15 Part 15

Hazel membuka matanya, memperlihatkan iris matanya yang cokelat dengan gerak gelisah. Ia letih dan lemah. Sejenak ia terdiam, mengedarkan pandangan ke sekitar, berusaha mengenali situasi apa yang tengah ia hadapi.

Uh, ya, Hazel tidak mengingat apa pun. Tepatnya bagaimana ia bisa terbaring dengan tubuh terlampau lemah di ranjang ini. Kepalanya nyeri luar biasa, seakan-akan pikirannya berusaha menghilangkan sesuatu dari dalam otaknya. Lalu memaksanya untuk terlelap.

Saat dunianya silau karena neon yang menyorot di langit-langit ruangan, saat itu pula ia menyadari ada satu orang lain yang bersamanya di sana. Duduk sambil menatapnya dengan cemas. Seorang laki-laki setengah baya. Bibir laki-laki itu seperti mengatakan sesuatu, mungkin kata-kata, yang sayangnya tidak bisa ia dengar karena tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

Tidak.

Hazel mencoba membuka matanya lagi, kali ini ia terkejut karena menggerakkan kelopak matanya secara tiba-tiba. Dan lampu di langit-langit membuatnya menyipit karena silau. Ia merasakan sentuhan di tangannya, kemudian sebuah ucapan berlumur nada lega, "Akhirnya lo sadar juga."

Mendengar suara itu membuat Hazel kembali membuka matanya. Samar-sama ia melihat bahwa itu adalah Kiki, dengan satu orang lain bertubuh jangkung yang tengah melipat dada di sebelahnya.

Mata Hazel bergerak tak fokus, ia tak bisa mengeluarkan suara bahkan ketika bibirnya berusaha berkata.

"Udah jangan lo paksain," kata Kiki lagi sembari mengusap-usap lengannya. Lalu Kiki mengalihkan pandangannya pada pemuda jangkung yang sejak tadi diam. "Ren, Kayaknya kita harus panggil dokter deh."

Ren—atau itu yang Hazel tahu—mengembuskan napas. "Ya, udah, biar gue aja," katanya kalem.

Kiki mengangguk. Lalu menoleh lagi ke arah Hazel dengan senyuman tipis.

"Julian," panggil Kiki, seolah orang yang ditanyainya tak sigap melihat ke arahnya.

Saat itu pula Hazel menyadari sesuatu bahwa—

"Lo istirahat, ya, gue sama Rendy bakal nemenin lo di sini."

—sejak kapan namanya berubah menjadi Julian?

***

Ini terjadi lagi. Pasti. Tidak mungkin sekarang Hazel terbaring di rumah sakit dan orang-orang yang menjenguknya memanggilnya Julian. Oh, tidak. Dejavu. Sebelumnya ia pernah mengalami hal yang sama. Kecelakaan, kebingungan, dan orang-orang yang salah menyebutkan namanya.

Kalau begitu, ini artinya—

"Manis, nggak?" Perhatian Hazel teralih saat tangan seorang wanita mengusap jemarinya. Ia bingung untuk berekspresi. Sejak tadi pikirannya melayang-layang tanpa menghayati bagaimana indera pengecapnya merasakan buah apel.

Jadi Hazel hanya mengangguk.

"Kata dokter kalau keadaan kamu membaik, nanti sore udah bisa pulang," kata wanita itu lagi sambil menyuapkan sepotong apel yang sudah dikupas. Hazel lagi-lagi hanya menanggapinya tanpa ekspresi, menatapi jam dinding di depannya yang menunjukkan pukul dua kurang sepuluh menit lagi.

Ketika satu potong apel mampir di bibirnya, Hazel buru-buru menepisnya. Ia tidak merasa lapar lagi. Ia ingat semuanya, bahwa ia kembali ke dalam tubuh Julian, yang bodohnya karena kecelakaan tolol itu lagi. Seperti waktu itu.

"Tadi Karina ke sini." Mata Hazel kembali pada wanita itu—ibunya Julian. Ia terlihat mengelap tangannya pada tisu, sebelum akhirnya menatap Hazel. "Tapi cuma sebentar, soalnya kamu lagi tidur."

"Karina?" tanya Hazel dengan suara yang amat parau. Alisnya mengerut mendengar suara Julian di mulutnya. Ini pertama kalinya ia bicara setelah membuka mata. "Siapa?"

Wanita itu menggigit bibir bawahnya. Ekspresinya terlihat agak ragu—mungkin karena reaksi Hazel. "Ah, Karina pacar kamu, 'kan?" tanya sang ibu dengan nada bertanya.

Hazel menelengkan kepalanya. Ketika ia berusaha mengingat apa pun yang ada pada diri Julian, ia tak menemukan nama Karina bahkan fakta bahwa perempuan itu adalah pacarnya. Hazel tidak tahu.

Hazel kemudian mengabaikan. "Berapa lama Julian di sini?" Otaknya sedikit mengingat kejadian di malam ketika Julian mengejarnya sampai ke tengah jalan. "H-Hazel gimana?"

Semoga saja nadanya tidak terlalu kaku dan aneh. Yang seharusnya memang tidak, karena ini bukan pertama kalinya mereka tertukar.

"Semaleman, sayang." Ibunya menjawab. "Tadi jam sembilanan kamu sadar, tapi tidur lagi. Trus baru bangun jam dua belas lewat."

Hazel terdiam, ia tak sepenuhnya butuh fakta itu. Ia menunggu jawaban dari pertanyaannya yang kedua, sampai ia lihat wanita itu menatapnya dengan sorot menenangkan.

"Hazel baik-baik aja kok. Cuma belum bangun," kata sang ibu lembut.

Ya Tuhan, Hazel menutup wajahnya dengan kedua tangan. Seketika itu ia merasakan usapan di bahunya.

"Ini minum dulu," pinta sang ibu, Hazel membuka wajahnya dan menerima gelas berisi air putih hangat itu. "Jangan terlalu dipikirin, yang penting kamu sehat dulu. Jangan maksain diri."

"J-Julian pengen ketemu Hazel."

"Ssh, sayang, kamu pulihin diri kamu dulu."

"Tapi—"

"Nggak ada tapi, Ian. Jangan buat mama lebih khawatir. Mama langsung jalan malam itu juga lho, waktu denger kamu kecelakaan." Nada sang ibu meninggi sedikit.

Hening beberapa saat sampai suara ketukan pintu terdengar, lalu disusul derit pintu yang terbuka. Sosok yang berdiri dengan wajah yang lebih kacau dari wanita di depannya, membuat Hazel terbelalak.

Bunda.

"Eh, Mbak," tegur ibunya Julian, ia langsung berdiri dan melakukan cipika cipiki singkat dengan ibu Hazel. "Silakan duduk, Mbak."

Ibunya Hazel tersenyum, "Nggak usah, saya mau ngomong sebentar aja," lalu melirik Hazel, "sama Julian."

Hazel menelan ludahnya susah payah. Ia terkejut melihat wajah ibunya yang bergaris keriput itu tampak lebih sembab dari terakhir ia melihatnya. Hatinya agak sakit.

"Julian, gimana keadaan kamu?" tanya ibunya.

"B-baik, Tante."

Ibunya itu tersenyum lagi, lalu melirik ke arah ibunya Julian. "Maaf ya, gara-gara Hazel, Julian jadi seperti ini lagi."

Ibunya Julian mengerutkan kening mendengar ucapan itu, "Lagi? Memangnya—Oh, kecelakaan dua bulan lalu juga sama Hazel? Maaf, Mbak, waktu itu saya nggak tahu dan nggak sempet jenguk Hazel."

"Nggak apa-apa," jawab ibunya, "saya malu, karena waktu itu Hazel nabrak Julian sampai parah juga. Sekarang, lagi-lagi Hazel nyelakain Julian."

"Ah, nggak bukan gitu, saya yakin Julian yang ceroboh. Dia memang gitu orangnya. Buat apa coba dia ngejer-ngejer Hazel sampe tengah jalan?"

Hazel berdecih, kenapa kedua ibu-ibu ini pada menyalahkan anak masing-masing. Kalau di sinetron, biasanya para ibu akan saling menyalahkan satu sama lain karena kesalahan fatal yang entah belum diketahui siapa yang salah. Khas cerita sinetron.

Untuk obrolan mereka berdua selanjutnya Hazel tidak mau mendengarkan. Ia memilih menyandarkan tubuhnya yang masih sulit bergerak, dan kepalanya yang masih pusing. Keadaan di mana Julian yang belum sadarkan diri membebani otaknya.

Seharusnya—

Banyak kata seharusnya dalam kepala.

Seharusnya Julian tidak mengejar dirinya, seharusnya dirinya yang terbaring di sana, seharusnya ia bukan melihat orang lain saat membuka mata, seharusnya belaian sayang dari Mama hanya untuk Julian, seharusnya ia belum sadar saat ini, seharusnya ia tak pernah bertengkar dengan ibunya, seharusnya ia tak berada di jalanan itu dan seharusnya ... ia mulai menyesali semua ini.

Tidak.

Ini membuat kepalanya semakin sakit. Kenapa dalam setiap kejadian tidak mengenakkan pada hidupnya, Julian harus ikut menanggungnya? Julian tidak bersalah. Ia baik, lugu, dan merupakan seseorang yang—Hazel yakin—spesial untuknya. Karena Julian seperti malaikatnya.

"Luka di jidatnya nggak parah, kok." Suara ibunya Julian kemudian membuat Hazel menoleh. "Tulang di siku kanannya geser, tadi dia sadar pas efek painkiller-nya udah abis."

"Oh, Hazel udah sadar, Mbak?"

"Udah, tapi udah tidur lagi. Keadaannya mah nggak apa-apa, selain itu. Paling dia bakal nginep beberapa hari di rumah sakit, untuk mulihin kondisinya lagi."

Ibunya Julian mendesah berat. Ia berujar simpati. "Ya, ampun, kasihan."

Tiba-tiba Hazel bangkit dari rebahannya dengan ekspresi kaget, cemas, dan tak sabar. "Ma, aku pengen liat Nay—eh, H-Hazel maksudnya. Ya, aku mau liat Hazel."

Ibunya Julian menggeleng pelan. "Nggak sekarang, nanti sore mama janji bawa kamu ke sana."

***

Sore itu datang. Benar kata mamanya, kalau sore itu ia sudah diizinkan pulang karena tidak ada lagi luka yang serius. Ini kesempatan Hazel untuk menagih janji menjenguk Julian di kamar lain. Ia didampingi wanita itu bahkan sampai di depan pintu kamar Julian.

"Mama tinggal dulu nggak apa-apa, ya? Mau siapin mobil."

Hazel mengangguk patuh mendengar ucapan wanita itu. Ia memutar kenop pintu dengan napas yang tercekat. Begitu terbuka, ia melihat Julian tengah duduk bersandar di beberapa bantal.

Hazel meringis melihat tangannya di bebat perban tebal dari gibs, wajahnya lebam dan kepalanya pun melekat erat perban yang lain. Ia ngeri sendiri. Seharusnya bukan Julian yang mengalami kesakitan itu tapi dirinya.

Julian menoleh ke arahnya dengan pandangan dingin, tapi tidak mengatakan apa-apa. Hazel beringsut dan berdiri di samping ranjang.

"Ngapain lo di sini?"

"Maaf ...." kata Hazel ambigu.

Julian mendengus.

Hazel bertanya-tanya apakah mungkin Julian sama terkejutnya dengan dirinya yang tiba-tiba sadar sudah dalam keadaan tertukar. Ia belum minta maaf sejak terakhir kali mereka bertemu, dan sekarang ia malah membuat Julian menjadi susah. Pasti sekarang ia dibenci.

"Lo nggak apa-apa?" Julian mendongak setelah melontarkan pertanyaan itu, Hazel mendadak kagum dengan matanya yang berkilat ekspresi cemas.

Ia memejamkan mata lalu tersenyum. "Gue mah nggak apa-apa, yang harus dikhawatirin tuh elo," katanya.

Perkataan itu membuat Julian mendengus. "Ya, itu jelas. Tulang lo geser dan gue yang ngerasain sakitnya."

"Maaf," kata Hazel penuh penyesalan, ia melepas kontak mata dengan Julian. "Mungkin kita bisa ciuman lagi biar keadaannya terbalik? Jadi gue yang sakit."

Julian menatap Hazel seolah anak itu alien dari planet lain. Ia berusaha melupakan fakta bahwa mereka pernah melakukan ciuman dan tubuh mereka kembali. "Nggak perlu. Biar kaya gini aja, gue nggak tau masalah lo apa, tapi buruan diselesain."

Mata Hazel membelalak kaget. Ia sudah menemukan solusi cepat dalam kekalutannya, bahkan ia sudah mantap sebelum masuk ke kamar rawat ini tadi, tapi Julian malah menolak. Membiarkan rasa sakit yang seharusnya dilimpahkan untuk Hazel dialami olehnya.

"Nggak mungkin orang yang udah coba bunuh diri, tapi nggak punya masalah apa-apa, 'kan?"

"Bunuh diri? Gue?"

Awalnya Hazel tidak mengerti, tapi setelah ibu Julian menjelaskan bagaimana Julian mengejar Hazel yang berlari di tengah jalan ramai, akhirnya ia mengerti maksud itu.

Hazel sama sekali tidak berniat bunuh diri. Kakinya bergerak sendiri malam itu tanpa disadarinya.

Pun ia tak yakin apa penyebabnya, atau masalah yang seperti apa yang harus segera diselesaikan, masalahnya terlalu banyak dan menggunung. Dan hanya bisa ia selesaikan jika ia berada di tubuhnya sendiri.

"Gue takut." Ucapan Julian tiba-tiba menarik perhatiannya lagi. "Ngeliat lo pingsan kemarin, gue takut."

Hazel tak perlu menjawab pernyataan itu, beberapa detik setelah mereka terguling ia hanya melihat warna hitam dan tak mengingat apa pun. Ia tidak merasakan sakit. Hanya sebuah sentuhan yang merengkuhnya dengan kuat.

"Waktu kita keguling," Julian memulai cerita, "sebenernya kita udah ketuker."

Hazel mendelik. "Ha?"

Julian mengabaikan. "Waktu gue buka mata, gue udah dalam keadaan meluk lo, sebelum akhirnya kita nabrak trotoar."

Hazel mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. Yang bisa ia ingat sejauh ini—sebelum mereka terguling—adalah tubuh paniknya yang mendekap Julian ketika sebuah mobil menyerong ke arahnya. Bunyi berderak di lengannya disusul olengnya mereka berdua ke aspal hitam dan terguling-guling beberapa saat—ia tidak tahu lagi.

Di dalam kamar rawatnya sebelum ini, ia terus memaksakan otaknya berpikir kenapa mereka berdua bisa tertukar lagi. Dan jawaban satu-satunya yang paling mendominasi adalah kecelakaan. Ini kali kedua mereka tertukar ruh karena sebuah kecelakaan. Maka dari itu, ia mencoba mengingat bagaimana ia bisa kembali ke tubuh masing-masing dan itu karena—

—sebuah ciuman.

Tidak ada cara lain yang terpikirkan olehnya, itu adalah yang terjadi ketika mereka kembali. Ia tidak mungkin membuat Julian kesulitan lagi.

"Nay." Hazel memanggil panik. "Biarin gue cium lo."

Julian menggeleng. "Nggak!"

Entah kenapa Julian bersikeras menolak.

"Kenapa? Seharusnya gue yang sakit, bukan lo."

Julian mengusap lengan kanannya dengan pelan. Hazel melihat lengan itu terbebat sampai di bagian siku. Ia berusaha menahan rasa takutnya, itu pasti sakit sekali.

"Lo balikan sama Aneshka, 'kan?" Pertanyaan itu membuat Hazel terdiam, ia tidak mengerti kenapa Julian membahas masalah ini. Ia melihat Julian agak kesusahan mengambil ponselnya di bawah bantal, lalu menunjukkannya pada Hazel. "Dan lo juga balikan lagi sama Indri?"

Hazel membulatkan matanya melihat beberapa pesan dari Indri. Sejujurnya ini pertama kalinya ia punya dua pacar sekaligus. Dan entah kenapa image playboy jadi semakin erat pada dirinya. Selama ini ia tidak peduli dengan julukan itu karena ia bersih. Tapi melihat Julian memergokinya secara langsung, membuatnya tertohok.

Saat itu ia memang mengajak Indri untuk melanjutkan hubungan mereka, ia bukannya bermaksud mempermainkan kedua perasaan perempuan itu. Ia hanya ingin membuat Aneshka menjauh darinya dan ia tak harus menyakiti perasaan Adam lagi.

Dan—untuk perasaannya pada Indri, Hazel juga ... tidak tahu.

"Lo ngebahayain diri lo sendiri." Julian mendesah dan meralat cepat-cepat. "Anak SMK itu bakal ngehajar lo lagi kalau tau soal ini!"

Ah, Irfan. Hazel harus memijat kepalanya yang pening mengingat anak itu lagi. Dalam keadaan seperti ini kalau berita ini bocor sampai ke telinga Irfan, Julian-lah yang akan kena imbasnya.

Lagi-lagi.

"Gue cuma cari cara supaya Aneshka sendiri yang mutusin gue." Hazel mengangkat tangannya saat Julian akan menyela. "Nggak ada maksud buat nyari masalah sama Irfan."

Julian menatapnya dengan sinis. "Perasaan lo sama Indri gimana? Lo balikan sama dia karena emang masih suka?"

"Itu ..."

Apa? Perasaannya dengan Indri bagaimana? Kenapa Hazel sama sekali tidak menemukan jawaban yang tepat.

Pintu yang terbuka mengalihkan perhatian keduanya. Ketukan sepatu dan disusul sapaan histeris seorang perempuan membuat Hazel lagi-lagi mengembuskan napas gusar. Aneshka langsung menghambur ke arah Julian dan mencium kedua pipinya bergantian. Julian mengikutinya seolah membiarkan alur itu berjalan sebagaimana mestinya.

Dengan berderai air mata, Aneshka menatap tangan kekasihnya yang terbungkus. Tangannya terulur mengusap pipinya.

"Ya, ampun, sayang. Kok bisa kayak gini sih?"

Julian tidak menjawab, sebaliknya ia menyunggingkan senyum tipis.

"Kamu udah makan?" tanya Aneshka lagi.

"Udah tadi."

Ketimbang menanyakan bagaimana kronologis kejadiannya, Aneshka malah bertanya soal lain. Hazel baru benar-benar merasa diabaikan sekarang. Ia tidak merasa cemburu atau senang memang. Sejak awal ia tidak pernah punya perasaan sayang lebih dari seorang kakak pada Aneshka.

"Kamu tau dari siapa aku di sini?" tanya Julian.

Aneshka benar-benar menarik kursi untuk duduk di sebelah ranjang, sepertinya ia berharap pembicaraan mereka akan panjang. "Aku telponin kamu terus tapi nggak diangkat, jadi aku tanya sama bunda kamu," jawabnya.

Julian mengangguk. Sudut matanya melirik ke arah Hazel yang berada di dalam tubuhnya. Aneshka mengikuti arah tatapan itu.

"Eh, Julian," panggilnya, "lo sendiri gimana, nggak apa-apa, 'kan?"

Pasti tau dari bunda juga.

"Iya, gue nggak apa-apa," jawab Hazel dengan agak tersendat.

Aneshka menghela napas. "Syukur deh." Perempuan itu mengambil jeruk dalam parsel yang di bawanya. Kemudian menaruh sisanya di nakas. "Aku bukain jeruk, ya?" katanya pada kekasihnya.

Julian sudah menduga bahwa pertanyaan itu retoris, karena tanpa persetujuannya, Aneshka tetap membuka kulit buah oranye itu. Dengan susah payah tangannya mengambil satu jeruk lagi, lalu diberikan pada Hazel—tanpa basa-basi. Hazel menerimanya.

Sepertinya Aneshka memang tidak peduli apa yang akan Julian palsu itu lakukan di ruangan kekasihnya. Ia juga tidak peduli bagaimana keduanya bisa kecelakaan berdua dan Hazel terluka lebih parah.

Hazel merasa gerah, tapi ia tak tega meninggalkan Julian dengan Aneshka begitu saja.

"Lo pulang aja, Jul." Hazel terkesiap dengan pengusiran itu. "Lo juga harus istirahat, 'kan?"

Hazel mengangguk. Ia tidak bisa memikirkan alasan untuk tinggal, karena Aneshka sudah ada di sana menemaninya. Tanpa sadar langkah kakinya sudah melangkah keluar ruangan tanpa berpikir untuk sekali lagi melihat ke belakang. Sampai di luar, ia melihat Adam bersandar di sisi pintu dengan tangan terlipat dan satu kaki tertekuk ke belakang.

Pemuda berkumis tipis itu agak terkejut melihat Hazel. Ia buru-buru memasang ekspresi datar, namun gagal karena Hazel tahu sahabatnya itu pasti terluka hingga memilih untuk tetap di luar.

Hazel melangkah, matanya memperhatikan di mana Adam kemudian memasukkan tangannya ke saku dan melangkah berlawanan dengannya. Begitu Hazel berhenti, Adam juga berhenti. Jarak mereka hanya terpaut sentuhan bahu. Tangan Hazel bertengger di bahu pemuda itu.

"Tolong jagain Hazel."

Setelah mengucapkan itu, Hazel melangkah meninggalkan Adam dengan ekspresi bingung yang kentara. Setidaknya Hazel tahu, Adam bisa diandalkan jika sesuatu terjadi pada Julian yang kini bersemayam di tubuhnya.

Ia tidak perlu khawatir.

***

Besoknya Hazel memutuskan untuk sekolah sekalipun ibunya Julian sudah melarang keras. Semalam ia sudah merelakan telinganya diceramahi panjang lebar oleh ayah Julian tentang kecelakaan kemarin. Jadi, ada bagusnya ia tidak berada di rumah hanya untuk mendapatkan perhatian ibunya Julian yang kelewat banyak.

Ia hanya lecet sedikit. Bukan terbentur keras atau tulang siku yang bergeser. Rasa-rasanya tidak perlu dikhawatirkan.

Sampai di sekolah, ia melenggang santai ke arah tribun. Biasanya kantin anak SMK juga sudah sama ramainya dengan kantin SMA sebelum bel masuk. Di sana ia berharap bisa melihat Indri dan mengawasi gerak-gerik Irfan.

Apa yang dikatakan Julian kemarin ada benarnya, Hazel memang terlalu bodoh untuk tidak berpikir bahwa Irfan bisa saja marah jika sekali lagi Hazel menyakiti adiknya. Keadaan tidak akan semengkhawatirkan ini andai saja Hazel berada di tubuhnya sendiri, ia bisa berkelahi, sedangkan Julian tidak.

Ia ingat bagaimana Irfan dan teman-temannya menghajar Julian di dekat gudang peralatan yang sepi. Ia takut kejadian sama terulang dan ia sama sekali tidak mendampingi juniornya itu.

Dari jauh ia bisa melihat Irfan dan Indri berjalan beriringan dari arah parkir. Keduanya mengobrol dan kemudian tertawa bersama. Hazel tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi sejauh ini keadaan masih aman. Sepertinya Irfan belum tahu hubungan mereka berdua.

Begitu keduanya masuk ke kelas yang berlawanan arah, Hazel merasakan tepukan di bahunya. Tidak terlalu keras, tapi cukup membuatnya kaget. Begitu menoleh, ia mendapati seraut wajah dingin dari sosok yang sepertinya-pernah-ia-lihat.

Ren.

Sejauh ini, ingatannya mengatakan itu.

"Lo mau ngecengin anak SMK?"

Hazel mengerutkan dahi.

"Siapa yang mau sama kutu buku kayak lo?"

Baru saja Hazel ingin mengumpat keras karena dikatai kutubuku, sebuah minuman tersodor di depan mukanya. Ia mengambilnya dengan perasaan bingung. Hal pertama yang ia rasakan pada telapak tangannya adalah hangat.

Hazel menduga itu adalah susu. Warnanya putih bersih. Asapnya masih menguap.

"Kalau lo bertanya-tanya kenapa gue di sini, gue bukan ngikutin lo kok, gue tadi parkir di situ," tunjuknya pada parkiran dekat tribun. "Trus ngeliat lo ngendap-ngendap kayak maling."

Ketika Hazel ingin menjawab, Rendy mengangkat tangannya, isyarat menyuruh diam.

"Nggak usah nanyain Kiki, hari ini dia berangkat sendiri."

Sosok Rendy kemudian pergi meninggalkan Hazel yang melongo dengan wajah bodoh. Ia hanya bisa melihat punggung pemuda itu lambat laun menjauh dari pandangannya. Belum sempat ia mencerna bagaimana sebenarnya perilaku si Rendy itu—

"Cepet abisin minumnya, gue mau nyontek PR."

Hell, yeah.

—ia mendengar suaranya yang lagi-lagi membuatnya melongo.

***

"Julian, syukur deh lo udah sehat."

Hazel mengangkat wajahnya begitu merasa terpanggil. Sosok pengganggu lain muncul di tengah istirahatnya yang tenang. Ia baru saja menyumpal telinganya dari nada-nada khawatir dari Kiki, ia juga baru lepas dari Karina—yang baru diketahuinya sebagai pacar Julian. Kini ia harus kembali berurusan dengan entah siapa, seseorang laki-laki yang sepertinya pernah ia lihat.

Ia hanya ingat sekilas, sepertinya orang ini adalah seangkatannya, namun dari jurusan IPA. Penampilannya rapi, dengan gaya rambut pomade klimis dan kacamata minus kecil yang menambah kesan dewasa. Nada suaranya yang pecah dan sepertinya tipe orang yang pintar omong, memang khas jurusan ilmu alam itu.

"Kenapa—" Hazel berusaha bertanya dengan nada santai khas Julian, melirik name tag pemuda itu. Namanya Bayu Pratama. "—Kak Bayu?"

"Saya nyariin kamu, dari kemarin dihubungin nggak bisa, ternyata kamu abis kecelakaan, ya?"

Cepet bilang apa yang sebenernya mau lo omongin.

"Emang kenapa?" Hazel bertanya lagi.

Bayu menduduki kursi dengan posisi terbalik. Dadanya bersentuhan dengan bahu kursi. Lalu tersenyum dengan sangat lebar.

"Ada pemilihan ketua baru ekskul KIR." Ia menjeda. "Anak-anak milih kamu sama Gilang sebagai kandidat, sama dua anak IPA lain."

Saat itu pula Hazel merasa sepasang mata mengawasinya. Ketika ia menoleh ke arah lain, ia melihat seseorang kutu buku—menurutnya—melihatnya dengan tatapan aneh. Tapi Hazel tidak bisa membaca tatapan itu.

"Gilang?" tanya Hazel memastikan. Nama itu asing. Kecuali Gilang Ramadhan teman sekelasnya di kelas satu dulu.

"Iya, Gilang," jawab Bayu. "Saya udah kelas tiga, jadi mau nggak mau ngelepasin jabatan ketua KIR karena mau fokus ujian."

Oh, Hazel mulai mengerti siapa Bayu ini.

"Jadi, pemilihan ketua baru bakal diambil dari anak kelas dua. Gimana? Mau, 'kan? Sebenernya pemilihannya kemaren, tapi saya masih nunggu kamu. Karena kemaren kamu sakit, jadi ditunda."

Hazel pias. "Kenapa harus gue?"

Bayu tiba-tiba menampilkan ekspresi terkejut. Dan—

"Ya, karena saya udah rekomenin kamu buat jadi ketua."

Ia melihat ke arah pemuda yang tadi sempat memperhatikannya dari arah depan, dua bangku dari tempatnya. Bayu mengikuti arah pandangan itu, lalu seperti tidak lelah dengan bibirnya, ia tersenyum lebar lagi.

"Iya 'kan, Gilang?" Bayu sengaja menaikkan volume suaranya agar terdengar oleh orang itu.

Gilang agak terkejut. "Ah, i-iya."

Bayu kembali menatap ke arah Hazel.

"Jadi, kamu bisanya kapan—untuk ikut pemilihan?"

Hazel menghela napas.

"Terserah lo aja, enaknya kapan."

Setidaknya Hazel berpikir, tidak ada salahnya membantu apa yang bisa ia bantu untuk Julian. Mungkin saja Julian ingin menjadi ketua KIR dan ada baiknya ia mengikutinya. Hazel mengingat-ingat untuk SMS ke ponselnya yang dipegang Julian, untuk membicarakan ini.

"Ya, udah, nanti gue chat."

Bayu mengajaknya highfive sekilas tanpa mengurangi kadar senyumnya. Lalu meninggalkannya menuju Gilang dan melakukan hal yang sama. Kemudian Hazel hanya bisa melihat punggungnya menghilang di balik pintu keluar.

Huh.

tbc.

avataravatar
Next chapter