2 Bab. 2. Terciduk

 

Dari kejauhan, Hani dan Mayang melihat ojek yang ditumpangi Jimi berhenti di depan sebuah rumah. Lalu, sambil celingukan Jimi pun membuka pintu gerbang. Dia benar-benar masuk ke sana.

"Lihat, May. Si Syakir masuk ke sana!" Hani menunjuk Syakir yang baru saja menghilang di balik gerbang. "Ayo cepetan turun. Kita ikutin dia ke sana!"

"Motormu?" Mayang mengerutkan keningnya, sampai hampir bertaut kedua alisnya yang terukir itu.

"Ah, iya. Duh. Gimana, ya?" Hani pun menepuk kening.

"Maju dikitlah. Udah masuk ini dia, Han."

"Ok-ok. Pegangan!"

Hani kembali menancap gas, lalu berhenti di samping rumah yang didatangi Jimi. Barulah setelah ia memarkirkan motornya di sana, mereka berjalan cepat ke arah gerbang. Keduanya mengintip dari celah-celah pagar.

"Tuh!" Hani menunjuk Jimi lagi yang masih berdiri di depan pintu. "Belum masuk dia."

"Aku bingung sekarang. Kita harus ngapain, Han?" Suara Mayang melemah, saking kaget karena suaminya itu bertamu ke rumah yang diyakininya adalah rumah seorang perempuan.

"Lah ... tadi, waktu di jalan, katanya berasa mau makan orang!" timpal Hani yang masih memperhatikan Jimi. "Tuh, lihat. Seseorang membuka pintu."

"Tubuhku lemes duluan, Han. Tahu sendiri dari tadi kita nggak berhenti jalan."

"Ya, Allah iya bener. Kamu pasti lapar ya, May?" Hani langsung menoleh, melihat teman dekatnya itu. "Duh ... kasihan bayimu, May."

"Iya. Tapi ... lihat itu. Jimi masuk, Han."

"Ya Allah Gusti. Yang punya rumah beneran cewek, May."

"Apa aku bilang, Han. Tapi ... tapi sekarang aku lapar. Aku juga haus." Tubuh Mayang langsung merosot, jatuh di depan gerbang rumah orang yang tak dikenalinya.

"Kalau begitu kita cari makan dulu aja gimana? Tadi kita lewatin warung, kan?"

Hani pun langsung terduduk juga di samping Mayang, saking merasa cemas. Temannya itu sedang hamil muda. Dan, dia nggak sempat makan ataupun minum di sepanjang jalan.

"Aku tunggu di sini aja gimana?" Mayang melihat temannya itu, dengan tatapan sayu sambil mengernyit. Dia benar-benar merasa lelah.

"Yakin?"

 

***

 

Khawatir dengan teman yang ditinggalkannya di depan rumah orang, buru-buru Hani kembali ke rumah itu usai membeli dua botol air dan beberapa bungkus roti.

"Dah kubilang nggak usah ngikutin Jimi, ngeyel. Kalau sudah begini, bisa-bisa aku yang disalahin kalau terjadi apa-apa sama dia." Hani pun mengomel sambil menarik gas cepat-cepat, sebelum akhirnya sampai di samping Mayang.

Temannya itu masih duduk dalam posisi yang sama, bersandar di dinding pagar dengan kedua kaki menyelonjor. Buru-buru Hani pun memarkirkan motornya, lalu turun dan segera menghampiri Mayang.

"Minum dulu, May. Pelan-pelan," titahnya usai membuka tutup botol air mineral. "Bis itu makan rotinya. Kamu butuh tenaga untuk kembali pulang, May. Perjalanan kita lima jam."

"Aku nggak bakal pulang sebelum benar-benar memergoki Jimi, Han." Mayang menjawab lemah, setelah menenggak air. "Kita harus memergokinya!"

"Tapi, May. Kondisimu—"

"Dah, aku akan baik-baik saja setelah makan dan minum!" selanya, tak mau kalah. Lalu, dengan semangat Mayang memakan roti. Hani benar. Dia butuh tenaga. "Kamu juga makan, Han. Biar kuat bantuin aku di dalam."

"Di dalam? Kamu mau masuk?"

Mayang seketika mengangguk. "Kita nggak mungkin bisa memergoki mereka kalau nggak masuk, Han."

"Tapi—"

"Aku nggak mau ada tapi-tapi, Han." Mayang menyela lagi. "Karena kita sudah mengikuti Jimi terlalu jauh."

"Ok! Tapi kamu yakin nggak bakal kenapa-kenapa? Tubuhmu lemah gitu, May." Wajah Hani pun tiba-tiba berubah tegang, saking khawatir dengan kondisi temannya yang keras kepala itu.

"Aku yakin. Tunggu saja sebentar lagi." Mayang memohon sambil memperhatikan sekitar.

Tempat yang dilihatnya itu tak begitu padat oleh rumah penduduk. Namun, setiap rumah terlihat bagus dan mewah dengan halaman yang cukup luas. Bahkan, banyak di antaranya bertingkat dua.

Entah di mana, mereka tak tahu sedang ada di mana. Bahkan, untuk kembali pulang pun, Hani nggak yakin hafal jalan yang dilewatinya sedari sore. Dilihatnya langit malam, hari sudah semakin larut.

"Kita masuk sekarang, Han." Mayang pun berusaha untuk kembali bangkit berdiri.

"Kondisimu belum stabil, May. Tunggu sebentar lagilah." Hani pun menyusul, dia berdiri sambil memegang sebelah tangan temannya itu.

"Kita nggak bisa nunggu lagi, Han. Karena waktu juga terus berjalan," jelasnya, sambil melihat-lihat ke dalam. Rumah yang didatangi Jimi tampak begitu lengang. "Aku benar-benar nggak mau kehilangan kesempatan ini."

 

***

 

Hani dan Mayang membuka pintu gerbang perlahan. Keduanya lantas berjalan cepat menuju teras, sebelum mengetuk pintu sambil mengucap salam. Sekali dua kali tak terdapat jawaban. Barulah setelah Mayang mengetuk pintu yang ketiga kali, seorang wanita menjawab salamnya dari dalam.

Pintu terbuka, tak lama setelah itu.

"Maaf ... dengan siapa, ya?"

Perempuan berwajah manis, dengan rambut terurai sampai sepinggang itu menatap heran ke arah tamunya yang baru saja datang itu. Sementara tubuhnya bergetar hebat karena takut kalau sampai ketahuan, telah memasukkan seorang pria ke kamarnya.

"Saya Mayang. Dan ini teman saya Hani."

"Oh." Perempuan itu mengangguk. "Terus, kalian ada perlu apa ya malam-malam begini datang ke rumah saya?"

"Saya mau ketemu Jimi!"

"Ji-Jimi?" tanyanya gelagapan. "Jiki siapa? Di sini nggak ada yang namanya Jimi!"

"Gitu? Sebentar. Biar jelas, akan kutunjukkan fotonya sekarang juga!" Dengan amarah yang menggebu-gebu Mayang pun merogoh ponsel dari tasnya. Lalu mencari sebuah foto berdua dengan Jimi dalam galeri.

"Ketemu!" batinnya seraya buru-buru menyodorkan ponsel pada wanita di hadapannya. "Lihat ini baik-baik. Dia lelaki yang tadi masuk ke sini. Dan, dia itu suamiku."

"Apa maksudmu? A-aku sama sekali tak mengenalnya "

"Woah, tak kenal, ya?" serobot Hani seraya masuk, menerobos perempuan yang memakai piama seksi itu sampai mundur. "Perlu aku tunjukkan foto si Jimi saat masuk ke sini?"

"Kamu memfotonya, Han?" Mayang tampak heran.

"Iya, lah. Buat bukti, May."

"Tunjukkanlah! Biar dia tahu kalau kita nggak main-main dan asal tuduh." Mayang mulai geram.

"Tak perlu, May. Karena aku baru saja mendapati bukti lain!"

"Apa maksud kalian ini, hah? Kenapa main masuk ke rumah orang? Pake segala menuduhku lagi!" Perempuan itu langsung menarik tangan Hani, lalu menyeretnya ke luar. "Pergi! Pergi kalian dari sini. Atau kalau nggak, aku akan melaporkan kalian."

"Lapor sajalah!" Hani menantang. "Aku sama sekali nggak takut karena punya bukti kuat!" lanjutnya sambil menepis kedua tangan perempuan di hadapannya itu kuat-kuat. Lalu, dalam hitungan detik, Hani balik mencengkeram tangan wanita itu. "May, geledah rumah ini cepat. Aku yakin suamimu ada di salah satu kamar."

"Jangan!" teriak wanita itu sampai Jimi yang menunggunya di kamar mendengar teriakkan itu. Jimi terkejut, lantas buru-buru dia meraih pakaiannya yang berceceran di lantai.

"Ada apa ini?" Jimi membatin seraya memakai celana dalam. "Kenapa pula ada suara ribut-ribut di depan? Gawat ini!" Tubuhnya langsung bergetar. "Mana tas sama sepatu aku simpan di ruang tamu lagi!"

Sementara di luar kamar, Mayang baru membuka dua ruangan yang ternyata tak ada Jimi di sana. Namun dia terus berjalan, mencari pintu-pintu yang tertutup rapat dengan gerakan cepat.

"Nah, itu!" gumamnya begitu melihat salah satu ruangan yang terdapat di ujung ruang, sebelah dapur. "Jimi pasti ada di sana!"

Buru-buru Mayang berlari, lalu membuka pintunya dengan sekali gerakan.

Bruk! Pintu pun terbuka lebar.

"Astagfirullah!"

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

avataravatar
Next chapter