10 Bab. 10. Bermain Lidah

Masih merasa lapar, Mayang pun langsung memasak begitu Jimi sudah menghilang dari halaman rumah. Lalu bergegas makan sebelum memutuskan untuk beristirahat sepuas hati. Biarkan saja Jimi kelimpungan, pikirnya. Biar tahu rasa!

Belum sempat beranjak untuk mencuci tangan setelah selesai makan, ponselnya bergetar. Sebenarnya sudah sedari tadi, tapi Mayang mengabaikan panggilan siapa pun termasuk dari Hani, Jimi, dan ayah mertuanya.

Namun, karena penasaran, kali ini dia membuka kunci ponselnya. Lantas melihat satu per satu chat dan daftar panggilan yang tak terjawab. Lebih tepatnya, sengaja tak ia jawab. Bukan hanya Hani dan Jimi, beberapa temannya pun menanyakan keberadaannya.

"Bodoh!" rutuknya sambil menggebrak meja. "Dia bilang nggak mau aku sebarin foto-fotonya ini. Tapi, nanyain aku ke banyak orang! Pada kepo kan jadinya?!"

Mayang berjangkit dari duduknya, lalu berlalu ke dapur seraya menyimpan piring dan gelas kotor ke wastafel. "Bodo amat, sih! Paling-paling, kalau sampai perselingkuhannya diketahui banyak orang, dia sendiri yang bakal malu."

Tok, tok, tok!

Mayang mengerjap kaget begitu mendengar suara pintu diketok. Lalu buru-buru menutup keran, dan mengelapkan tangan ke kedua sisi baju sambil berjalan berjinjit menuju kamar. Dia ingin tahu, siapa yang sudah menggedor-gedor pintu rumahnya.

"Dek ... buka, Sayang. Please!"

Ternyata Jimi. Mayang yang mengintip dari jendela kamar pun buru-buru menutup tirai yang disingkapnya barang sedikit. Lalu tidur di bawah selimut tebal. Padahal, cuacanya begitu panas. Tapi akan lebih panas lagi kalau bertemu Jimi, pikirnya.

"Aku tau kamu ada di dalam. Please ... buka pintunya!" Jimi kembali menggedor pintu, bahkan kaca. "Abang mau bicara sesuatu. Please!"

Namun, Mayang tetap tak menggubris seberapa banyak pun Jimi menggedor dan berteriak.

"Biar tau rasa dia! Apa-apa main selingkuh di belakangku. Pantesan jatah bulanan tekor mulu. Dipake jajan janda ternyata! Ih ... kesel, kesel, kesel!" rutuknya sambil memukul-mukul bantal.

Sementara itu, di luar, Jimi tak menyerah. Dia terus berusaha menggedor, bahkan berniat untuk mendobrak. Sayangnya tak berhasil karena tentu saja, kunci pintunya itu paten. Bukan semacam tulak.

Tak menyerah, usaha Jimi beralih ke ponsel. Ia menelepon Mayang berulang kali sambil berjalan mondar-mandir. Lalu mengirim pesan dengan kata-kata penuh rayu dan bujuk. Dia bahkan mengucap beberapa janji dan sumpah untuk tidak mengulanginya kembali.

"Aku mau berangkat kerja lagi, Sayang. Bos udah nelepon aku berulang kali. Tapi aku nggak mau ninggalin kamu dalam keadaan seperti ini. Jadi please, kalau kamu beneran ada di rumah, izinin aku buat masuk."

Emoticon love, cium, dan memelas pun membludak. Dikirim bersamaan dengan pesan permohonannya itu.

"Dek ... aku sayang kamu. Demi Allah maafin aku. Demi anak kita," pesannya lagi.

Mayang yang membacanya satu per satu mendadak lemah. Air matanya membuncah begitu ingat kisah-kisah romantisnya bersama Jimi. Apalagi saat tiba-tiba terkenang masa-masa pacaran dulu. Dia pun sangat mencintai Jimi.

Perlahan tubuhnya bangkit. Lalu turun dari ranjang yang menjadi tempatnya menghabiskan waktu bersama Jimi. Dengan langkah gontai, setengah hati dan ragu-ragu, dia keluar dari kamar.

Klik. Dibukanya pintu depan, Jimi yang sedari tadi berjalan mondar-mandir tiba-tiba berhenti dan berbalik menghadap pintu. "Dek?!" lirihnya sambil menghambur, hendak memeluk Mayang. Namun, Mayang justru melangkah mundur. Membuat Jimi urung memeluknya. "Alhamdulillah. Akhirnya kamu buka pintu juga. Aku sudah mengira kalau kamu ada di dalam. Karena sudah kucari ke mana-mana, kamu tetep nggak ada."

"Masuklah, biar aku bikinkan minum."

Mayang berbalik, hendak pergi ke dapur untuk memberi suaminya itu segelas air. Namun, belum sempat kakinya melangkah maju, Jimi sudah memeluk dari belakang, sambil menutup pintu dengan kaki.

"Demi Allah, maafin aku."

Jimi berbisik, sambil menyusupkan wajahnya di leher Mayang. Dia menghidu aroma dari keringat Mayang yang begitu khas di penciumannya. Bau yang sama, setelah bertahun-tahun bersama.

"Aku janji, ini adalah kekhilafan pertama dan terakhirku," bisiknya lirih dan parau. Sebagai seorang lelaki, dia bertekad untuk selalu bisa merayu dan membujuk seorang wanita. Di luar sanggup dan tidaknya, menepati sebuah janji.

***

Mendapati Mayang yang tak meronta, apalagi menolak, tangan Jimi mulai mengelus perut buncit istrinya itu. Pelan dan perlahan sampai membuat bulu kuduk Mayang berdiri. Dia merasa geli, sekaligus terpancing oleh hasrat yang terang-terangan ditunjukkan Jimi, karena lelakinya itu berulang kali mendesah dan mencium leher Mayang.

"Demi anak kita. Demi masa depan kita. Aku mohon maafin aku."

Jimi kembali mengecup leher Mayang, lalu memegang kedua belah pundak ringkih istrinya itu sebelum memutar dan membuat Mayang berbalik menghadapnya. Namun, kepala Istrinya itu justru menunduk lemah, menyembunyikan tangisnya.

"Hei." Jimi pun mengangkat dagu tirus milik istrinya itu sampai mendongak. Wajah Mayang sempurna basah oleh air mata. Membuat Jimi buru-buru mengelapnya dengan telapak tangan. "Aku berhutang banyak atas air matamu yang tumpah ini, Dek."

Sejurus kemudian Jimi menarik tubuh Mayang ke dalam pelukannya. Ia pun lantas menangis, menyesali perbuatannya yang hina.

"Sudahlah, Bang. Ayo, duduk. Biar aku ambilkan minum."

Jimi menggeleng. "Aku nggak butuh minum. Yang aku butuh sekarang adalah maaf darimu," desahnya, di sela-sela isak tangis.

Bagi sebagian orang, pantang laki-laki menangis di depan wanita. Tapi, tidak bagi Jimi, karena dia harus melakukan apa pun demi mendapatkan sebuah kata maaf dari Istrinya.

"Udah aku maafin. Dengan Syarat, aku nggak mau mendapati hal semacam ini lagi."

Jimi langsung menarik diri, lalu menatap seraya memegang kedua pipi Mayang dengan lembut. "Serius?" tanyanya, tak percaya.

Mayang mengangguk. Membuat Jimi seketika menyambar dan mencium bibir kemerahan itu sebagai tanda terima kasih.

"Ya, Allah. Terima kasih karena sudah memberiku kesempatan," katanya sambil mendongak. Lalu kembali mencium bibir Mayang yang menyungging tipis, karena sedikit merasa senang.

Tak mau membuang-buang waktu karena bos di restoran tempatnya bekerja sudah menelepon sedari tadi, Jimi langsung menjelajahi tubuh Mayang dengan bibirnya. Dari atas sampai ke bawah, setelah melucuti satu per satu yang dipakai istrinya itu.

Merasa jauh lebih panas dan bergairah, Jimi pun langsung menggendong tubuh Mayang yang tak lagi tertutup sehelai kain pun. Lalu membawa istrinya itu ke kamar, untuk melepas gejolak hasrat sebelum pergi bekerja.

Jimi gagal bercinta dengan selingkuhannya, tetapi sekarang dia berhasil menggauli istrinya yang jelas-jelas sah, seberapa sering pun dia ingin melakukannya. Namun, karena terburu waktu, ditambah ada urusan lain yang harus dia urus terlebih dulu, permainan ranjangnya hanya sampai sekali puas.

"Terima kasih, Dek. Aku bisa berangkat kerja dengan senang hati sekarang," bisiknya, di sela-sela napas tersengal karena capek membuat istri yang dicintainya itu merasa puas juga.

Jimi pun menjatuhkan tubuh berkeringatnya di ranjang dengan posisi telentang sambil menghela napas. "Aku memang bodoh, karena masih saja mencari kepuasan di luar sana," gumamnya.

avataravatar
Next chapter