12 Part 12

Julian sudah kembali ke sekolah. Hari ini ia tak mungkin membolos lagi karena harus melakukan presentasi Bahasa Indonesia bersama Karina. Alasannya karena merasa tak enak dengan perempuan berambut bob itu, lagipula tubuhnya sudah sehat.

Sejak insiden di rumah Hazel kemarin, tudingan homo yang dipekik pemuda kurus bernama Hari terus-terusan mengusiknya. Memangnya siapa yang tahan diejek seperti itu? Untungnya saat itu Kiki langsung mengajaknya pulang dengan alasan agar ia bisa istirahat di rumah.

Julian memang masih pusing. Jadi alasan itu sangat pas.

Selama perjalanan Kiki tak mengatakan apa-apa. Julian pun tidak tahu apa yang dilakukan teman-teman Hazel setelah itu. Menghujatnya, atau malah menasehatinya.

"Jangan bengong. Entar kesambet."

Julian mendongak dari buku, melirik Kiki. Sahabatnya itu menjadi aneh sejak kejadian kemarin. Berbicara padanya tapi tak menatapnya.

"Gue lagi baca," balasnya dingin.

Kiki seperti aneh mendengar nadanya. Lalu menatap sahabatnya itu. "Buku lo kebalik."

Julian mengerang kesal. Bukunya memang terbalik. Alih-alih membenarkan, ia malah menutupnya. Dan jengkel karena bel masuk belum berbunyi. "Ki, menurut lo ..."

"Hm?"

"Menurut lo hubungan sesama laki-laki itu ... aneh nggak?"

Kiki menatapnya dengan ekspresi kaget. Lalu berdeham canggung. "Ya ... mungkin, karena itu 'kan nggak normal."

"Bener juga." Julian menggumam dengan nada final. Membuka kembali buku bahasanya dan menyelami tugas presentasinya. Karina sudah memperingatkannya, agar mereka bisa kompak di depan.

"Jul, emangnya lo—"

"Nih, resensi gue. Lo yang jadi moderatornya, 'kan?"

Seseorang tiba-tiba saja memotong ucapan Kiki. Sebuah lembar portofolio dilempar ke meja mereka. Itu adalah Rendy, teman sekelompok Kiki. Melihat hal itu, Kiki tidak terima dan menggebrak meja.

"Gue minta ini dari lama! Kenapa baru lo kasih sekarang?!"

"Kapan lo minta?" Rendy menjawab dengan pertanyaan.

Kiki bersungut-sungut. "Dua hari yang lalu. Aduh. Jangan terlalu santai lah. Gue nggak bisa mikir untuk nyusun kata-katanya kalau dadakan gini. Bentar lagi masuk!"

"Lo bisa mikir juga?"

Rendy yang kelewat santai benar-benar menyulut emosi Kiki. Refleks wakapten basket itu mendorongnya hingga menabrak kursi, Rendy spontanitas balas mendorong hingga seterusnya terjadi dorong-dorongan di antara mereka.

Semua terjadi begitu cepat. Tak ada yang bisa dilakukan Julian, sedari tadi suaranya kalah dengan sumpah serapah kedua orang itu. Beberapa bangku bergeser karena keduanya ngotot sambil saling dorong. Juga sorakan-sorakan anak-anak lain yang malah mendukung keributan mereka.

"ANJING LO!"

Itu Kiki.

"BABI!"

Dan Rendy.

"KUTIL BADAK!"

"BULU KETEK KERA!"

"SEMPAK!"

"BEHA!"

"BANCI!"

Rendy tersenyum remeh. "Emang, lo emang banci!"

"Brengsek!" Kiki menggeram dan bersiap melayangkan tinjunya.

D tempatnya Julian mengaduh panik dan tanpa sadar mendorong tubuh Kiki dengan kuat. Perkelahian mereka berhenti setelah itu. Tapi posisi mereka malah membuat teman-teman bersorak lebih kuat.

"Ups." Julian meringis. Tindakannya salah. Barusan Kiki terjatuh di atas tubuh Rendy yang terlentang di atas meja. Kaki mereka berdua di bawah saling mengapit. Dan dada mereka bersentuhan.

Julian bisa melihat wajah keduanya memerah. Ia tak yakin itu marah atau malu. Rendy langsung mendorong tubuh Kiki yang langsung menabrak tubuhnya.

"Waduh. Ada yang sengaja jatuh di dada gue."

Rendy membersihkan bajunya seolah Kiki mengotorinya. Kali ini Julian benar-benar melihat wajahnya yang merah karena malu. Kiki diam saja seolah masih shock. Detik berikutnya Kiki beradu pandang dengan Rendy, sengit seperti biasa.

Jika Julian es, mungkin ia akan meleleh saat itu juga, dan kelas akan terbakar karena aura di antara Kiki dan Rendy begitu panas. Wajah mereka memerah sampai ke telinga.

"Jauh-jauh lo dari gue." Rendy melenggang pergi. Teman-teman masih menyorakinya.

Julian melirik ke arah Kiki yang mematung seperti patung pancoran. Tubuh Kiki kaku bahkan ketika Julian menyentuhnya dan menyuruhnya duduk.

"Ki—"

"Gue nggak terima! Nggak terima!" Kiki mengacak-acak rambutnya dan membenturkan dahinya ke meja. "Ancur reputasi abang ganteng!"

"..."

"Aah, gue kotor!"

Duk.

"Gue ternodai!"

Duk.

"Gue nggak perawan lagi!"

Julian menahan bahu Kiki agar sahabatnya itu berhenti membenturkan kepalanya di meja. Ia bisa menarik kesimpulan, Kiki seolah tiba-tiba menyatakan diri bahwa ia seorang homophobic. Reaksinya berlebihan dan baper.

"Apa gue kelihatan sengaja jatoh di dadanya? Ha? Apakah gue homo? Apakah. Gue. Homo?!!!" serunya dengan horor.

"Nggak itu cuma kecelaka—ASTAGA KIKI STOP!!"

Bibir Kiki mengerucut. Kedua alisnya bertaut dan menatap Julian dengan tatapan melas. Mulutnya terbuka ingin mengatakan sesuatu, tapi bel masuk menahannya.

Julian mendesah lega di bangkunya. Setidaknya dengan belajar bisa membuat mereka lupa dengan kejadian dramatis barusan.

Atau tidak bagi Kiki, karena berarti ia harus mempresentasikan cinta—coret—resensinya ke depan kelas. Dengan penuh sorak suka cita dari teman-temannya tentu saja.

Uh! Julian lelah, teman-teman.

***

Setelah teman-temannya lelah menghakimi dan menasehatinya kemarin, Hazel akhirnya terpaksa masuk sekolah. Akhir harinya kemarin berujung dengan bicara dari hati ke hati dengan Aneshka, Hari yang tidur di kasurnya sambil mengigau minta mie ayam, dan Adam dan Riko yang menjamah kamar mereka dengan meninggalkan banyak sampah snack.

Hazel menggeram. Ia sudah bicara baik-baik pada Aneshka bahwa mereka tidak bisa kembali. Dan keadaan langsung aneh karena Aneshka menangis dan Adam mengancam ingin menonjok—meski Riko menahan.

Terakhir sebelum pulang bahkan Aneshka bilang bahwa ia tidak akan menyerah sampai Hazel bisa menerimanya lagi.

Bah!

Rambut Hazel mencuat sana sini. Adam tertidur di sebelahnya dengan kepala bertopang di tangan. Ia tahu temannya itu tidak tidur. Tapi ia bingung memulai pembicaraan. Keduanya memang sudah canggung sejak kejadian waktu itu.

"Haz?"

Hazel menoleh mendengar suara Adam. Pemuda itu mengangkat kepalanya dan menguap kecil. Untung saja kelas kosong karena guru mereka keluar. Persetan dengan tugas yang diberikan, karena Hari akan sukarela memberi mereka contekan.

Masa SMA tanpa menyontek itu membosankan. Jangan dicontoh.

"Kenapa lo nggak balikan sama Neshka?"

"Nggak usah tanya-tanya," dengus Hazel. "Itu bukan urusan lo!"

"Ini jadi urusan gue sejak Aneshka sahabat gue."

Ketika nada Adam meninggi, Hazel mulai mengatur napasnya. Ia tak mau mereka sama-sama emosi dan berakhir dengan pertengkaran. Watak Adam itu keras dan mengintimidasi. Tidak suka dibantah oleh siapa pun, kecuali Aneshka.

Astaga, sudah sangat cinta seperti itu, kenapa masih munafik sih?

"Kalo emang ini urusan lo, kenapa lo nggak ngelarang waktu Aneshka pake cara kotor untuk jadi pacar gue?" tanya Hazel dengan penuh penekanan. Nadanya datar tapi menuntut. Ia membuktikan bahwa ia tidak akan emosi.

"Kenapa harus? Itu 'kan usaha dia buat jadi pacar lo."

"Dam, lo tau kelakuannya salah. Dengan maksa cewek-cewek gue sebelumnya untuk putus sama gue, itu namanya usaha?"

Adam nampak terkejut. Namun matanya mulai menatap kesal tanpa bicara apa pun.

"Lo tau sendiri, gue sayang sama—"

"Indri?" potong Adam. Hazel terkejut. Ia ingin mengangguk tapi Adam menyela. "Lo nggak kapok, ya? Indri udah mutusin lo. Dan lo mau berurusan sama Irfan lagi?"

Hazel ingin menjawab bahwa ia sudah tahu kenapa Indri minta putus darinya. Saat ia mengetahui hal ini ia sempat marah pada Aneshka. Karena Aneshka yang meminta langsung pada Indri untuk memutuskan hubungan dengannya.

"Argh!" Hazel menjambaki rambutnya sendiri. "Adam, lo itu baik dan peduli sama Aneshka, lo bisa 'kan usaha buat ngedapetin dia?"

Dari sudut mata Hazel, ia melihat sahabatnya gelagapan seperti tertangkap basah.

"Maksud lo?"

"Gue tau lo suka sama Aneshka."

"Nggak!"

Hazel terdiam dan pandangannya menyudutkan Adam. Wajah Adam melirik ke arah lain. Air mukanya tampak sedikit melunak.

"Kalau gue suka, kenapa?"

Boom!

Seperti ada ledakan di dalam perut Hazel. Dugaannya memang benar. Lagian siapa yang tidak bisa melihat pandangan orang jatuh cinta? Muka mereka sangat kentara.

"Jangan maksain diri lo, Dam. Menurut gue lo sama Aneshka cocok." Hazel menepuk bahu Adam dan membuat Adam menatapnya dengan heran. "Apa?"

Adam membuang muka. "Ngeliat Aneshka bahagia udah cukup buat gue."

"Pfft ... Bullshit!"

"Iya, gue tau."

"Jangan kaya cabe-cabean baper deh. Nggak cocok sama muka sangar lo."

"Sialan!"

Keduanya tertawa dengan wajah Adam yang berakhir merah padam. Hazel semakin gencar menggodanya dan wajah Adam semakin merah dan membuatnya terpingkal-pingkal. Jadi benar, Adam menyukai Aneshka. Dan sukanya bukan hanya sedangkal air dalam teko pula.

"Ya, udah. Gue tidur dulu, ya. Bangunin gue entar!" kata Hazel tiba-tiba. Menaruh tangannya di meja dan menenggelamkan kepala.

Adam bangun dari bangku sambil membawa buku. "Sip, gue cari contekan dulu. Baek-baek lu!"

Hazel menghiraukan tawa misterius Adam dan tenggelam dalam tidur. Hatinya terasa ringan dan perutnya terasa plong. Ia senang bisa menyelesaikan masalahnya dengan Adam. Setidaknya sahabatnya itu percaya padanya.

Dan ia juga mempercayainya.

Hingga entah sudah berapa lama ia tertidur sampai sebuah benda tetiba menghantam meja, dan membuatnya terbangun. Kaget.

"Enak tidurnya, Adrian?"

Hazel meringis. Ibu Cecillia si guru Matematikanya yang tambun, berdiri manis dengan penghapus papan tulis. Bersedekap. "Hazel, Bu."

"Suka-suka saya dong mau manggil kamu apa," ujar guru itu dengan nada santai yang membuat Hazel bergidik. Siapa sih yang tahan dengan nada itu? Semua teman di kelasnya tahu bahwa ia sedang terancam. "Sekarang tugas kamu buat seratus soal dari penjelasan bab satu sampai bab tujuh lengkap dengan jawabannya."

"Mampus!" pekiknya tertahan. Sampai bab tujuh? Ia bahkan tidak ingat sekarang mereka ada di bab berapa.

"Mengerti, Adrian?"

Hazel mengangguk pasrah, melirik teman-temannya yang tengah melihatnya dengan tawa tertahan. Dan di bangku depan ia melihat Adam menyeringai padanya.

Anak itu tidak bisa dipercaya.

Uh.

"Bagus, bagus. Saya pikir kamu tidur karena bosan sama pelajaran saya, ternyata kamu sudah pinter, ya."

Dan senyum guru itu membuat Hazel ingin tenggelam di laut.

Setelahnya guru Matematikanya itu berjalan lenggak lenggok ke depan dan menaruh penghapusnya di meja. Dan mulai memberi penjelasan yang tidak bisa Hazel tangkap lagi. Ia hanya berdoa bahwa ia bisa segera lepas dari guru mengerikan itu.

Atau tidak.

Hazel tidak berhasil menyelesaikan seratus soal sampai bel pulang berbunyi. Hari dan Riko menertawainya seperti orang gila. Adam sempat menahan tawanya takut-takut Hazel ngamuk.

Begitu menghadap Ibu Cecillia mengharap belas kasihan, yang diterimanya justru tambahan soal dua kali lipat yang harus ia kumpulkan besok juga.

"Yakali, dua ratus soal," lenguhnya sebal. "Lo ngapa nggak bangunin gue, sialan!"

Adam mengangkat bahu. Ah, anak itu kenapa cool sekali, sih?

"Eh, eh, gue hari ini sama Riko mau bercinta," ujar Hari dengan kebanciannya. Riko langsung mencubitnya. "Aduh. Sakit, bego!"

Riko tertawa karena sepertinya Hari marah beneran. "Kita mau les, kebetulan gue ambil les bareng Hari."

Adam menatap Riko seolah anak itu alien gendut dengan kolor hijau. "Lo mau les? Nggak salah? Kalau Hari gue nggak heran, nah kalo lo?"

"Yoyoi, kita mau ngentut ilmu berdua."

"Nuntut, Hari!" ralat Riko.

"Nuntut kuda?" tanya Hari.

"Buntut!" Riko memutar bola mata.

"Yah, yah, lo 'kan janji mau bantuin gue bikin soal!" seru Hazel dengan dramatis.

Hari menepuk pundaknya. "Sori, bro. Bukannya gue nggak mau, tapi ini demi lo, biar lo pinter."

Adam menahan tawanya.

"Pinter jidat lo! Yang ada kepala gue botak kayak om-om pedofil!" bantah Hazel sambil memukul kertas-kertas soal di jidatnya. Meratap.

"Om pedofil yang nindihin adek kelasnya sendiri," sindir Riko. Hari mengangguk dengan khidmatnya. Keduanya berangkulan menatap Hazel dengan tatapan simpati.

Hazel menggeram karena teman-temannyan belum melupakan kejadian kemarin. "Oh, shit! Gue bukan homo!"

"Terima kenyataan aja, sih. Kita nggak bakal jijik kok!" Riko melirik ke arah Adam. "Iya, kan, Dam?"

"Iya. Kalau alesan lo putus sama Aneshka gara-gara ini gue ngerti kok."

Hazel tidak salah dengar, kan? Itu Adam lho yang ngomong. Bukankah mereka sudah membahas hal itu? Kenapa Adam seperti—oh, shit.

"Jadi bener?" Hari nyamber. "Tapi emang posisi lo sama tuh cowok kemaren khidmat banget, Haz! Apalagi pas ... uh, skinship-skinship gitu. Kayak sinetron homo!"

"Eh, mukanya tuh cowok 'kan kemaren merah banget! Dia beneran homo?" tanya Riko.

"Bukan, bego!"

Selanjutnya Hazel diam saja mendengar kehebohan teman-temannya yang membahas dunia kehomoannya itu. No, please, ia bukan homo. Itu kecelakaan.

"Eh, eh, itu cowok yang kemarin—siapa namanya, Zel?" Riko menyenggol bahu Hazel.

"Julian," jawabnya tanpa sadar. Tapi begitu Riko berteriak memanggil Julian, Hazel langsung mendongak dan gelagapan.

"Eh, setan, kenapa lo panggil?!"

"Ye, geer, orang gue cuma pengen nyapa doang kok."

"Siapa coba sekarang yang jadi cabe-cabean baper?" Adam tersenyum simpul saat mengatakan itu. Hazel tidak yakin apakah sindiran itu cocok untuk dirinya?

Tapi yang katanya nyapa doang versi Riko itu lain. Temannya tampak menarik tangan anak itu dan mendekat ke Hazel. Di belakangnya Kiki mengekor dengan wajah tertekuk, seolah pikirannya tak sedang di situ.

"Kenapa, Kak?" Julian berkata polos, yang—sialan, kenapa ia memanggil teman-temannya dengan sebutan 'Kak' sedangnya dengan Hazel tidak?

"Ini Hazel ngajak pulang bareng." Hari menyahut.

"Bohong, Nay! Bohong!" Hazel gelagapan.

"Nay?"

Ups. Keceplosan.

Riko menatapnya. "Lo panggil dia 'Nay'?"

Pertanyaan itu membuat Julian ikut kaget. Kiki menyelanya dan mengibas-ngibaskan tangannya. "Nggak, nggak boleh. Julian nggak boleh pulang bareng lo!"

Refleks, Kiki mulai menunjukkan keprotektifannya. Apa dugaan Julian benar? Kiki mendadak homophobic? Dan mungkin setelah ini, Julian tidak boleh bicara dengan laki-laki manapun.

Oh.

Oh.

Waktu itu siapa yang memaksanya dekat dengan Hazel?

Alih-alih marah, Riko menarik kerah belakang Kiki hingga membuat tubuh tingginya tertarik ke belakang. Adam langsung mengalungkan tangannya di leher Kiki. Seperti mencekik. Julian melihatnya mencak-mencak.

Hazel mendesah lega karena mereka seakan lupa dengan 'Nay'.

"Udah, sono!"

"Tapi—" Julian baru ingin menyela, tapi Hazel menabraknya karena dorongan Hari.

Keduanya terdiam agak kikuk. Teman-temannya tampak menakutkan di mata Julian. Semacam punya wajah psycho. Jadi keduanya menurut saja. Apalagi setelah Hazel berbisik, "Udahlah, turutin aja entar panjang. Nanti temen lo malah diapa-apain."

Julian bergidik, melirik Kiki yang mencak-mencak di tangan Adam dengan kasihan. Lalu pergi meninggalkannya.

Begitu mereka hilang dari pandangan, Adam baru melepaskan Kiki. Wakapten basket itu terbatuk-batuk lebay.

"Lo kenal sama Julian?" Suara Riko terdengar di balik bahu Kiki, tak tahu pertanyaan itu tertuju untuk siapa. Kiki terdiam mendengarkan.

"Nggak terlalu, tapi waktu itu gue liat Hazel nolongin Julian yang mungkin lagi dipalak sama Irfan." Adam yang menjawab. Kiki ingat insiden itu, yang berakhir mereka berempat dipanggil guru BK. "Kali aja mereka deket, gue sering liat dia bareng Hazel."

Oh, siapa sangka Adam sering melihat mereka berdua.

"Gue kira lo bener-bener mau buat mereka homo," celetuk Hari. "Fenomenal tau, Hazel yang playboy mendadak belok dan lari ke Julietnya."

Bah!

Hoi! Kiki masih di sini. Hoi!

"Nggak." Adam melengos. "Biar aja buat hiburan, dari pada galau mulu tuh anak."

Dan Kiki nyaris marah.

"Hoi. Lo nguping, ya?" Hari menoel lengan Kiki.

"Nggak! Gue ngelindur!"

Kiki mengentakkan kakinya dan melangkah pergi dengan wajah memerah kesal. Kenapa hari ini penuh dengan kehomoan sih?! Entah kenapa rasa takutnya pada kakak kelas bengal itu mendadak lenyap.

***

"Gue sebenernya nggak bawa motor." Hazel menggumam.

"Ya."

Keduanya melangkah pelan seolah menghayati langkah mereka. Tak ada yang membuka percakapan lagi. Julian mengingat-ingat soal motor Hazel yang dijual untuk keperluan rumah sakit ibunya tempo hari.

"Sorry, ya, temen-temen gue emang gitu," kata Hazel tiba-tiba.

"Nggak apa-apa." Julian berdeham maklum. Di dalam hatinya ada perasaan aneh. Setelah kejadian kemarin ia tak ingin berbicara pada Hazel sebenarnya. Tapi hari ini terpaksa. Ia cuma bingung apa yang akan mereka bicarakan lagi.

Kok bisa sih, mereka terlibat sejauh ini?

Julian berharap ini yang terakhir, dan mungkin ia bisa berlama-lama sedikit dengan Hazel hari ini. Lalu besok ia akan melupakan kakak kelasnya itu.

Oh, tapi ingat, jangan bahas masalah kemarin. Membayangkannya membuat muka Julian panas.

"Muka lo merah," kata Hazel. "Lo masih sakit?"

"Ah, nggak kok. Panas!" Julian mengibaskan tangannya tanda gerah. Ia lantas mengeluarkan iPod touch miliknya. Memasukkan ujung headset ke plugnya dan mengotak-atik layarnya.

Julian menggerak-gerakkan bibirnya, berdendang. Cuek saja seolah Hazel tidak ada. Perlakuan itu membuat Hazel tertawa. Bibir Julian yang agak tebal dengan warna merah pucat nyaris ke cokelatan itu, bergerak lucu. Astaga, bibir itu ..., bibir itu membuat Hazel menampar pipinya sendiri.

Oh, kenapa juga ia berpikiran kotor padahal Julian laki-laki? Meskipun mereka pernah berciuman, tapi, kan ... aneh.

Mereka sampai di parkiran dalam keadaan diam. Hazel terheran-heran kenapa ia mengikuti Julian sampai parkiran, padahal tahu mereka tidak bawa kendara—oh, atau mungkin saja Julian membawanya?

"Gue bawa sepeda," kata Julian tiba-tiba. Cukup untuk membuang rasa penasaran Hazel.

"Boleh nebeng?" tanya Hazel pelan.

"Hah?!" teriak Julian dongo. Volume lagunya full power dan ia tak sadar. Lalu ia melepas satu headsetnya dan dibiarkan menggantung. "Oh, sorry, lo bilang apa?"

"Gue nebeng sama lo boleh?" Hazel mengedit pertanyaannya.

Julian mengangguk tak yakin. Sepedanya tidak memiliki boncengan. "Ya, boleh."

Saat Julian memegang stang sepedanya, Hazel mengambil alih. "Gue yang bonceng."

"Oke."

Julian memijakkan kaki di ban belakang. Di sana terdapat pijakan kaki untuk berdiri di kedua sisinya. Ia memegang bahu Hazel menjaga keseimbangan, yang entah kenapa sentuhan itu membuat Hazel merinding.

"Udah?" Hazel bertanya.

"Udah."

"Ya, udah, turun!"

"Hah?" Julian cengo. Tapi dengan bodohnya ia turun. Tawa Hazel langsung meledak.

Julian langsung mencubit Hazel dan pemuda itu mengaduh sambil tertawa. "Lo ngerjain gue?"

"Kata lo udah, 'kan? Ya, turun lah!"

Julian memukul belakang kepala Hazel. Senyumnya tersungging meski gengsi. Apa-apaan si Hazel itu? Tak mengindahkan tawa Hazel, Julian naik lagi. Sekarang ia memukul bahu Hazel.

"Jalan, Pak!"

"Oke! Mau ke mana, Pak?"

"Ke hatimu."

Oh, shit.

Hazel berdeham canggung. "Siap, Pak!"

***

Hazel menghentikan sepedanya di lapangan kecil dekat rumahnya, lalu menyuruh Julian turun. Ia menyandarkan sepeda milik Julian ke pohon besar dengan sulur menjuntai. Kemudian menarik tangan Julian ke bangku yang saat itu mereka duduki.

"Loh, kok ke sini?"

"Gue males pulang," jawab Hazel sekenanya. Menerawang ke lapangan kosong dan panas menyorot mereka.

Keduanya terdiam menikmati panas terik yang membakar mereka. Julian mengeluh. Tangannya menangkup di depan mata. Silau.

Ngapain sih di sini?

"Makasih, ya, Nay."

Julian mengerutkan kening. "Buat apa?"

"Nggak tau, pengen bilang makasih aja."

Kaki Julian menyaruk-nyaruk tanah dengan perasaan aneh. Panggilan yang Hazel tujukan padanya entah kenapa membuatnya merasa spesial. Bukan dalam artian cinta, ya—ah cinta bagaimana?

Mungkin ini awam untuk Julian. Ini pertama kalinya ia punya teman selain Kiki yang membuat hidupnya—jujur—terusik. Kesan awal mereka naas, yang bodohnya sekarang Julian berpikir seolah mereka memang ditakdirkan.

Benar kata Kiki, ia harus membuka hatinya untuk menemukan teman yang lain. Julian berpikir apa Kiki bosan dengannya yang terus menempel seperti lintah? Tidak, tidak, Kiki tidak mungkin seperti itu.

"Ngelamunin apa, sih?" Hazel tiba-tiba mengagetkannya.

Julian gelagapan dan berkata, "Nggak ngelamun." Ia diam sebentar. "Menurut lo aneh nggak, sih?"

"Apanya?"

"Dulu gue sama lo nggak akur. Apalagi abis kecela—"

Julian membeku. Kalimatnya tak tuntas. Dari leher sampai ke kaki tiba-tiba ia merasa seperti tersengat lebah. Tangan Hazel yang dingin dengan lancangnya menyentuh tengkuknya. Telapaknya dingin. Ia kegelian.

"Z-Zel ..."

Hazel menatapnya intens. Julian baru menyadari mata pemuda itu hitam gelap. Julian merasa tenggelam di dalamnya. Alisnya tipis, matanya sendu, hidungnya yang lumayan bangir dan ..., bibir tipis itu ...

"Zel, i-ini ..." Julian menggeram tertahan saat Hazel menarik tengkuknya. Anehnya ia tak bisa sama sekali mengelak. Di depannya mata Hazel sudah tertutup dan embus napas Hazel mengenai wajahnya. Jarak mereka makin tipis.

Kejadian ini dejavu, Julian pernah melakukannya dengan Hazel juga di atap. Dan mereka langsung bertukar tubuh. Oh, shit! Tidak! Jangan! Ia tidak mau!

Julian tiba-tiba merasa tubuhnya seperti disiram dengan air es. Dingin dan merinding. Ia yakin sekarang bukan program acara Ice Bucket Challenge. Tidak ada kamera dimana-mana.

Ini tidak bisa dibiarkan!

Duagh!

"Apa-apaan—"

Hazel tak melanjutkan ucapannya. Matanya membulat terkejut bahkan perutnya yang nyeri karena tendangan juga dihiraukan. Tatapannya melunak begitu melihat mata Julian berkaca-kaca dan napasnya memburu.

"Lo ... jangan berani nyentuh gue lagi!" Julian berkata dengan penuh penekanan. Tangannya terkepal. Belum sempat Hazel menyela untuk minta maaf, Julian sudah pergi. Berlari meninggalkannya.

tbc.

avataravatar
Next chapter