17 Part 17

Hazel sama sekali tidak memperkirakan bahwa ia akan terjaga semalaman suntuk. Meskipun mendapat jatah ranjang kosong di kamar rawat kelas satu itu, pemandangan di mana Julian tengah tertidur lelap ternyata lebih menarik dari apa pun. Ia memang memantapkan hati untuk menjaga adik kelasnya itu—hebatnya ia benar-benar menjaganya sampai pagi. Jadi, ia sangat bersyukur karena bisa melihat keadaan Julian semakin membaik.

Sambil menarik napas pelan mengasihani mata pandanya, ia melirik ke arah Julian yang terduduk manis di ranjang. Pemuda itu sudah bangun dan sedang menatap ke luar jendela. Hazel tersenyum miring, dilihat dari mana pun Julian terlihat lebih manusiawi karena semalam porsi tidurnya cukup.

"Ngapain lo ngeliatin gue mulu?"

Hazel tersentak dan lantas menggaruk kepalanya kikuk. "Gue nggak ada kerjaan," jawab Hazel sekenanya.

Julian melirik ke arahnya, pemandangan di luar jendela sudah tak menarik. "Ke sekolah sama belajar pagi ini, itu kerjaan lo."

"Gue bolos aja. Udah telat juga."

Julian mendengus.

Hazel beranjak ke sisi nakas dan mengambil baki makanan yang sama sekali belum disentuh Julian. Melihat beberapa menunya—nasi lembek, sup bakso dan semur tahu. Kelihatannya memang cukup meyakinkan, tapi soal rasanya, Hazel bertaruh lidahnya hanya akan merasakan kehambaran.

Tangan Hazel dengan cekatan membuka plastik yang membungkus paket sarapan tersebut. Nasi putih nan lembek itu ia aduk bercampur dengan kuah dari bakso. Julian yang melihatnya ingin muntah. Belum memakannya saja, ia sudah membayangkan bagaimana perutnya bergolak.

"Nih, gue suapin." Hazel menyendok secuil nasi di pinggiran sendok stainless itu. Ia sudah sangat tahu rasanya makanan rumah sakit, jadi ia memilih menyuapinya sedikit demi sedikit. Hebatnya, Julian dengan senang hati menerima suapan itu. "Gue chat-an sama Kiki tadi malem," lapornya.

"Oh, ya?" Julian menjawab sambil mengunyah.

Hazel mengangguk. "Dia nyuruh gue nggak masuk hari ini." Ia menjeda sebentar untuk menyendok lagi, dan menyuapkannya pada Julian. "Keadaan belom aman, katanya."

Julian masih mendengarkan dengan tenang sampai tiba-tiba Hazel menyuapkan bakso bulat untuk dirinya sendiri. Julian tidak bisa menahan mulutnya untuk tidak terbuka—kejadian barusan mau tak mau mengindikasikan bahwa mereka baru saja melakukan indirect kiss.

Akan tetapi, Hazel terlihat tidak memedulikan itu dan menyuapkan lauk lain ke mulutnya.

"Bayu ada di pihak lo, setidaknya kita punya sekutu yang kuat," lanjut Hazel. "Kata Kiki—ini dugaan Ren, ya—kalau yang nyabotase penelitian itu si Gilang."

Julian tiba-tiba tersedak makanannya.

Hazel berinisiatif memberikan segelas air putih. Lalu membersihkan sebagian makanan yang Julian semburkan ke selimutnya menggunakan tisu. Ia melirik Julian yang masih terbatuk-batuk sambil memegangi dadanya. "Masih mau dilanjutin nggak?"

"Lanjut."

Hazel menyendokkan bakso bulat langsung ke mulut Julian, pipinya langsung menggembung dan ia mendelik tak terima pada Hazel. Rasa baksonya memang aneh, hambar. Ia sebagai maniak bakso tidak terima dengan rasanya.

"Katanya, Gilang lebih berpotensi untuk ngelakuin itu ke lo."

"Mana mungkin Gilang sih. Dia itu anaknya baik."

Ya—setahunya begitu. Ia tidak pernah mencari masalah apa pun pada anak pintar itu. Kecuali dalam hal akademik. Masa karena hal itu? Rasa-rasanya terlalu kekanakkan.

Hazel mengangkat bahu. "Gue nggak kenal Gilang, sayangnya."

Nasi di piring itu sudah habis separuh, ia mulai menyuapkan lagi sepertiga ukuran sendok beserta lauknya. Julian masih menerima suapan itu meski sekarang setengah hati. Hatinya sungguh menolak jika teman-temannya menyalahkan Gilang. Bagaimana ceritanya? Apa mereka punya bukti?

"Trus maksud lo 'belom aman' tadi?"

"Kiki ngebujuk Bayu untuk ngulur-ngulur waktu sampe buktinya terkumpul. Jadi, lo nggak bakal di blacklist dari calon kandidat." Matanya menerawang mengingat banyaknya pesan pesan Kiki yang sangat panjang melebihi kereta. Setiap ia berniat menjawab, pesan dari Kiki terus mengalir. Anak itu seperti kesetanan saat mengetik. Dan sisi positifnya adalah Julian beruntung memiliki sahabat seperhatian itu—bahkan ketika yang punya masalah saja tampak tidak peduli. Ia melirik Julian. "Dan hebatnya CCTV di lab itu rusak, udah lama. Mampus dah."

Rusak?

Ah, Julian ingat yang itu. CCTV lab memang sempat rusak, tetapi ia tidak tahu apakah ada pemasangan ulang atau ditarik dari tempatnya. Apa pun itu, sekarang intinya adalah tidak ada barang bukti di CCTV rusak.

"Bukan cuma Ren aja yang curiga sama Gilang, gue juga." Hazel tak membiarkan Julian menyela, ia melanjutkan, "Waktu masuk lab, dalem kantong jas yang gue pake, isinya cuma pulpen sama note. Trus kenapa bisa ada air kerasnya?"

"Kenapa emang?"

"Gilang nabrak gue pas di lab, bisa jadi dia masukin botol itu ke jas gue."

Julian masih tidak bisa menerima spekulasi itu. "Bisa jadi orang lain, 'kan? Belum tentu Gilang."

Hazel berdecak. Topik ini sudah dibahas semalaman dengan Kiki, rasa-rasanya ia tak mau berdebat dulu dengan Julian mengenai perihal yang sama. Julian menolak kedua kalinya ketika Hazel menyuapkan nasi lagi, akhirnya Hazel mengalah dan menaruh baki itu di nakas. Ia mengambil beberapa vitamin yang sudah disediakan di sana, dan membantu Julian minum. Julian tidak lagi mengonsumsi obat karena kondisinya sudah membaik, walaupun infus masih menyokong cairan di nadinya.

Hazel menarik kursi plastik mendekat ke ranjang, lalu duduk di sana. "Gue udah minta sama dokter supaya lo pulang hari ini."

"Jadi, kapan gue pulang?"

"Nanti sore," jawab Hazel, ia mengupas apel pemberian Aneshka untuk dirinya sendiri. Ia juga lapar. Ya, ampun .... "Gue bakal di sini sampe lo pulang. Dan lo balik ke rumah gue—eh, maksudnya ke rumah lo yang asli."

Keduanya terdiam.

Julian mulai merasa sangat tidak sabar ingin mengutarakan banyak pertanyaan. Setiap kali melihat wajah Hazel yang murung, ia berusaha menundanya. Mungkin Hazel memang butuh waktu untuk tenang, masalah yang melandanya rumit dan tidak main-main. Siapa pun bisa stres, beruntung Hazel bisa sekuat itu. Meskipun ia tidak pernah bisa menyembunyikan wajah terlukanya di depan Julian.

Yang paling ingin Julian bahas pertama kali adalah ucapan Aneshka kemarin. Ia sudah menunggu-nunggu waktu yang tepat. Kemarin ia terlalu shock, tidak ada yang bisa dilakukannya.

Pandangannya beralih pada Hazel yang sibuk dengan kegiatannya. Tanpa sadar bibirnya mengulas sebuah senyuman. Wajah yang dilihatnya hampir tak menunjukkan banyak emosi. Hanya seraut kernyitan yang seolah sedang berperang batin dengan rasa apel di indera perasanya.

"Apelnya agak asem. Wah, nggak ikhlas nih yang ngasih," celetuknya.

Meski berujar seperti itu, nyatanya Hazel kembali menyomot apel yang sudah tersedia di nakas. Dengan setengah geli Julian mendengus. Lain kali ia akan berterimakasih pada si apel hijau karena berhasil membuat Hazel berekspresi seperti itu.

"Kenapa lo senyum-senyum?"

Senyum Julian mendadak lenyap. "Nggak. Btw kenapa gue mesti tinggal di rumah gue yang asli?" alihnya.

Saat melontarkan pertanyaan ini Julian takut Hazel akan tersinggung. Pasalnya, Julian tahu bahwa ada masalah yang terjadi antara Hazel dan Bundanya. Kejadian di mana Julian berdua saja dengan wanita paruh baya itu sudah cukup memberinya jawaban. Sebelum ini, ketika mereka hanya berdua di ruang perawatan itu, Julian sering menangkap ekspresi murung dari bunda. Wanita itu juga lebih banyak diam dan tiba-tiba menjadi tegang—tanpa alasan yang jelas—ketika Julian mencoba menegur.

Karena Hazel tak kunjung menjawab, Julian mulai kehabisan kesabaran. "Lo berantem 'kan sama nyokap lo?" tuduhnya.

Hazel mengerang kesal, apel yang tersisa di tangannya diraup dengan rakus. Air dari buah itu menetes-netes di dagunya. Mau tak mau membuat Julian menggeleng-geleng. Kalau sudah begini, ia yakin Hazel tidak akan menjawab. Ia bingung, sebenarnya yang lebih tua di sini siapa, sih? Kenapa ia merasa seperti sedang mengobrol dengan bayi?

Lantas Julian mengambil tisu dan mengusap dagu Hazel pelan, Hazel terkejut dan memegang tangan Julian spontanitas.

Julian sempat merasa kalau waktu seperti berhenti mendadak. Dua tatapan berbeda itu bergeming tanpa berniat mengalihkan pandangan ke arah lain. Tanpa ada pergerakan keduanya bisa merasakan bagaimana degup jantung mereka bertalu-talu hingga tak terkendali dan membuatnya tidak nyaman. Namun, keduanya tahu bahwa selain itu ada perasaan lain yang menghangat di antara mereka.

***

Sementara Kiki terus mengoceh tentang hal ini dan itu, Rendy dengan gaya angkuhnya hanya mengangguk sambil lalu di sampingnya. Pemuda jangkung itu mendengarkan, tapi suara yang diterimanya menerobos melalui lubang lain tanpa sempat diserap. Sikapnya memang seperti itu; dingin, congkak dan cuek.

"Berasa punya temen homo gue," ujar Kiki setelah bosan dengan serentetan kalimat yang terus diabaikan Rendy. Hebatnya kalimat itu menarik atensi seorang sahabat jangkungnya itu.

"Siapa?"

"Apanya?"

"Yang homo?!"

"Oh ...."

"Oh?"

Kiki melipat tangan di dada, berhenti mendadak di depan perpustakaan untuk sekadar menatap lawan bicaranya. Tinggi keduanya tidak terpaut jauh, jadi Kiki bisa dengan leluasa mengintimidasi.

"Lo yang homo!" bentak Kiki.

"Lo juga."

"Nggak!"

"Iya!"

"Nggak!"

"Iya!"

"Nggak!"

"Nggak!"

"Iya—Aish!" Kiki mengusap dahinya dengan gerak dramatis. "Idih, amit-amit! Males ngomong sama lo itu! Ujung-ujungnya gue yang kena. Samjahong!"

"Apaan samjahong?"

Kiki tersenyum miring. "Sama aja bohong!"

"Gue baru tahu lo bisa sok gaul juga. Gue pikir kehidupan lo cuma sebatas dunia khayal doang."

"Makasih pujian lo, besok gue kasih hadiah celana dalem baru."

"Jangan lupa yang gambarnya Hello Kitty sama Spongebob. Lo tau 'kan ukuran gue segede apa?" Rendy menimpali.

"Jijik!" Kiki memeluk lengannya sendiri sambil bergidik ngeri. Ketika hendak meninggalkan Rendy, tiba-tiba saja pemuda itu menarik tangannya lalu menghimpitnya di tembok dengan bunyi –Duk!—yang keras.

Sementara Rendy menyeringai misterius melihat sahabatnya kesakitan, Kiki sudah sangat menebak kalau Rendy akan menghajarnya di tempat sesepi ini. Tapi, apa salahnya?

Fuuuhhhh!

"AH," desah Kiki geli. Kakinya mendadak lemas untuk berpijak.

Dan Rendy cukup sigap menahan badan Kiki yang merosot dari tembok. Terkekeh lagi, Rendy meniup telinga sahabatnya itu kedua kalinya—

"Stop—Anghh—Ren—Emhh ..."

—Atau mungkin lebih dari lima kali.

"Ya, ampun ...." Rendy menggelengkan kepalanya simpati. "Ternyata kuping lo memang sesensitif itu."

Otak Kiki mendadak macet dan kehilangan kemampuan untuk mencerna. Secara spontanitas, tangannya meraup penuh wajah Rendy dan mendorongnya kasar. "Muke lu kedeketan, njir!"

Rendy mendengus geli. "Desahan lo seksi."

"Najis," sungut Kiki.

Gila. Orang di depannya ini memang gila.

"Entar kalau ada yang lihat malah salah paham!"

Rendy tersenyum miring. "Nggak ada yang liat lah, sepi gini."

Fuuhhh!

"Anhh—Stop, anjing!" Kiki menunjuk tepat di belakang bahu Rendy dengan kesal. "Itu ada CCTV, nyambung ke ruang guru," lanjutnya, wajahnya sudah merah seperti tomat. Sialan, Rendy sialan!

"Eh?"

Rendy berbalik dan melihat kamera kecil itu di tiang dekat halaman. Detik berikutnya, kaki panjang miliknya menapak lantai dengan keras dan meninggalkan Kiki tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Kiki yang terkejut serta merta mengikuti langkah sahabatnya yang mengarah ke depan gedung lab. Dan mereka berdua tahu apa yang mereka temukan di sana.

***

Pukul tujuh malam Julian akhirnya tiba di rumahnya. Hazel tidak bercanda, ia benar-benar membawa Julian ke sini—ke rumahnya. Sebenarnya Julian sudah ingin bertanya lagi, tetapi atmosfer di antara mereka berdua mendadak canggung semenjak kejadian di rumah sakit tadi. Sebelum ini Julian pernah melakukan hal yang sama pada Hazel, namun kali ini dampaknya agak berbeda.

Perasaan itu terus muncul, perasaan di mana ia merasa nyaman berada di dekat pemuda itu. Meski Hazel menyebalkan dan aneh, tidak ada lagi alasan yang membuat Julian ingin menjauhi Hazel. Kali ini semuanya mengalir dengan teratur. Ia berharap ini tidak berakhir karena rasa nyaman itu mengantarkannya pada rasa yang lebih hangat.

"Ayo turun."

Suara Hazel menginterupsi alam bunga-bunga Julian. Tepat saat pintu taksi itu terbuka, kulitnya terasa tersengat begitu tangan Hazel membantunya keluar bahkan memapahnya sampai ke gerbang rumahnya. Sebenarnya itu tidak perlu, mengingat Julian bisa berjalan sendiri. Yang terluka hanya tangannya, sedangkan kakinya baik-baik saja.

"Kok gelap?" tanya Julian sambil memperhatikan Hazel mengutak-atik gerendel pintu.

"Nyokap lo nemenin bokap dines ke Bandung. Gue udah izin ngajak lo nginep di sini kok."

Keduanya langsung memasuki ruang tengah sesudah menyalakan beberapa lampu yang perlu. Setelah itu Hazel langsung menuju ke dapur dan membawa minuman dan makanan ringan untuk mereka berdua. Ia menaruh nampan yang dibawanya ke ruang tengah, berniat mengajak Julian untuk ngobrol sebentar di sana.

"Lo berantem sama nyokap lo, 'kan?" Julian bertanya hal yang sama untuk kedua kalinya. "Gue tau kok."

"Nggak tuh," jawab Hazel malas.

"Nggak usah sok kuat. Cuma cerita doang nggak bakal buat lo mati."

Tetapi Hazel cukup keras kepala untuk menuruti. "Masalah gue nggak ada urusannya sama lo."

"Lo mah emang batu."

Hazel menatap pemuda di hadapannya dengan pandangan penuh arti. Ia menangkap gurat kekhawatiran di wajah itu. Ia memang bukan orang yang bisa membaca ekspresi wajah seseorang, namun mengenal Julian beberapa bulan ini membuatnya sadar bahwa Julian itu sebenarnya orang yang penuh perhatian.

Sebenarnya ia tidak bermaksud untuk menyembunyikan, hanya saja ia memang sedang tidak ingin membahas masalahnya. Seharusnya Julian bisa mengerti. Masalah ini terlalu rumit untuknya.

Julian tiba-tiba memegang bahunya. "Nggak usah mikir macem-macem, gue cuma mau bantu lo. Nggak ada maksud lain."

Hazel membalasnya dengan senyum lebar. Nada ketus yang terdengar di telinganya mengirim sinyal yang berkebalikan. Julian memang dingin dan introvert, tapi selama ini Julian yang mengerti dirinya. Ia sangat berterimakasih, mungkin Julian memang orang yang sengaja dikirimkan Tuhan untuknya.

"Jadi, apa rencana lo?" tanya Hazel.

"Seharusnya gue yang tanya gitu." Julian berdecih. "Tapi, okelah ... jadi, pertama-tama kenapa lo berantem sama nyokap lo?"

***

Pagi harinya Julian memberanikan diri untuk datang ke sekolah. Walaupun masalah air keras itu sudah ia limpahkan pada Hazel—selaku penempat raganya, tapi ia tetap was-was dan perasaannya tidak tenang. Begitu sampai, beberapa pasang mata langsung menatap aneh ke arah Hazel yang berada di sampingnya. Julian mendengar di antara mereka berbisik-bisik. Ia cukup yakin dan tahu apa yang membuat raganya menjadi populer pagi itu.

Keduanya telah sampai di lantai tiga, tempat di mana kelas 'Hazel' berada. Hazel sengaja mengantar Julian sampai ke kelas sambil mengawasi keadaan di sana. Ia takut kalau Adam tiba-tiba mengamuk dan menonjok mukanya. Hal itu memang bisa saja terjadi, apalagi 'Hazel' sudah membuat Aneshka menangis tempo hari.

"Udah lu, balik ke kelas sono!"

Julian tak mau mendengar apa jawaban Hazel, ia segera memasuki ruang kelas. Ia menoleh ke belakang sebentar memastikan kalau Hazel sudah pergi, lalu ia kembali berjalan ke arah Adam.

"Ma Bro Hazel, akhirnya lo masuk juga!"

Julian meronta-ronta ketika Riko langsung mencekik lehernya dengan lengannya yang tambun. Namun, Hari lebih sigap memukul kepala Riko dengan modul matematikanya. Lalu menarik Julian duduk di kursinya.

"Sorry, gue nggak sempet jenguk lo," kata Riko sambil ikut duduk di tepat kosong dekat Julian. "Lo udah bener-bener sembuh?"

"Udah," jawab Julian sekenanya. Ia menoleh ke arah Adam berada, anak itu tengah duduk menyendiri sambil sibuk dengan buku di tangannya.

Hari menyadari arah pandangan Julian, lalu menepuk bahu Julian keras sampai ia meringis. "Banyak kejadian selama lo nggak masuk," katanya dengan nada ngotot. "Beuh, lo nggak tau sih!"

"Kejadian apa?"

"Kejadian temen makan temen," seru Hari dengan suara yang sengaja dibesar-besarkan. Julian tahu ke arah mana lirikan mata Hari tertuju.

Adam.

Riko kelihatan cuek. "Noh—selaper-lapernya gue, nggak akan gue makan temen sendiri, Haz."

Hari tertawa keras menanggapi. "Itu semacem kanibal apa gimana, Rik? Pake makan temen segala."

"Saking ngenesnya, Ri, muka aja ganteng tapi nggak laku."

"Tapi kadang kalau lo nggak laku, lo emang perlu makan temen lo yang laku biar bisa ngerebut ceweknya, Rik." Hari kembali menyahut.

Julian tidak tahu sejak kapan tangannya mengepal di atas pahanya. Ia sudah ingin menyela pernyataan pedas mereka—yang ia yakin tertuju untuk Adam—sebelum terdengar suara gebrakan meja di belakangnya.

Selanjutnya ia melihat tubuh Hari tiba-tiba berdiri karena Adam menarik kerahnya. "Maksud lo apa?!"

"Ups. Kesindir, ya, Mas? Nyante kali."

Baru saja tangan Adam melayang untuk meninju wajah Hari, Julian langsung menarik tangan Adam kasar sampai terlepas. Kelas mendadak riuh karena Adam langsung mendorong tubuh Julian hingga terduduk di kursi dengan kasar. Sebagian dari mereka bukannya melerai malah menyoraki dengan nada yang membuat Julian jengkel.

"Woi, santai dong lo!" Riko langsung maju di depan menghalangi Adam yang ingin memukul Julian. Ia tahu Adam sudah terlihat sangat marah di sana. "Kalo mau berantem sini sama gue!"

Kalau saja Adam tidak punya banyak cadangan kesabaran pagi ini, ia mungkin sudah mengirim Riko ke rumah sakit dengan wajah yang hancur. Dengan tidak pedulinya, ia melampiaskan kekesalannya dengan menendang kaki meja kuat dan meninggalkan ruangan kelas. Sebelum itu ia memberi pelototan pada ketiga temannya.

"Huuuu, ngehe lu!" sembur Hari sambil ikut-ikutan menendang kaki kursi yang terdekat. Tetapi Adam tidak peduli, ia sudah menghilang dari balik pintu kelas.

"Coba itu, mukanya minta ditonjok emang tu anak."

"Kalian keterlaluan!" sembur Julian dengan agak ketus. Niat awalnya untuk menghampiri Adam dan meminta maaf atas kejadian di rumah sakit waktu itu gagal karena dua cecunguk ini mengacaukannya.

Hari duduk dengan emosi. "Kemaren gue ngeliat dia sama Neshka mojok di deket gudang belakang."

"Trus?"

"Jiah, ya, Neshka 'kan cewek lo!" Riko ikut-ikutan kesal. "Mereka kemaren ciuman di gudang."

Hal yang cukup mengejutkan itu membuat mata Julian membulat. Well, ini berita baik atau buruk pun Julian tidak peduli. Tetapi, kenapa bisa secepat itu? Apakah itu artinya Aneshka sudah move on?

Julian memilih untuk tidak memedulikannya, ia menghadap ke arah dua sahabat Hazel sambil menarik napas.

"Hari ... Riko ...." Julian menatap kedua sahabat Hazel itu bergantian. "Gue sama Neshka udah putus."

"ANJIR!"

***

Saat jam istirahat, Julian langsung menuju ke lantai dua di mana ruang kelasnya yang saat ini ditempati Hazel. Ia mengabaikan getaran ponsel di sakunya. Isinya pasti dari Indri, yang pesannya berisi ajakan makan bareng dan sebagainya. Julian yang akhirnya merasa cukup terganggu menyanggupi perempuan itu untuk pulang bersama hari ini.

Tidak ada hak bagi Julian memutuskan seperti itu, seharusnya Hazel juga tahu masalah ini. Dari semenjak ia masuk rumah sakit—dan tertukar—Indri sebenarnya cukup rajin meneleponnya. Dan Julian belum ada kesempatan untuk memberitahukannya pada Hazel.

Atau mungkin ia tak akan memberitahunya sampai kapan pun.

Ini aneh. Ia merasa tidak rela jika perempuan itu masih terus menjalin hubungan dengan Hazel.

Setelah sampai di pintu kelas, Julian tidak langsung masuk. Ia mendapati Hazel tengah duduk manis sambil mendengarkan ocehan Kiki. Sahabatnya itu terlihat menggebu-gebu saat berbicara. Baru saja ia berniat memanggil, Lina—teman sekelasnya—menghampirinya.

"Kak?" panggilnya dengan riang. "Kak Hazel nyariin siapa?"

Julian tersenyum kaku. "Nyari Julian."

Pandangannya mengarah di mana Karina tengah menghampiri 'Julian' yang tengah serius di sana. Perempuan itu nampak cemberut karena 'Julian' mengabaikannya dan memilih fokus mendengarkan Kiki bercerita. Sampai tarikan di lengannya membuat Julian tersadar.

"Ya, udah, Kak. Masuk dulu," kata Lina.

Julian terhuyung-huyung ketika Lina menariknya sampai ke tengah kelas. Dari sudut matanya, ia melihat Hazel yang memandang ke arahnya, lalu detik berikutnya pemuda itu sudah ada di depannya. Dengan gerakan yang sangat cepat, tangannya sudah berpindah ke dalam genggaman lain, Julian cukup sadar kalau Hazel menariknya menuju ke arah lain. Secara refleks Julian menoleh sebentar hanya untuk mendapati tatapan kecewa dari Lina.

"Centil banget tuh cewek. Kebanyakan nyium mercuri di bedaknya, gue rasa."

Julian mengerutkan dahinya mendengar komentar itu, sementara tangannya terus ditarik hingga menuruni tangga dan sepertinya menuju ke kantin—

"Tiap hari tuh cewek curhat ke gue ngomongin gue—eh, maksudnya ngomongin Hazel—ya, itu gue, 'kan?"

—atau perpustakaan.

Mereka benar-benar sampai di bangku perpustakaan, kebetulan tempat itu sepi.

"Ah, elah, ngapain bahas tuh cewek?! Ada yang lebih penting." Hazel mendudukkan tubuhnya di salah satu bangku di depan perpustakaan. "Kiki bilang, dia udah periksa CCTV di depan lab."

Alis mata Julian menukik ke bawah. Pemuda di depannya bahkan masih terengah. "Trus?"

"Mereka langsung nemuin Bayu, tapi pihak sekolah ternyata periksa CCTV itu duluan. Ada dua orang yang masuk ruang lab sebelum penelitian," kata Hazel sembari membaca ekspresi yang ada di wajah Julian.

"Siapa?"

Hazel mendengar nada menggebu dari suara Julian. "Gilang—sama Marta." Ia berhenti. "Masalahnya, dua-duanya ini punya alibi kenapa mereka masuk ke sana."

Ada gurat khawatir di muka Julian. Kepalanya langsung menunduk, ia jadi tidak berminat melanjutkan pencarian ini. Lalu, Hazel merangkul bahunya dari samping. "Nggak apa-apa, kalau Ren bilang Gilang, ya, berarti emang Gilang pelakunya."

"Darimana lo bisa seyakin itu?"

"Ren bilang dia punya feeling yang kuat—mungkin dia semacem cenayang gitu?"

Julian menyandarkan punggungnya di bahu kursi. "Ya, ya ... Trus gue paranormal, lo penyihir, dan Kiki itu dukun."

"Enak aja! Lo penyihir!"

Julian membuang muka dengan kesal. Tiba-tiba saja ponsel Hazel bergetar di sakunya, ia buru-buru mengecek. Ternyata dari Indri.

"Siapa?" tanya Hazel sambil melongokkan kepalanya.

Julian langsung memasukkan kembali ponselnya. "Operator, palingan ngiklan."

"Oh—gue jadi keinget deh," sahut Hazel, "lo sering diteror ya? Kiki tadi nyuruh gue ngelaporin ke guru. Pas banget tadi HP dipegang dia."

"Hm."

"Ngomongnya kasar. Ren tadi nyoba ngelacak pake mobile tracker, tapi nomornya langsung diblokir. Kayanya yang neror lo ini emang suka gonta ganti nomor HP," jelasnya.

"Masalah yang itu belakangan, yang penting tuh tentang kecurangan ini dulu." Julian berdiri dari kursinya. "Btw ... Gue ke kelas duluan, ya."

Tangan Hazel menahannya. "Kenapa? Adam nggak ngapa-ngapain lo, kan?"

"Suudzon banget!" Julian menepis tangan Hazel. Ia jadi teringat sesuatu yang ingin disampaikan pada Hazel. "Anak-anak liat Adam ciuman sama Neshka di deket gudang. Tadi pagi mereka sempet ribut sama Adam. Cuma, ya nggak apa-apa."

Hazel menghela napas, Julian menangkap betul ekspresi tegang di wajah pemuda di sebelahnya itu. "Ya, udah, bagus deh."

"Aa, satu lagi ..." Julian duduk kembali dan menatap Hazel dengan serius. "Lo sama Indri gimana? Lo masih sayang sama dia?"

Entah setan apa yang merasuki Julian sampai mempertanyakan sesuatu seperti itu. Masa bodoh jika hal ini terdengar aneh. Ia perlu tahu apa yang Hazel rasakan pada perempuan itu agar reaksi akhirnya tidak terlalu mengejutkan. Ia sudah punya rencana yang tidak akan ia bocorkan pada Hazel.

"Gue ..." Hazel berhenti sejenak, menggaruk kepalanya. "Gue sih masih sayang sama dia."

Dan perkataan itu cukup mematahkan hati Julian saat itu juga.

***

Menurut BMKG—kata Hari—di penghujung bulan ini bakal turun hujan. Itu berita yang bagus, sangat bagus, bahkan untuk Julian sendiri. Panas di Jakarta memang gila, mungkin sudah mencapai suhu tiga puluh sembilan derajat celcius, atau lebih. Kemarau berkepanjangan ini membuat tanah pijakannya kering kerontang. Karena kondisi itu pula tanah semakin produktif membuat intensitas debu makin menebal.

Ya—kalau hujan benar-benar turun sebenarnya Julian cukup khawatir. Meskipun ia bersyukur karena setidaknya ramalan tentang jatuhnya air itu membawa berkah, tapi mengingat terakhir kali ia kehujanan dan asmanya kambuh, Julian jadi melupakan euforia dari berita bagus itu.

Tunggu—

Julian mencoba berpikir sangat keras sekarang. Kondisi tubuhnya sekarang tidak lagi sama setelah ia dan Hazel tertukar. Jadi, apakah mungkin penyakit bawaan itu masih akan menempel padanya? Kalau memang benar, berarti bukan hanya ruhnya saja yang berpindah ke tubuh Hazel, tapi termasuk organ-organ dalam tubuhnya, bukankah begitu?

Bayangan di otaknya sekarang adalah ketika jantung, hati, lambung, usus dan lain-lain itu terbang berpindah tubuh.

Kok menjijikkan, ya?

Ia merinding.

"Kenapa, Kak?"

Ah, Julian terkesiap. Saat ini ia sedang berjalan berdua saja dengan Indri keluar dari gedung sekolah. Mereka berdua memutuskan pulang bersama dan keluar dari gedung itu sesegera mungkin. Bukan hanya menghindari Irfan, tapi Julian juga menghindari Hazel. Kakak kelasnya itu pasti mencarinya, ponselnya saja tidak berhenti berdering. Pelakunya pastilah Hazel.

"Nggak apa-apa," jawab Julian singkat.

"Udah gerimis," sahut Indri. Berjalan dengan kepala menunduk dan berusaha menyamai langkah Julian. "Mau neduh dulu?"

Beberapa meter dari tempat keduanya berjalan, terdapat jajaran ruko dan pangkalan ojek dengan satu warung kopi kecil. Mungkin meneduh sambil menyesap minuman hangat di sana jauh lebih baik. Setuju dengan pemikirannya, Julian segera mengiyakan ajakan Indri untuk meneduh.

Benar saja, hujan segera turun dengan deras begitu mereka sampai di sana. Karena tak memperkirakan bahwa hujan akan datang sebegitu deras, keduanya langsung menggigil. Menerobos hujaman air sepertinya akan lebih memperparah keduanya. Julian tidak mau ambil resiko.

"Kak Hazel udah sembuh bener, 'kan? Bahaya kalau belum, ujannya deres banget."

Julian melirik ke arah seraut wajah manis yang sedang tersenyum padanya. Diberi perhatian sedemikian tulus seperti itu, sudah sangat wajar jika Hazel menyayangi perempuan ini.

"Udah kok," jawabnya.

Gadis itu tersenyum lebih lembut. Kedua tangannya menggosok bagian lengannya yang diterpa angin bercampur percikan hujan. Dalam hatinya tengah berbunga-bunga karena bisa menjalani hubungan dengan 'Hazel' lagi, meskipun harus backstreet dari Irfan. Dari dulu ia memang sangat menyukai 'Hazel' dan bodohnya waktu itu ia mau saja dikelabui oleh Aneshka yang mengaku-ngaku sebagai pacar Hazel.

Keduanya terdiam dalam beberapa saat di pikiran masing-masing. Julian merasa jantungnya sudah berdentam dengan sangat cepat. Sebagian hatinya masih ragu untuk melontarkan apa yang sudah direncanakannya kemarin.

"Kak, makin dingin nih. Aku pesenin teh anget, ya?"

"Ah, ya, udah."

Pikiran Julian kembali berkecamuk. Indri ternyata lebih dari perhatian, dia juga baik dan lembut. Rasa-rasanya ia akan menjadi pendosa jika menyakiti hati perempuan sepolos ini.

Julian berusaha keras untuk tersenyum saat Indri menggeser posisi duduk dan menyuruhnya duduk di sebelahnya. Tak lama kemudian teh hangat yang mengepul tersaji di meja mereka. Julian menggosok-gosokkan telapak tangannya pada badan benda pecah belah itu, mencari kehangatan.

"Kenapa kok Kak Hazel gelisah gitu?" tanya Indri. Kepalanya miring ke kiri menangkap maksud ekspresi yang ada di wajah Julian. 

Julian hanya bisa meringis, ia tidak pernah segugup ini. Mungkin karena Indri adalah perempuan polos yang hatinya serapuh kaca. Ia takut membuatnya pecah. Namun, dalam kepala Julian, ada sesuatu yang menggebu-gebu menyuruhnya untuk tidak mengulur waktu.

"Aku mau ngomong sesuatu." Julian melihat pinggiran gelas yang lepas dari kuluman bibir Indri. Disusul ekspresi bertanya dari empunya.

"Ngomong aja lagi, Kak."

Julian menarik napasnya dalam-dalam.

"Ini mungkin berat buat kita ..." —Halah, mati aja dah. Julian menambahkan dalam hati.

Mata Indri mengerjap-ngerjap tanpa bermaksud untuk menyela. Julian sendiri tahu, bahwa ia memang harus segera melanjutkan kalimat ambigunya.

"Tapi aku rasa kayanya kita lebih baik putus aja, Ndri ...."

Mulut Indri terbuka sedikit karena terkejut. Sorot matanya memandang ke arah Julian dengan tidak percaya. Ia berusaha mengais kebohongan dari lawan bicaranya itu, tapi yang didapatkannya hanya seraut wajah yang serius. Orang yang ada di hadapannya tidak main-main.

"A-Apa maksudnya? Kita baru balikan, Kak." Indri menyadari suaranya bergetar. Ia menunduk. Matanya agak panas.

Julian berinisiatif menangkap kedua bahu Indri dan membuatnya kembali bertatapan. Julian ingin meyakinkan gadis itu agar ia tidak terluka lebih dalam. Dan ia butuh alasan yang pas untuk itu.

"Indri, maaf, aku harap kamu ngerti ..." Julian membuang napas pelan, Indri tidak mau lagi menatapnya. "Sebentar lagi aku ujian semester, aku harus fokus di sana."

Bullshit! Julian mengerang dalam hati. Hazel tentu bukan tipe seperti itu. Ia tidak akan menghabiskan waktunya untuk belajar.

"Lepasin, Kak." Indri berusaha menepis tangan Julian dengan pelan.

"Maaf, Indri ..."

"Nggak apa-apa," Indri mendongak berusaha tersenyum, tapi yang Julian tangkap hanya ekspresi terluka. Julian menyadari mata gadis itu sudah berkaca-kaca. Wajahnya bahkan memerah, entah karena menangis atau kedinginan. "Semangat untuk ujiannya ya, Kak. A-Aku pulang duluan."

"Indri—tunggu!"

"Apa lagi, Kak?" Tangan Indri mengepal, tubuhnya enggan berbalik sekadar menatap orang yang baru saja menjadi mantannya—lagi.

"Jangan pergi dulu, ujannya masih deres."

Tapi, Indri tidak mengindahkannya.

Julian meremas kedua tangannya yang gemetar. Sial. Indri langsung berlari begitu saja menerjang hujan yang deras. Sementara Julian mulai merasa ketakutan karena telah lancang melakukan hal serendah ini. Hazel tidak tahu apa yang dilakukan Julian sekarang, Julian memang lancang. Dan ia tak mengerti kenapa ia bisa selancang itu. Bagaimana pun juga, ia sudah bertindak mengacaukan Hazel secara tidak langsung.

Kalau bisa menyalahkan hatinya, mungkin Julian sudah melakukannya sejak tadi. Ia merasa sangat aneh dan menyimpang. Ia memiliki perasaan tidak rela jika Hazel tetap berhubungan dengan Indri. Ini aneh. Berapa kali pun Julian mencoba menyangkal, ia semakin jatuh pada kakak kelasnya itu.

Di sisi lain yang tidak jauh dari tempat Julian berada, Aneshka menyaksikan semua. Namun, volume hujan yang cukup deras tidak mampu membuatnya mendengar percakapan kedua orang itu. Ia mengerang dan segera tersentak saat bahunya di tepuk dengan agak keras oleh seseorang. Dan ia menemukan wajah Adam yang menatapnya dengan bingung.

"Jangan bengong entar kesambet," katanya.

Aneshka terkekeh, memasukkan ponselnya ke dalam tas. "Siapa yang bengong?"

Lalu Adam mengacak rambutnya. "Duduk sana, yuk," tunjuknya pada kursi kayu yang ada di ruko kecil itu. "Dari pada di situ ngeliatin tukang ojek."

"Ih, apaan sih!"

***

Ada dua hal yang sangat dibenci Julian; yaitu hujan dan Hazel. Tingkat kebenciannya pada dua benda tersebut—kalau orang termasuk benda—bisa dinyatakan naik drastis.

Hujan menurut definisinya benar-benar jauh dari kata romantis. Jadi, benar kalau hujan adalah pengekspresian sesuatu yang berbau sedih, Julian sudah merasakannya sendiri. Tak menutup kemungkinan kebenciannya pada hujan kali ini ada hubungan erat dengan Hazel. Karena Hazel selalu berhasil merusak moodnya.

Ia membenci Hazel juga. Titik.

Pintu ganda rumah menjulang di hadapannya dengan mengolok. Tangan yang sudah mengerat karena menggigil tak juga melakukan hal yang seharusnya ia lakukan ketika tiba di depan pintu tersebut. Seharusnya ini menjadi hal yang mudah; mengetuk, atau langsung masuk begitu saja untuk mendapatkan handuk kering—lebih baik lagi air hangat.

Tapi ternyata tidak semudah itu. Ia baru saja jadi laki-laki paling jahat sedunia, jika membuat gadis lugu termasuk kejahatan, sih.

Sebelum sempat niatan mengetuk pintunya terlaksana, kenop sudah terputar dari dalam. Detik berikutnya Julian tidak bisa menahan lagi untuk memutar bola mata ketika matanya menangkap sosok tubuh ramping yang menatapnya dengan terkejut. Sudah ia duga, bahwa Hazel sudah sampai di rumah sejak tadi.

"Ya, ampun, ngapain lo ujan-ujanan?"

Julian baru merasakan kulitnya menggigil setelah muncul pertanyaan itu. Tangannya mendekap tubuhnya erat.

"Biarin gue masuk dulu kek. Dingin nih."

Hazel tidak mau repot-repot menjawab, ia langsung masuk dengan setengah berlari ke arah belakang.

Mendesah, Julian memilih untuk segera menjejakkan kaki di lantai marmer rumahnya tersebut. Masa bodoh dengan genangan air yang disebabkannya, toh, ia hanya butuh handuk dan air hangat.

"Ini keringin dulu rambut lo, kalau nggak langsung mandi air anget aja sana. Lo ujan-ujanan kaya gini nanti kalau sakit bikin repot."

Julian mengerang saat sebuah handuk tebal menabrak wajahnya. Si pelaku utama hanya memandangnya dengan ekspresi kesal yang kentara, entah kenapa niat Julian untuk menyemburnya langsung hilang. Tanpa membuang waktu, ia segera bergegas ke kamar mandi. Berendam di air hangat yang dipenuhi sabun, terdengar sangat mengasyikan.

"Tunggu, Nay."

Julian berdecak saat bayangan indahnya mandi air hangat diinterupsi, pelakunya masih sama. Begitu ia menoleh, Hazel sudah mencekal satu tangannya.

"Apaan?"

"Lain kali jangan buat gue khawatir."

Julian menaikkan alisnya. "Maksudnya?"

"Nggak, nggak apa-apa."

Julian ingat bahwa ia bukan penderita tuli mendadak, tapi entah mengapa ia ingin mendengar apa yang dikatakan Hazel sebelumnya. "Coba ulangin," pintanya.

"Nggak, nggak apa-apa."

"Bukan yang itu!"

Terdengar seperti tuntutan yang harus dijawab mutlak oleh Hazel. Tapi, ia justru kebingungan dengan perintah itu. "Yang mana?"

Ingatkan Julian untuk menimpuk kepala orang di depannya ini dengan bola basket milik Kiki di sekolah nanti. Ia adalah orang yang sangat anti dengan yang namanya loading lama. Kalau yang di depannya ini adalah seperangkat internet, mungkin sudah ia banting habis.

Walau dengan berat hati—Julian tidak mau mengakui—ia menyentak tangan Hazel dengan kasar. Kakinya sengaja mengentak pergi meninggalkan Hazel yang tengah terdiam mencerna semua kejadian yang berlangsung cepat. Namun, ada sebuah kata yang nyaris membuat Julian berhenti mendadak karena serangan jantung.

"Jangan buat gue khawatir lagi, Nay."

Julian membatu.

Kalau ini karena hujan, mungkin Julian akan berusaha untuk berbasah-basahan lagi demi mendapat kalimat semacam itu. Ternyata, hujan tidak terlalu buruk juga.

tbc.

avataravatar
Next chapter