8 Bab. 8. Hanya Takut

Bukan apa-apa. Hani hanya takut, kalau ibunya itu akan membeberkan rahasia Mayang. Secara, Nunung memang salah satu dari ibu-ibu terempong di kampung itu. Bisa-bisa, nanti malah dia sendiri yang dikata memfitnah orang.

Namun, Hani tahu betul kalau ibunya itu tak mudah menyerah. Nunung pasti terus bertanya, sampai apa yang membuatnya penasaran terpecahkan.

"Hani?"

"Apa, Bu?"

"Sudah matang belum? Ibu lapar ...."

"Astaga!"

***

Kurang dari setengah jam, apa yang dimasak Hani pun akhirnya matang. Dia lantas bergegas menuang sayurnya ke dalam mangkuk beling, sebelum membuka kunci pintu dapur. Dilihatnya, Nunung tak lagi ada di sana. Bosan, karena terlalu lama menunggu.

"Bu!" teriak Hani sambil berjalan, memanggil Nunung yang ternyata ketiduran di ruang tengah. "Ya, elah. Tadi katanya lapar. Sekarang malah tidur."

Tak ingin membuat ibunya itu kelaparan, Hani langsung mencolek pinggang Nunung sampai mengerjap. Wanita tambun berambut hitam sebahu itu pun membuka mata, saking terkejut.

"Sudah matang, Han?" tanya Nunung, sambil mengucek mata.

"Sudah, Bu. Ayo bangun. Kenapa malah jadi tidur, sih?"

"Saking nggak kuat nahan lapar, jadinya ya ketiduran." Nunung berdecak. "Ya, dah. Ibu cuci muka dululah."

"Ok." Hani tertawa tertawa-tawa kecil. "Kalau begitu, aku tunggu di ruang makan, ya?"

"Iya-iya!" Nunung pun melengos sambil mengangguk-angguk.

Hani menggeleng-gelengkan kepala, dengan sisa-sisa tawa di bibirnya. Lantas buru-buru ke dapur untuk membawa masakannya ke ruang makan. Nasi, sayur sop, goreng tahu, dan sambal pun ia angkut dua per dua. Sementara piring, gelas dan teko sudah tertata lebih dulu di meja.

Menit berikutnya, begitu Nunung datang dan langsung menyantap makanannya, suara sendok beradu piring pun menjadi satu-satunya suara yang terdengar. Karena Nunung, memang tak lagi menanyakan perihal masalah Uni.

Hani bernapas lega. "Semoga saja, Ibu benar-benar lupa dengan masalah Uni," batinnya.

"Bu, kalau masih lapar nambah aja, ya. Aku udah kenyang," kata Hani sambil berdiri, setelah sedari tadi hanya diam dan memperhatikan.

"Tunggu dulu, Nur. Ada yang mau ibu bilang soalnya."

"Hah? Tentang apa, Bu?" Hani yang sudah beranjak bangun pun kembali duduk, dengan kedua tangan bertumpu pada meja.

"Itu ... tadi pagi tuh ada Kang Paket. Katanya, buat Hani Anggraeni."

Huft! Hani benar-benar bernapas lega. Dia pikir, ibunya itu akan membahas soal Mayang kembali.

"Syukurlah ...." Hani mendesis, sambil menelan kunyahannya.

"Syukurlah apa?" Nunung menaruh sendoknya lagi di piring, batal menyuapi mulutnya sendiri begitu mendengar desisan Hani.

"I-itu. Syukurlah paketnya datang."

"Kirain apa. Emang paket apa, sih?"

***

Usai mengatakan apa yang diinginkannya, Mayang pun langsung melengos tanpa memedulikan panggilan Jimi. Tubuhnya sudah sedemikian lelah, belum lagi hati dan pikirannya yang sudah pasti tak lagi kuat menahan setumpuk amarah.

Sebab, kalau saja bukan karena anak yang ada dalam kandungannya, ingin sekali Mayang menyebarkan apa yang semalam difotonya.

"Dek!" teriak Jimi kembali. Kali ini sambil menarik tangan Mayang, karena dia berhasil mengejar langkah kaki ibu dari calon anaknya itu. "Aku nyalakan dulu motor. Tunggu sebentar!"

"Aku bisa pulang sendiri!" bentak Mayang, sambil menepis cengkeram tangan suaminya itu.

"Tapi, Dek ... rumah kita itu jauh dari sini. Kasihan bayimu kalau kamu memaksa pulang sendiri." Jimi membujuk, sembari melihat-lihat sekitar. Takut, kalau sampai ada warga yang melihat pertengkaran mereka. Namun, tengah hari begini, orang-orang biasanya meringkuk sambil menonton televisi.

"Jangan pura-pura kasihan dengan anak yang aku kandung sekarang!" Mayang menoleh, menatap tajam kedua mata Jimi sambil mengelus-elus perutnya. "Karena kalaupun memang benar kamu kasihan, tak kan kamu selingkuh dengan wanita lain!"

"Dek, please!" Jimi kembali meraih sebelah tangan Mayang. "Izinkan aku menebus kesalahanku."

Pandangan Mayang turun ke tangan. Dilihatnya jemari Jimi yang tengah mencengkeram pergelangan tangannya itu, dengan amarah yang masih saja memuncak. "Lepaskan aku!" bentaknya, seraya kembali menatap mata Jimi.

Jimi menggeleng. Membuat tubuh Mayang seketika bergetar, begitu juga dengan detak jantungnya yang langsung berdebar hebat. Dia bahkan tiba-tiba merasa sesak, sampai sulit rasanya untuk bernapas.

Mayang menelan ludah, lalu tiba-tiba terpejam karena pusing membuat pandangannya berubah buram. Dia menggeleng, merasa harus kuat demi anak yang dikandungnya. Namun, lagi-lagi, Mayang justru terkulai jatuh ke lantai teras.

"Astagfirullah!" Jimi terkejut, saat tangannya refleks menahan kepala Mayang. "Ayah! Ibu! Tolong Mayang."

Danang dan Hesti yang awalnya tak terlalu ingin ikut campur dengan masalah Jimi, langsung keluar begitu mendengar teriakan. Lantas mereka sangat terkejur, saat mendapati Mayang tergeletak di lantai.

"Mayang kenapa Jimi?" tanya Danang, begitu sampai. Dia langsung berjongkok.

"Pingsan, Yah." Jimi yang sudah memegangi kepala Mayang ketakutan. Takut terjadi apa-apa dengan anak dan istrinya itu.

"Bawa ke kamar cepat! Biar ibu carikan minyak kayu putih dulu." Hesti menimpali.

Danang dan Jimi langsung menggotong Mayang, lalu membawanya ke kamar tamu untuk membaringkannya di sana. Kamar, di mana Mayang dan Jimi kerap tidur di sana saat menginap.

"Dek ... Ya Allah. Sadarlah," bisik Jimi, begitu membaringkan Mayang di ranjang. "Abang minta maaf."

"Keterlaluan kamu, Jim!" Danang menjitak puncak kepala anaknya itu. "Dia sudah nggak punya ayah dan ibu, bukannya menjaga dia sampai mati, malah kamu lukai perasaannya sampai seperti ini!"

"Aku khilaf, Yah. Serius," katanya seraya kembali berdiri ringkih di hadapan sang ayah. "Aku benar-benar khilaf."

Danang menggeleng tanpa mengalihkan tatapan dari wajah Jimi. Dari reaksinya, Danang dapat melihat kalau Jimi tak sedang bersungguh-sungguh. Anaknya itu berbohong.

"Aku mohon percaya padaku, Yah. Ibu juga percaya. Iya, 'kan?" Jimi pun bertanya pada ibunya yang baru saja datang, membawa minyak kayu putih.

"Iya. Bener kata Jimi, tuh. Dia nggak mungkin sengaja melakukannya, Yah." Hesti duduk di tepi ranjang, sambil membuka tutup minyak. "Lagian, sekarang bukan waktunya kita membahas masalah ini. Kamu mending telepon bidan. Suruh dia ke sini, atau kamu jemput biar cepet!" lanjutnya, sambil mendekatkan minyak ke hidung Hesti.

"Bidan mana ada di rumah jam segini, Bu." Jimi menjawab, sambil duduk di tepi ranjang yang lain, dekat dengan kepala Mayang. Lalu, diusapnya puncak kepala istrinya itu. "Dia pasti akan segera sadar."

"Buka bajunya dikit, Jim. Biar perutnya ibu olesi minyak dulu," titah Hesti yang langsung dilakukan Jimi.

Perut buncit Mayang diolesi minyak perlahan. Membuat Jimi menitikkan air mata, begitu sadar akan dua nyawa yang harus dia jaga.

Sementara Danang, lelaki yang memakai baju kaos kuning dan celana kain hitam semata kaki itu langsung berbalik badan. "Ayah keluar dululah," lanjutnya.

avataravatar
Next chapter