12 Bab. 12. Kabur

Mayang mengerjap-ngerjapkan mata, sebelum akhirnya dia sadar sedang ada di mana. Kamar tamu, yang dulu adalah kamarnya bersama Jimi sebelum pindah rumah. Lantas dia menoleh lemah ke sisi kanan, lelaki yang tadi hendak ia tinggalkan justru ada di sana.

Jimi yang duduk di lantai dengan kepala terkulai ke tepi ranjang, terlelap saking ngantuk dan capeknya. Dia bahkan mengorok, sampai membuat bising seisi ruangan.

Tak mau berlama-lama melihat lelaki yang sudah mengkhianatinya itu, Mayang perlahan duduk. Lantas dia beringsut pelan ke samping ranjang, sebelum turun dan berjalan pelan menuju pintu.

Usai membukanya perlahan-lahan, Mayang menengok ke sisi kiri dan kanan. Ibu dan ayah mertuanya pun tak tampak di depan mata. Buru-buru Ia berlari, lalu bergegas pergi karena pintu yang dilewatinya itu sama sekali tak dikunci.

"Alhamdulillah. Akhirnya aku bisa keluar dari rumah itu!" katanya, tegas tetapi penuh ketakutan. Pandangannya lantas beralih ke jalan lepas, melihat-lihat, barangkali ada ojek atau angkutan umum yang bisa membawanya pulang ke rumah.

Tidak ada siapa pun, tidak ada apa pun, selain semilir angin tengah hari di tengah panasnya sinar mentari. Mayang pun terpaksa berjalan kaki, menyusuri sejengkal demi sejengkal jalan beraspal sambil menunggu angkot atau ojek yang lewat.

Takut kalau sampai Jimi mengejar, Mayang menoleh ke belakang. Syukurnya, ia tak mendapati suami atau mertuanya itu di sana. Jalan yang ia lewati benar-benar lengang. Tak seperti biasa, yang kerap dilewati angkutan umum dan mobil lainnya.

"Duh," desisnya sambil mengusap perut. Mayang merasa lapar, karena tak sempat makan sedari malam. "Kayaknya nggak bakal sempat juga kalau aku masak dulu. Dah keburu lapar banget ini ...."

Mayang mengedarkan pandangan, melihat warung yang dulu menjadi tempat langganannya saat belanja. Begitu mendapati warung, jauh di seberang jalan, buru-buru dia melintas dan berlari cepat ke sana.

"Permisi! Assalamualaikum. Aku mau beli, Bu," teriaknya dari depan meja dagangan. Tak kunjung muncul, Mayang kembali memanggil si empunya warung sambil memilih makanan yang akan dia beli.

"Eh, Nak May?"

"I-iya, Bu. Ini aku May," jawabnya, sedikit terkejut karena si empunya warung yang sudah berdiri di hadapannya itu datang tiba-tiba.

"Duh, sudah lama sekali ya Nak May nggak belanja sama ibu. Tapi alhamdulillah, katanya Nak May ini lagi hamil. Benar begitu?"

"Iya, Bu. Insya Allah. Doain aku aja, ya Bu."

"Semoga kamu dan si jabang bayi sehat selalu, ya. Aamiin," balasnya.

Mayang mengaminkan, masih sambil memilih banyak makan dan sayuran buat persediaan. Mulai dari roti, kue kukus dan biskuit. Lalu sebungkus pare, ikan asin, dan bahan sambal pun ia kumpulkan di satu tempat. "Segini aja, Bu. Tolong dihitung, ya."

Saat si empunya warung menghitung sambil memasukkan belanjaan ke dalam kantong keresek, Mayang buru-buru merogoh ponsel dalam saku depan celana, untuk mengambil selembar uang yang ia selipkan di bagian belakangnya.

"Semuanya jadi dua puluh enam, Nak May."

"Iya, Bu. Ini uangnya," timpal Mayang, sambil menyodorkan uang yang ia pegang.

"Nggak ada uang kecil, Nak?" tanyanya. Mayang menggeleng. "Kalau gitu tunggu sebentar, ya."

Mayang mengangguk sambil berjalan mundur ke bangku yang disediakan si empunya warung untuk duduk. Lalu ia melahap sebungkus roti dengan begitu lahap, sembari menoleh ke belakang.

"Astaga! Bang Jimi?" Mayang terkejut, begitu mendapati suaminya sedang celingukan di sisi jalan. "Duh ... semoga aja dia nggak liat aku di sini."

Takut, karena Jimi semakin dekat, Mayang pun berlari cepat ke gang di belakang warung agar tak ketahuan, tanpa menghentikan kunyahannya. Merasa lucu sendiri, Mayang pun tertawa-tawa kecil.

"Dek May?" tanya seseorang dari belakang. Membuat Mayang seketika mematung setelah melempar roti saking terkejut.

Jantung Mayang hampir melonjak saking terkejut, saat mendengar suara seorang lelaki di belakangnya. Takut kalau sampai itu adalah Jimi, tubuhnya langsung mematung, terpaku tanpa bisa digerakkan.

"Dek Uni, ya?" tanya lelaki di belakangnya lagi.

Kening Uni langsung mengerut, mencipta lipatan-lipatan kecil di sana, saat pendengarnya kembali menangkap satu suara. Namun, suara yang ia dengar bukanlah dari seseorang yang ia takuti.

"Itu bukan suara Bang Jimi ternyata. Terus siapa, dong?" batinnya.

"Kok, malah diem? Jawab nggak, noleh nggak. Takut atau kenapa?" tanya lelaki yang tak diketahui Mayang lagi. "Aku—"

"Ah, Bang Yudi ternyata." Mayang menyela, begitu berbalik badan dan mendapati siapa yang tadi ada di belakangnya. "Maaf, Bang. Kupikir culik tadi."

"Culik? Siang-siang begini?"

Bang Yudi, ustaz yang kerap menjadi imam di salah satu masjid besar di sana itu tertawa pelan. Mayang mengangguk kikuk, sambil menyelipkan anak rambutnya yang beterbangan.

"Aneh. Tapi, dari mana, sih?" tanyanya lagi.

"Habis dari rumah ibu, terus aku ke warung buat masak di rumah." Mayang mengangkat kantong kereseknya setinggi dada. "Bukti," lanjutnya sambil menyengir. Takut dikira cuman alasan.

"Oh ... ok-ok." Bang Yudi pun menggaruk pelipisnya yang tak gatal. Berasa kikuk juga, karena dia jarang sekali berinteraksi dengan perempuan.

"Kalau begitu, aku pamit dulu, Bang. Mau masak soalnya." Mayang kembali mengangkat kantong kereseknya, sambil mengucap salam.

"Oh. Ok-ok. Waalaikumsalam, Dek May." Kali ini Bang Yudi mengangguk-angguk.

Mayang pun langsung berbalik badan, lalu melesat meninggalkan ustaz yang dulu menjadi salah satu anggota rombongan saat Jimi datang untuk melamar. Dia tak mau kalau Jimi sampai menemukannya. Namun, sadar kalau Jimi akan lebih dulu sampai di rumah karena memakai motor, Mayang pun mulai berjalan santai dengan tatapan waspada.

Matanya sigap merespons apa yang ia dengar, bahkan sampai terlihat seperti maling yang sedang diincar warga karena Mayang benar-benar tak mau kalau sampai bertemu Jimi di jalan. Dia ingin menepi, ingin sendiri, untuk mengolah apa yang baru saja diterimanya.

"Astaga! Bang Jimi beneran udah sampai duluan," kata Mayang begitu melihat Jimi tengah duduk di jok motor, dari kejauhan. "Duh ... ngapain pake segala nunggu di sana coba?"

Mayang pun berjinjit, lalu kembali mundur untuk memutar haluan arah jalan menuju rumah, karena dia nggak mungkin bisa masuk lewat pintu depan. Melewati halaman demi halaman rumah orang, Mayang pun akhirnya sampai di belakang rumah.

Ingat kalau ponselnya bisa berdering, Mayang menonaktifkan nada dering untuk setiap chat dan panggilan masuk terlebih dulu agar tak terdengar ada di dalam. Lalu dia pun membuka kunci perlahan-lahan, sebelum masuk dengan membawa sandalnya itu ke dalam rumah.

"Alhamdulillah aman ... Ya Allah," desisnya sambil meletakkan kantong keresek yang ia jinjing di sepanjang jalan. Lantas Uni berjinjit, berjalan menuju ruang tamu untuk mengintip Jimi.

"Rasain!" umpatnya dalam hati, begitu melihat suaminya itu kebingungan sendiri. "Tapi, lagi telepon siapa dia? Wah ... kudu tajamin pendengaran, nih."

Mayang pun menempelkan telinganya rapat-rapat di balik pintu, demi untuk mendengar apa yang dikatakan Jimi dengan seseorang yang diteleponnya.

"Aku sudah nungguin dia dari tadi di depan rumah. Tapi dia nggak datang-datang, Han!"

"Han? Hani?" batin Mayang, mengulang nama yang disebut Jimi. "Dia menelepon Hani?"

"Sekarang aku bingung harus mencari dia ke mana." Jimi kembali berucap.

"Kenapa mereka terdengar akrab? Bukannya kemarin Hani macam setan keiblisan begitu tahu Jimi benar-benar selingkuh?" Mayang bertanya-tanya dalam hatinya.

"Ok. Tapi, kalau kamu tahu dia ada di mana langsung hubungi aku, ya? Sekarang aku mau jalan lagi. Siapa tahu dia langsung ke rumah neneknya."

Begitu Jimi terdengar menyalakan motornya, Mayang pun bernapas lega. Bahkan, dia langsung terduduk di lantai dengan kaki menyelonjor.

"Itu artinya, aku nggak boleh ngasih tahu Hani juga sekarang."

***

avataravatar
Next chapter