15 Bab. 15. Yang Sedang Saja

Setelah disambut teman satu kontrakan, yang juga akan menjadi teman satu profesi di restoran, Hani langsung membereskan pakaiannya dalam lemari yang sudah tersedia di sana. Namun, karena teman-teman barunya yang bekerja shift malam itu harus berangkat, Hani ditinggal seorang diri di sana.

Barulah setelah pukul lima, teman-teman barunya yang kebagian shift pagi datang. Tentu saja, awalnya mereka heran. Namun, karena sudah mendapatkan info akan adanya karyawan baru, dan lagi setelah Hani menjelaskan kedatangannya, mereka pun berkenalan.

Senang karena teman-teman barunya itu bersikap baik dan ramah, Hani pun senang karena bisa mengontrol Jimi dari jarak yang begitu dekat. Setidaknya, dia akan tahu, apakah Jimi masih berbuat nakal atau tidak.

Sebelum magrib, Hani menyempatkan diri untuk menelepon Nunung, agar ibunya itu tak khawatir. Lantas menelepon Mayang juga untuk memberitahu kalau dirinya sudah sampai di kontrakan, yang ternyata satu pemilik dengan kontrakan Jimi. Hanya saja, Kontrakan khusus lelaki ada di belakang kontrakan khusus wanita.

"Syukurlah kalau kamu sudah sampai Han. Jujur, aku merasa jauh lebih lega," kata Mayang setelah mengobrol banyak dengan Hani.

Hani tersenyum sinis mendengarnya. Karena Uni, nyatanya sudah menitipkan Jimi pada musuhnya sendiri. Namun, tentu saja Hani tetap bersikap baik dan lemah lembut. Seolah benar-benar peduli terhadap hubungan rumah tangga mereka.

"Tenanglah, May. Akan kupukul dia kalau ketahuan macam-macam kek kemarin. Kalau perlu, akan kucincang kepunyaannya." Hani tergelak. Namun, sepertinya, dia memang akan melakukan hal itu kalau Jimi sampai bermain dengan wanita lain.

Menanggapi omongan temannya itu, Mayang ikut tergelak sambil mengangguk-angguk setuju. "Tapi, sisain dikit buat aku cincang juga," jawabnya.

"Asiap! Mau bagian apa? Ahaha!"

"Burungnya!" timpal Mayang yang tak kuat menahan tawa.

Namun, karena adzan magrib terdengar baru saja berkumandang, Mayang pun meminta izin untuk mengakhiri panggilan. Dia harus segera salat, untuk kemudian bermunajat, agar Gustri Allah mau melembutkan hari Jimi.

"Ya, sudah. Kamu baik-baik ya di rumah. Jangan khawatir dan banyak pikiran. Jimi akan aman dalam pantauanku."

Sejurus kemudian, setelah Mayang mengucap salam, telepon pun terputus.

"Bodoh!"

Hani mengumpat sambil memelak pinggang. Sementara pandangannya mengedar ke sekeliling halaman kontrakan. Tempat itu ramai oleh penghuni kontrakan lain yang kebanyakan adalah gadis-gadis remaja cantik nan seksi. Membuat dia benar-benar merasa yakin kalau mereka pernah digoda Jimi.

"Nitip daging kok ke kucing!" desisnya lagi seraya masuk ke kontrakan. "Alih-alih aman, habislah gue makan!"

Melihat teman-teman barunya yang sedang berleha-leha sambil menonton televisi, Hani pun langsung bergabung dengan mereka, seraya banyak bertanya perihal apa dan siapa saja yang bekerja di restoran.

Dan begitu nama Jimi disebut, benar saja, Jimi memang kerap menggoda karyawan wanita. Bahkan pernah ada yang sampai menjalin hubungan. Tapi itu kemarin, sebelum karyawan wanita yang digodanya keluar dari restoran.

"Loh, kenapa dia keluar?" tanya Hani, semakin penasaran.

"Malu mungkin. Mereka, kan pacarannya sembunyi-sembunyi." Salah satu temannya itu tertawa-tawa sambil menjelaskan.

"Kenapa juga harus malu?"

"Ya, karena si Jimi itu kan udah punya istri. Otomatis dia malu dong ketahuan pacaran sama yang udah punya istri? Kan, dia sendiri juga udah tau itu."

"Ooo ...." Bibir Hani membulat, menyerupai huruf O. "Pantaslah!"

 

***

 

Mengorek banyak informasi tentang Jimi dari teman-teman barunya membuat Hani merasa geram. Saking tak tahan menahan marah, dia pun izin pergi ke kamar mandi dengan alasan kebelet pipis. Padahal, dia pergi karena ingin melepaskan amarahnya di sana.

Usai mencuci wajah, Hani kembali ke kamar menelepon Jimi, melewati teman-temannya di ruang tengah. Namun, sebelumnya, dia menahan emosi terlebih dulu agar tak membuat Jimi bertanya-tanya, dari mana dia tahu tentang masalahnya di restoran.

"Di mana?" tanyanya, tanpa basa-basi.

"Lagi di mall. Kenapa?" Jimi yang masih duduk berdua dengan Anita pun meminta waktu sebentar pada kenalannya itu sambil berdiri.

"Sama siapa?"

"Ya, sendirilah. Orang lagi mau beli celana." Jimi mengernyit heran, mendengar suara Nur yang terdengar beda. Persis seperti sedang menahan marah.

Itu memang benar. Bahkan, saking marahnya, Nur sampai memilin-milin selimut yang dipegangnya sambil membayangkan kalau itu adalah telinga Jimi.

"Nggak bohong, 'kan?"

"Loh, ngapain bohong? Lagian kamu kenapa, sih? Kok, suaranya berat gitu?"

"Nggak. Ini, aku lagi nahan sakit perut aja." Hani berbohong.

"Sakit perut? Duh, minum obat dong, Sayang."

"Bukan. Bukan sakit perut begitu."

"Terus?"

"Aku mau buang air besar!"

"Astaga!" Jimi menepuk kening sambil menggeleng. "Mau BAB ya ke kamar mandi dong. Ngapain telepon aku?"

Tut. Telepon langsung terputus karena Hani tak lagi dapat menahan marah. Dan lagi, salah satu temannya tiba-tiba masuk ke kamar. Membuat dia terkejut sekaligus takut. Hani pikir, bagaimana nasibnya kalau sampai mereka tahu hubungannya dengan Jimi yang sudah sejauh apa.

"Kenapa? Kok kek kaget begitu?"

"E-enggak. Anu, aku cuman lagi nelepon aja barusan. Jadi, ya kaget." Hani menggaruk tengkuknya seraya duduk, setelah sedari tadi tengkurap.

"Oh. Pasti lagi teleponan sama pacar, ya? Cie ...."

"Ahaha. Bisa aja kamu. Tapi emang iya, sih." Hani tertawa kikuk. "Kamu mau salat, ya? Aku lagi libur. Baru aja dapetnya. Untung nggak pas lagi di bus. Bisa malu kalau sampai bocor ke mana-mana."

"Hooh. Jan ganggu, ya," godanya.

"Nggaklah. Bukan setan, kok." Hani tergelak. Merasa lucu sendiri, mengingat dirinya yang sudah menjadi setan di antara Mayang dan Jimi.

"Apa, dong?"

"Inces!" timpalnya, kian tergelak. "Dah, ah. Aku di luar aja. Ahaha. Yang khusuk salatnya, ya."

Melenggang keluar kamar, tetapi gelak tawa Hani masih saja terdengar oleh temannya itu. Barulah setelah duduk di teras depan, tawanya berhenti. Dia kembali mengedarkan pandangan, hari sudah semakin gelap. Namun, di luar sana masih saja ramai oleh lalu lalang kendaraan.

Ingin mengetahui sekitar, Nur pun memberanikan diri jalan-jalan keluar, tanpa diantar teman. Lalu berdiri cukup lama di luar gerbang kontrakan sambil memelak pinggang. Di luar sana benar-benar ramai. Karena selain banyaknya kendaraan, pedagang kaki lima pun berjejer di pertigaan.

Berjalan lebih jauh, Hani pun memutuskan untuk membeli salah satu makanan yang tak jauh dari pandangannya. Ada Kang sate, Kang chicken, Kang Bakso. Karena lapar, akhirnya Hani duduk di kursi yang disediakan Kang sate.

Sebab ada begitu banyak pelanggan, Hani mengantre untuk mendapat giliran sambil bermain ponsel. Usap ke atas, usap ke bawah. Begitu, sampai tiba waktunya untuk dia memesan.

Namun, baru saja dia memesan, matanya menangkap seseorang yang dia kenal. "Bang Syakir?"

Hani berdiri lagi, tapi karena terlanjur memesan, dia tak mungkin mengejar Jimi untuk membuntutinya.  Membuat dia akhirnya hanya melongo, menatap tajam ke arah mana Jimi berjalan. Lelakinya itu masuk ke gang di sebelah gerbang kontrakan.

"Itu artinya, dia memang tinggal di belakang kontrakanku." Hani mengangguk seraya memasukkan ponsel ke saku celana. Urung menelepon Jimi setelah tadi terpikir untuk menghubunginya lagi, karena sate yang dia pesan sudah jadi.

"Pake lontong, Neng?" tanya Kang sate. Hani mengangguk. "Yang sedang atau yang agak panjang?"

"Aih?!" Hani hampir tertawa, karena baru tahu ada yang jual sate pake lontong ukuran sedang dan panjang. "Panjang aja, deh. Biar puas. Eh, maksudnya biar kenyang."

 

 

 

 

avataravatar
Next chapter