16 Part 16

Beberapa hari setelah Bayu—ketua KIR—mendatanginya di kelas, akhirnya Hazel memutuskan untuk ikut rapat ekskul KIR. Dengan persetujuan Julian, tentu saja, akhirnya dengan terpaksa ia mengikuti rapat itu. Ada empat tim inti lama dan empat kandidat dari kelas dua yang akan menggantikan posisi senior mereka.

Dan di sinilah Hazel masih berperan sebagai Julian, dan berpura-pura mengikuti rapat.

"Jadi," suara Bayu memulai, "dari pihak OSIS udah ada peraturan baru. Kandidat baru untuk tim inti setiap klub harus ngadain kampanye di setiap kelas, dan kegiatan ini tujuannya untuk mempromosikan kalian supaya siswa nanti bisa memilih." Terdengar riuh protes dari Hazel—tanpa sadar. Tapi, Bayu seolah tidak mendengarkan. "Bukan itu aja, penelitian juga tetep akan dilangsungkan untuk memperkuat nilai kalian nanti."

"Kak?" Marta salah satu kandidat dari anak IPA mengangkat tangan, begitu dipersilakan oleh Bayu, ia melanjutkan, "Jadi, sebenernya yang memberatkan nilai kita itu dari jumlah suara atau penelitian, Kak?"

Dari tempat duduk Hazel mendengus, ia tak begitu berminat menyimak.

"Fifty:fifty, ya," jawab Bayu. "Jumlah suara menentukan, tapi penilaian kami dari penelitian kalian tetap memberatkan juga. Jadi, usahakan semaksimal mungkin di dua kategori itu."

Hazel angkat bicara. "Trus penelitiannya apaan nih?"

Saat itu semua mata langsung tertuju padanya.

Bayu tertawa kecil. "Nanti ada empat ekor ayam potong, dari situ kalian harus bisa meneliti mana ayam segar seratus persen, ayam tiren, ayam berformalin dan—"

"Trus kapan dimulainya?" potong Hazel, ia tersadar saat semua mata mendeliknya tajam.

Bayu yang menyadari gelagat tak enak dari reaksi teman-temannya, menengahi. "Kita udah kasih surat dispensasi ke kelas kalian masing-masing, setelah rapat ini kita langsung ke ruang lab."

Hazel meringis, satu persatu anak meninggalkan ruangan rapat dan meninggalkannya sendiri dalam kekalutan. Oh, ya, ampun. Ia masih harus mengikuti penelitian aneh itu untuk membantu Julian? Semoga ia mendapat kekuatan magis untuk memenangkan penelitian itu.

***

Mereka semua sudah hampir satu jam berada di ruang lab, empat ekor ayam potong sudah ada di hadapan Hazel tanpa tersentuh, ia kebingungan. Dari sudut matanya ia melihat tim inti KIR yang lama mengawasi sambil melipat dada, wajah mereka aneh karena terlalu memaksakan ekspresi garang—yang di mata Hazel benar-benar jelek. Ketika ia melihat ke arah kandidat lain, mereka sudah sibuk dengan beberapa tabung kecil berisi cairan.

"Aduh!" Hazel memekik karena seseorang menabraknya.

"Eh, maaf, Julian." Orang yang ternyata Gilang itu langsung membersihkan jubah putih yang dikenakan Hazel buru-buru, cairan entah apa tumpah di sana. "U-untung cuma air yang tumpah."

Hazel menepis pelan tangan Gilang. "Ah, iya, nggak apa-apa, kok. Udah lu sana, gue oke."

"Maaf, ya."

"Hm."

Setelah itu Hazel kembali melamunkan ayam potong itu, ia mendesah lelah. Kalau keadaannya begini ia tidak bisa membantu Julian menjadi ketua KIR. Julian sebenarnya sudah menolak untuk mengikuti seleksi kandidat itu, tapi mau tidak mau Hazel memaksa karena cuma ini yang bisa ia lakukan untuk menebus kesalahannya. Meski semua tidak berakhir dengan baik.

Dari pemikiran itu juga, mungkin ia bisa sedikit meringankan beban Julian yang lagi-lagi terjebak dalam tubuhnya. Ya—ia harus yakin.

"Akh!" Tiba-tiba salah satu kandidat lain memekik saat tabung botol berisi cairan putih tumpah ke tangannya tanpa sengaja. Hazel langsung menatap horor ketika tangan perempuan itu—namanya Lani—memerah lalu melepuh. Beberapa pengawas langsung menghampirinya.

"Kamu nggak apa-apa? Ya, ampun." Bayu yang saat itu panik langsung membawa Lani keluar dari lab, beserta tabung yang tumpah tadi dengan sarung tangannya. Sekilas Hazel melihat ketua KIR itu berbisik pada salah satu temannya sebelum menghilang keluar lab.

"Kalian tetap di sini jangan ada yang keluar, dan jangan sentuh apa pun." Setelah mengatakan itu, laki-laki yang tadi dibisiki Bayu, langsung menggiring mereka ke pojok ruangan di mana ada kursi memanjang di sana.

"Tadi itu kenapa, Kak?" tanya Marta cemas.

Orang itu—Hazel hanya tahu ia adalah wakil ketua KIR—menggeleng. "Belum tau, 'kan Bayu belum balik. Dia lagi coba untuk periksa cairan itu ke lab khusus."

Hazel mendesah, bagus, gagal aja sekalian jadi nggak usah ada penelitian segala, pikirnya. Ia lalu melemparkan pandangannya ke samping kiri di mana ada Gilang di sana dengan wajah tertunduk, saat melihat ke arah kanan, Marta juga melakukan hal yang sama. Keduanya terlihat sangat cemas.

Tak lama kemudian sosok Bayu masuk dengan wajah yang tak jauh lebih baik. Senyum lebar yang biasanya tampak pada wajahnya menghilang sama sekali, hanya ada ekspresi cemas, kalut, kaget dan bingung. Lantas ia membisiki wakilnya sesuatu dan terlihat mata sang wakil langsung membelalak kaget. Marta saat itu langsung berdiri.

"Lani gimana, Kak?"

"Nggak apa-apa, untung langsung cepet dibawa." Bayu beralih ke ketiga kandidat tersisa. "Kalian tolong keluarkan semua yang ada di kantung kalian, saya juga nanti bakal periksa tas kalian."

Hazel terbengong-bengong. "Lah, kenapa?"

Bayu menghela napas. "Maunya kalian nggak terlibat, tapi ini ada sabotase—perkiraan saya sementara. Jadi, nanti tim inti yang lama termasuk saya, juga bakalan di periksa. Sebentar lagi Pak Mahmud dateng."

Pak Mahmud pasti guru pembimbing KIR, batin Hazel.

Gilang yang sejak tadi diam angkat bicara. "Memangnya kenapa, Kak? Itu cairan apa?"

"HCL," kata Bayu. Hazel melihat semua orang di sana terkejut, hanya ia sendiri yang kebingungan. "Seharusnya kita nggak pake air itu, dan artinya ada yang bawa cairan itu ke sini untuk kecurangan."

Di tempatnya, Hazel mulai berdiri tak nyaman. Ia berbisik ke arah Gilang, "HCL itu apaan?"

"Air keras," balas Gilang ikut berbisik, Hazel langsung terkejut.

Tak lama kemudian Pak Mahmud—guru pembimbing klub KIR datang dan mulai meneliti cairan yang ada di masing-masing meja kandidat. Dari empat tempat, tiga yang positif ada asam klorida. Hanya tempat Hazel yang bersih, Hazel semakin gelisah.

Walau tatapan memicing di dapatkan dari guru pembimbing itu diabaikannya, ia tak bisa menahan diri untuk tidak cemas. Ia menduga-duga masalah apa lagi yang akan menderanya—sebagai Julian.

Mampus gue, batinnya. Saat gilirannya untuk diperiksa keseluruhan tubuh, Pak Mahmud menemukan botol bening berisi cairan yang ada di saku jasnya. Guru laki-laki gendut itu membuka tutup botol, bau yang keras langsung sampai ke hidungnya. "Ini air keras juga," tukasnya.

Mata Hazel serasa ingin copot dari tempatnya. Hazel menggeleng saat semua mata menatapnya dengan penuh selidik. "I-itu bukan punya saya, Pak."

"Tapi ini ada di kantong kamu." Guru itu menggeleng, seolah tak menerima pengelakan. "Nanti kamu menghadap ke ruangan saya."

Belum sempat Hazel mengelak, guru itu pergi meninggalkan mereka semua di ruang lab. Suasana sempat hening beberapa detik sampai terdengar suara Bayu.

"Gue kecewa, Jul, gue nggak tau kenapa lo bisa curang kayak gini." Bayu membuang pandangan ke arah lain.

"Nggak—nggak bukan gue," kilahnya cepat. "Gue bahkan nggak tau kaya gimana air keras itu, iya 'kan, Lang?" tanyanya pada Gilang.

Gilang hanya menjawab dengan menatap dengan pandangan bersalah. Seolah meminta maaf bahwa ia juga sama halnya dengan yang lain, tak bisa mempercayai apa kata Hazel.

"Lo terima aja deh konsekuensinya. Mau gimana pun lo ngelak, bukti ada sama lo," kata seorang wakil KIR dengan nada final, dan itu mulai menyulut emosi Hazel.

Ia mencengkeram kerah baju Bayu. "Bukan gue, Bayu! Bukan gue!" Bayu memberontak saat Hazel melakukan itu, beberapa orang di lab itu mulai melerainya. "Ah, shit!"

Tak tahan lagi, Hazel langsung keluar dari lab setelah sebelumnya membuang jas lab itu ke lantai dengan kasar. Saat di koridor, yang kebetulan sudah masuk jam istirahat, ia langsung bertemu dengan Kiki dan Rendy. Kiki menyapanya, namun Hazel mengabaikan dan memilih masuk ke kelas untuk mengambil tasnya lalu keluar lagi.

"Jul, lo mau ke mana?" tanya Kiki bingung. "Gimana penelitiannya?"

Tangan Kiki langsung di tepis, tanpa menjawab apa pun, Hazel langsung berlari ke belakang sekolah bermaksud kabur lewat pagar belakang.

Ia harus pergi, ia memang orang yang gegabah. Tetapi kalau ia tetap di sana dan mengelak hal yang jelas-jelas terbukti menyudutkannya, itu bukan hal yang baik. Orang-orang belum tentu ada yang mempercayainya. Mungkin ia harus bertemu Julian, meminta maaf, tentu saja.

***

"Mau sampe kapan lo di situ?" Julian mulai jengah memperhatikan Hazel yang tengah menempelkan wajah di sisi ranjangnya. Sejak tadi yang dilakukan pemuda itu hanya menghela napas. "Katanya tadi lo mau ngomong sesuatu."

Hazel menghela napas lagi, namun tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya.

"Bukannya hari ini penelitian? Gimana hasilnya?" tanya Julian lagi. "Kalau udah kaya gini pasti lo gagal."

"Justru itu." Hazel bergumam.

"Apa?"

Hazel langsung menegakkan kepalanya. "Justru itu, Julian Marvel!"

"Kenapa? Gagal, 'kan?" Julian mencemooh, hari ini untuk pertama kalinya Hazel memanggil namanya dengan lengkap. "Gue 'kan udah bilang nggak usah ikut."

"Kejadiannya lebih buruk dari yang lo bayangin," katanya lagi.

"Iya—kenapa?"

"Kejadiannya buruk."

"Buruk gimana?"

Hanya helaan napas Hazel yang terdengar. Selanjutnya ia kembali merebahkan kepalanya ke sisi ranjang di kamar rawat itu.

"Keadaan lo gimana?"

Julian memandang kepala Hazel. "Udah baikan—dan nggak usah ngalihin pembicaraan kali."

"Sebenernya ..." Hazel mengangkat kepalanya, melirik Julian yang menatapnya penuh tanya, "tapi lo jangan marah."

"Jiah, gimana mau marah, cerita aja belom."

Mau tidak mau Hazel mencoba untuk menceritakan yang sejujurnya. Jujur saja, ia tidak mau menerima ekspresi kecewa dari Julian karena tentu saja ini adalah hal yang sangat fatal. Di sisi lain, ia ingin bebannya terangkat dan Julian bisa mempercayainya bahwa ia sama sekali tidak melakukan apa pun.

"Mereka nuduh gue curang."

***

Pelajaran Sejarah kosong, ini sangat menguntungkan bagi Kiki karena ia tidak harus memikirkan sejarah Indonesia di tengah kekacauan pikirannya. Ia sama sekali tidak bisa tenang setelah menerima kabar bahwa Julian dituduh berlaku curang di penelitiannya sendiri. Dengan kasus besar—air keras.

Walaupun tidak tahu kejadian pastinya, Kiki seratus persen yakin bahwa Julian tidak mungkin berlaku curang seperti itu. Apalagi penelitian semacam itu adalah hobinya. Julian memang pernah mengatakan bahwa ia tidak mau jadi tim inti untuk klub tersebut, tapi bukan berarti ia mundur dari kandidat dengan cara seperti ini, kan?

"Nggak mungkin 'kan, Ren? Julian nggak mungkin ngelakuin itu!" Kiki mengacak-acak rambutnya. Ia berpikir pasti sekarang Julian lagi kelabakan, salah-salah kalau mencoba bunuh diri. "Ya, ampun. chat gue nggak dibales lagi sama Julian."

Rendy yang sibuk dengan ponselnya hanya melenguh malas. "Bukti memberatkan Julian," tukasnya.

Kiki menatapnya dengan sengit. "Sebenernya lo di pihak siapa sih?"

"Golput."

"Percuma ngomong sama lo!" kata Kiki sewot. "Sekarang pasti Julian lagi stres banget dituduh kayak gitu."

"Lebay lo." Buku tulis Rendy melayang ke kepala Kiki. "Dia bukan anak kecil kali, dia bisa nyelesain masalahnya secara dewasa."

Kiki mendengus. "Iya. Tapi, bukan berarti kita bisa diem aja, 'kan?"

Seolah tidak mendengar ucapan itu, Rendy mendesah sembari menyamankan kepalanya di lipatan siku. Meskipun ia mencoba untuk tidur, tetapi matanya sama sekali tidak bisa diajak kompromi. Belum lagi Kiki selalu mengoceh tentang kemungkinan-kemungkinan negatif akan apa yang akan dilakukan Julian di masa tertekan seperti ini.

"Apa kita harus telpon ke rumahnya? Tapi entar—Ren, lo dengerin gue nggak sih?" tegur Kiki.

Mata Rendy berkedip-kedip menatap keadaan riuh di dalam kelasnya; ada yang melempar-lempar kertas dan sampah, mengejek-ejek teman perempuan untuk cari perhatian, dan mengintip rok lewat kaca yang diselipkan di tali sepatu. Saat itu pula guncangan di bahunya semakin keras.

Rendy mengerang kesal, baru saja hendak melayangkan protes, pintu kelasnya terbuka dan masuklah sosok Gilang dan keadaan kelas langsung hening. Beberapa anak ada yang sudah menanyainya perihal kejadian di lab yang nyatanya sudah menyebar dengan cepat.

"Rendy—"

Rendy menangkap tangan Kiki dan mencengkeramnya dengan erat. "Ki, menurut lo Gilang itu orangnya gimana?"

"Nggak tau!" Kiki berusaha menarik tangannya namun cengkeraman tangan pemuda kurus itu melilitnya seperti penjepit tikus, kencang dan sakit. "Ren, lepasin! Sakit, bego!"

Tanpa melepaskan genggaman itu, Rendy menarik tangan Kiki keluar dari kelas. Koridor yang mereka lewati sangat sepi karena bel istirahat sudah berbunyi sejak tadi. Rendy mempercepat langkahnya hingga mereka akhirnya menemukan pemuda yang sangat dikenal Kiki sebagai ketua klub KIR—Bayu Pratama.

Kiki mengusap tangannya yang sakit sesaat setelah Rendy melepaskannya. Senyum Bayu menyambut mereka di ambang pintu ruang lab, meski begitu Kiki melihat adanya ekspresi yang tidak mengenakkan di wajah ketua KIR itu.

"Ada perlu apa?" tanyanya dengan nada santai, seolah permasalahan yang membelit di ruang lab bukan apa-apa. Di sana hanya ada Bayu dengan satu orang cewek yang merupakan bendahara KIR. Kiki tahu bahwa mereka adalah sepasang kekasih.

Rendy maju dan berhadapan dengan Bayu yang tubuhnya lebih pendek darinya. Dari tatapan matanya yang tak terbaca, Kiki tidak tahu apa yang akan dilakukan sahabatnya itu. Tapi hal yang mengejutkan selanjutnya adalah ketika Rendy mengusap jas putih Bayu di bagian bahu, seolah ada debu di sana.

Lalu ... ia tersenyum. "Gue nggak tau kenapa lo masih nuduh Julian padahal lo percaya dia nggak mungkin ngelakuin itu."

"R-Ren, apa maksud lo—"

Rendy memutus ucapan Kiki, tersenyum lebih sinis. "Kalau seandainya gue yang curang, hal yang pertama kali gue lakuin adalah ngebuang barang bukti."

Seperti tersadar akan sesuatu, Kiki membulatkan matanya. "Ha? Maksud lo pelakunya bukan Julian? Berarti—"

Bayu membatu, sembari menunggu apa yang akan dikatakan Kiki selanjutnya, ia menatap mata Rendy mencari sesuatu yang dinamakan kebenaran. Dan rasanya Kiki tidak sanggup lagi melanjutkan ucapannya, Bayu mulai berujar, "Gue tau kalian pasti bakal ngebelain Julian, tapi masalah ini masih diusut karena barang bukti ada di tangan Julian sendiri."

"Gue nggak tau, entah karena lo terlalu pinter atau jenius makanya lo nggak sadar kalo Julian itu korban di sini," ujar Rendy ketus.

Kiki mengangguk, ia sepenuhnya tahu apa maksud Rendy membawanya kesini. "Julian pasti dijebak! Lo 'kan ketua KIR, lo punya hak untuk menyampaikan asumsi lo langsung sama guru pembimbing, kan? Julian nggak salah."

Ketika melihat bangku kosong di samping pintu, Bayu langsung duduk dan menghela napas lelah. "Kita cuma bisa liat hasil akhir. Gue minta tolong—lo sebagai temennya bantu ngebujuk dia untuk ngadep guru pembimbing sekarang biar masalah ini selesai. Kita butuh alibi dari tersangka—" Bayu mengangkat tangan begitu Kiki ingin menyela, "Kalau dia nggak mau dijadiin tersangka, dia harus buktiin bahwa dia nggak salah."

Kedua tangan Rendy menghalau tangan Kiki ketika anak basket itu berniat meninju wajah Bayu. Dengan napas yang sudah terburu karena emosi, Rendy menarik Kiki menjauh dari depan ruang lab. Walaupun Bayu terlihat dingin menghadapi semua hal yang terjadi—beberapa detik yang lalu—namun, Rendy yakin Bayu itu salah satu yang berada pada kubu Julian, untuk membelanya.

***

Alih-alih marah, Julian malah tertawa dengan sangat geli saat Hazel menceritakan masalah yang membebatnya di ruang lab pagi itu. Sebenarnya itu perihal yang serius, tetapi melihat bagaimana kekhawatiran Hazel akan masalah itu membuatnya jadi terkesan lucu. Untuk seorang kakak kelas, Hazel memang perusak reputasi yang handal.

"Kok lo ketawa sih, Nay?" Hazel bersungut.

"Lah, ini 'kan bukan pertama kalinya lo ngacauin hidup gue?" Julian terkekeh, sejujurnya ia tahu konsekuensinya kalau saja tidak ada yang bisa membuktikan dirinya tidak bersalah. "Kalau emang lo bener, nggak usah takut."

"Bukan masalah bener atau salah, Nay, sekarang gimana caranya untuk ngebuktiin dan nyari pelaku sebenernya—btw lo percaya 'kan kalau gue nggak mungkin ngelakuin itu?"

Julian mengangguk.

"Sumpah, Nay, gue nggak—"

"Ya, udahlah, gue percaya," potong Julian sembari mengupas jeruk yang diambilnya di nakas. "Di lab tuh ada CCTV nggak sih?"

"Nggak tau."

Julian menggigit bibir bawahnya dengan gusar. Ia mulai mencoba mencari kemungkinan dari hal-hal terkecil yang terlewatkan. Selama ini—seperti kata Kiki—ia tak mungkin punya musuh, kecuali jika itu bisa saja dilakukan oleh orang yang ingin menyingkirkannya dari daftar kandidat ketua KIR. Ah, tapi ia saja tidak begitu berminat dengan jabatan itu, terlalu ribet dan memusingkan.

Kalaupun ia terpilih menjadi ketua, ia lebih memilih menolaknya dan menyerahkannya pada orang lain.

"Menurut gue gini, Nay, orang ini—sebut saja Mawar, dia pasti ngejebak lo biar nggak dapet posisi ketua KIR. Mawar pasti tau kalau lo dapet dukungan khusus dari ketua yang lama," cetus Hazel sembari memasang wajah berpikir. Julian menanggapinya dengan kekehan, wajah serius yang ditampakkan Hazel ternyata bisa sangat cocok untuk wajahnya.

"Pffft, Mawar? Kalau dia cowok gimana? Masa Mawar juga?"

Saat jeruk dan seratnya sudah tuntas dikupas, Julian memberikannya pada Hazel, yang dengan senang hati diterima olehnya. Rasa asam yang dominan langsung pecah di lidah. Ya—lumayan. Kalau boleh jujur ia sangat lapar karena semenjak istirahat ia belum memakan apa-apa.

"Ini 'kan perumpamaan, lo sering nonton investigasi nggak sih?" kilah Hazel.

Julian mengangguk samar-samar, dahinya mengerut. Ternyata pikiran mereka mengarah ke hal yang sama, dalam hal ini Mawar memang mengincar jabatan ketua KIR itu.

"Btw malah ngebahas Mawar." Hazel nyeletuk. "Sebenernya Pak Mahmud nyuruh gue ngadep tau sekarang."

"Trus lo malah ke sini? Bikin rieweh aja. Entar kalau lo dikira kabur karena ketakutan dan mereka semakin memberatkan lo gimana?"

Hazel seketika tersadar. Yang dikatakan Julian seratus persen benar, orang pasti akan berpikir ke arah situ jika berada pada posisi seperti ini. Ia kabur memang bukan karena takut, namun orang lain biasanya akan berpikir sebaliknya.

"Coba lo telpon Kiki," perintah Julian.

"Buat apa?"

"Tanya keadaan di sanalah!"

"Lowbat!"

Julian menepuk jidatnya, sudah dipastikan sahabatnya itu tengah mengumpat di sana. Sudah sekian tahun ia mengenal Kiki, ia tahu kalau sahabatnya itu begitu paranoid dan selalu berpikir yang tidak-tidak jika sedikit saja masalah terjadi. Selama ini setiap Julian dirundung masalah, ia akan mengadu bahkan sampai merengek-rengek di depan Kiki, wajar saja jika ia berpikiran seperti itu. Kiki pasti mencemaskannya.

"Ya, udah nih, pake HP lo!" Julian mengeluarkan ponsel Hazel yang sementara dipakai olehnya, nomor Kiki sudah dihafalnya di luar kepala. Lantas ia segera menekan dial dan nada tunggu terdengar.

"Halo? Ini siapa?" jawab suara di seberang, kebetulan di loadspeaker oleh Julian.

Hazel langsung tergagap, Julian langsung mengisyaratkan untuk menjawab. "Ini gue Julian, Ki," katanya, sesekali melirik Julian.

"Astaga ini bocah! Nggak tau orang khawatir apa?!"

Mendengar teriakan melengking dari seberang, kedua orang itu langsung mengusap telinga mereka dengan kasar. Bagaimanapun suara telepon yang di loadspeaker tidak lebih baik dari suara sumbang knalpot motor yang berisik. Lalu terdengar suara Kiki agak jauh seperti; 'Ini Julian, nelpon gue, dasar si bego.'

Julian meringis, ia menebak pasti Rendy juga ada di sana.

"Lo di mana sekarang, kampret? Kenapa baru nelpon? HP lo ke mana?"

"Gue di ..." Hazel langsung melirik ke arah Julian dan membaca gerakan bibirnya, "di rumah."

"Ya, udah, ini baru bel pulang. Gue langsung ke sana."

Julian melambai-lambaikan tangannya di depan Hazel. Hazel mengerti artinya. "Nggak usah, Ki, gue sekarang mau ke rumah sakit jenguk Hazel."

Julian langsung menepuk jidatnya.

"Ya udah gue ke rumah sakit—kita ke rumah sakit, Ren!"

"Eh—"

Sambungan terputus.

Hazel yang menyadari kalau ia salah bicara, langsung meringis. Julian tidak segan-segan menghadiahinya tatapan jengkel yang menyeramkan, ini pertama kalinya ia melihat ekspresi seperti itu dari wajahnya. Well, cukup menyeramkan—Hazel berbangga diri atas keseraman wajahnya.

Mumpung ponselnya di tangan, Hazel lantas memeriksa benda kecil miliknya itu. Hanya sekedar cek; seperti chat, sosial media atau pun riwayat panggilan. Ia terkejut saat mendapati sebuah pesan sosmed yang sudah ter-read di inboxnya, isinya; 'Nanti aku ke sana jam dua,'. Dan balasan yang—tentunya—dijawab oleh Julian adalah; 'Ya.'

Hazel segera melongok arloji hitam yang ada di tangannya. Sudah hampir jam dua. "Aneshka mau ke sini?"

Yang di dapatkan oleh Hazel adalah kedikkan bahu dari Julian. Ia cukup mengerti apa artinya itu, selama ini Aneshka adalah salah satu pemaksa yang meski ditolak akan tetap datang. Julian pasti tidak dapat mencegahnya untuk datang, apalagi keadaannya sakit seperti ini. Mau kabur ke mana coba?

"Dia dateng setiap hari, kalau lo pengen tau." Julian memberi info. Lantas ia menyandarkan seluruh tubuhnya yang sempat tegang, ke bantalan di belakang tubuhnya.

Senyum Hazel tiba-tiba mengembang. Ia mendapatkan sebuah ide. "Sekarang lo harus maen tega-tegaan, Nay."

"Maksud lo?"

"Gue punya rencana." Hazel memantapkan diri. "Lo harus putusin Aneshka."

Julian mendengus, ia sudah ingin menawarkan itu sebelumnya dari sejak kemarin. Walaupun sebenarnya itu bukan urusannya, tetapi entah kenapa ia merasa khawatir karena kakak kelasnya yang bodoh itu memacari dua wanita sekaligus tanpa memikirkan resiko ke depannya. Memikirkan penawaran itu bukan hal yang mudah untuknya, saat ini ruh Julian tengan bersemayam di tubuh Hazel, itu artinya Julian yang akan melakukan ritual Katakan Putus itu. Oh, My God. Saat ia sudah membuang jauh-jauh pikiran itu, Hazel malah mengungkitnya.

"Putusin aja lewat telepon. Gampang!"

Hazel nampak tidak setuju. "Nggak bisa, itu namanya bukan cowok."

"Hm."

"Jadi, gimana?"

Julian menggaruk kepalanya. Kalau begini sih kekhawatirannya tidak terangkat sama sekali, ini bahkan jauh mengkhawatirkan dari pilihan pertama. Semasa hidupnya enam belas tahun ini, ia tidak pernah mengatakan putus pada seorang cewek. Salah-salah ia dimaki-maki, di lempari sandal, yang terparah sampai digampar. Uh.

"Sebenernya lo masih suka nggak sih sama dia?" Julian mencoba menanyakan ini. Jujur saja, hal yang satu ini sempat mengganggunya.

Hazel menggeleng. "Dari awal gue cuma nganggep dia kayak adek gue sendiri." Ia menjeda sebentar sembari berpikir apakah cukup pantas menceritakan masa lalu antara ia dan Aneshka. Julian tampak menunggu saat Hazel meliriknya, ia menarik napas perlahan. "Lagian Adam suka sama Aneshka."

Tidak seperti dugaan Julian, ia pikir Hazel akan menceritakan alasan lain yang lebih menarik. Karena kalau dilihat dari ekspresinya Hazel sempat speechless dan seolah menerawang.

"Gue nggak pernah mutusin cewek." Tiba-tiba Julian bergidik sendiri, bayangannya akan respon negatif kembali menghantuinya. Lalu ia mencibir saat Hazel tertawa keras—di atas penderitaannya.

"Ngomong-ngomong soal Adam ..." Hazel meraih ponsel miliknya dan mengetikkan sesuatu di sana. Julian mencoba mencari tahu, tetapi matanya terlalu rabun untuk melihat tulisan kecil dengan jarak yang lumayan itu.

Julian lagi-lagi mendengus. "Lo emang kutu makan rambut."

"Artinya?"

"Gue laper."

Mata Hazel terpejam saat ia tertawa geli melihat ekspresi merajuk Julian—yang jelas-jelas menggunakan gestur tubuhnya. Begitu ia melihat Julian merengut ia malah mengacak-acak rambut adik kelas yang selama ini—kalau boleh jujur—selalu membuatnya nyaman itu.

***

Kurang lebih dua puluh menit, Aneshka sudah tiba di rumah sakit dan langsung menghambur ke ruangan Hazel dirawat. Seperti sudah terbiasa, Julian menerima ritual singkat berupa cipika-cipiki dari 'pacar'nya itu. Asal tahu saja, jantungnya bekerja dua kali lipat lebih keras semejak perempuan itu datang. Dalam hati ia sudah bermonolog sembari memilah-milah kata apa saja yang akan ia lontarkan pada Aneshka supaya kata-katanya tidak terlalu kasar.

Hazel sempat bilang padanya kalau akan lebih baik jika ia menjadi super duper tega. Bagaimanapun Aneshka sudah kebal dengan kata putus yang biasa, perempuan itu mungkin sudah mendengar puluhan kali darinya. Hazel memang terlalu lembek pada perempuan, berbekal kesialan karena tertukar ruh untuk kedua kali ini, ia ingin memanfaatkannya untuk memutuskan Aneshka. Siapa tahu saja berhasil.

"Aku bawa apel, yang. Kamu udah makan belum?"

Teguran Aneshka tak terjawab oleh Julian, matanya langsung melirik ke arah Hazel yang mematung di sisi lain. Hazel mengangguk singkat kemudian keluar dari ruangan itu.

"Yang?"

"Ah, kenapa, kenapa?"

Pintu berderit pelan saat sosok Hazel menghilang di balik pintu. Julian memutuskan kontak mata dengan Aneshka selama beberapa detik, ia lantas menghembuskan napasnya yang agak tersendat.

"Yang, kamu kenapa sih?" Aneshka menyentuh tangan Julian dan membuatnya berjengit, tetapi ia langsung menguasai diri.

Dengan perlahan ia menyingkirkan tangan kecil dan halus itu. "Aku mau ngomong sesuatu sama kamu."

***

Di luar, Hazel sudah menduga bahwa Adam ada di sana. Hazel ingat sudah mengirimnya pesan untuk menemani Aneshka di sini. Ia langsung menemukan sosok pemuda berkumis tipis itu terduduk di kursi tak jauh dari kamar rawat 'Hazel'. Hazel menghampiri sahabat baiknya itu dan duduk di sebelahnya, berlagak seperti sepasang teman yang akrab.

"Nungguin Kak Aneshka?"

Sayangnya Adam tidak berpikiran sama dengannya, bagaimanapun ia dihadapkan pada sesosok orang yang tidak terlalu dikenal. Hazel memaklumi. Ia di sini sebagai Julian—bukan Hazel.

Setelah beberapa detik tidak mendapatkan jawaban yang diinginkannya, Hazel memilih untuk terdiam dan menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Kakinya mengetuk-ngetuk tanpa sadar sehingga membuat Adam terusik. Lorong sangat sepi, sekarang bukan jamnya para perawat sibuk memberi obat, jadi wajar saja.

"Kaki lo berisik," tegur Adam, dingin.

"Ups."

Mereka terdiam selama beberapa belas menit setelahnya. Hazel bersumpah melihat Adam seperti tak bergerak satu senti pun di sana, untuk orang seperti Adam memang patut diacungi jempol. Ia bisa sangat dingin dan galak jika ia mau, dan Hazel adalah orang yang tidak tahan jika dihiraukan seperti itu terus menerus. Memangnya tidak pegal apa?

Prang!

Hazel dan Adam tersentak begitu mendengar benda pecah belah terbanting ke lantai keramik. Suara itu berasal dari dalam kamar 'Hazel', ketika Adam berniat menyusul ke dalam untuk melihat keadaan, Hazel buru-buru menahannya.

"Ini pasti kenapa-kenapa di dalem!"

Tetapi Hazel tidak peduli, ia sependapat jika terjadi sesuatu. Aneshka bisa melakukan apa-apa pada Julian di dalam, sebenarnya ia juga sangat khawatir. Namun, lebih buruk dari itu, Hazel malah berpikiran bahwa Aneshka bisa saja melukai diri sendiri dengan sesuatu di sana. Hal itu sering terjadi ketika mereka bertengkar.

Kemudian terdengar isakan disusul sebuah teriakan yang sedikit teredam pintu. Dari jarak sedekat itu tentu saja frekuensi getaran suara masih bisa di dengar oleh mereka berdua. Bahkan Adam tidak sadar ketika Hazel mulai mencengkeram tangannya kuat-kuat agar tak beranjak di sana.

"Shit!" Adam tak bisa menahan lagi ketika mendengar isakan Aneshka, ia berhasil keluar dari pertahanan Hazel dan menerobos masuk ke ruangan. Hazel menyusul.

"Neshka!"

Serta merta Adam langsung menghampiri Aneshka yang terduduk di lantai. Ia menangis. Sedangkan Hazel di belakang sana bergeming dengan apa yang dilihatnya. Darah di mana-mana, meski hanya berupa ceceran. Namun, sangat kontras dengan lantai keramik yang berwarna putih bersih. Dan Julian? Hazel baru sadar ketika darah itu milik Julian. Tangannya tergores, bekas infusnya terkoyak karena dilepas paksa, butuh sekian detik sampai Hazel menghampiri Julian yang berdiri kesakitan sambil memegang pisau di tangan kirinya.

"Neshka ... tenang, Nesh." Adam berusaha menenangkan Aneshka yang terus berontak di dalam kungkungannya.

"Dia bilang, dia benci banget sama gue." Di tengah isakannya, Aneshka berusaha berkata sambil memukul-mukul dada Adam. "Dia terpaksa pacaran sama gue karena kasihan," lanjutnya.

Hazel mencoba menatap Julian yang shock dengan pandangan mata nanar. Pisau dari tangannya terjatuh ke lantai dengan bunyi yang ribut. Ia membiarkan tangan Hazel menekan tisu di lukanya yang tergores.

"Ayahnya yang biadab itu, si tua bangka itu udah ngelecehin gue, Dam. Mereka—" Suara tangisnya makin terasa menyanyat, tubuh Hazel menegang. Apalagi setelah masa lalunya diungkit dengan sangat menyakitkan. "—UDAH NGANCURIN HIDUP GUE!" Aneshka menjeda sembali mengatur napasnya yang sesak. "Anaknya... bahkan anaknya nggak lebih dari seorang pengecut!"

"Sssshhh, tenangin diri lo, ya," bujuk Adam.

"Gue sakit, Dam. Sakit!" raung Aneshka terakhir kali.

Tubuh gadis itu langsung melemas dalam pelukan Adam. Sedangkan Adam langsung menatapnya dengan tatapan marah. Julian makin terpojok, bagaimanapun ia adalah penyebab Aneshka mengamuk seperti itu. Respon negatif dalam bayangannya memang terjadi, malah ini lebih parah. Ada satu cerita yang ia dapat mengenai masa lalu Hazel yang keluar dari mulut perempuan itu tanpa sadar. Itu cukup membuat Julian shock, separah itukah?

Adam langsung menghilang sambil menggendong Aneshka tanpa mengatakan apa pun. Tubuh Julian jatuh terduduk di lantai. Bahkan lukanya sama sekali tidak sakit lagi, suara-suara yang di dengar memanggil namanya terasa jauh. Ada dua orang lain di sana selain ia dan Hazel. Ia melihat gurat khawatir dari mereka, tetapi ia merasa kosong.

***

"Jawab, Jul, sebenernya ada apa?"

Kiki menghembuskan napas untuk sekian kali ketika melihat 'Julian' terdiam tanpa mau repot menjawab kekhawatirannya. Bahkan Kiki yakin bahwa pikiran anak itu sekarang sedang tidak ada di dalam raganya, 'Julian' terlihat kosong. Semejak dua jam lalu, ketika insiden yang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, ia dan Rendy menemukan 'Hazel' terduduk di lantai dengan darah di mana-mana.

Berulang kali ia mencoba bertanya, tetapi 'Julian' tetap membisu dan membiarkan kakinya kebas menungguinya di samping ranjang tempat 'Hazel' berbaring.

Niatnya datang ke rumah sakit untuk menyusul Julian bahkan sampai tertelan begitu saja. Ini pertama kalinya ia melihat 'Julian' menangis karena seseorang. Selama ini Julian akan menangis jika mendapatkan masalah yang menurutnya memalukan. Julian bahkan tidak menangis saat Kiki cedera parah setahun yang lalu karena bermain basket, kenapa ia bisa menangis selama itu untuk seorang kakak kelas yang bahkan pernah mengacaukan hidupnya?

"Mending lo berdua pulang," suruh Hazel padanya akhirnya.

"Tapi, Jul—"

"Tinggalin gue sendiri,"

"Nggak bisa—"

Kiki menoleh ke arah Rendy saat pemuda jangkung itu memotong ucapannya dengan menggenggam lengannya erat. Dengan isyarat mata darinya, Kiki akhirnya mengalah dan meninggalkan 'Julian' di sana.

Tangan kanan Hazel bergerak mengusap rambut Julian, satu tangan lainnya menggenggam jemari Julian yang dingin. Ia mendesah. Ia masih bisa merasakan suaranya bergetar.

"Gue bingung, Nay," katanya lirih pada Julian yang kini tertidur di hadapannya.

***

"Lo udah bangun? Mau minum?"

Tanpa mendapat jawaban Hazel segera membantu Julian terduduk dan membantunya minum melalui sedotan. Ia berusaha tersenyum dan tidak mengungkit masalah yang tadi sempat membuat mereka shock. Terlebih Julian, mungkin ia terkejut mendapatkan perlakuan kasar dari Aneshka dan diteriaki sedemikian rupa oleh perempuan itu.

"Tadi itu kejadiannya heboh," kata Julian, mencoba berkelakar.

Namun, Hazel hanya menanggapinya dengan senyum tipis, sangat tipis. Ia tahu Julian mencoba menghiburnya, dan ia berterimakasih untuk itu. Malah sejujurnya ia berharap jika Julian memakinya karena memanfaatkannya seperti ini.

"Lo nggak apa-apa, 'kan?" tanya Julian kemudian.

Hazel mencoba menggeleng, tetapi yang ada malah matanya semakin panas dan dadanya mulai sesak. Ia jelas tidak baik-baik saja, dan ia butuh seseorang untuk bersandar. Jadi, tanpa ragu, ia memeluk Julian dan menumpukan seluruh berat badannya pada bahu kekar miliknya yang disemayami oleh Julian. Rasanya dingin, ia tidak tahu bahwa tubuhnya sedingin ini.

Ia merasa seperti dihujani oleh air es dan tubuhnya bergetar. Ia kedinginan.

Tidak, seharusnya ia yang menghibur Julian, keadaan Julian pasti jauh lebih lemah. Ia baru saja shock, ia pasti lebih tertekan. Semakin ia berpikiran seperti itu, tubuhnya tidak merespon perintah otaknya, tubuhnya semakin tenggelam ketika Julian mulai membalas pelukannya dan memberi usapan menenangkan di bahunya. Ia takut, ia rapuh.

tbc.

avataravatar
Next chapter