1 Bab. 1. Membuntutinya Sampai Ketemu

Bersama Hani, Mayang nekat membuntuti Jimi ke luar kota, demi untuk membuktikan sesuatu yang membuatnya tak dapat tidur sepanjang malam. Tepatnya, setelah Mayang membaca salah satu pesan dalam ponsel suaminya itu pagi kemarin.

Ia penasaran, sekaligus geram karena Jimi tercium sedang bermain api dalam rumah tangganya. Padahal, Jimi tahu betul kalau istrinya itu tengah mengandung anak pertama.

"Cepatlah, Hani. Aku nggak sabar banget pen cepet-cepet memergoki mereka."

Mayang, yang di sepanjang jalan terus mengomel itu lagi-lagi menyuruh Hani untuk melajukan motornya cepat-cepat. Ia benar-benar tak sabar, sampai berkeringat kedua telapak tangan yang sedari tadi mengepal menahan kesal.

"Dan kalau itu sampai benar-benar terjadi. Beuh!" decaknya, geram.

"Sabarlah, May. Kita lagi di jalan raya ini." Hani, dengan semangat sama menggebu  pun menimpali teman dekatnya itu sambil melirik kaca spion, melihat Mayang dari sana barang sebentar.

"Aku takut kehilangan jejaknyalah, Hani." Mayang pun mengeluh, seiring dengan sorot mata sedih bercampur marahnya. Tatapannya itu benar-benar tak beralih dari bus yang ditumpangi Jimi.

"Taklah. Kita nggak mungkin ketinggalan jejaknya, May. Mangsa ada di depan sana. Dia nggak mungkin bisa lepas dari incaran kita." Hani tergelak, merasa lucu dengan omongannya sendiri. "Semangat, May! Masalah gelut, aku siap berdiri di belakangmu."

"Lah! Masa di belakang? Di depan dong, Hani. Aku kan lagi hamil." Mayang pun langsung mencubit pinggang sebelah kiri Hani, sampai menggeliat teman dekatnya itu sambil tertawa-tawa.

"Bercanda, May. Biar nggak tegang-tegang amat kita." Hani balas tergelak. Ia pikir, temannya itu harus diberi suport.

"Halah! Nggak usah bercanda-canda, Hani. Aku lagi serius pen makan orang ini. Jangan sampai kaulah yang aku makan nanti." Mayang serius. Ia bahkan yak tersenyum sama sekali.

"Dih! Jahatnya kamu, May." Hani mendelik, melihat Mayang dari kaca spion lagi. "Yang selingkuh suami kamu. Bukan aku!"

"Dah-dah, Hani. Fokus menyetir aja kamu. Busnya belok ke kiri, tuh!" teriak Mayang sambil menunjuk-nunjuk bus di hadapannya. "Kebut, Hani. Kebut!"

"Okelah, May. Aku tancap gasnya sekarang mumpung lengang, yes."

Seperti pembalap MotoGP, Hani langsung bersiap dengan mencondongkan tubuh sedangnya itu ke depan seraya menarik gas. Matanya yang sipit semakin sipit, begitu menahan terpaan angin yang menerpa-nerpa wajah serta rambut sepinggangnya. Keningnya pun langsung mengerut, membuat alis terukirnya seketika hampir bertaut.

Pun dengan Mayang yang duduk di belakangnya. Perempuan usia dua puluh tujuh tahun itu menyipit, sampai mengerutkan kening serta ujung-ujung matanya.

"Pegangan, May!" seru Hani begitu sampai di tikungan tajam.

Mayang langsung berpegang erat di pinggang Hani sambil terpejam, karena takut. Sementara tubuhnya terasa ikut miring, mulutnya pun komat-kamit membaca doa keselamatan.

Namun, rasa takutnya itu seolah kalah oleh ketidaksabarannya dalam menuntaskan misi memata-matai suami. Membuat Mayang akhirnya siap dan pasrah, walau apa pun yang terjadi dalam perjalanannya ini.

"Kenapa laju motornya melambat, Hani?" tanya Mayang, masih dalam keadaan terpejam.

"Busnya berhenti, May. Kita harus menjaga jarak biar Jimi tak melihat kita." Hani pun menjelaskan sembari merapikan anak-anak rambutnya yang berantakan.

Sambil membuka mata, Mayang pun mengangguk pelan. Lalu ia menyipit, untuk memastikan adanya Jimi atau tidak di pemberhentian ke sekian kalinya di sepanjang jalan tadi.

"Itu dia, Hani!" teriak Mayang, begitu mendapati Jimi turun dengan ransel di punggung, dari bus.

"St!" Tangan Hani langsung memukul pangkal paha Mayang saking terkejut. "Diamlah, May. Jangan sampai Jimi mendengar suaramu."

"Geramlah aku, Hani. Ngapain dia turun di sini coba? Tempat kerjanya bukan di sini. Bahkan masih jauh." Mayang mulai mengertak-gertakan giginya saking merasa geram. Kalau saja Hani tak menahannya, ingin sekali Mayang berlari untuk meminta sebuah penjelasan.

Namun, Hani benar. Mereka tak kan mendapat penjelasan apa pun kalau melabrak Jimi sekarang.

"Mau pindah bus kayaknya dia."

"Iya. Tapi ini bukan tempat di mana dia harus berganti bus." Bibir Mayang pun langsung mengerucut, seiring napas memburu. "Aku tahu. Karena aku pernah ikut dia ke kota."

"Ok. Kalau gitu, kita pantau saja dulu. Mau ke mana dia sekarang!" Hani ikut merasa geram.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, tapi Jimi masih saja naik-turun berganti angkot. Entah ke mana, Mayang dan Hani terus saja mengikutinya, sampai Jimi kembali turun dari angkot di sebuah pasar.

"Dia celingukan, Hani. Nyari apa kira-kira?" Lagi-lagi Mayang menyipit, saat memperhatikan gerak-gerik Jimi dari kejauhan.

"Kalau nggak nyari angkot, ya nyari ojek atuh, May. Paling nggak juga nyari janda. Karena nggak mungkin juga kalau dia mau mencuri." Hani langsung tertawa pelan.

"Lah. Serius aku."

"Aku juga serius, May." Hani langsung menangkup mulut, menahan tawanya. "Tuh, lihat. Jimimu itu mau naik ojek," lanjutnya begitu melihat Jimi mendekati pangkalan ojek.

"Ya, sudah buru ikutin lagi. Tapi tetap jaga jarak, Hani. Apalagi kalau dia naik ojek, rawan ketahuan kita," titahnya, seolah menggurui.

"Dari tadi juga jaga jarak, May."

Hani mendelik, sebelum menancap gas kembali. Teman di belakangnya itu sungguh bawel dan tak sabaran. Namun, sebagai sesama wanita, teman juga tetangga dekat, Hani merasa perlu untuk membantu Mayang. Apalagi, yang dihadapi temannya itu adalah kasus perselingkuhan.

Angin kembali menerpa-nerpa keduanya. Bahkan, kali ini semakin terasa dingin dan mencekam. Ditambah, motor yang diikuti Hani mulai melewati tempat-tempat gelap dan sepi. Membuat Hani dan Mayang berulang kali bergidik ngeri, takut kalau sampai ada hantu atau begal di tengah jalan.

"Hani," panggil Mayang.

"Hm."

"Sekarang, rasanya kok beda gini, ya?"

"Beda apanya?"

"Ini ... otakku."

"Lah, otakmu kenapa, Uni? Koslet?"

"Dih!" Mayang langsung menjitak punggung Hani. "Yang koslet itu otak Jimi dan selingkuhannya. Bukan aku."

"Terus, otakmu itu kenapa?"

"Mulai dingin, Hani. Amarahku beneran hilang."

"Baguslah, May."

"Kok bagus, sih?" Mayang langsung menjitak punggung Hani lagi. Dua kali, bahkan. "Resek, deh. Aku kan nggak mau kalau nanti malah menye-menye di depan Jimi dan selingkuhannya."

"Ish! Main jitak mulu, sih. Maksudku itu, bagus kalau otakmu dingin sekarang. Biar nanti, pas kita berhasil menciduk Jimi dan selingkuhannya, otakmu bisa langsung meledak." Hani tergelak, sampai menggerak-gerakkan pundak tegapnya. "Iya, nggak?"

"Ya, iya, sih. Tapi aku mulai galau ini."

"Tenang. Tarik napas dulu coba, terus kentut."

"Dih! Emangnya kamu, Hani. Jorok."

"Jorok, tapi bikin lega. Serius." Hani makin tergelak.

"Taulah. Aku beneran galau sumpah. Sakitnya jauh lebih terasa ketimbang tadi. Bahkan, rasanya aku mau nangis."

"Jadi, dari kemarin kamu belum nangis?" Hani tergelak lagi.

"Belumlah. Marah yang ada. Tapi sekarang, coba kamu pikir. Mau ngapain malam-malam begini Syakir nemuin cewek?"

"Iya juga, sih. Tapi, semoga aja prasangka kita ini salah, May."

"Aku harap juga begitu. Tapi, isi pesan yang aku baca kemarin ...." Mayang menjeda karena tiba-tiba napasnya terasa sesak. Sementara tubuhnya panas dingin. "Mereka benar-benar mau ketemuan, Hani. Ketemuan!"

avataravatar
Next chapter