi Kiki tidak menyingkir, ia menatap Julian dengan penuh kekesalan. Beberapa belas tahun persahabatannya dengan Julian, ini adalah pertama kalinya Julian berkata sedingin itu padanya.

"Lo yang minggir, atau gue yang pergi?" lanjut Julian.

"Nggak, lo nggak boleh ke mana-mana!"

Julian tidak peduli, ia mendorong bahu Kiki lebih kuat dari yang dilakukan Kiki tadi. Pergi dari hadapan mereka semua.

***

Buruk.

Ada hal yang tidak berubah dari Julian, yaitu tidak bisa berlari terlalu lama.

Julian hanya bisa mengumpat ketika Kiki berhasil mengejarnya. Dadanya agak sesak karena berlari menghindar dan akhirnya ia memilih pasrah. Sudah setengah jam ia duduk di bangku kosong taman dekat rumahnya, bersama Kiki dan Rendy. Hazel tidak ada, ia sempat kecewa dengan hal itu.

Di keheningan tersebut, tiba-tiba saja ponsel milik Kiki berdering, empunya segera berdiri dan menjawabnya. Saat mendengar suara orang di seberang, ia sedikit melirik ke arah Julian. Pembicaraan itu tidak terdengar, tapi yang Julian tahu, Kiki hanya menjawabnya dengan jawaban yang sama dan nada yang ketus.

Setelah teleponnya mati, Kiki duduk di sebelah kiri Julian, sedangkan Rendy jongkok di samping bangku. Mengamati sekitar. Tidak mau ikut campur urusan mereka berdua.

"Sorry, tadi gue cuma kebawa emosi aja."

Itu adalah kalimat pertama yang didengar Julian setelah ketiganya duduk di sana. Julian hanya membalasnya dengan gumaman. 

"Yuk, ah, balik. Banyak yang mesti gue omongin sebenernya, tapi besok aja di sekolah."

Karena tidak ada jawaban dari Julian, Kiki lantas membawa tubuhnya untuk berdiri dan mulai melangkah.

Tapi—

"Gue juga mau ngomong sama lo."

—Julian kembali menghentikan langkahnya.

Tak ada yang bisa Kiki tangkap dari perubahan raut Julian. Ia tidak bisa membaca ekspresi itu.

"Apa?"

"Gue suka sama Hazel."

***

"Lo nginep di rumah gue aja. Dan—nggak ada penolakan."

"Kiki, tunggu!"

Kiki menoleh dan menatap sahabatnya dengan penuh tanda tanya. Berusaha keras untuk tidak memancing perdebatan apa pun dengan Julian, apalagi setelah pengakuan tabu sahabat kecilnya itu.

"Lo pasti mikir kalo gue aneh," tukas Julian, ketika menemukan suaranya.

Alis mata wakapten basket itu menukik tajam, hal yang tidak pernah ia lakukan ketika menghadapi Julian. Emosinya tidak pernah sekacau ini.

"Bukan aneh, tapi gila."

Di tempatnya Julian hanya bisa memasang ekspresi getir. Mengungkapkan bagaimana orientasi seksualnya yang menyimpang tidak semudah itu, tapi entah kenapa ia bisa begitu lancar saat mengatakannya pada Kiki. Ia come-out tanpa rencana. Yang sebenarnya terjadi adalah ia sama sekali belum mau mengakui kalau ia gay—ini di luar perkiraan. Seseorang yang disukainya hanya Hazel.

Itu disebut apa? Biseksual?

"Ide untuk ke dukun buat ngelurusin lo lagi, kayanya nggak terlalu buruk. Bisa dicoba." Rendy menimpali. Meski tahu jika berkelakar semacam itu bukan sesuatu yang tepat, ia tidak peduli. Suasana yang terlalu hening membuatnya jengah.

Kiki langsung memelototinya dengan kesal.

"Udah, ah. Gue lagi nggak minat berdebat lagi sama lo. Yang gue mau besok topik semacem ini nggak ada di pembicaraan kita. Ada hal lebih penting yang bakal dibahas besok," tukas Kiki, melirik ke arah Rendy sebentar sebelum masuk ke dalam rumah. "Lo mau langsung pulang?"

Rendy menanggapinya dengan anggukan, dan Kiki langsung mendahului Julian masuk ke dalam tanpa berminat basa-basi lagi di sana. Meninggalkan Julian-Rendy dalam keheningan yang janggal. Mulut keduanya mendadak kelu bahkan untuk sebuah kata perpisahan.

"Btw ... Kiki itu anti-homo."

Dan bisikin kecil dari Rendy sebelum pemuda jangkung itu melesat pergi adalah hal yang sama sekali tidak ingin Julian dengar.

***

Kepenatan yang melanda Hazel belakangan ini membuat kepalanya gatal. Membiarkan rambut kepalanya berantakan seperti sekarang ini, sungguh sangat bukan 'Julian'. Berani bertaruh kalau sebentar lagi ia akan mendapat komentar tentang penampilannya hari ini. Julian itu introvert. Temannya sedikit. Keminimannya akan hubungan antar sosial sudah sangat akut. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari penampilannya selain rapi. Padahal Hazel sudah berangan-angan ingin membuat Julian tampak seperti badboy. Dan ternyata rencana itu terlaksana tanpa di duga-duga.

Hazel stres berat.

Semenjak kedatangannya di kelas XI IPS 1 itu, ia sudah mencium aura permusuhan yang lekat di bangku Kiki. Pandangan mata pemuda jangkung itu sangat dingin. Tanpa mengajaknya bicara saja, Hazel sudah bisa melihat tulisan imajiner di jidatnya yang berbunyi senggol=bacok. Jadi, daripada mencari perkara, memutuskan untuk menjadi pendiam sejati terdengar lebih baik.

Bel pelajaran berakhir sudah berbunyi. Hazel segera melesat ke lantai tiga guna menemui Julian. Menyeretnya untuk berbicara empat mata adalah hal yang akan dilakukannya ketika bertemu nanti. Lebih daripada itu, ia sudah gatal untuk menanyai kenapa semalam Julian tidak pulang ke rumah dan tidak mengabarinya sama sekali.

"Nay! Hoi, sini!"

Hazel melambaikan tangannya begitu melihat sosok Julian keluar dari ruang kelas. Tampang Julian masih saja kusut meski tidak sekacau kemarin.

"Kemarin gue nungguin lo, kenapa lo nggak pulang?" tanya Hazel, mereka beriringan menuju ke tangga. Hazel tidak berharap diabaikan lagi hari ini, walaupun kelihatannya Julian terlihat tidak nyaman di dekatnya.

"Gue nggak nyuruh lo nunggu."

"Minimal kabarin kek."

Alis Julian mengerut. Meskipun pikirannya sedang kacau kemarin, tapi seingatnya ia sudah meminta Kiki untuk mengirim pesan pada Hazel—bahwa ia tidak akan pulang malam kemarin.

"Kiki nggak ngomong apa-apa sama lo?"

"Nggak," jawab Hazel cepat. "Gue kira lo masih marah. Kemaren gue nelpon Kiki dan nyuruh lo cepet pulang."

Julian kebingungan. Jelas ada miscomunication di antara mereka. "Nggak, Kiki juga nggak bilang apa-apa semalem."

Di undakan tangga pertama, Hazel menghentikan langkahnya secara mendadak. Beberapa siswa mengumpat ke arahnya dan ia segera menyingkir dengan membalas umpatan yang sama. Lalu, fokusnya kembali pada Julian untuk meminta penjelasan lebih lanjut. Ada hal yang janggal dari pembicaraan mereka, dan keduanya cukup tahu siapa hal yang menyebabkan ini.

"Apaan coba si Kiki?" Hazel bertanya ketus.

Julian mengangkat bahu sambil menarik lengan Hazel untuk melanjutkan perjalanan. "Ya—dan gue baru tau kalo dia homophobic."

"Emangnya dia ngira kita homo, Nay? Kejam amat." Kali ini Hazel tidak bisa menahan rasa terkejutnya. Ia tidak menyadari bahwa ungkapannya barusan membuat Julian tertawa getir.

"Apa salahnya dengan homo?" tanya Julian dengan kepalang tanggung.

Jeda panjang dalam beberapa menit terpanjang yang dipenuhi riuh warga sekolah. Julian bersumpah bahwa ini adalah hal paling memalukan dari yang pernah dialaminya seumur hidup. Come-out di depan orang yang ia sukai, tentu bukan hal yang bagus. Mengingat Hazel adalah pria straight tulen—meskipun mereka pernah berciuman di atap. Insiden itu Julian anggap sebagai kecelakaan.

"Nggak ada sih ..." Suara Hazel memelan. Ia merasa ada rasa sakit yang menyerang dadanya tiba-tiba ketika mengelak spekulasi yang ada di benaknya.

"Segitu nggak sukanya lo sama kaum homo?"

"Bukan gitu, Nay. Itu tabu lho. Bahkan di sini gue belum pernah nemu homo berkeliaran."

"Lo kira anjing?" sungut Julian, nadanya berubah tinggi. "Oke, jangan sebut homo, itu kedengerannya terlalu kasar."

"... Trus?" Pertanyaan Hazel mengambang.

Mereka sudah sampai gerbang sekolah dan Julian langsung menyeret Hazel cepat-cepat meninggalkan gedung sekolah itu. Mereka berdua tersenggal-senggal ketika sampai pada gang kecil dekat komplek. Kali ini mereka akan menghindari Kiki dan memutuskan untuk terlibat dalam pembicaraan serius empat mata.

"Gue pengen ngajak lo ke suatu tempat."

Senyum yang sangat manis di wajah Hazel hampir membuat Julian muntah. Untungnya itu tidak terjadi karena akan sangat menjijikkan jika yang ia keluarkan dari mulutnya berceceran di wajah Hazel. Besok dipastikan akan ada pelecehan besar-besaran untuknya—secara yang ditempati Hazel sekarang adalah tubuh Julian yang manis itu.

"Memangnya kita mau ke mana?" tanya Julian, penasaran. Ia menyela cepat-cepat ketika mengingat sesuatu. "Eh, besok lo ngadep Pak Mahmud lho. Kiki tadi ngabarin ke gue lewat chat."

Hazel mencibir ketika nama Kiki disebut. "Kenapa dia nggak langsung ngomong di kelas aja tadi?"

"Mana gue tau. Lo pikir setelah apa yang terjadi di rumah kemarin—disambung beberapa kejadian fatal sebelum ini, Kiki masih mau ngomong sama lo?"

Meskipun sudah beberapa kali mengobrol dan dekat dengan Kiki—karena keadaan—Hazel memang masih belum sepenuhnya tahu watak anak itu. Dalam pengamatannya selama ini, Kiki adalah anak yang easy going, terkadang juga periang, menggebu-gebu dan sangat care jika sudah menyangkut soal Julian. Tapi ia tidak menemukan satu pun alasan kenapa Kiki sangat benci kepadanya.

Kecuali—

Masalah fobia noraknya terhadap kaum gay. Maka dari itu, Kiki salah mengartikan kedekatan Hazel dengan Julian.

Kalau dipikir-pikir—spontan, Hazel menoleh ke arah Julian—sosok di sampingnya ini tidak terlalu buruk. jika saja Julian tahu, berapa kali sehari Hazel bercermin guna melihat betapa manisnya wajah yang ia tempati tersebut. Mata bulatnya, hidung bangirnya, bibir tebalnya yang kecokelatan, rambut lebat yang hitam, kulit eksotis disusul dengan lekuk tubuh ramping yang tidak dimiliki lelaki pada umumnya—Hazel sama sekali tidak bisa menolak pesona itu.

Julian benar-benar menarik. Lucunya, ia baru kali ini merasa kalau Julian sebenarnya sangat cantik untuk ukuran laki-laki.

Oh.

Apa yang barusan dipikirkannya?

"Hoi, Zel!" Julian mengibaskan tangannya di depan wajah Hazel.

"Apa?"

Julian mendengus geli. Anak di depannya ini sangat pandai membuat emosinya memudar dengan sangat cepat. "Jadi, lo mau ngajak gue ke mana, hm?"

Sepasang mata hitam miliknya menatap ke dalam manik khas kucing milik Julian. Seketika itu pula Hazel menyadari kalau matanya yang hitam pekat berpendar dengan sangat lembut ketika senyum yang terbit di bilah bibirnya sampai ke sana.

Julian masih tersenyum—kali ini terlihat sangat tulus dan ringan. Hazel terhipnotis secara mendadak.

"K-Ke rumah gue." Suaranya pelan.

"Apa?"

Hazel mengerjap dan menemukan kembali kewarasannya. "Ke rumah gue, ketemu Bunda."

Hanya ada spekulasi positif yang bisa Hazel uraikan di benaknya. Ia terhipnotis ketika melihat wajahnya sendiri. Ia menyukai bagian tubuhnya sendiri. Dalam situasi ini, Julian memang sangat pandai bermain dengan emosi, Hazel tak menyangka kalau wajahnya bisa terlihat begitu memesona di bawah kendali Julian.

Ya—dan satu yang pasti, ia sebenarnya tidak yakin dengan spekulasi itu. Bukankah itu terdengar menyeramkan? Menyukai diri sendiri? Yang benar saja.

"Ya, udah, yuk!"

Lalu, tangannya kembali ditarik oleh Julian ke arah di mana seharusnya sang bunda berada. Rumahnya.

Banyak rencana yang sudah ia susun matang, dan ia ingin Julian ikut menikmati bagaimana prosesnya berlangsung.

tbc.

avataravatar
Next chapter