14 Part 14

Adam terheran-heran melihat Hazel yang sudah ada di rumahnya. Begitu ia pulang sekolah, ibunya bilang bahwa Hazel menunggunya di kamar dari dua jam lalu, tepat bel sekolahnya berbunyi. Adam memang tidak langsung pulang karena nongkrong sebentar bersama teman-temannya di atap. Maka dari itu Adam telat sampai di rumah.

Rasa kesal Adam yang seharusnya dilampiaskan pada Hazel tiba-tiba menguap menjadi ekspresi geli. Sejak tadi ia menahan mati-matian tawanya saat langsung dibrondongi Hazel berbagai penjelasan mutlak. Apalagi sahabatnya itu terus memohon untuk hal yang sama berulang-ulang tanpa memberinya jeda untuk menjawab.

"Lo nggak kerja?" tanya Adam tiba-tiba.

"Libur," jawab Hazel cepat, "jangan ngalihin pembicaraan."

"Ya, trus gue harus gimana? Lo ngomong terus kayak kaset rusak," kata Adam frustasi, ia menenggak soda kalengan yang barus dibukanya beberapa saat lalu. "Gue nggak apa-apa. Serius."

Hazel menatapnya tak percaya. "Yakin?"

Adam mengangguk.

"Please, Adam, gue balikan sama Aneshka itu—"

"Terpaksa, 'kan?" potong Adam. Ia nyaris terbahak melihat ekspresi Hazel yang terkejut. "Ya, udahlah, udah terlanjur juga."

"Lo tau gue 'kan, Dam. Yang jelas gue nggak enak sama lo."

Adam menghela napas. Berita balikan lagi antara Hazel dan Aneshka sudah masuk ke telinganya tadi pagi. Perempuan itu langsung menghampirinya dengan wajah berbinar saat mengatakan berita itu.

Awalnya Adam kesal, tentu saja. Hazel sudah berjanji padanya bahwa ia tidak akan mau kembali berhubungan dengan Aneshka. Dan karena berita ini, Adam merasa dibohongi.

Akan tetapi, di sisi lain Adam memang sudah berjanji pada Aneshka untuk membuat mereka kembali berpacaran.

"Kan, gue udah pernah bilang." Adam melunak. "Asal Aneshka bahagia, gue ikut bahagia."

"Bullshit! Nggak usah kayak sinetron!" Hazel mengacak-acak rambutnya kesal. Rasa bersalahnya mengenai hal ini membuatnya gila.

Sebenarnya tadi pagi Hazel sudah berusaha untuk menghubungi Adam. Tapi karena ponsel Adam tidak aktif, ia jadi kalang kabut takut-takut Adam akan marah padanya. Padahal ia sudah berusaha mengantisipasi hal itu sebelum Adam marah. Ia sama sekali tidak bermaksud membohongi sahabatnya itu dengan status antara dirinya dan Aneshka.

Adam menghela napas. Tubuhnya menyandar pada beberapa bantal di ranjang. "Lo mau gue marah?" tanyanya.

"Ya, itu lebih baik." Hazel mengangguk.

Hazel tahu Adam sedang menatapnya menantang saat ini. Ia pernah mendapat tinju Adam dulu, saat mereka bertengkar karena masalah Aneshka juga. Jujur Hazel tidak mau merasakannya lagi, ia hampir tak bisa makan selama tiga hari.

Oke. Adam bergumam. Ia bangkit dari rebahannya dan menghampiri Hazel yang menggelosor di karpet kamarnya. Dengan sekali tarik ia mencengkeram kerah baju Hazel dan membuat sahabatnya itu menatapnya.

Tangan Adam terayun ke atas dengan mengepal erat. Hazel terkejut dan langsung menutup matanya ketika tangan itu terayun. Namun, alih-alih pening karena mendapat pukulan, ia malah mendengar tawa Adam yang membuatnya kesal.

"Lo nggak berharap gue tonjok, 'kan? Pasrah banget." Adam melepaskan kerah bajunya dan merapikannya.

Hazel menatapnya bingung. "Kenapa nggak? Gue udah ngerebut Neshka dari lo."

"Neshka bukan punya gue, lo nggak ngerebut dia dari gue," ralat Adam.

Tapi tetap saja, Hazel merasa apa yang dilakukannya tidak benar. Adam menyukai Aneshka, Hazel tahu tapi malah menerima permintaan perempuan itu untuk balikan.

Selama ini satu-satunya orang selain Aneshka yang tahu bagaimana kisah keluarganya itu adalah Adam. Aneshka terpaksa bercerita karena Adam terus-terusan mendesaknya waktu itu. Ketika tahu Aneshka menyukai Hazel pun Adam-lah yang turun tangan untuk membuat keduanya jadian.

Jadi, kalau sudah serumit ini, rasanya Hazel merasa seperti tokoh utama yang egois dong?

Adam menghela napas begitu melihat ekspresi Hazel yang masih tak terima. Lalu menepuk bahu sahabatnya itu. "Jagain Aneshka ya, buat gue," katanya. Tulus.

"Nggak! Kalau Neshka bukan punya lo," Ia menunjuk dada Adam dengan telunjuknya sebelum melanjutkan, "lo harus jadiin dia punya lo!"

Kali ini Adam memandangnya gusar. "Susah, ya, ngomong sama batu."

"Bukan gitu, Dam, gue nggak mau nyakitin Aneshka lagi."

"Kalau gitu jangan disakitin!"

Hazel menjawab dengan cepat, "Nggak akan, kalau lo udah jadiin dia punya lo."

Adam mendengus lalu berkata dengan nada mencemooh, "Playboy sok malaikat!"

Lemparan bantal dari Adam membuatnya cemberut. Ia tersinggung. Adam adalah orang yang tahu bahwa dirinya bukan playboy. Selama ini Hazel memutuskan hubungan dengan beberapa perempuan itu karena ulah Aneshka. Orang awam yang tidak tahu apa-apa sampai menjulukinya seperti itu. Itu membuat Hazel jengah.

"Terserah lo mau bilang apa," Hazel memeluk bantal itu di dadanya, "tapi gue serius, nggak akan nyakitin dia."

Adam memutar bola matanya. "Iya aja deh," katanya, final.

"Ya, udah. Gue balik, ya." Hazel nyengir. Melempar bantal dalam dekapannya tapi sukses ditangkap Adam dengan baik. Lalu bergegas ke pintu. "Baek-baek sama hati lo."

"Nggak nunggu dulu?" tanya Adam.

"Nunggu apa?"

"Diusir."

Hazel melempar bantal ke muka Adam dan langsung berlari begitu Adam mengumpatnya dengan sumpah serapah. Ia terkekeh sendiri bahkan ketika sampai di depan rumah. Begitu keluar gerbang, Hazel langsung naik angkot dan bermaksud untuk pulang. Setidaknya masalahnya dengan Adam selesai, ia hanya harus mencari cara untuk putus dari Aneshka—dengan tidak menyakitinya.

Ketika sudah separuh perjalanan, Hazel menghentikan angkot saat melihat seseorang yang dikenalnya. Ia bergegas turun dan menghampiri orang tersebut. Gelagatnya aneh, pikirnya. Hazel tidak bisa melihat langsung wajahnya, tapi ia tahu kalau itu adalah Indri—mantannya.

"Hoi!" seru Hazel di belakangnya, cukup untuk membuat Indri terlonjak kaget dan berbalik melihatnya.

"Kak Hazel ngagetin aja." Indri mengusap dadanya. Ekspresi ketakutannya membuat senyum Hazel hilang.

"Kenapa diem di sini?" Mata Hazel membulat ketika menduga sesuatu. "Habis dicopet, ya?"

Indri mendengus, kemudian menggeleng. "Bukan, di situ ada anjing, aku nggak berani lewat," kata Indri dengan ekspresi gemetar karena takut.

Butuh waktu beberapa detik bagi Hazel untuk mencernanya. Tapi alih-alih menenangkan, ia malah tertawa keras sekali.

"Ih, apaan sih, nggak lucu!" Indri membuang muka sebal.

"Ya, lucu lah. Ini masalahnya masih tentang anjing aja?" Hazel tertawa geli sekali sampai perutnya nyaris kram. Ia menduga-duga bahwa Indri bakal berdiri di situ menunggu anjingnya pergi. Kalau anjing itu tidak pergi, apa ia tidak akan pulang-pulang?

Ada satu rahasia Indri yang Hazel tahu selama ini. Mantannya itu memang memiliki phobia terhadap anjing. Katanya dulu waktu masih kecil, Indri pernah dikejar-kejar anjing saat lari pagi sekitar komplek karena melempari anjing itu dengan batu.

Waktu pertama kali mendengar cerita itu, Hazel bahkan tidak mau berhenti tertawa. Ia membayangkan bagaimana Indri kecil dengan pantat montoknya berlari-lari dari kejaran anjing. Beruntung saat itu ia bisa masuk rumah orang yang gerbangnya terbuka untuk menyelamatkan diri.

Melihat Indri seperti mau menangis, Hazel menghentikan tawanya. Ia menggandeng tangan perempuan itu dan mengajaknya berjalan memasuki gang.

"Nggak, Kak. Lewat jalan lain aja." Indri mengeratkan pegangannya pada tangan Hazel. Keringat sudah membasahi keningnya.

"Kalau kita diem, dia nggak bakal ganggu," kata Hazel menenangkan. Ia meraih bahu Indri dan merangkulnya.

Di sana, di tempat sampah salah satu rumah, ada anjing berwarna coklat dan tubuhnya kotor. Kaki-kakinya sibuk mengais isi tempat sampah itu, sama sekali tidak menyadari kehadiran mereka berdua. Hazel berulang kali menempelkan jarinya di bibir mengisyaratkan Indri untuk tenang. Sedangkan Indri menggeleng-geleng dengan panik terus-terusan.

Begitu mereka berhasil melangkah menjauhi anjing itu, Indri tidak tahan menarik tangan Hazel dan membawanya berlari menjauh lagi dari sana. Alhasil mereka berdua terengah-engah sampai depan rumah Indri.

"Tuh! Aman, 'kan?" Hazel menggoda.

Indri tidak menjawab. Begitu menyadari tangan mereka masih betautan, ia segera melepasnya. Gugup.

"Makasih ya, Kak," kata perempuan itu pelan. Ia sedikit kehilangan saat tak lagi merasakan tangan Hazel yang dingin. "Mau mampir dulu?"

Hazel tersenyum berterima kasih. "Nggak usah, entar ada Irfan lagi."

Ucapan itu membuat keadaan keduanya menjadi canggung. Hazel tidak bermaksud mengungkitnya. Tapi akan lebih baik jika tidak bertemu Irfan, tentu saja. Bagaimanapun hubungan keduanya tidak akur sejak Hazel putus dengan Indri.

Tak mau lama-lama terdiam, Indri nyeletuk, "Aku boleh nggak nanti chat kakak?" katanya.

Suara Indri menarik kembali Hazel dari kecanggungan. Penawaran itu bisa dimanfaatkan Hazel untuk membuat Indri menjadi pacarnya lagi. Bagaimanapun Hazel yakin mereka masih saling suka.

"Ya, boleh." Hazel menggaruk tengkuknya. Ia masih merasa agak aneh berkomunikasi aku-kamu dengan Indri. "Tapi, bukannya kamu udah hapus nomor aku?"

"Uh. Ada kok, aku simpen nomor kakak di buku."

Tidak kuat, akhirnya Hazel tersenyum juga. Mungkin ini memang peluang besar untuknya. Bisa jadi Indri akan meminta mereka balikan. Bukankah itu seharusnya bagus? Hazel masih menyukai Indri, 'kan?

"Oh, ya, udah. Aku pulang." Hazel melambaikan tangannya sebelum berbalik. Ia tersenyum ketika perempuan itu membalas.

Ketika keluar dari gang, ia buru-buru mengeluarkan ponselnya. Menunggu invite dari Indri, sambil scroll down sosial media dengan beberapa status yang mampir. Matanya tak lepas ketika menemukan satu buah status dari Julian. Ternyata mereka masih dalam pertemanan di aplikasi itu. Mungkin selama ini Julian tidak pernah menyadarinya karena Hazel tidak pernah memperbarui statusnya.

Atau Julian pura-pura tidak menyadari? Mungkin saja Julian sudah membuka kontak dan menemukan akun Hazel di sana, 'kan? Cukup mudah untuk mengenali kontak pemuda itu hanya dengan nama Adrian Hazel. Ia bukan alay yang mengubah namanya menjadi huruf alien.

Hazel memiringkan kepalanya untuk mencoba mengerti maksudnya.

Julian Marvel: At the end of my life, I'll probably regret with what I did.

Lelah karena tak mengerti maksudnya, Hazel mendesah. Mungkin saja saat ini Julian memang tengah menyesali sesuatu atau berpikir bahwa akan menyesali sesuatu suatu hari nanti.

Entahlah.

Hazel mengacak rambutnya sebal. Sejak kapan ia mau peduli begini akan status ambigu teman-temannya? Bahkan ia bukan banci sosmed yang setiap lima detik sekali buka aplikasi itu kok. Rasanya aneh kalau tiba-tiba ia merasa ingin tahu apa maksud status itu. Berhubungan atau tidaknya, itu urusan belakangan.

Dan ngomong-ngomong soal Julian, ia benar-benar rindu pada bocah itu.

***

"Hatciuuu." Julian menggosok hidungnya kasar, meninggalkan bekas memerah di indera penciumannya. Suara bersinnya yang besar membuat Kiki dan Rendy tertawa. "Orang bersin diketawain."

Kiki mengibas-ngibaskan tangannya. Tapi masih tertawa. "Nggak, Jul, gue kaget aja. Refleks ketawa gitu."

Kiki melihat Julian hanya mendengus. Lalu mengalihkan matanya ke arah Rendy yang langsung memasang wajah kalemnya dan kembali ke layar ponsel. Untuk informasi saja bahwa Rendy ini adalah seorang maniak game.

Yang merasa diperhatikan langsung berujar, "Bersin lo kayak geledek di siang bolong," tukasnya kalem.

Julian makin melengos. Ia menyeruput kuah baksonya dengan sebal, alhasil ia terbatuk-batuk.

"Lo," Rendy menatapnya curiga, "punya penyakit TBC, ya?"

Julian mengambil es jeruk yang disodorkan Kiki, meminumnya sampai tandas. Ia menyipit ke arah Rendy. "Kalau iya kenapa? Mau gue tularin?"

Ada yang aneh dengan nada bicara Julian akhir-akhir ini. Ia memang bukan introvert lagi—atau setidaknya sikap itu berkurang. Biasanya ia akan bicara banyak hanya dengan Kiki. Sekarang ia mulai terbuka dengan Rendy yang kini juga menjadi sahabatnya. Untunglah, mungkin Julian tidak akan disebut pemuda kalem yang cuek lagi. Dan julukan itu malah lebih cocok untuk karakter Rendy

Rendy mengangkat bahu tak acuh. "Sebelum itu terjadi, gue karungin lo dulu. Trus gue semprot desinfektan."

Tak ada jawaban lagi dari mulut Julian, ia hanya melanjutkan makannya karena hanya miliknya saja yang belum habis. Sejak tadi makanan Kiki dan Rendy sudah tandas duluan. Ia tak mau kena omel kedua sahabatnya lagi karena lelet.

Duh. Salahkan kenapa ia sejak tadi melamun. Salahkan kenapa nama Hazel tak mau singgah dari otaknya. Salahkan kenapa ia tak berani menemui Hazel untuk meminta maaf karena insiden sebulan lalu. Bukan waktu yang singkat sejak kejadian itu, tapi ia sama sekali tidak menemukan keberanian. Ini pertama kalinya ia menendang seseorang selama enambelas tahun hidupnya.

"Udah gue bilang jangan makan di sini, banyak debu," kata Rendy tiba-tiba. "Entar lama-lama kena TBC juga gue."

Kiki memutar bola mata. "Gue tau lo kaya, tapi nggak usah sok higienis. Muka lo aja kaya gembel gitu!" Mata Kiki beralih ke Julian. "Lo juga, jangan ngelamun mulu. Buruan abisin, gue mau nonton anime series yang baru gue download."

"Banci otaku," sahut Rendy.

Kiki melotot tak percaya. "Ngomong apa lo barusan?"

"Gue bilang, semoga lo tersesat di dunia khayal."

Butuh beberapa detik untuk Kiki mencernanya. Lalu ia mengernyit. "Boleh juga tuh."

"Ya, ampun." Julian menghela napas. Nafsu makannya hilang melihat kedua orang ini ribut-ribut. "Udah yuk, gue udah kenyang."

Mereka berdua menyetujui ide Julian untuk cabut. Tapi ponsel Julian tiba-tiba berdering dan membuat ia berhenti sebentar untuk mengeceknya. Ia mengisyaratkan kedua temannya untuk jalan duluan.

"Halo?" sapa Julian pada ponselnya.

Tak ada jawaban. Hanya suara ribut desau angin yang berisik. Julian menatapi ponselnya seolah meminta jawaban, lalu menempelkan benda itu lagi di telinganya.

"Halo, ini siapa?"

Kebingungan Julian menarik perhatian Kiki. Ia mendekat ke Julia  meninggalkan Rendy yang mendengus di depan. "Siapa, Jul? Nomor itu lagi?"

Julian mengangguk. Akhir-akhir ini ia memang sering mendapat telepon asing yang sering meneror-nerornya dengan kalimat kasar. Ia tak menyebutkan spesifiknya bagaimana pada Kiki. Ia tak mau mempermasalahkannya. Selama ini ia adalah anak baik-baik. Tidak mungkin ada seseorang yang sebegitu benci padanya. Apalagi sampai meneror.

"Udah gue bilang laporin aja ke guru." Kiki memberi ide. "Kali aja emang anak sekolah kita."

Rendy menghampiri mereka dengan muka masam beberapa saat kemudian. Ia langsung menangkap apa yang mereka bicarakan. Sekarang ia bukan orang lain di antara dua sahabat itu. Jadi, apa pun yang terjadi, Kiki sering menceritakan padanya, meski ia enggan mendengar.

Pemuda tinggi itu nyeletuk. "Laporin bokap lo aja, 'kan polisi."

Kiki langsung menepuk jidatnya, ia tidak pernah terpikir ide seperti itu. Fakta mengenai pekerjaan ayahnya Julian juga memang sudah diketahui oleh Rendy. "Nah, bener tuh. Itu udah masuk kejahatan."

"Yah, liat entar lah." Julian hanya mengangkat bahu. Topik seperti ini tidak begitu ia sukai. Ia tak pernah mau terlibat terlalu dalam. Jadi selama ini ia hanya mencoba mencari tahu, meski hasilnya tidak pernah  ditemukan.

Seandainya ia tahu siapa orangnya, ia berpikir, mungkin lebih baik berbicara baik-baik dulu. Secara damai. Dan hanya ada mereka berdua—dengan si peneror ini. Kalau pun pelakunya memang hanya satu. Julian tidak pernah berharap ia akan dikeroyok.

Tiba-tiba saja Rendy menarik tangan Kiki. "Udah, yuk. Gue capek nih."

"Lepasin tangan gue! Aw, sakit! Rendy, sakit beneran, bego!"

Gah! Rasa-rasanya Julian memang tak akan pernah lepas dari keributan dua orang ini. Ia jadi agak sangsi mengenai hubungan keduanya ini. Mungkin saja suatu hari nanti tiba-tiba mereka mengumumkan bahwa keduanya adalah sepasang kekasih. Karena sebenarnya, benci dan cinta itu sesuatu yang memiliki perbedaan tipis.

Ew.

Julian bergidik dengan khayalannya sendiri. Sebelum ia membayangkan yang lebih fatal, Kiki sudah meneriakinya di pintu masuk tempat makan itu. Ia langsung berlari menghampiri teman-temannya sambil menepuk-nepuk jidatnya.

***

"Kamu pacaran lagi sama Aneshka?" Hazel mengalihkan matanya mendengar pertanyaan ibunya. Untuk pertama kalinya hari ini, ia menyadari ada sang ibu di sampingnya. Sejak ibunya pulang, ia hanya sibuk dengan ponsel dan mulai berbincang-bincang dengan Indri melalui pesan.

Sore tadi ketika tiba di rumah bahkan Indri sempat menelponnya dan menanyakan apakah ia sudah sampai atau belum. Sepanjang waktu setelah itu sampai malam hari ini, ia tak lepas dari ponsel sampai baterainya habis dan harus dicharge beberapa kali.

Hubungannya dengan Indri memang membaik. Walaupun ada yang aneh ketika mereka ngobrol setelah lama putus, tapi Hazel sama sekali tidak kehilangan antusiasnya. Dari sekian banyak mantan pacarnya, Indri memang punya posisi di atas awan. Ia masih berharap bisa balikan lagi dengan perempuan manis itu.

Senyum Hazel lenyap saat ibunya duduk di dekatnya. Wanita itu menatapnya dengan sorot yang tak terbaca. Hazel menghela napas.

"Iya," jawabnya singkat. Matanya beralih pada ponsel lagi.

"Kenapa?" tanya ibunya dengan tatapan tak terima. "Emang kamu nggak malu, Zel. Ayah kamu—"

"Udahlah, Bun. Aku lagi nggak pengen bahas ini!" potong Hazel gusar. Ia benci kalau ibunya membahas masa lalu lagi.

"Dengerin dulu kalau bunda lagi ngomong. Mungkin sekarang Aneshka baik-baik aja. Siapa yang tahu kalau ke depannya dia nuntut kamu dengan bawa-bawa masalah ayah kamu."

"Argh!" Hazel melempar kasar bantal sofa yang di dudukinya ke lantai. Ibunya langsung membatu. "Aku udah gede, aku tau apa yang harus dilakuin!"

"Bunda hidup lebih lama dari kamu." Ibunya berkata dengan suara bergetar. "Bunda nggak bilang kalau Aneshka jahat, bunda cuma takut kalau dia manfaatin kamu karena ... karena ...."

Ibunya tak bisa melanjutkan.

Hazel mendesah dan menjatuhkan tubuhnya yang lelah ke sandaran sofa. Ia mengambil remot televisi dan memperbesar volumenya. Ia tidak mau mendengar ibunya menangis. Ia tak mau mendengar apa pun yang membuat kepalanya pusing. Ia tak sanggup melihat ibunya terluka lagi. Ini tidak benar.

Sudah hampir tiga tahun hubungannya dengan sang ibu memburuk. Hazel sama sekali tidak pernah melupakan bagaimana tangisan ibunya yang menyayat ketika mengetahui perselingkuhan sang ayah. Pada saat itu yang terparah adalah Aneshka bahkan mendapatkan pelecehan seksual saat perempuan itu mampir di rumahnya. Bertepatan dengan mediasi kedua orang tua mereka.

Hazel menyesal. Ia ingin menceburkan diri sendiri ke laut saat pertama kali mendengar hal itu. Kalau saja ia tidak meninggalkan rumah dan tahu Aneshka akan berkunjung, mungkin ia bisa ada di sana untuk menolongnya. Saat itu ibunya juga sedang pergi keluar sebentar dan meninggalkan ayahnya menunggu di dalam rumah seorang diri.

Lalu pelecehan itu terjadi. Suara tangis Aneshka di seberang telepon waktu itu membuatnya lemas. Meski ia kembali untuk menjemput Aneshka, tapi semua itu sudah terlambat. Seragam perempuan itu bahkan sudah berantakan, rambutnya kusut bahkan wajahnya kacau. Ada lebam di sana yang membuat Hazel tak pernah bisa memaafkan sang ayah sendiri. Tidak lagi.

Apalagi setelah kejadian itu, ia menemukan ibunya pingsan dengan mulut berbusa di kamar. Kemungkinan ibunya melihat kejadian itu dan mencoba bunuh diri. Sejak saat itu Hazel tidak pernah mau membahas masalah itu pada ibunya. Ia terlalu takut, ia tidak tega melihat wajah terluka sang ibu lagi.

Mengingat itu membuat emosi Hazel naik. Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku dan beranjak menuju ke kamar. Ibunya memanggil, ia berhenti sebentar tanpa menoleh.

"Pokoknya kamu jauhin Aneshka." Satu kata itu tiba-tiba membuat mata Hazel membulat. Ia mencoba untuk tetap di posisinya. "Kalau memang dia nggak terima, bunda siap nanggung risikonya."

"Apa sih maksud Bunda?" tanya Hazel kemudian.

Wanita itu menatap punggung tegap anaknya dengan mata sendu. "Bunda nggak mau kamu nyakitin Aneshka sama kayak ayah kamu."

Hazel mengerang jengkel. Ia berbalik dengan napas yang sudah memburu karena emosi. "Jangan sama-samain aku sama laki-laki itu! Pikirin aja kenapa Bunda bisa kepincut sama orang biadab kayak gitu!"

Ibunya mendongak terkejut. "Jaga mulut kamu, Hazel. Dia ayah kamu!"

"Ayah?" Hazel mengguman tak percaya. "Aku bakal panggil dia ayah kalau dia nggak selingkuh dari Bunda. Aku bakal panggil dia ayah kalau dia nggak ngelecehin temen aku. Dan aku bakal panggil dia ayah ... KALAU DIA NGGAK BUAT BUNDA BUNUH DIRI!"

Tak ada jawaban dari wanita itu. Ia menyadari bahwa mata anaknya sudah tergenang air mata yang siap tumpah. Hatinya sakit. Ia menghampiri Hazel dan berujar lirih sekali, "Hazel ..."

Hazel membuang muka.

"Bayangin, Bun ..." Lalu ia kembali menatap ibunya ketika sudah cukup kuat menahan air matanya. "Bayangin gimana kalau bunda pergi ninggalin aku waktu itu."

Wanita itu menggeleng kuat. Air matanya sudah jatuh membasahi wajahnya.

"Oh, atau," Hazel menelan ludahnya susah payah, "atau bunda memang pengen aku mati?"

Hazel menggigit pipi bagian dalamnya ketika wajahnya terkena tamparan ibunya. Satu titik air matanya jatuh dan bibirnya mulai gemetar. Ia tak kuat lagi menahan untuk menangis.

"Bunda nggak pernah pengen kamu kayak gitu. Nggak pernah," kata ibunya pelan. Ia mengusap pipi Hazel yang barusan ia pukul dengan tangannya sendiri. "Kamu satu-satunya orang yang buat Bunda di sini sampe sekarang."

Dengan gerakan lambat, Hazel melepas tangan wanita itu dari pipinya. Tanpa menatap ibunya, ia memilih pergi dari sana. Setelah sebelumnya berujar lirih, "Aku bakal pergi, Bun. Nggak ada alesan bunda untuk bertahan di sini lagi. Bunda bisa cari suami baru. Aku nggak peduli."

Ibunya menggeleng pias. "Nggak, Zel, bukan gitu maksud bunda."

Ketika ibunya menangkap tangan Hazel, pemuda itu dengan cepat menepisnya. Tanpa berbekal apa-apa, ia keluar dari rumah itu. Menghiraukan panggilan ibunya yang terus memanggil dengan pilu.

Setelah ini, mungkin ia memang harus menghilang.

***

"Pa, itu kayak temen aku deh," kata Julian tiba-tiba ketika melihat siluet yang ia kenal dari kejauhan. Ia menyipitkan matanya untuk memastikan, dan yang ada di seberang jalanan itu memang Hazel. Berdiri di trotoar jalan dengan ekspresi yang kacau. "Pa, Pa, berhenti di sini."

"Kamu mau ngapain?" kata ayahnya, namun tetap memberhentikan laju mobil di pinggir jalan. Mereka bertiga—dengan ibunya—baru saja kembali dari rumah nenek di Bandung. Sore tadi mereka langsung berangkat ke sana. Tapi karena Julian besok sekolah, jadi tinggallah ibunya yang menginap karena sang nenek memang sedang sakit.

Ketika mobil sudah menepi, Julian buru-buru melepas safety belt dan hendak membuka pintu. Kelakuan Hazel dari jauh mulai aneh. Keadaan jalan memang sepi, tapi pemuda itu justru berhenti di tengah jalan tanpa melakukan apa-apa.

"Biar Papa aja yang lihat," kata ayahnya tiba-tiba. Matanya tak lepas dari sosok Hazel di kejauhan.

Julian mengikuti arah pandang ayahnya. Lalu menggeleng. "Nggak, Pa, biar aku aja."

Julian keluar dari mobil dan berlari kecil menuju ke arah Hazel. Berkali-kali ia memanggil nama Hazel, tapi pemuda itu seperti menulikan telinganya.

Baru setelah Julian memanggil untuk keberapa kalinya, pemuda itu menoleh. Ekspresinya langsung kaget dan menghindari Julian dengan berlari ke arah yang berlawanan.

"Zel, kenapa lari?" teriak Julian, ia ingin mengejar tapi dari jauh terdengar suara mobil yang hendak mendekat. "Hazel, jangan lari di tengah jalan!"

Karena tidak juga digubris, akhirnya Julian memilih untuk mengejarnya. Masa bodoh dengan asmanya yang bisa kambuh kapan saja. Setidaknya, ia tidak mau Hazel lari-larian di tengah jalan seperti ini. Ia mau bunuh diri atau bagaimana?

"Loh, kok?" Dari dalam mobil, ayahnya kebingungan ketika melihat Julian berlari mengejar temannya itu. Ia mulai menghidupkan mesin mobilnya. "Wah, nggak bener nih."

Begitu mobil jalan dengan kecepatan yang sangat pelan lelaki itu baru bisa melihat anaknya berhenti di tengah jalan—bersama Hazel. Saat ia mencoba menyusul untuk memberi peringatan, suara klakson memekakkan telinganya, mobil datang dari arah kanan dengan lampu sorot yang silau.

Semua terjadi begitu cepat. Laki-laki berusia hampir kepala lima itu lupa kalau lampu merah masih menyala untuk arah tujuan mobilnya melaju. Tanpa berpikir panjang, lelaki itu membanting stir ke kiri, sedangkan mobil yang lain membanting stir ke kanan dengan suara rem berdecit yang ikut beradu.

Detik berikutnya, suara tabrakan keras terdengar. Kemudian disusul dua tubuh yang terlempar dan berguling-guling beberapa meter dari mobil yang menabraknya dan berhenti menghantam trotoar.

Untuk sesaat lelaki itu merasa kepalanya pening, ia membuka pintu mobil dan menyusul di mana tempat anaknya berada. "Astaga, Julian!"

Ketika ayahnya sendiri mengangkat tubuh Julian yang sudah berlumuran darah, entah milik siapa. Sopir mobil yang menabrak mereka berusaha mendekati tubuh Hazel yang sepertinya sudah dalam keadaan nyaris pingsan. Tangannya menggapai-gapai tubuh Julian dengan gerakan lemah, sebelum kegelapan yang pada akhirnya menjemputnya juga.

"Tolong bantu saya bawa ke mobil. Cepat!"

tbc.

avataravatar
Next chapter