13 Part 13

Julian tahu atau setidaknya Kiki sudah menjelaskan bahwa dirinya mengalami banyak perubahan setelah bertemu Hazel. Ia tidak lagi pendiam. Sedikit demi sedikit ia mulai membuka dirinya untuk memulai pertemanan baru. Contohnya dengan Karina, perempuan berambut bob yang pernah menjadi teman sekelompok Bahasa Indonesianya.

Memang tidak mungkin jika tidak terjadi cinta lokasi terhadap keduanya. Meski awalnya Julian sempat tak percaya, segala macam sinetron yang ditonton ibunya di rumah rata-rata bertema cinta lokasi.

Karina—oke, sekarang Julian memanggilnya Ririn—akhir-akhir ini sering menempel padanya kemana pun dia pergi. Hanya dalam konteks sekolah, tentu saja.

Awalnya Julian tak keberatan, toh, Ririn adalah perempuan yang periang, lembut, dan baik hati. Tapi lama kelamaan ia mulai menemukan kebosanan. Perempuan itu sekarang dengan terang-terangan menarik-narik tangannya dan kadang merengek hanya untuk minta ditemani ke kantin atau perpustakaan.

Julian semakin gerah. Tingkah Ririn mulai tak sewajarnya. Ia sudah mulai menjadi perempuan pesolek dengan gerak-gerik yang genit. Tidak ada kacamata jengkol lagi di matanya, hanya ada contact lens berwarna hijau kalem yang membuat kedua bola matanya membesar.

Mereka pacaran. Ya. Dan itu berita mengejutkan.

Sejujurnya saja jika bukan karena Kiki dan tentu ini campur tangan pemaksa itu, ia tak mungkin berpacaran dengan Ririn. Bukannya Julian tidak suka, hanya saja ada sesuatu yang mengganjal di hatinya yang membuat ruang geraknya tak nyaman.

Julian mengingat kejadian sebulan yang lalu, di mana ia dengan kasarnya menendang perut Hazel sampai pemuda itu nyaris terjungkal. Lalu dengan tanpa bersalah meninggalkannya sebelum Hazel sempat mengutarakan sesuatu. Tapi Julian bagaimanapun juga adalah seseorang yang tidak tega. Sesampainya di rumah dengan napas nyaris habis dan asma yang sudah kambuh, ia berharap Hazel datang ke rumahnya.

Hazel memang datang, namun bukan untuk menemuinya, tentu saja, apa Julian lupa bahwa sepedanya masih tertinggal saat ia meninggalkan Hazel?

Sejak saat itu, ia tak pernah bertemu dengan Hazel lagi. Di sekolah pun, ia hanya bertemu dengan teman-teman Hazel tanpa adanya sosok pemuda tampan itu. Oh, God! Apa Julian merindukannya? Apa jawabannya mungkin iya?

"Heh, bengong aja!" tegur Rendy.

Oh.

Julian melupakan satu fakta lucu. Rendy makhluk pemalas yang begitu dibenci Kiki, kini menjadi sahabat mereka. Entah bagaimana ceritanya yang pasti hubungan Rendy dan Kiki sangat akrab setelah insiden itu. Julian sebagai sahabat Kiki ikut senang. Malah sekarang ia dan Rendy sangat akrab. Yang cukup mengejutkan bahwa Rendy ternyata orang yang baik meski lidahnya berbisa. Julian mengakui.

"Kiki mana?" tanya Julian, mengalihkan pikirannya dari sosok Hazel yang melayang-layang di kepala.

"Lo lupa tadi Dani masuk ngasih surat dispensasi buat Kiki?" Setelah mengatakan itu, Rendy kembali fokus pada ponselnya. Guru mereka belum datang dan kelas begitu riuh. Dan sepertinya fakta tentang lupa atau tidaknya seorang Julian tidak begitu dipedulikan Rendy.

Julian menggumam mengerti, ia hampir saja lupa bahwa sekolahnya akan mengadakan turnamen olahraga lagi. Lalu Dani, ia ingat pemuda itu adalah kapten klub basket di sekolahnya. Ia berkali-kali melihat pemuda itu jika tengah menonton Kiki latihan basket. Dan ternyata Dani adalah kakak kelasnya.

Fokus mata Julian kini beralih ke arah depan di mana Ririn yang masih pacarnya itu bercengkerama asik dengan Lina. Keduanya tampak seru, sambil sesekali kegirangan ketika membicarakan bagaimana film romansa yang mereka tonton hari minggu kemarin. Dan Julian tidak peduli.

Sepertinya Julian akan melanjutkan lamunan panjangnya lagi, karena tiba-tiba ketua kelas mereka mengumumkan bahwa guru mereka berhalangan hadir. Semua siswa bersorak, kecuali dirinya. dan sepertinya Rendy bukan orang yang tahan melihat orang seperti dirinya. Karena dari tadi Rendy entah sadar atau tidak mengganggunya dengan ribut seolah mengalihkan perhatiannya.

"Apaan sih, Ren?" tanya Julian kesal.

"Lo kalau mau ngelamun, ya, nih gue kasih tau tempatnya." Rendy menegakkan tubuhnya dan menunjuk ke arah jauh menembus pintu. "Di sono noh, di deket gudang ada tempat adem. Lo bengong deh di sana. Lebih bagus lagi kalau lo sampe kesurupan, jadi orang-orang tau kalau lo lagi ngelamun."

Julian melengos. Tak mengindahkan ucapan Rendy, ia malah semakin gencar melamun. Tangannya dibuat nyaman sebagai tumpuan wajahnya yang lelah. Bel istirahat sebentar lagi menggema dan ia harus menghadapi Ririn dengan rengekannya.

Bagaimana jika mereka putus saja?

"Yah, dia bengong lagi," umpat Rendy membuat Julian membuka matanya yang hampir menutup. Julian langsung menegakkan tubuhnya.

"Trus gue harus ngapain?"

"Ya, kerjain tugaslah. Kan ada tugas."

Entah sejak kapan Julian baru sadar bahwa Rendy sudah siap dengan buku dan pulpennya. Mungkin semua orang memang bisa berubah seperti dirinya dan dalam hal ini Rendy berubah menjadi siswa yang rajin.

"Cepetan kerjain gue mau nyontek!" kata Rendy tiba-tiba. Awan-awan kekaguman Julian terhadap Rendy langsung mengempis.

"Gue kira lo mau ngerjain sendiri," gerutunya.

Rendy tertawa keras sekali. "Kan ada lo, Jul. Sekali-kali bantuin temen."

Sekali-kali apanya?

Kalau Julian boleh minta mungkin ia lebih baik jadi manusia yang bodoh saja sekalian.

Hus.

Aduh, sejak kapan Julian tidak menikmati kepintarannya? Apa ini juga terjadi semenjak ia mengenal Hazel dan tetek bengek ucapan Kiki yang bilang kalau ia memang berubah sejak kenal Hazel? Ya. Hazel. Kakak kelasnya yang menjadi petaka dalam kehidupannya.

Julian mengambil buku pelajaran Sosiologinya dengan sebal. Membuka buku paket tebalnya dan melihat beberapa soal yang sudah ditandai oleh Rendy mengenai poin-poin tugas yang harus mereka selesaikan. Setidaknya dengan mengerjakan tugas, Julian akan bisa membunuh waktu yang membosankan ini.

Dan Julian ingat sesuatu, ia tak pernah menanyakan ini pada Kiki. Julian memang bukan orang yang peduli dengan kisah orang lain—kecuali Hazel, sih.

"Ren, kok lo bisa akrab sama Kiki? Tadinya 'kan ... ya gitu," kata Julian tanpa menoleh ke lawan bicara.

Julian mendengar Rendy mendesah meski pelan. "Udah lama kali, masih dibahas aja."

"Ya, gue pengen tau. Lo 'kan anti banget sama Kiki waktu—"

"Jangan diterusin," potong Rendy. Julian mengedikkan bahu, menunggu Rendy melanjutkan. "Awalnya emang anti, gue 'kan shock."

Julian membenarkan. Ia juga mengalami hal yang sama dengan Rendy—saling menindih karena kecelakaan. Bedanya keadaan Rendy sangat lebih kacau dibanding dirinya. Kalau Julian dan Hazel saat itu hanya kepergok segelintir teman-teman Hazel, sementara Rendy dan Kiki harus menerima malu karena sorakan dari teman-teman mereka. Walaupun tidak seheboh waktu itu, tapi beberapa temannya masih suka mengejek.

"Tapi kok lo malah deket sama Kiki?" tanya Julian. "Harusnya 'kan lo jauhin dia biar komentarnya nggak makin negatif."

Rendy berhenti dan menatapnya. "Masalah bukan dihindarin, tapi dihadapin. Kalau gue ngehindar berarti gue ngaku dong, kalo gue homo."

"Emang lo bukan homo?"

"Hum, entahlah," jawab Rendy ambigu. Matanya kembali ke buku untuk menyalin soal.

Julian terkekeh. Tapi kemudian ia murung karena apa yang dikatakan Rendy benar. Dan dirinya menjadi salah satu peran di mana ia menghindari suatu permasalahan. Yaitu Hazel. Masa bodoh sebenarnya, tapi semakin ia tak peduli semakin hatinya terasa berat. Seolah ada beban yang digantung di hatinya.

"Bukannya sekarang yang ngejek-ngejek gue malah berkurang?" lanjut Rendy, membuat pikiran Julian buyar. "Lagian gue bukan anti homo kok sebenernya."

"Gue nggak nanya."

"Ngasih tau doang."

"Iyain aja deh," sahut Julian sambil lalu.

Rendy bergumam. "Lagian Kiki anaknya asik, lucu."

Dan entah Julian mendengarnya atau tidak, karena ekspresinya hanya mengerut seolah memperjelas apa yang ia dengar.

***

Lain kali Julian akan berterima kasih pada Lina karena ia sudah baik hati membebaskannya dari Ririn istirahat ini. Lina bilang hari ini ia ingin curhat dengan Ririn berdua saja. Julian mengiyakan dengan senang hati. Sekarang mungkin ia akan ke tribun melihat Kiki latihan.

"Kayanya gue harus ganti cem-ceman, Rin." Kata-kata Lina saat memulai curhatnya entah kenapa membuat Julian tertarik. Ia mundur pura-pura duduk dengan Gilang, teman sekelasnya yang cupu itu. Lalu nyengir saat melihat raut kebingungan Gilang.

Ingatkah dengan Lina, perempuan yang menjadi stalker dadakan di kelas XII IPS 3? Julian ingat betul, Ririn pernah cerita bahwa Lina menyukai Hazel bagaimanapun gerak-geriknya. Entah sedang senyum, tertawa, merengut, kesal atau saat menahan kentut. Ya. Terakhir hanya dugaan Julian saja.

Waktu itu Julian dan Kiki sempat bergidik. Tenyata makhluk bernama perempuan lebih menyeramkan jika sudah jatuh cinta. Harusnya Julian tak akan kaget melihat bagaimana sekarang perilaku Ririn padanya yang begitu overprotektif, apalagi mereka bersahabat. Mungkin semua yang ada di diri Julian sudah khatam diceritakan pada Lina.

"Kenapa kok lo nyerah?" tanya Ririn heran. Bagaimana tidak, jika setiap harinya saja telinganya sampai pengang ketika Lina menceritakan tentang Hazel. Hazel yang begini, Hazel yang begitu. "Lo takut sama Aneshka?"

Lina menyelipkan sejumput rambutnya ke telinga. Kesal. "Ngapain takut sama tuh nenek lampir."

Julian meringis. Lagi-lagi Gilang menatapnya bingung, tapi tak mengatakan apa pun. Padahal suara Lina bagai petir yang menggelegar di siang bolong, harusnya Gilang tahu maksud ekspresi Julian.

"Lah, trus?"

"Ya, kan Kak Hazel udah bener-bener keluar sekolah," gerutu Lina.

Bah.

Bener 'kan yang diduga Julian. Pasti kalau Lina curhat dengan Ririn pasti tak jauh-jauh dari namanya Hazel. Dan itu semakin membuat Julian tertarik untuk menguping. Apalagi mengenai fakta yang didengarnya. Julian memang sudah tahu kalau Hazel keluar dari sekolah, tapi bukankah waktu itu Hazel sempat datang ke sekolah. Apa saja kejadian mengenai Hazel yang ia lewatkan sebulan ini?

Apa? Mengenai Hazel? Apa sekarang apapun soal Hazel menjadi tanggungannya?

Tidak, tidak, silakan anggap Julian seorang denial. Julian tidak peduli karena ini semua terjadi mungkin karena perasaannya bimbang. Di satu sisi ia bukan seorang gay, jadi akan sangat aneh jika ia memikirkan Hazel sampai sebegitu posesifnya. Di sisi lain karena ia dan Ririn pacaran, jadi jangan sekali-kali menyakiti hati wanita.

"Si nenek lampir itu 'kan ngejer-ngejer Kak Hazel terus tapi dicuekin, kasihan ya? Kalau gue jadi dia pasti malu!" Lina terkikik dengan nista menjelaskan kekesalannya pada Aneshka. "Kok nggak malu gitu ya, udah ditolak juga."

Lah, lu aja nggak tau malu. Nyamperin Hazel di kelas.

Julian mendecih ketika kalimat itu terlintas di benaknya. Astaga, jangan bilang ia sama nistanya dengan Lina kalau ia bisa berkata seperti itu.

"Kak Hazel 'kan playboy, dia mah bosenan kali, Lin," sahut Ririn. "Mungkin dia udah punya gebetan baru."

"Ririn, udah berapa kali gue bilang Kak Hazel itu bukan playboy!" Lina bersungut-sungut tak terima.

Ririn memutar bola mata. "Itu mah menurut kacamata lo aja. Lo jangan lihat dari satu sisi dong."

Kalimat Ririn selanjutnya tak lagi menarik untuk didengar Julian. Kenyataan mengenai Hazel yang playboy memang sudah sering ia dengar semenjak ia kenal Hazel. Walaupun ia tahu Lina mengelak kalau Hazel itu playboy, ia tetap setuju dengan Ririn. Perempuan itu berkata demikian karena ia hanya melihat dari kacamatanya saja. Bukan mendengar apa kata teman-temannya.

Saat Julian hendak beranjak dari tempat duduk Gilang, tangannya terjepit himpitan bangku antara bangku yang didudukinya dan Gilang. Julian hampir memekik tapi tidak jadi karena Gilang dengan sigap menggeser kursinya. Walaupun terlambat sih, karena jarinya sudah luka dan itu perih sekali.

Gilang langsung memegang tangannya dan meniup-niup lukanya. "Sorry."

Kalau Julian tidak salah dengar, Gilang sempat minta maaf padanya. Jadi ia jawab saja, "Bukan salah lo kok."

"M-Mau gue ambilin—"

"Nggak usah," tolak Julian menduga apa yang selanjutnya dikatakan Gilang. Plester atau mungkin obat merah. "Nggak apa-apa kok."

Gilang melepaskan tangannya dan kembali fokus pada buku. Ada perasaan aneh ketika melihat Gilang. Selama ini ia tidak terlalu mengenal pemuda itu, padahal mereka sekelas. Mereka semacam rival di kelas. Gilang pintar dan ia pintar. Tapi anehnya yang Julian pikir kutubuku itu akan melejit melampaui nilainya, namun nyatanya ia masih berada di bawahnya.

Tapi bukan Gilang saja yang tidak terlalu dikenalnya, sih. Teman-temannya yang lain juga seperti itu.

Bel berbunyi saat Julian sudah berdiri. Ia mendengus karena kehilangan waktunya untuk menonton latihan Kiki. Latihan basket ya begitu-begitu saja, sih. Namun, itu lebih baik daripada di kelas. Tapi ya sudahlah. Ia memang ditakdirkan kebosanan di kelas hari ini.

***

Sementara di tempat lain, Hazel sedari tadi sibuk dengan pasien-pasien yang datang ke bengkel. Wajahnya sudah tercoreng noda hitam khas oli, dan jika ia tak istirahat dalam tigapuluh menit kedepan, ia yakin wajahnya akan penuh dengan oli. Dalam hati Hazel mendesah, tubuhnya lelah namun masih ada sekitar dua motor lagi yang menunggu antrean.

Bagus sekali, partnernya hari ini ijin keluar sejak hampir lima jam yang lalu dan ia harus melayani motor-motor sendirian. Jangan tanyakan di mana pemilik bengkel, justru orang seperti itu hanya menyediakan alat-alat penunjang tanpa terjun ke lapangan. Alasannya karena ia tidak mengerti soal mesin.

Heh. Memangnya Hazel bisa? Apa artinya sebuah kata belajar coba?

Menggerutu juga tidak akan membuat beban Hazel berkurang. Toh, ia digaji oleh pemiliknya. Cukup untuk membiayai hidup dengan ibunya. Ia sedikit lega karena wanita paruh baya itu tidak lagi bekerja hingga malam. Waktunya dengan Hazel jadi lebih banyak meskipun keduanya masih sering berselisih.

Teman-temannya juga sudah berkali-kali membujuknya masuk ke sekolah, dan sekarang mereka tak lagi menunjukkan batang hidung mereka. Mungkin mereka bosan menceramahinya sampai berbusa, karena Hazel tidak mau masuk ke sekolah lagi.

Dan soal Julian, entahlah, Hazel merasa aneh karena tak lagi bertemu pemuda itu. Ia tak cukup berani untuk sekadar minta maaf atau datang ke rumahnya. Tindakannya tempo hari memang di luar akal sehatnya. Ia maklum karena Julian menendangnya saat itu, atau kalau tidak, mungkin ciuman itu tak bisa dihindari lagi.

Dia normal. Ciuman sesama laki-laki itu menjijikkan. Meski seringkali fakta itu hanya menguap entah kemana hanya karena Hazel merasa ada perasaan ingin menyentuh bibir Julian yang merah kecoklatan itu.

"Udah, Mas," kata Hazel sambil menstater motor yang baru saja ia perbaiki rantainya. Ia menelisik lagi badan motor itu dan melihat rantainya sudah kuat. Lalu menyerahkan kemudi pada pelanggan. Saat pelanggan menyerahkan uang kepada dirinya, ia cepat menolak. "Maaf, bayarnya di kasir."

Pelanggan itu menggeleng. "Iya, tau, ini tip buat kamu." Selembar uang dilimpahkan di tangan Hazel. Dengan paksa. "Makasih, ya."

"Eh, iya, Mas, sama-sama." Hazel tersenyum berterimakasih sambil mengantongi uang itu ke dalam kantung overall jeans-nya. Lumayan untuk makan siang, pikirnya.

Hazel senang bekerja di bengkel itu. Selain teman-temannya ramah, pelanggan mereka juga baik-baik. Teman kerjanya sangat maklum karena Hazel juga tidak terlalu lihai mengenai mesin, jadi ia tidak perlu repot-repot jika ada kerusakan yang terlalu parah pada motor pelanggannya, ia hanya tinggal melimpahkan pada rekannya yang lebih ahli.

Deringan ponsel membuat Hazel kaget. Setelah mengelap tangannya dengan serbet dekil di dekat konter, ia merogoh sakunya. Namanya ibunya tertera di layar. Hazel berdecak.

"Kena—"

"Hazel pulang sekarang!" balas di seberang. Hazel terkejut dengan nada suara ibunya itu. Tapi tak bisa menebak-nebak.

"Lagi kerja, Bun." Hazel ikut meninggikan suaranya.

"Pokoknya kamu pulang sekarang!"

Dan telepon pun di tutup oleh sang ibu. Hazel ingin berteriak karena jengkel. Bisa-bisanya ibunya menyuruhnya pulang di tengah-tengah kerja. Mana rekannya belum balik ke bengkel lagi. Ia tak mungkin meninggalkan pasien yang masih ada satu di antrean.

Tapi, ada apa dengan sang ibu? Hazel mendadak gusar.

Saat itu pula pucuk dicinta, ulan pun tiba. Hazel nyaris bersorak karena si rekan akhirnya kembali dari izin terlamanya. Besok harus dibuatkan sertifikat rekor muri. Masa' izin kerja sampai lima jam.

"Ngapa kamu gelisah gitu?" tanya Anto dengan aksen medok jawanya. Hazel terdiam sebentar, boleh gantian ijin atau tidak. Ia takut nanti malah dikira seenaknya. "Heh, ngapa lho?"

"Saya suruh pulang, Mas, penting." Hazel menggaruk-garuk tengkuknya.

"Oh, ya sudah, kok ijin sama aku, ijin sama Mas Adi sana."

Ah, Hazel langsung menepuk jidatnya, pemilik bengkel ini namanya Adileo, mereka biasanya memanggilnya Mas Adi.

"Oke, Mas."

"Eh, berapa jam emang?" tanya Anto ketika Hazel baru akan ke dalam.

"Nggak sampe lima jam kok," jawabnya cengengesan.

"Ye, nyindir to kamu?" Anto bersedekap kesal. Lalu melepas jaket yang ia kenakan tadi, masih ada pelanggan menunggu. "Ya, udah, sana cepet."

Hazel tak lagi menjawab rekannya itu. Ia masuk ke dalam setelah melepas seragamnya. Lalu kembali terburu-buru. Untungnya bos mereka memberi ijin dan ia bisa langsung pulang ke rumah karena ia sudah sangat penasaran. Melihat Anto yang sibuk dengan motor, ia memutuskan untuk tidak mengganggunya untuk sekedar pamit, jadi ia langsung saja naik motor yang ia pinjam dari bos. Menuju ke rumahnya.

Setelah sampai di rumah beberapa menit setelahnya, Hazel langsung berlari ke dalam rumah. Wajahnya masih penuh oli belum sempat ia bersihkan. Tapi bajunya bersih, kok, karena ia pakai seragam jika sedang kerja. Saat sampai di depan pintu, ia menemukan sepatu kets yang ia tahu sekali siapa pemiliknya. Maka tak membuang-buang waktu ia langsung masuk.

Belum sempat Hazel sadar, seseorang sudah menubruk badannya. Lehernya dipeluk erat sehingga ia harus menunduk karena yang memeluknya lebih pendek.

"Aneshka," gumam Hazel. Tapi yang didapat hanya isak tangis yang lama-kelamaan membuat bajunya basah. Ia melirik ibunya yang duduk di ruang tamu. Wajah wanita itu seperti tertekan, ekspresi yang sangat dibenci Hazel dari sang ibu. Matanya juga memerah, ada setitik air mata di pelupuk matanya. "Ini ada apa, sih?"

"Aku mau kita balikan, Zel."

Dan pelukan Aneshka sudah lepas dari leher Hazel. Mereka langsung duduk tapi kemudian ibunya undur diri ke dalam.

"Tapi, Nesh, berapa kali aku bilang—"

"Aku mimpi buruk terus, Zel," tekan Aneshka, ia menatap Hazel lekat. "Dan itu kaya nyata, aku takut."

Hazel menghela napas mendengarnya. Aneshka sudah seringkali bercerita padanya melalui SMS bahwa ia sering bermimpi tentang ayahnya Hazel. Dan sumpah Demi Tuhan Hazel tak mau mengingat-ingat itu lagi. Rasa bersalahnya akan semakin menumpuk.

"Tapi, itu cuma mimpi, kan—"

"Aku trauma, Hazel. Sejak kamu putusin aku, mimpi itu terus ngehantuin aku. Gimana kalau, kalau aku—" Suara Aneshka bergetar. Ia tak sanggup lagi berbicara, tapi Hazel mendengar suaranya yang lirih melanjutkan, "Gimana kalau ayah kamu coba perkosa aku lagi?"

Boom!

Seperti ada bom yang meledakkan kepala Hazel. Kepalanya mendadak pusing dan hatinya mulai menyesak. Aneshka sudah sering mengatakan ini melalui pesan dan itu cukup membuat Hazel merasa terpukul lagi. Biasanya Hazel bisa menutupinya karena mereka berkomunikasi jarak jauh. Tapi kenapa juga Aneshka bisa nekat datang ke rumah pada saat ibunya libur bekerja?

Oh, Shit!

Sepertinya ia mulai menyesali keputusan ibunya untuk libur hari ini. Tapi, apa ia juga setega itu? Bisa saja Aneshka datang ke sini setiap hari hanya untuk mendatanginya tapi saat itu ibunya dan dirinya sendiri sedang bekerja. Dan jangan lupakan tentang tuntutannya seperti sekarang ini.

Ia tidak tahu apa ini cuma karangan Aneshka, dan meskipun ini hanya sebuah karangan, tapi kenyataan bahwa ayahnya pernah melecehkan Aneshka itu memang benar adanya, kan? Hazel tidak bisa menghiraukannya begitu saja.

Sekarang Hazel tahu kenapa ibunya menyuruhnya cepat pulang. Belum lagi ekspresi tertekan itu. Aneshka pasti mengungkit ini juga dengan ibunya. Dan luka lama itu terbuka lagi.

"Nesh, Adam tau kamu ke sini?" tanya Hazel tiba-tiba. Ia belum bisa menjawab pertanyaan Aneshka yang menusuk, karena ia juga tidak tahu.

"Kok Adam sih?" Aneshka mendongak untuk mendapati ekspresi mantan pacarnya itu.

Hazel hanya bisa membungkam. Selama ini terima kasih karena Adam sudah merahasiakan tempat di mana ia bekerja. Ia masih terlalu bingung untuk menghadapi Aneshka dengan berondong tuntutan yang sama dari hari ke hari. Terlepas dari rasa bersalahnya, Hazel memang menyayangi Aneshka, tapi dengan ia memacari Aneshka itu bukan solusi terbaik.

Selama ini Hazel merasa terpojok, ia malu atas nama ayahnya. Ia merasa tidak pantas jika Aneshka harus melabuhkan hatinya pada anak dari orang yang sudah melecehkannya sendiri. Ia malu. Dan bodoh.

Hazel tahu ia lancang, tapi sepertinya ia harus mengatakan bahwa Adam punya rasa yang lebih tulus untuk Aneshka. Ia tak mau ini semakin berlarut-larut. "Nesh, Adam 'kan—"

"Plis, Zel, kamu tega sama aku?"

Hazel merasa hatinya semakin erat dicengkeram pernyataan pahit. Ia sudah mendeklarasikan bahwa ia tidak mungkin kembali dengan Aneshka pada Adam. Jadi, ia tak mungkin melukai Adam. Tapi, jika menolak Anehka ia juga akan melukai hati perempuan itu, Hazel tidak bisa.

Hazel menghela napas, ia melirik Aneshka, lalu berdoa semoga keputusan yang ia ungkapkan nanti benar.

"Neshka, aku ...."

tbc.

avataravatar
Next chapter