11 Bab. 11. Terap Saja

Setelah melakukan ritual mandi bersama usai bersenggama, Jimi yang sudah kembali rapi pun bersiap-siap untuk berangkat kerja. Sayangnya, dia harus kembali ke rumah ibunya dulu untuk mengambil tas yang tertinggal di sana.

"Abang berangkat dulu, ya. Doain selamat sampai tujuan," katanya sembari memeluk dan kemudian mencium kening Mayang. Bibirnya mengembang lebar, sebelum akhirnya ia duduk berjongkok dan mencium perut buncit Mayang juga. "Baik-baik di dalam, Sayang. Ayah titip Ibu," lanjutnya. Kemudian, Jimi kembali beranjak bangun.

Mayang yang juga sudah berpakaian rapi mengangguk sambil meraih sebelah tangan Jimi untuk dicium. "Iya, Bang. Kamu hati-hati di jalan, ya. Tapi, awas aja kalau belok ke rumah wanita itu lagi!" ancamnya, sembari berdecak dan mencubit pinggang suaminya itu.

"Nggak. Abang janji, Sayang. Kali ini aku akan langsung melesat ke tempat kerja, kok."

"Baguslah. Dah, sana berangkat. Udah siang banget ini." Senyum ragu pun mengembang di bibir tipis Mayang.

Sekali lagi, sebelum berangkat, Jimi kembali mencium seluruh permukaan wajah Mayang sambil berbisik, "Hati-hati di rumah. Soal motor, Abang sudah bilang montirnya, untuk langsung diantar ke sini kalau udah selesai diperbaikinya."

Motor satu-satunya yang dia punya untuk memudahkan akses jalan , saat hendak pergi ke mana memang sedang diperbaiki sejak kemarin, setelah dibawa jatuh sampai lecet dan tak menyala, oleh salah tetangga yang meminjamnya.

"Abang juga. Hati-hati kepincut janda di jalan." Mayang mengingatkan suaminya kembali, sebelum kemudian ia menggiring Jimi ke luar.

Jimi pun tersenyum kikuk sambil menggaruk tengkuk. Ia berjalan beriringan dengan Mayang, sebelum kemudian ia melesat pergi sambil menelepon ojek yang biasa mangkal di pangkalan ojek, di jalan perempatan, tak begitu jauh dari rumahnya.

Dia harus bergegas. Bahkan terpaksa harus menemui seseorang dulu karena ancaman membuatnya sedikit merasa takut. Begitu ojek yang diteleponnya datang, orang yang akan ditemuinya menelepon. Jimi membiarkan ponselnya bergetar sebentar saja, sebelum kemudian ia mengangkatnya setelah naik ke motor.

"Udah berangkat?" tanya wanita di seberang telepon, dengan nada kesal.

"Udah. Ini baru jalan. Sabar dulu kenapa, sih?" Jimi yang sebenarnya merasa jemu dan malas pun menjawab kasar. Sengaja pula, biar ojek yang ditumpanginya itu tak menaruh curiga. "Lagian, mau apa, sih?" tanyanya, semakin kesal. Kalau saja tak takut akan ancaman wanita yang meneleponnya itu, Jimi enggan bicara ataupun bertemu lagi dengan wanita itu.

"Aku udah sabar nungguin kamu dari setengah jam lalu di sini, Bang. Jadi please, buruan! Biar kita bicara di sini saja."

Tut! Telepon terputus, sebelum Jimi sempat membalas. Dia mendengkus kasar, lalu menyimpan ponselnya dalam saku jaket, seraya duduk tenang di jok belakang. Menikmati sepoi angin di bawah sinar matahari yang tak begitu terasa panas karena Kang ojeknya mengebut.

Tak butuh waktu lama, Jimi pun tiba di rumah orang tuanya. Namun, dia singgah hanya karena ingin mengambil tas. Oleh karena itu, setelah mencium punggung tangan ayah serta ibunya, Jimi kembali naik ojek menuju pasar. Dari sana, dia pun naik angkot.

Sampai di depan hotel, tempat di mana Jimi bertemu dengan kekasihnya lebih dari setahun lalu, ia pun turun dari angkot. Lalu bergegas masuk, karena lagi-lagi, kekasihnya itu sudah menelepon.

Dengan diantar pegawai hotel, Jimi pun berjalan cepat ke kamar nomor seratus lima. Tak sabar ingin bertemu orang yang sedari tadi mengancam, akan menyebarkan video asusila yang dilakukannya kalau dia tak datang.

Sampai di depan pintu, Jimi menghela napas panjang setelah mengucapkan terima kasih banyak pada petugas. Lalu mengeruk pintu tiga kali, sampai orang yang sudah menunggunya di dalam membuka pintu.

"Aku nggak bisa lama," katanya, begitu seorang wanita cantik memelak pinggang di ambang pintu.

Namun, alih-alih menjawab, wanita yang dikenalnya sedari kecil itu langsung menarik Jimi ke dalam. Lantas menutup dan kembali mengunci pintu. Tanpa basa-basi, dia pun melucuti pakaiannya satu per satu di hadapan Jimi.

"Apa yang kamu lakukan? Katanya ada hal penting yang ingin dibicarakan?" Jimi menelan ludah, begitu melihat setiap lekuk tubuh yang kerap membuatnya kepanasan di ranjang.

Sebab, sebagai seorang lelaki normal, dia tetap tergoda meski hati dan pikirannya masih menyimpan rasa kesal dan marah terhadap wanita di hadapannya itu. Hanya saja, Jimi berusaha menahan hasrat demi menjaga gengsi.

"Aku memang ingin bicara!" bentaknya, seraya melangkah maju dan menarik tubuh Jimi sampai tak lagi ada jarak di antara mereka.

"Apa?" Tatapan Jimi mengedar, menghindar dari tubuh molek yang mencengkeramnya sekarang.

"Lihat aku!" bentak wanita di hadapannya kembali.

Jimi menurut, dia pun menunduk dan terpaksa melihat setiap lekuk tubuh yang selalu menggodanya, meski pun sedang berpakaian lengkap. Dia menelan ludah dengan susah payah.

"Aku memang bukan istrimu. Tapi apa pun itu, aku nggak terima atas perselingkuhanmu kemarin. Apa-apaan?" Wanita itu mendengkus kesal. "Apa kurang cukup dengan dua wanita yang selalu memberimu kepuasan? Apa kurang cukup, setelah aku memberikan seluruh hidupku ini untukmu?"

"Han ..." Jimi pun akhirnya mendesah. Ia benar-benar terpancing oleh moleknya tubuh Hani sekarang. "Bukan begitu. Aku—"

"Lalu apa?" Hani, wanita yang menjadi teman dekat Mayang sejak menikah dengan Jimi pun terisak, sambil merutuk kesal. "Apa yang kurang dariku?" tanyanya lagi, seraya menarik diri dan menunjukkan kemolekan tubuh yang selama bertahun-tahun menjadi kepuasan kekasihnya itu. Ia benar-benar sudah merasa gila karena mencintai Jimi.

Hening.

Jimi yang tak mampu menjawab pun hanya diam dan meremas rambut. Entah kenapa. Akan tetapi, perselingkuhan yang dilakukannya dengan aman bersama Hani membuat ia merasa kecanduan. Ingin melakukannya lagi dan lagi dengan wanita lain.

"Lihat aku, Bang!" Hani kembali bersuara. Namun, kali ini seraya duduk di tepi ranjang, lalu menjatuhkan diri di sana dengan posisi telentang. "Bahkan, sudah sejak lama aku merendahkan diri di hadapanmu seperti ini. Tapi kenapa, kamu malah tega mengkhianatiku.

Melempar tas ke lantai, Jimi pun mengayun kaki sampai berdiri di hadapan Hani yang masih dalam posisi sama.

"Aku sudah berjanji untuk tidak mengulanginya kembali pada Mayang. Dia memaafkanku. Dan, sebagai kekasih yang sudah kuanggap sebagai istri, sudah sepatutnya, kamu pun memaafkanmu!" katanya, seraya duduk berjongkok. Lalu, dalam hitungan detik, kedua tangannya sudah mencengkeram kedua kaki Hani.

"Aku tidak akan pernah menunggumu di sini, kalau saja tidak memaafkanmu, Bang." Hani mendesah, saat satu kecupan pertama mendarat dengan tepat di bagian tubuh sensitifnya.

Yang Hani suka, Jimi memang pintar memainkan lidahnya. Bahkan, lelaki yang sekarang tengah memanjakannya itu kembali, pintar membuatnya tak berdaya. Sekali pun susah melakukan kesalahan patal, tetap saja, Hani merasa jatuh hati.

 

 

 

avataravatar
Next chapter