11 Part 11

Malam sudah sangat larut ketika Julian terbangun. Kepalanya pusing dan tubuh agak menggigil. Julian bertanya-tanya kenapa pipinya sangat panas begitu menyentuh kulit tangannya. Bahkan ketika membuka mata kamarnya sangat gelap dan tubuhnya rapat terbebat selimut.

Oh.

Julian teringat sesuatu. Kemarin sore dugaannya benar, ia dan Hazel berakhir lari-larian di tengah hujan. Tubuh mereka berdua basah kuyup ketika menemukan tempat berteduh. Dan saat itu sepertinya ia menggigil parah, napas putus-putus lalu dengan baik hatinya Hazel menggendongnya sampai—sampai mana?

Tak ada yang bisa diingat Julian setelah itu, mungkin saja ia tertidur atau malah pingsan? Kalau iya, astaga, itu memalukan sekali.

Ketika Julian membawa tubuhnya bangkit, ia menyadari sesuatu, pakaiannya sudah diganti dan anehnya itu bukan miliknya. Lantas ia mengambil ponsel yang tergeletak di samping bantal dan menyalakan cahaya seadanya. Layar ponselnya berembun, tapi bukan itu yang membuatnya bingung, tapi karena pemandangan kamar Hazel yang langsung ia tangkap.

Oke, mungkin saja atau anggap saja ia kemarin tertidur dan Hazel membawanya ke rumah. Pemuda itu langsung menggantikan baju, celananya dan celana dalamnya.

Julian berjengit, apa benar itu yang terjadi?

Akhirnya Julian memutuskan untuk keluar dari kamar itu. Ia berniat mencari sesuatu yang bisa mengompres kepalanya yang panas. Bahkan suhu tubuhnya bisa tinggi sekali seperti ini. Kapan terakhir kali Julian sakit? Ia sendiri tidak mengingatnya.

Hazel tertidur di karpet lantai begitu Julian membuka pintu. Tubuhnya menghadap ke televisi yang tidak menyala dan selimut tebal menelan tubuhnya. Kepala pemuda itu menyembul sedikit dan terdengar dengkuran halus. Julian meringis, melanjutkan langkahnya menuju dapur dan mengambil handuk bersih dan sebaskom air. Lalu kembali ke kamar.

Pikirannya masih melayang ketika ia kembali ke kamar. Handuk basah sudah menempel di lehernya dan ia mengerang nikmat begitu merasakan sensasi dingin. Tapi tak lama kemudian ia mulai mengantuk. Dalam hati berharap semoga tubuhnya akan kembali dingin atau kalau tidak, Hazel harus bertanggung jawab.

Hasil akhirnya; Tidak.

Pagi harinya Julian masih merasa demam dan kepalanya semakin pusing. Ia bergerak gelisah dalam tidurnya. Sebuah sentuhan terasa di kening turun ke pipi. Dingin. Ia merasa nyaman sebentar. Sampai detik berikutnya sepasang tangan mengguncang tubuhnya dan memanggil-manggil namanya.

"Nay! Nay! Bangun, Nay!"

"Ngh."

"Ya, ampun. Bentar, badan lo panas banget."

Setelahnya yang Julian dengar hanya derap kaki yang meninggalkannya. Juga teriakan memanggil 'bunda' yang berulang-ulang. Dan akhirnya Julian membuka mata.

"Duh, pusing banget."

Julian memiringkan tubuhnya ke kiri dan langsung mengerang begitu kepalanya seperti kejatuhan bola cakram. Tetiba sebuah sentuhan lagi-lagi menyentuh pipinya. Julian ingin melihat, tapi pandangannya berbayang dan kabur.

"Loh, ini demam dari semalem?" tanya ibunya Hazel begitu melihat baskom air di nakas dan handuk basah di tangan Julian.

Hazel menggaruk kepalanya. "Nggak tau, pas aku baru masuk dia udah panas gini."

Ibunya langsung membawa handuk dan baskom itu keluar dari kamar. Tak lama kemudian datang lagi dengan baskom yang sama dan handuk kering yang baru. Lantas mencelupkannya ke baskom dan menaruhnya di kening Julian.

"Ambil handuk satu lagi tuh di lemari kamu, paling bawah."

Hazel menurut dan mengambil handuk warna biru yang agak lebih panjang dari yang dipegang sang ibu.

"Basahin handuk itu. Trus taro di perutnya."

Hazel mengangguk dan melakukan apa yang disuruh ibunya. Ketika ia mengangkat baju Julian sampai ke dada, tiba-tiba ia kesulitan menelan ludahnya sendiri. Semalam saat ia juga harus mengganti baju Julian bahkan ia nyaris mimisan seember.

"Bunda?" Mata Julian terbuka tiba-tiba.

"Aduh, dia manggil ibunya, Zel. Coba kamu hubungin sana, bilang kalau Julian di sini lagi sakit."

Hazel ingin bilang kalau yang dipanggil itu bukan ibunya Julian, tapi ibunya sendiri. Julian memang tidak pernah memanggil ibu Hazel dengan sebutan 'bunda' secara langsung—hanya saat berbicara dengannya saja.

"Masa kita ngehubungin orang tuanya pas anaknya sakit." Hazel mencibir. Sebenarnya ia terpaksa lupa kalau sedang marahan dengan sang ibu. "Nanti kalau ibunya kena serangan jantung gimana?"

Ibunya malah tertawa. "Ada-ada aja kamu ini."

Tapi meski begitu, Hazel tetap mengambil ponsel Julian dan berjalan keluar kamar. Ia tidak berniat menghubungi ibu Julian langsung, Hazel sudah menghubunginya kemarin atas nama Julian untuk izin menginap di rumahnya. Jadi lebih baik sekarang ia menelepon Kiki dulu.

"Tunggu, Jul! Iya, iya, ini gue lagi baru selesai makan. Sorry gue kesiangan!" jawab seseorang di seberang telepon saat Hazel belum sempat mengatakan sapaan. Ia melirik jam dinding dan mendengar grasak grusuk di seberang. Jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh lewat.

"Ini gue Hazel."

Perlu beberapa detik sampai suara batuk-batuk terdengar. Hazel menduga Kiki kaget lalu tersedak air.

"Anjir, keselek!" makinya. "H-Halo, ini Kak Hazel? Loh, loh, kok bisa? Julian mana?"

Hazel memutar bola mata. "Julian lagi sakit di rumah gue."

"SAKIT?!"

"Dengerin gue ngomong dulu!" Hazel mendengar kata maaf yang sangat pelan di seberang. "Jadi ini gimana? Bisa nggak lo bilangin ke nyokapnya?"

Kiki mendesah. "Bisa, sih. Tapi jangan bilang sakit lah. Eh, ya udah deh nanti gue aja yang bilangin Tante Yuli."

Hazel mengangguk, tapi karena Kiki tak bisa melihat maka ia menjawab, "Ya, udah."

"Nanti gue ke rumah lo ya, Kak?"

"Iya. Bye."

Ponsel Julian ia masukkan ke saku celana training-nya. Lalu ia kembali ke kamar dan Julian benar-benar sudah bangun. Mukanya pucat dan ibunya tengah memijat-mijat tengkuknya. Mata Hazel menatap horor lantainya yang berantakan oleh—

"Julian muntah, Zel. Ambil lap sana, kamu bersihin ini."

—Sial!

***

"Nih sesuap lagi."

Julian menggeleng lesu. Hazel cuma bisa menghela napas. Pemuda itu memang bukan anak kecil yang bisa dibohongi untuk makan sesuap lagi yang nyatanya masih bersuap-suap banyaknya. Tapi makanan harus tetap dihabiskan, ini baru sendok kelima dan setiap suapan Julian pasti ingin muntah.

"Perut lo kosong, dipaksain makan biar cepet sembuh."

"Memangnya gara-gara siapa gue sakit gini."

Hazel memutar bola matanya karena sindiran itu.

"Lo yang kemarin ngejer-ngejer gue." Hazel menaruh mangkuknya ke nakas. "Pake doa minta ujan segala lagi."

Julian mendengus tak peduli. Sekarang dahinya sudah melekat sebuah plester penurun demam. Jadi handuk basah yang tadi sekarang ada di lehernya dan yang satunya masih ada di balik punggungnya. Ia tak habis pikir kenapa tubuhnya bisa panas hampir keseluruhan.

Hazel tetiba tertawa, mengambil mangkuk itu lagi dan memakan bubur milik Julian.

"Itu punya gue."

"Lah, lo aja nggak mau," kata Hazel ketus. Ia melirik dan melihat Julian mencibir, lalu menyendokkan bubur itu untuk Julian. "Nih ... Bilang Aa ..."

"Idih, itu 'kan bekas—hmp."

Akhirnya satu sendok bubur terjejal ke mulut Julian. Pemuda itu nyaris tersedak dan Hazel segera memberinya minum.

"Nggak usah manja. Masih untung gue mau nyuapin lo." Hazel menyendok lagi dan hebatnya kali ini Julian menurut. "Kemarin 'kan lo belom makan apa-apa. Cuma dimsum doang."

Julian teringat sesuatu, ia menenggak minumnya. "Kenapa gue ada di sini?"

"Lo nggak inget?"

Julian menggeleng. Hazel langsung menatapnya.

"Kemaren lo bengek parah!" katanya sambil menyendok bubur lagi. Julian membuka mulut menerimanya. "Trus pingsan."

Julian langsung batuk. Buburnya berceceran ke baju.

"Jorok sih!"

Mereka berdua diam cukup lama. Julian mencerna ucapan Hazel sementara pemuda itu mengelap baju Julian dan kasurnya dengan tisu.

Dugaan Julian benar, ia memang pingsan dan Hazel yang membawanya ke sini. Sedetik kemudian Julian menyilangkan tangannya di dada.

"Lo yang gantiin baju gue?"

"Iyalah! Masa tetangga gue!" Hazel mendadak salah tingkah. "K-kenapa? Tenang, gue juga punya yang lo punya kok."

Dan lagipula, Hazel sudah melihat seluruh tubuh Julian ketika mereka bertukar tubuh. Sudah terlambat untuk malu sekarang.

Hazel bisa melihat semburat merah yang ada di pipi Julian. Lantas dengan bodohnya ia menyentuh pipi itu dengan tangannya.

"Demam lo belom turun, ya?"

Tangan Hazel langsung ditepis. Membuang rasa malu, Julian mengubah topik pembicaran mereka. "Hari ini lo nggak sekolah?"

"Nggak." Hazel kembali menyendokkan bubur itu ke mulut Julian, tinggal dua sendok lagi. "Gue udah berhenti sekolah."

"Kenapa?"

"Kenapa apanya?"

"Kenapa lo berhenti padahal sebentar lagi ulangan semester?"

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Hazel. Sendok bubur terakhir di arahkannya ke mulut Julian, tapi Julian menutup rapat mulutnya sambil menggeleng. Hasilnya bubur itu langsung masuk ke mulutnya sendiri. Tanpa berkata apa pun, Hazel keluar kamar membawa mangkuk bubur dan gelasnya.

Julian hanya bisa menatap kesal pada pintu yang menutup. Ia marah pada Hazel. Ia juga marah pada dirinya sendiri yang begitu peduli pada Hazel.

***

Bel pulang berbunyi. Aneshka cepat-cepat membereskan bukunya dan menuju ke kelas XII IPS 3. Tujuannya hanya untuk bertemu dengan Hazel. Tapi begitu sampai, lagi-lagi ia harus menelan kecewa karena ia tak melihat Hazel.

Ini sudah tiga hari Hazel absen dari sekolah, Adam sudah mengatakan bahwa pacarnya—atau mantan—itu sudah berhenti sekolah. Aneshka tak mau percaya, kemarin Hazel menelponnya untuk meminta maaf. Dan ketika diajak bertemu, Hazel menolak dengan alasan ingin sendiri dulu.

Kekanakkan sekali.

Adam langsung menghampiri Aneshka begitu melihatnya. "Nesh?"

Aneshka menoleh lesu. "Hazel belum masuk?"

"Kenapa sih lo nanyain Hazel mulu?" tanya Adam kesal.

"Kemarin dia nelpon gue, Dam."

Wajah Adam berubah terkejut. Langkahnya berhenti dan mengikuti Aneshka menyandar di sandaran balkon depan kelas. Ia tak mau bertanya, setidaknya Aneshka yang harus memberitahunya.

"Kemarin Hazel minta maaf."

Adam diam mendengarkan. Ia teringat perkataan Hari kemarin.

"Dia bilang mau tetep putus karena dia cuma nganggep gue tuh sebagai adeknya."

"Trus lo nggak apa-apa?"

Aneshka menggeleng.

"Bohong, Dam, kalau gue nggak apa-apa." Air mata Aneshka tiba-tiba turun. "Gue minta dia jadi pacar gue bukan karena manfaatin rasa bersalahnya."

Adam meringis. Hatinya tiba-tiba sakit.

"Lo tau 'kan selama ini dia selalu nolak gue karena dia bilang kalau dia nggak pantes buat gue?"

"Ya."

"Hampir tiga tahun dia selalu nunjukkin rasa sayang ke gue tanpa ikatan apa-apa. Gimana gue nggak sakit?" raung Aneshka. "Selama ini gue selalu minta pacar-pacarnya Hazel buat putusin dia. Sampe yang terakhir si Indri, anak SMK itu."

"Jadi, lo—"

Aneshka mengangguk sebelum Adam menyelesaikan kalimatnya. Ia tahu apa yang akan Adam utarakan. "Gue lihat dia sayang banget sama Indri. Gue lega banget bisa buat mereka putus dan akhirnya gue jadian sama Hazel."

"Tapi lo egois, Nesh."

"Lebih egois mana? Gue atau Hazel? Dia PHP-in gue!" katanya. Untuk pertama kalinya hari ini Adam melihat wajah Aneshka yang penuh air mata. "Setelah kita jadian, gue selalu berharap itu bukan cuma karena rasa bersalah, Dam. Gue nggak apa-apa kalau dia belom cinta sama gue, serius. Tapi gue nggak mau putus. Gue sayang banget sama dia."

Adam menutup matanya. Menelan cemburu.

"Neshka, tenangin diri lo dulu." Adam menggaruk kepalanya agak panik. Ia sebenarnya tak mau membahas masa lalu itu sekalipun Aneshka membahasnya.

Aneshka justru semakin menangis. Mata perempuan berambut ikal itu memerah. Dan tubuhnya mulai bergetar karena terisak. Adam semakin kebingungan ketika para siswa yang melintas melihat mereka berdua dengan tatap aneh. Ia langsung memeluk Aneshka dan mengusap-usap bahunya.

Adam tak peduli bahunya yang basah. Ia berkata, "Gue bakal buat lo balikan lagi sama Hazel, Nesh."

"Beneran?" Suara Aneshka bergetar dan anehnya tangan Aneshka langsung melingkar di punggung Adam.

Adam mendesah. Kali ini hatinya makin sakit. "Iya, janji."

***

Julian melihat kalender dan anehnya ternyata sekarang hari Rabu. Hari phobianya. Ia berjanji lain kali akan membuka laman web mengenai horoskop atau malah primbon untuk meyakinkan bahwa hari Rabu memang hari sialnya. Kalau memang benar, ia bersumpah tidak akan keluar rumah satu langkah pun, kecuali sekolah.

Sudah berjam-jam lamanya ia diam di kamar. Hazel juga ada di situ, namun pikirannya entah ke mana. Setelah ia ditinggal keluar oleh Hazel setelah menyuapinya tadi, tiba-tiba satu jam kemudian Hazel kembali dengan rambut basah dan tubuh wangi sabun. Dan ke kamar untuk membuatnya terkejut karena tangannya yang dingin dengan tidak berdosanya menyentuh lehernya.

Julian masih pusing dan napasnya makin berat saja, jadinya ia hanya tiduran. Hazel juga tak berniat membuka percakapan. Makanya ia pun tidak melakukannya.

Hazel ternyata mendengar hela napas Julian. "Lo masih pusing?"

Julian menggeleng.

"Kemarin lo kenapa?"

"Apanya?"

Hazel menggeleng ambigu. "Ya, lo tiba-tiba pingsan gitu."

"Oh. Gue alergi dingin, gue asma."

Wajah Hazel mengeras. Ia teringat dengan Aneshka. Mereka tidak saling mengenal sedikitpun tapi membuat Hazel jadi merasa bersalah pada keduanya. Setelahnya Hazel terdiam. Memutar-mutar ponselnya yang tengah dalam mode non-aktif.

Julian tidak ingin diam lagi. "Lo nggak kerja?"

"Gue suruh jagain orang bengek di sini," jawab Hazel sambil menunjukkan seringainya.

"Maaf deh kalau gue bengek."

Hazel tertawa dengan keras. Sesungguhnya ia tak merasa keberatan sama sekali untuk menjaga Julian. Setidaknya untuk sekarang ia ingin berlama-lama dengan pemuda itu.

Mereka berdua terdiam lagi, hingga tiba-tiba mata Julian menangkap sebuah kertas putih yang ada di nakas. Diambilnya kertas itu, yang langsung membuatnya heran adalah foto di baliknya. Foto Hazel dengan seorang perempuan manis dengan rambut panjang dan kulit sawo matang.

Julian seperti pernah melihatnya. "Ini siapa?"

Hazel melihat foto yang ditunjukkan Julian, awalnya ia kaget, namun ia bisa mengendalikan diri. "Itu Indri, mantan gue."

"Kok kayaknya pernah liat." Julian bergumam.

"Lo nggak inget? Dia adeknya Irfan."

Julian mengerjap-ngerjapkan matanya. "Serius lo? Cewek manis ini? Kok nggak mirip!" Dan saat itu pula Julian ingat sesuatu. "Ah, ini cewek yang waktu kita berantem itu, 'kan?"

"Mirip kok," jawab Hazel. Ia mengambil foto itu dari tangan Julian. Kini ia duduk di ranjang—di sebelah Julian. Ia tersenyum miring melihat foto itu. "Cantik, 'kan?"

Julian tak tahu harus menjawab apa.

"Gue sayang banget sama dia." Hazel menatap ke foto itu dengan ekspresi terluka.

Tunggu! Ini maksudnya mau curhat? Kenapa perasaan Julian jadi tidak nyaman, ya?

"Trus kenapa lo pacaran sama Aneshka?" tanyanya kebingungan. "Oh, iya, lo 'kan playboy."

Bukannya marah, Hazel justru tertawa melihat ekspresi Julian. Bibirnya ketika sedang menerka-nerka itu mengerucut imut. Membuatnya gemas.

"Oh, gue ngerti. Lo sayang sama Indri, tapi pacaran sama Aneshka. Abis itu ketauan Indri, lo diputusin dan pas Irfan tau makanya lo dilabrak—"

Julian membeku saat tangan Hazel mengacak-acak rambutnya. Ucapannya belum selesai, tapi sepertinya Hazel juga tidak peduli. Senyumnya membuat jantung Julian tiba-tiba berdetak tidak karuan. Wajahnya panas. Ia panas. Ia makin demam!

"Nay! Hoi! Halo ... Nay ...." Hazel melambaikan tangannya di depan wajah Julian. Julian terkesiap dan menatapnya ngeri.

Orang ini berbahaya, batinnya.

"Gue mau mandi!" katanya cepat-cepat.

Lagi-lagi Hazel memperlakukannya seperti pasien kritis, memegang dahinya yang entah sudah keberapa kali. "Badan lo masih panas, jangan mandi dulu."

Anehnya Julian bungkam dan mengangguk.

"Gue haus ... tiba-tiba ..."

Hazel tertawa lagi, tapi kali ini tawanya tidak keras. "Ya, udah. Gue aja yang ambilin."

Setelah Hazel pergi, Julian langsung ambruk ke kasur. Ia menendang-nendang selimut yang ada di kakinya hingga menjuntai ke bawah.

Ya, ampun. Apa yang terjadi padanya? Kenapa ia suka melihat senyum Hazel? Kenapa wajahnya panas melihat perhatian Hazel?

Tak lama kemudian Hazel kembali dengan segelas air putih hangat. Julian langsung bangun dan meminum airnya sampai tandas. Lalu menyerahkan gelas itu pada Hazel lagi. Berdiam diri lagi.

Astaga, Julian ingin cepat-cepat pulang.

Sementara di luar Kiki sudah sampai di depan rumah Hazel tapi ternyata ia bukan tamu satu-satunya, karena tak lama setelah itu empat teman Hazel juga datang. Yang Kiki kenal hanya Adam dan Aneshka dua orang lagi Kiki tak tahu namanya; yang satu tambun dan satunya kurus.

Kiki menciut. Ia menyesal datang ke rumah Hazel. Kakak kelasnya itu memang wajahnya terlihat tak bersahabat semua.

"Ngapain lo?" tanya Riko tiba-tiba dengan tampang menyalak.

"Lo ngapain?" Hari juga bertanya. Sedangkan Adam diam-diam memukul jidatnya.

Kiki meringis. Mereka yang di depannya ini auranya neraka. "Mau jemput temen."

"Siapa?" Adam langsung bertanya, Kiki sampai mengerjap mendengar suaranya yang agak berat itu.

Tapi Hari buru-buru memotongnya, "Temen lo berarti temen kita juga."

Kiki blank. "Ha?"

"Ini rumah temen kita, bro." Hari nyengir. Rahang Kiki jatuh saat itu juga. "Lo mau jemput Hazel?"

Kiki menggelengkan kepalanya, ia ingin menyela, tapi Riko sudah bicara duluan, "Bukan Hazel, Ri. Temennya yang lain."

"Loh, bukan Hazel?"

"Bukan."

"Lah gimana sih? Lo salah alamat? Ini rumahnya Hazel bukan rumahnya bukan Hazel!" Hari membuat gerakan mengusir. "Udah, udah, lo pergi sana! Kehadiran lo nggak dibutuhkan!"

"Eh, tapi—"

"Tapi ini rumah Hazel 'kan, Dam? Bukan kita yang salah, 'kan?!" Hari langsung grasak grusuk melihat seluruh sudut pintu. Saat itu pula Riko langsung menarik kerahnya dan membuatnya berhenti. "Woi, sakit! WOI! BENERAN INI!"

Sementara Riko mengurusi Hari, Adam langsung menatap Kiki. Ia mulai gerah, menduga mungkin saja di dalam ada perempuan lain. "Temen lo siapa?"

"Julian."

Aneshka yang sejak tadi diam, langsung menoleh. "Julian Marvel?"

Riko dan Hari juga sudah berhenti ribut. Senyum dari Kiki membuat Aneshka ikut tersenyum. Ia ingat Julian Marvel, ia pernah digoda pemuda itu. "Ya udah, yuk masuk."

"Ngomong dong, bro!" Hari langsung mengalungkan tangannya ke leher Kiki.

Riko berinisiatif mengetuk pintu rumah. Dari dalam terdengar jawaban seorang wanita. Adam dan Aneshka langsung membeku di tempat. Tapi yang lain tidak menyadarinya.

Begitu pintu terbuka, hal yang ditakutkan Aneshka terjadi. Mereka semua menjadi sangat canggung. Ibunya Hazel juga tampak kaget melihat mereka.

"Tante." Adam berujar pelan.

"Eh, Adam, Aneshka, yuk masuk. Hari, Riko juga, yuk!" ujar wanita itu dengan agak canggung. "Nyariin Hazel? Ada di kamar. Mau langsung ke sana aja?"

"Iya, Tante, langsung aja," jawab Riko cepat.

"Ya, udah." Ibu Hazel menggiring mereka sampai ruang tengah. "Oh, iya, yang ini siapa?" tunjuknya pada Kiki.

"Saya Kiki, Tante, temennya Julian."

"Oh, iya, Julian lagi sakit. Ada di kamar juga," kata wanita itu. Tersenyum tipis.

Sementara Hazel di dalam kamar mendengar suara yang ada di luar. Ia menaruh gelasnya di nakas, dan bergerak kikuk karena keheningannya bersama Julian.

"Kayaknya ada orang deh," gumamnya. "Gue liat dulu, ya."

Julian mengangguk. Hazel berdeham dan langsung berdiri. Tapi ia tak melihat kakinya yang tersangkut di selimut yang menjuntai ke bawah, alhasil ia terhuyung. Anehnya, ia menggapai-gapai udara kosong dan tanpa sengaja tangannya menangkap bahu Julian dan keduanya jatuh di lantai.

Semua terjadi dengan cepat. Posisi mereka ambigu. Hazel terlentang di bawah, sedangkan Julian berada di atasnya. Mereka berdua saling terpejam dan ketika membuka mata, jarak wajah mereka sangat tipis. Hazel melipat bibirnya ke dalam begitu napas Julian yang hangat menyapu kulitnya. Mereka bertahan di posisi itu hingga—

"AW! ADA HOMO!"

Hazel dan Julian langsung menoleh ke arah suara yang berteriak. Itu Hari. Tapi yang ada di sana bukan Hari saja; ada Adam, Riko, Kiki bahkan Aneshka, yang bahkan menatap mereka dengan wajah ngeri. Masih di posisi yang sama, keduanya gelagapan.

"J-JANGAN SALAH SANGKA!" seru keduanya bersamaan. Mereka saling menatap dengan kesal mendengar kalimat mereka yang sama. Lalu menoleh ke arah teman-temannya lagi. Menggeleng pias. "I-INI BUKAN SEPERTI YANG KALIAN LIAT!!!"

tbc.

avataravatar
Next chapter