7 Bab. 7. Bukan Asal Tuduh

"Nggak! Nggak mungkin dia begitu." Hesti tetap tak mau mempercayai Uni, sebelum mendengarnya sendiri dari Jimi. "Bilang sama ibu, kalau apa yang dibilang Mayang itu nggak bener, Nak. Bilang!" lanjutnya, sambil mengguncang-guncangkan pundak Jimi kembali.

"Apa yang nggak mungkin?" tanya Danang, ayah mertua Mayang, yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Mayang, Yah. Masa dia menuduh Jimi selingkuh!" timpal Hesti, sambil melepas cengkeraman tangannya dari pundak Jimi.

"Aku nggak nuduh, Bu. Aku serius!" Mayang berseru keras, tak terima dengan kata-kata ibu mertuanya sendiri.

Danang mengernyit, memperhatikan istri, anak, dan menantunya satu per satu. Dengan kedua tangan bertaut di belakang punggung, dia pun melangkah maju mendekati Jimi.

Sebagai lelaki, juga ayah bagi anak-anaknya, Danang tahu betul tentang reaksi bohong dan jujur dari tiap-tiap anaknya sendiri. Dengan begitu, dia tak perlu mendengarkan penjelasan Jimi, untuk mengetahui kebenarannya.

Plak! Satu tamparan keras mendarat di pipi Jimi. Membuat lelaki berusia dua puluh tujuh tahun itu menangkup pipi dengan sebelah tangan. Panas dan sakit, walaupun tak sesakit kenyataan yang sekarang akan menghakiminya.

Pun dengan Mayang, yang tak menyangka kalau ayah mertuanya itu akan berani menampar Jimi. Dia mengerjap, terkejut sampai menangkup mulut. Sebenarnya, ada rasa tak rela saat melihat Jimi dalam keadaan serba salah seperti itu. Namun, ayah dari calon anaknya itu harus diberi jera.

"Udah berani selingkuh? Punya apa kamu, hah?" Amarah Danang memuncak, begitu melihat adanya kebenaran perihal perselingkuhan yang diadukan Mayang.

"Ayah!" teriak Hesti, sambil menghampiri dan memegang pundak Jimi. Tak menyangka kalau suaminya itu justru percaya terhadap pengakuan Mayang. "Ayah kenapa lebih belain Mayang? Jimi ini anak kita! Dia yang harusnya kita bela!"

"Ayah pasti akan membelanya, kalau saja Uni yang salah. Tapi, yang salah di sini anak kita, Bu. Anak kita!" teriak Danang, tanpa mengalihkan tatapan dari wajah Syakir.

"T-tapi, Yah—"

"Biar ayah yang mengurus masalah ini." Danang menyela. "Sekalian bikin anakmu ini sadar, kalau kelakuannya itu sudah mencoreng nama baik keluarga."

"Aku mau cerai sama Bang Jimi, Yah. Bu." Apa yang ingin dikatakannya sedari tadi pun berhasil Mayang katakan, meski dengan jantung berdebar. Tenggorokannya tercekat. Ia menelan ludah, lambat.

Jimi langsung menoleh ke arahnya. "Aku nggak akan pernah menceraikanmu, Dek! Sampai kapan pun."

***

Waktu zuhur hampir habis. Untungnya, Hani sampai di rumah tepat ketika waktu menunjukkan pukul dua siang. Dia lekas memberi salam pada ibunya yang langsung menanyai berbagai hal. Nur tak menjawab, malah terus bergegas pergi ke kamar untuk mengambil perlengkapan mandi.

Hani ingin segera membersihkan diri, setelah semalam merasa terkotori oleh wanita yang menjadi simpanan Jimi. Dia merasa jijik, takut pula kalau sentuhan-sentuhannya saat memukul dan menjambak Ana itu akan membawa sial atau semacamnya.

Sekarang, setelah Hani selesai, buru-buru dia keluar kamar untuk menemui ibunya. Nunung, wanita tambun berusia empat puluh satu tahun itu pasti akan mengomel, kalau saja Hani tak segera menjelaskan, kenapa ia tak pulang semalam.

Dilihatnya Nunung di ruang tengah, Hani pun langsung berjalan menghampiri ibunya itu, sebelum duduk bersila di sana.

"Maaf tadi aku nggak jawab, Bu. Soalnya takut nggak keburu salat."

"Ok. Lanjut!" timpal Nunung, tanpa menoleh. Fokus menatap layar televisi yang sedang menayangkan film bertemakan pelakor, di salah satu channel.

"Ya, maaf. Kemarin kan aku bilang mau mengantar Mayang."

"Terus?"

"Terus, karena kemalaman, aku sama Mayang takut pulang. Jadi ya nginep di rumah teman."

"Begitu? Yakin?"

"Iya, Bu." Hani memelas.

"Terus kenapa nggak angkat telepon? Atau telepon balik, kalau memang nggak denger ibu nelepon."

"Ada kejadian yang nggak terduga, Bu. Mayang pingsan. Eh, pas pulang dari bidan, akunya ngantuk. Ketiduran, deh."

"Pingsan kenapa si Mayang?" Kali ini Nunung menoleh, dengan tatapan sinis ke Hani. "Awas aja kalau cuman alasan!"

"Ceritanya panjang, Bu. Tapi ini rahasia. Aku nggak mungkin kasih tahu Ibu, Kenapa Mayang pingsan."

"Lah, kamu nggak percaya sama ibu?"

"Bukan nggak percaya, Bu. Tapi, aku takut kalau sampai Mayang marah. Secara, aku udah janji nggak bakal kasih tahu siapa pun tentang masalahnya."

"Wah ... mencurigakan!" Nunung pun akhirnya kembali pada apa yang sedari tadi ditontonnya.

"Mencurigakan apa?" Hani mengernyitkan, heran.

"Curiga, kalau si Mayang itu sebenarnya habis ketemu selingkuhan. Terus kamu yang antar? Astaga, Hani. Kamu habis kok mau-maunya, sih? Nanti, kalau sampai suaminya tahu, kamu pasti kebawa-bawa!" cerocos Nunung sambil mencubit pangkal paha anaknya.

"Dih!" Hani langsung mengusap-usap pahanya, merasa sakit. "Ibu apaan, sih? Jangan suuzan, deh."

"Makanya bilang. Biar ibu nggak suuzan!"

"Tauk, ah. Mending aku makan. Dah lapar juga!" Hani beranjak bangun.

"Makan piring? Orang ibu belum masak."

"Ibu ...!"

***

Malas karena terus-menerus ditanyai ibunya, Hani pun menyibukkan diri di dapur setelah membeli bahan-bahan masakan dari warung sebelah. Dengan perasaan kesal, Hani mulai memotong-motong sayur. Lalu mengiris sebangsa bawang untuk bumbunya.

Sebab sop yang akan dipasak Hani mau ditambah ceker, ia pun merebus ceker yang sudah dibersihkannya terlebih dulu. Dimasukkannya air ke dalam panci, lalu ditabur garam agar terasa sedap.

"Harusnya, yang direbus tuh ceker selingkuhannya si Jimi. Sekalian sama Jimi nya sekalian."

Hani mengomel sambil menutup panci. Lalu dia kembali pada bahan yang lain. Cabai, tomat, dan bawang sudah menanti untuk disiapkan sebagai bahan sambal. Hani pun memipit cabai, lalu mengupas bawang, sebelum memotong tomat. Barulah setelah itu selesai, dia menggorengnya bersamaan. Tak butuh waktu lama, bahan sambal siap dihidangkan dalam ulekan.

"Sekarang giliran masam sayur sopnya, nih." Hani bicara sendiri sambil menyiapkan panci lagi, lalu menuang minyak sebelum memasukkan irisan sebangsa bawang ke dalamnya. "Nah. Ini juga harusnya tangan dia yang diiris-iris tipis. Terus ditumis, deh sampai gosong!"

"Dih, Han. Sadis amat ibu denger." Tiba-tiba, Nunung berkomentar dari ambang pintu dapur. "Tangan siapa yang harusnya diiris-iris?" lanjutnya, penasaran.

"T-tangan ayamlah!"

"Ayam ada tangannya?" Nunung sudah berdiri di samping Hani, sambil mengontrol apa yang dimasak anaknya itu.

"Ada. Itu, sayapnya," jawab Hani, sambil memasukkan potongan sayur berupa wortel, kentang dan brokoli ke dalam panci.

"Sayap ya sayap. Ngapa jadi bilang tangan?" Nunung menggeleng, heran. "Terus Kenapa harus sampai gosong?"

"Hani gada bilang gitu juga. Ibu salah denger kali, tuh." Gadis itu pun menyangkal, sambil menuangkan segayung kecil air ke dalam masakannya.

"Telinga ibu masih beres. Mana ada salah denger!"

"Yadah-yadah. Ibu tunggu di luar aja, ya? Ini bentar lagi matang, kok!" katanya sambil mendorong pundak ibunya, sampai ke ambang pintu.

"Ibu mau lihat doang kali."

"Nanti aja langsung makan. Aku nggak mau diganggu pokoknya!"

Nur langsung menutup pintu dapur, bahkan menguncinya dari dalam agar Nunung tak datang untuk mengganggu. Lantas, dia pun ingat, kalau ceker yang direbusnya itu pasti sudah matang.

"Bikin mood ambyar, nih Ibu!" omelnya, sambil menyerok ceker dari dalam panci. Lalu memasukkannya ke dalam panci lain yang sudah diisi banyak sayuran. "Saking kepo tuh pasti!"

avataravatar
Next chapter