32 Bab. 32. Suka-Suka Aku

Obrolan demi obrolan. Candaan demi candaan. Bahkan, Wiliam sudah berani menggoda Uni dengan kata-kata manisnya. Membuat Uni tiba-tiba tersipu, seberapa kuat pun ia meyakinkan diri untuk tak tergoda.

Wajah tanpa riasan itu tiba-tiba memerah seperti buah ceri yang siap untuk dipanen. Merona, dengan bibir yang awalnya ditahan seketika melengkung tipis. Uni tersenyum manis sambil melahap nasi uduk yang baru saja ia beli, dari ibu-ibu penjual gorengan.

"Apa, sih? Makin ke sini omongannya begitu mulu." Uni menelan kunyahannya sambil bicara. Lalu disusul oleh segelas air karena merasa sepat di tenggorokan.

"Ya, nggak apa-apa dong. Suka-suka aku. Lagian, aku tau kalau kamu juga suka digodain."

"Eh, mana ada begitu?" Bibir Uni seketika mengerucut. "Aku bukan wanita murahan yang dengan mudahnya dirayu-rayu."

"Yang bilang kamu murahan siapa? Aku, kan cuman bilang, kalau kamu suka aku godain. Lagi pula, aku melakukannya untuk menghiburmu. Untuk membuatmu senang. Begitu!" timpalnya, terdengar penuh keyakinan.

Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, Wiliam memang menyukai Uni sejak pertemuan pertama mereka. Makin ke sini, selain iba karena perbuatan suaminya, ia pun kerap merasa jatuh hati. Bahkan, sampai terbersit untuk memilikinya.

"Ya, emang nggak bilang gitu. Tapi, kata-katamu itu seolah bilang begitu." Uni masih merutuk.

"Ok-ok. Kalau gitu, aku minta maaf, deh. Tapi, sebagai tanda permintaan maafku, mau nggak kita jalan keluar? Kamu pasti bosan, dong diem di kontrakan terus?" tanya Wiliam.

"Jalan-jalan ke mana emang? Nggak mau, ah. Nggak punya duit aku. Syakir kan belum gajian. Dia gada ngasih aku pegangan juga dari kemarin. Ini, aku beli nasi uduk aja pake duit sisa ongkos."

"Yang minta duit siapa juga? Aku cuman ngajak kamu jalan."

"Ya, kan aku mau jajan nanti. Masa jalan-jalan nggak sambil ngemil?" tanyanya.

"Nanti aku beliin. Udah sana mandi. Siap-siap, dandan yang cantik. Aku otw ke sana sekarang buat jemput kamu."

"Eh, tapi—"

Tut! Telepon terputus.

"Astaga! Ini orang. Ngeselin emang. Tapi, kok ngangenin, ya? Eh!" gumamnya sambil tersenyum-senyum. Lalu bangun untuk melakukan apa yang dikatakan Wiliam. Mandi. Namun, karena tak mempunyai alat rias seperti wanita kebanyakan, Uni hanya akan merias dirinya sesederhana mungkin.

Bahkan, saking takutnya Wiliam datang sebelum ia selesai, Uni sampai tergesa-gesa. Mandinya serupa kadal, yang cukup dengan beberapa gayung air. Hanya saja, untuk menjaga penampilannya, ia tak lupa menggosok gigi.

Memilih pakaian, baju dan celana yang dibawanya pun hanya beberapa. Itu pun yang memang bisa dipakai saat hamil. "Nggak apa-apalah. Cuma jalan-jalan doang ini," gumamnya seraya mulai merias diri.

Mulai dari menyisir rambut hitam panjangnya, lalu berlanjut pada wajah yang hanya dipoles pelembap dan bedak tipis-tipis. Lalu memasang lipstik cokelat seperti makanan kesukaannya, sebelum menyemprotkan parfum ke beberapa bagian tubuh.

Menit kemudian, saat Uni kembali memeriksa wajahnya dati ketebalan bedak, ponselnya berdering nyaring. Wiliam yang sudah sampai di depan gerbang kontrakannya itu menelepon agar Uni segera keluar.

"Huum. Tunggu bentar," jawabnya seraya mematikan panggilannya. Lalu memasukkan ponselnya tersebut ke dalam tas, sambil menutup dan mengunci pintu.

Dilihatnya langit di atas sana, hari sudah sedemikian panas. Namun, mengingat mobil Wiliam yang ada AC-nya, Uni tak merasa takut kepanasan. Bukan mengapa, dia yang kadang merasa mual hanya takut kalau tiba-tiba merasa ingin muntah karena pusing akibat kepanasan.

Ini adalah kali pertamanya keluar bersama seorang pria selain Syakir. Namun, dalam hati Uni tekankan sekali lagi, kalau hubungannya dengan Wiliam hanya sekadar teman. Tak lebih, dan tak mungkin lebih selama dirinya masih terikat pernikahan dengan Syakir.

Sekali pun berpisah, Uni tak yakin kalau Syakir benar-benar menyukainya. Apalagi setelah Wiliam mengatakan niatnya, yang hanya ingin menghibur, Uni pun harus membuang bapernya jauh-jauh.

Keluar dari gerbang, Uni pun melihat mobil Syakir yang terparkir tak jauh dari sana. Buru-buru ia pun melangkah maju, seraya mengedarkan pandangan. Takut, karena setidaknya, beberapa orang yang tinggal di kontrakan tersebut mengetahui statusnya sebagai istri Syakir. Untungnya, Uni merasa tak seorang pun melihat kepergiannya. Membuat ia merasa sedikit bebas, saat masuk ke dalam mobil Wiliam.

"Aku lama, ya?" tanyanya, setelah duduk.

"Nggak. Akunya aja yang kecepetan. Um, nggak sabar ketemu kamu lagi, sih." Wiliam kembali menggoda Uni. Meski ujungnya diakhiri seringai tawa.

"Gombal terus ...!" Uni pun menanggapinya dengan candaan. "Seriusnya kapan?"

"Ya, kapan-kapan. Kalau kamunya udah menjanda juga!" jawabnya. Sejurus kemudian, gelak tawa pun memenuhi seisi mobil, sebelum akhirnya Wiliam melajukan mobilnya cepat.

Hari semakin beranjak siang. Wiliam harus buru-buru membawa Uni ke mall untuk memberinya beberapa hadiah. Pakaian hamil salah satunya, setelah melihat apa ysng dipakai Uni tak begitu pas dipakai oleh orang hamil. Celana hitamnya itu memang terlalu ketat. Tetapi karena melar, Uni memang tak merasa sesak.

"Aku belum sarapan loh." Wiliam kembali memulai pembicaraan.

"Kenapa atuh?"

"Kamunya nggak nawarin tadi. Padahal, aku mau nasi uduknya."

"Ye ... sekalipun ditawarin, nggak mungkin juga kali kamunya bisa ikut makan."

"Ya, iya. Tapi setidaknya, aku merasa kenyang karena ditawarin dan disuapin bohongan."

"Ahaha! Emang bener-bener aneh kamu mah." Uni tertawa pelan, seraya menyembunyikan rona di wajahnya dengan memalingkan muka ke arah jendela. Sekaligus melihat-lihat jalanan pula.

"Dih! Dia malu sendiri. Liat sini dong," pintarnya.

"Apaan? Mana ada aku malu sendiri? Malu-maluin mah iya!" jawabnya, sambil menoleh dan mendapati Wiliam tertawa-tawa. "Dih! Ngetawain."

"Kamunya lucu, sih. Bikin aku pen nyulik."

"Astaga! Anak siapa, sih, ini?" Uni kian terbahak, bahkan terpingkal dan menutupi mulutnya dengan kedua tangan.

"Mau ngapain nanyain aku anak siapa? Mau minta dinikahin?"

"Eh!?" Uni mengernyit, seraya menahan tawanya yang ternyata susah untuk ditahan.

"Iya, kan?"

"Nggak!"

"Iya aja, sih."

"Dih! Jan bercanda mulu napa. Perutku sakit ketawa mulu tau." Uni benar-benar menahan tawanya sampai terbatuk-batuk kecil.

Namun, saat sentuhan tangan Wiliam mencapai dan mengusap perut buncitnya, tawa dan batuk Uni seketika terhenti. Uni bergeming, seraya memperhatikan setiap gerakan lembut yang dilakukan Wiliam terhadap perutnya.

"Aku lupa kalau di perutmu ini ada janinnya," kata Wiliam tanpa mengalihkan tatapan dari jalan. "Tapi, kamu pasti senang kalau ibumu ini juga senang, kan?" tanyanya, pada bayi yang bahkan belum lahir.

Hening sejenak. Namun, sebelah tangan Wiliam masih saja mengusap lembut perut Uni sambil terus melajukan mobilnya, dengan kecepatan sedang.

"Kenapa diam? Nggak suka, ya aku pegang perutnya gini?" Wiliam menoleh barang sekejap sambil tersenyum. Lalu kembali fokus berkendara.

"Um, nggak, sih. Kaget dikit aja. Dah lama juga nggak dipegang Syakir." Uni menyengir. Tapi Wiliam justru terbahak.

Entah kenapa, Wiliam kerap merasa lucu tiap kali mendengar nama Syakir. Apalagi mengingat suami dari wanita yang disukainya itu persis seperti orang yang mengkhianati ibunya. Rasanya, Wiliam ingin memisahkan Syakir dari Uni saat ini juga.

Namun, melihat Uni yang masih ingin mempertahankan pernikahan yang entah karena apa, Syakir pun kerap meredam keinginannya itu. Bahkan rela menunggu, sampai Uni benar-benar muak dengan kelakuan Syakir terhadapnya.

"Bentar lagi kita sampai, Uni. Siap-siap turun, ya." Wiliam pun menarik tangannya dari perut Uni, lalu memfokuskan dirinya lagi ke jalanan yang untungnya tak begitu macet. Sehingga dalam hitungan menit, mereka pun sampai.

Wiliam memarkirkan mobilnya di parkiran. Lantas menuntun Uni masuk ke dalam, meski temannya itu menolak untuk digenggam. "Nggak bakal ada yang kenal kamu juga. Nggak apa-apa, sih aku tuntun. Aku cuman takut kamunya hilang."

"Aku bukan anak kecil, Bang. Mana mungkin hilang. Jangan beralasan, deh." Uni memutar bola matanya, karena dapat menyadari perkataan Wiliam yang hanya dijadikan alasan untuk bisa menggandengnya.

"Syukurlah kalau paham itu alasan. Dengan begitu, kamu tau kalau aku memang ingin menggandengmu. Tapi ... tapi, nih, ya. Mulai sekarang, please jangan panggil aku 'Bang'. Kita ini bukan adik-kakak. Tapi calon suami istri. Jadi, panggil Yang atau panggil namaku saja."

"Astaga! Maaf aku ngakak." Uni benar-benar tertawa sambil menangkup mulut.

"Aku serius. Malah ketawa kamu."

"Tawaku juga serius. Kata-katamu itu aneh, tapi kok lucu gitu, ya?"

"Sebenarnya, yang membuatku seperti ini kamu loh," katanya. Uni menggeleng. "Nggak percaya? Coba tanya dokter yang waktu itu memeriksamu di rumahku. Dia itu sahabatku dari kuliah. Dia tahu banyak tentangku."

"Nggak. Nggak kenal pun."

"Nanti aku kenali. Sekarang, aku mau kamu pilih pakaian di depanmu ini. Lihat! Bagus-bagus untuk wanita hamil bukan?" katanya, sekaligus bertanya perihal kualitas juga model pakaian yang ia lihat.

"Eh, kenapa jadi beli baju untukku? Kita cuman mau jalan-jalan sambil jajan, 'kan?" Uni mendongak, menatap heran ke arah Wiliam yang justru tersenyum-senyum.

"Nggak apa-apa. Aku emang niat beliin kamu baju. Kalau perlu baju buat bayimu. Tapi, katanya pamali ya kalau belum lewat tujuh bulan? Lagian, belum ketahuan juga jenis kelaminnya."

"Aih, kok tau?"

"Tau, dong. Ibuku kan pernah hamil." Wiliam pun berjalan lebih dulu ke toko yang ada di hadapannya. Lantas melihat-lihat, pakaian mana yang pas untuk Uni.

Uni menyusulnya, masih dengan tatapan heran karena melihat antusias Wiliam yang jauh beda dengan suaminya sendiri. "Sebenarnya nggak usah, Wil. Ok, aku panggil Wil mulai sekarang. Karena, aku mau jalan cuman buat beli jajan."

"Iya. Habis belanja baju, nanti kita jajan. Tukang makanan kan di lantai atas. Jadi, sambil melihat-lihat, nanti kita naik."

"Um—"

"Nggak usah nolak. Ini tuh rezekinya kamu," sela Wiliam yang seketika membuat Uni bungkam. Lantas mengekor, ke mana pun temannya itu melangkah.

Satu, dua pakaian selesai Wiliam pilih. Kemudian dia beralih, membawa Uni ke toko sandal. Lagi, Uni pun benar-benar dilarang bicara dari pada mengatakan sesuatu untuk menolak pemberiannya. Sehingga Uni kemnali bungkam, meski Wiliam memasangkan satu sepatu dan satu sandal untuknya.

Barulah setelah itu, Wiliam membawa Uni naik. Perutnya yang baru terisi kopi sudah begitu keroncongan, minta untuk diisi. "Kamu mau makan apa?" tanyanya, saat masih menaiki lift.

Namun, Uni masih saja bungkam setelah Wiliam melarangnya untuk bicara.

"Dih! Ditanya, kok diam gitu? Jawab, sih."

Uni menggeleng seraya merapatkan bibirnya. Sementara sebelah tangan memperagakan gerakan mengunci mulut.

"Karena tadi aku larang bicara? Ahaha. Ok. Kamu boleh bicara sekarang."

"Nah ... gitu dong. Astaga! Pengap rasanya dari tadi nggak ngomong tuh." Uni langsung menghela dan membuang napas panjang, seraya memutar bola matanya.

"Astaga! Auk, lah. Sekarang aku pen makan. Lapar banget pokoknya," timpal Wiliam begitu turun dari lift. "Suka makanan pedas?"

Uni mengangguk.

"Ok. Aku tau tempatnya!"

Mengekor dengan tangan digandeng Wiliam, Uni tersenyum simpul karena perasaannya tiba-tiba melayang tanpa beban. Uni merasa bebas, bahkan lupa akan masalahnya dengan Syakir yang tak habis-habis dari kemarin.

"Ya, Tuhan. Aku Kenapaaa?" batinnya, seraya memperhatikan Wiliam dari belakang. "Kenapa tiba-tiba aku merasa semakin nyaman? Apa yang harus aku lakukan? Sedangkan statusku saja masih menjadi istri syah Syakir."

Uni berkedip lambat, saking tak mau melewatkan kesempatan memperhatikan Wiliam tanpa diketahui siapa pun. Lantas tanpa sadar membalas genggaman tangan temannya itu. Sadar, kalau Uni membalas genggamannya, Wiliam pun berhenti dan berbalik badan secara tiba-tiba. Membuat Uni tubuh Uni seketika menubruknya.

"Eh, maaf-maaf. Tapi, kok berhenti? Kenapa?" tanyanya, sambil melangkah mundur.

"Nggak. Aku cuman ...."

Singkat dan cepat, Wiliam pun mencium punggung tangan Uni. Membuat kedua mata Uni seketika melebar, dengan mulut menganga. "Wil, apa yang—"

"Sudahlah. Aku tahu kalau kamu juga merasa nyaman denganku. Jadi, please ... biarkan aku menjagamu sampai kamu benar-benar yakin untuk meninggalkan Syakir demi aku," selanya.

"Wil!?" Uni benar-benar merasa bingung dan heran. Dia hanya melampiaskan kesedihannya bersama Wiliam. Sehingga takut, jika apa yang dia rasa hanya semu semata. "A-aku."

"Aku paham perasaanmu. Tapi please, izinkan aku bersamamu."

"Ya, Tuhan. Kalau begini ... itu artinya, aku sama-sama melakukan kesalahan," bayinya, seraya menelan ludah dengan susah payah.

"Uni ... aku janji, aku akan menjadi pria terbaik untukmu."

"B-bukan itu masalahnya. Tapi, a-aku nggak mungkin melakukan kesalahan yang sama dengan Syakir," jelasnya seraya menarik tangan dari genggaman Wiliam. "Kamu mungkin memang benar, mengenai perasaanku. Tapi maafkan aku. Aku nggak mungkin melakukannya, Wil."

"Aku yang seharusnya meminta maaf. Bukan kamu. Tapi, ya sudah. Demi Tuhan, aku lapar." Wiliam pun menyengir. Dan seringainya itu mampu membuat wajah Uni kembali berseri.

"Astaga. Ya, sudah ayo. Kenapa coba malah berhenti di sini?" Sekarang, giliran Uni yang menariknya sampai mengekor, di belakang.

Dan, alih-alih ke tempat di mana Wiliam akan mengajaknya makan makanan pedas, Uni justru membawa temannya itu ke tukang mie ayam. Untungnya, mie ayam di mall tersebut memang lezat. Sehingga, tak percuma juga mereka itu makan di sana.

"Habis ini kita ke mana?" tanya Wiliam, sambil menikmati mie ayam pedasnya.

"Pulanglah." Uni pun menenggak segelas air, setelah menjawab pertanyaan Syakir. Temannya itu memang aneh, sudah kayak membawa anak gadis. Dia kam sudah bersuami, pikir Uni.

"Loh, kenapa? Baru juga jajan mie. Emang kamu nggak mau jajan yang lain?"

"Mau, sih. Tapi ... aku harus udah stay di rumah sebelum Syakir pulang."

"Syakir lagi. Akunya kapan?" Kali ini, Wiliam tampak cemburu. Benar-benar cemburu, sampai menghentikan aktivitas makannya.

"Ish! Mulai, deh. Aku ngambek, nih."

"Iya-iya! Um, padahal aku cuman cemburu. Bukan apa-apa."

"Hilih! Dah, makannya habisin. Abis tuh anterin aku pulang."

"Iya-iya! Tapi, jajan boneka dulu mau nggak? Tadi aku ada liat boneka gede, cantik banget sumpah. Kamu pasti suka."

"Nggak usah, Wil. Kamu beliin aku baju sama sepatu aja bisa bikin Syakir curiga tau."

"Aku malah seneng kalau dia curiga." Wiliam tertawa sumbang. Berharap penuh kalau apa yang dikatakannya barusan itu terjadi.

"Huaaaa!" Uni merengek. "Kapan makannya kita kalau ngobrol terus?"

 

 

 

 

avataravatar