17 Bab. 17. Nekat Demi Cinta

Bab. 17. Nekat Demi Cinta

Jimi mengerjap sebelum akhirnya terpaku, begitu sadar kalau suara yang didengarnya adalah milik Hani, kekasih gelapnya yang sudah nekat pergi ke Jakarta demi membuntutinya.

"Bang?"

"Eh, ya?" Jimi berbalik, dan seketika berpura-pura terkejut. "Han? Eh, ini beneran kamu?" tanyanya sambil mendekat. "Kok, bisa ada di sini? Dan ... sebentar, kamu kerja di sini? Astaga! Kok, aku nggak tau?"

"Kaget?" Hani tersenyum.

"Ya, tentu saja aku kaget. Gimana nggak coba? Kamu tiba-tiba muncul di depanku begini?" Jimi mengangkat pundak serta tangannya sambil menggeleng-geleng.

"Nggak seneng gitu?"

"Ya, seneng juga. Tapi ... kita nggak mungkin kelihatan akrab kek gini, Han. Bahaya!" Jimi mengedarkan pandangan, takut kalau sampai ada orang yang masuk ke dapur. Secara, pegawai lainnya sudah pasti akan segera datang untuk berganti shift.

Dan dia pun benar. Untungnya, yang muncul itu Ali. "Eh, kok dia ada di sini?" tanyanya, dengan wajah mengernyit.

"Salah jalan dia. Tadi mau ke toilet katanya. Iya, nggak ... siapa namanya tadi?" tanya Jimi pura-pura.

"Hani!"

"Ah, ya. Han. Iya, kan, Hani?"

"Iya!" Lagi-lagi Hani menjawab dengan raut wajah masam. Kesal karena memang dia pun tak bisa memaksakan diri untuk memberi tahu semuanya, kalau dia kenal baik dengan Jimi.

"Oh. Toilet mah sebelah kiri dapur, Han. Sini, biar kuantar." Ali mendekati keduanya. "Karena memang, cewek-cewek di sini dilarang deket sama dia, Han. Ahaha!"

"Sialan, lu!" Jimi pun menonjok pundak Ali sambil melengos. "Gue tunggu di ruang ganti lah."

"Woke!" timpal Ali, seraya menggiring Hani menuju toilet khusus pegawai. Hanya sampai pintu tentunya. Kalau nggak, bisa ditimpuk gayung dia.

***

Bergegas mengganti pakaiannya, Jimi pun langsung keluar dan menunggu Ali yang di parkiran. Entah kenapa, dia malas untuk menemui Hani sekarang ini. Akan tetapi, lebih semangat untuk menemui Anita di bar.

Mendapati Ali seorang diri, Jimi langsung menyuruh temannya itu untuk buru-buru. Membuat dia akhirnya kena omelan Ali lagi, karena terburu-buru nggak jelas seperti pagi tadi. Namun, siapa peduli dengan omelan Ali. Omelan Ali hanya angin lalu baginya.

"Bang, si Hani cakep, ya? Kek beda gitu dari pegawai lain." Sembari fokus menyetir, Ali menyengir. "Kalau boleh, Abang jan godain dia, ya? Biar dia buat gue aja gitu. Ahaha."

"Dih! Iya, kalau dia suka sama lu. Lah, kalau dia suka sama gue gimana gue mau nolak? Sikat aja, mumpung gratis ye, kan?"

"Lah, si Abang nggak mau ngalah sama temen sendiri. Abang kan udah punya yang lagi bunting di rumah. Aku belum punya yang kek mana pun."

"Serah, dah. Bisa-bisa lu aja rayu dia. Gue sih seneng kalau emang lu udah tergerak hatinya buat pacaran. Secara, jomlo terus emangnya enak?" Tawa Jimi meledak saat mengucapkannya. Lagi pula, dia memang sudah mencari cari buat melepas diri dari Hani. Dan seandainya Ali berhasil membuat Hani menyukainya, itu bagus.

"Malah ngeledek. Tapi wokelah. Gue mau coba godain dia, ah."

"Sip. Gue tunggu kabar baiknya, Bro. Tapi, asal lu tau, cewek itu sukanya diperhatiin, digodain, dam dibelanjain. Ahaha!"

"Apa pun, gue jabanin lah. Asal jan minta mobil sama apartemen aja, Bang."

Ali balas tergelak, tanpa mengurangi fokusnya berkendara. Lagi pula, perjalanan mereka hampir sampai. Hanya tinggal melewati beberapa belokan. Keduanya berhenti bicara sampai masuk ke gerbang kontrakan, lalu masing-masing bergegas menuju tujuannya masing-masing.

Jimi yang memang ingin segera pergi dari kontrakan langsung bersiap untuk mandi. Sementara Ali menunggu giliran sambil menyeduh kopi. Dia memikirkan saran Jimi tentang bagaimana caranya untuk mendapatkan hati seorang wanita. Oleh karenanya, dia pun mengirim chat pada Gea kalau dia menginginkan nomor Hani.

"Aku izin dulu, ya, Bang. Lagian, aku belum punya nomornya juga," balas Gea, secepat kilat.

"Oke. Gue tunggu banget tapi."

"Ahaha, iya. Tapi, tumbenan mau nomor cewek. Si Hani cantik, ya?"

"Seratus. Dia kek beda gitu dari kalian. Hidungnya mancung masa. Ahaha!'"

"Dih! Ngeledekin. Nggak kumintain nomornya, loh."

"Eh ... udah janji tadi. Awas bohong! Aku tunggu, loh. Mo diajak jalan gitu bilangin. Ahaha."

"Heleh! Kek punya duit aja lu, Bang."

"Duit mah banyak. Ahaha. Punya orang tapi."

"Dih! Dahlah. Nih, nomornya," balas Gea, setelah menyematkan sederet nomor di sana.

Ali langsung mengirimkan sticker bertuliskan terima kasih, sebelum beralih pada kontak yang kemudian dinamainya dengan nama Cantik. Lalu mengiriminya pesan, dengan alasan ingin saling menyimpan nomor.

"Siapa tahu ada perlu, 'kan?" katanya, balik bertanya.

"Ok. Makasih." Hani membalasnya singkat dan dingin.

"Hm ... emang, kalian udah sampe?"

"Udah. Tapi, ini baru turun dari angkot. Kamu udah sampe? Pulang bareng siapa?" Terpikir lagi oleh Hani, bahwa dekat dengan Ali bisa sekalian mengorek informasi tentang Jimi. Dia pun akhirnya memilih untuk bersikap manis pada Ali.

"Udah, dong. Ini lagi ngopi. Kalau Bang Jimi, yang tadi ketemu kamu di dapur, dia lagi mandi."

"Oh ... berdua aja? Yang lain mana?"

"Yang lain baru nongol, tuh. Kayaknya, mereka bareng kalian deh pulangnya."

"Oiya, emang. Lupa aku. Ya, dah ... aku mandi dulu kalau gitu. Yang lain pada mo rehat dulu soalnya."

"Iya-iya, Han. Yang bersih ya, mandinya. Biar makin cantik." Emoticon ketawa seketika menyusul, karena untuk pertama kali setelah lama tak mempunyai teman dekat, Ali baru menggombal lagi.

Ceklisnya tak lagi hijau, karena Hani langsung menyimpan ponsel di kasur setelah mengembalikan WhatsApp ke menu utama. Tahu kalau Hani akan mandi, Ali pun bergegas mandi sebelum keduluan yang lain.

Dia bersiul, lalu bernyanyi riang, saking senangnya mendapatkan pesan balasan. Sementara itu, Jimi yang baru selesai memakai pakaiannya langsung menelepon Mayang, agar istrinya itu tak menelepon nanti malam.

Bisa gawat kalau sampai Mayang menelepon saat dia sedang bersama Anita, pikirnya.

Istrinya itu dalam keadaan baik di kampung. Pun dengan janin dalam kandungannya yang baru terasa bergetar sesekali, Uni yakin kalau calon anaknya itu sehat juga. Dia bilang, besok adalah jadwalnya pergi ke posyandu untuk melakukan pemeriksaan bulanan.

"Ya, dah. Kamu baik-baik di rumah, ya, Sayang. Jangan lupa makan dan minum teratur. Abang mau mandi dulu. Udah gerah banget ini," katanya, penuh dusta. Karena dirinya, jelas-jelas sudah mandi dan bahkan berpakaian rapi.

"Abang juga. Ingat pesan aku kemarin, 'kan?" tanya Mayang, dengan nada suara penuh ancaman.

"Jangan nakal, jangan selingkuh, jangan jelalatan. Itu? Ingatlah!" timpalnya, yang kemudian ditutup salam, buru-buru. Selain mau mandi, Jimi pun beralasan kebelet buang air besar.

Begitu telepon terputus, Jimi langsung bernapas lega. Lantas bercermin untuk memastikan tidak ada yang kurang darinya. Pertama menyapu rambut yang bahkan sudah klimis. Kedua menepuk-nepuk pipi, persis Uni sehabis dandan.

"Udah rapi aja, Bang. Mau ke mana, sih?" tanya Ucok yang baru saja masuk ke kamar.

"Kepo, lu!"

"Nanya doang gue. Tapi, palingan mau cuci mata di mall kek biasa. Terus nyari yang bening-bening, ye kan?"

"Nah, tuh tau. Emang cakep, lu. Gue pergi dululah!" timpalnya sambil melengos. Namun, sebelum benar-benar meninggalkan kontrakan, Jimi mengirim chat terlebih dulu pada Ali.

"Kalau ada yang tanya gue ke mana. Bilang aja ada!" katanya, tanpa basa-basi. Apalagi penjelasan.

avataravatar
Next chapter