17 Tujuh Belas

Baru saja turun panggung malam ini Jaeta langsung memberikan gitarnya sembarangan kepada staff tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Ia terus berjalan cepat menuju sudut backstage yang sepi. Jaeta menghembuskan napas lelah seraya memijat pangkal hidungnya berusaha menenangkan dirinya sendiri.

"Ada apa!?" tiba-tiba Erik datang berdiri didepan Jaeta dengan panik.

Jaeta tidak menjawab, dia lebih memilih menolehkan kepalanya kesamping tidak ingin bicara dengan siapapun.

Erik mendecak kesal, "kamu lupa lirik lagumu sendiri diatas panggung?? Syukur para fansmu berinisiatif bernyanyi sehingga bisa menyelamatkanmu. Kamu juga terlihat tidak tampil dengan sungguh-sungguh. Apa masalahmu?"

"Aku hanya sedang tidak fokus," jawab Jaeta pendek tidak ingin membahasnya.

"Kamu pikir aku baru menjadi managermu tadi sore? Aku tahu kamu Jae, lupa lirik adalah kelemahanmu dan itu hanya terjadi saat kamu sedang tertekan atau memiliki masalah," Erik ikut duduk disamping Jaeta, nada bicaranya sudah mulai santai.

"Dalam hal pekerjaan tidak ada masalah apapun, jadi sebenarnya ada apa? Aku sudah melihat ketidak beresan sejak sore tadi. Tadi siang kamu masih baik-baik saja, ada apa hah?" lanjut Erik memastikan karena Jaeta tak kunjung bersuara.

"Jangan terus bertanya kepadaku, kamu membuat kepalaku menjadi sakit!" kesal Jaeta menatap tajam Erik yang membuat Erik terdiam. Jika seorang Jaeta berkepribadian santai bertindak seperti sekarang itu artinya turuti saja kemauannya jika tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi.

"Apa maumu sekarang? Tempat ini akan membuatmu semakin stres, ingin pulang ke apartemen?" Erik menawarkan.

Jaeta memejamkan matanya sekilas, "aku ingin ke studio, hanya sendirian."

Erik mengangguk menyetujui permintaan artisnya tersebut, "akan kuantar kamu kesana, malam ini tidak ada kegiatan dikantor. Kamu bisa tenang di studio."

Jaeta berdiri dengan gontai, ia ingin secepatnya menuju studio. Hanya itu tempat yang rasanya bisa membuatnya merasa lebih baik. Namun langkahnya ditahan oleh Erik.

"Berikan ponselmu malam ini padaku,"

"Kenapa?" tanya Jaeta dengan suara nyaris tak terdengar.

"Hanya memastikan kamu tidak membuka media sosial. Hatersmu mengerikan, kita tidak tahu apa yang akan mereka tulis malam ini, kamu harus menenangkan diri tanpa bacotan sial mereka."

*

Rintik hujan tampak turun malam ini satu persatu, mata Jaeta terpaku menatap hal tersebut melalui kaca jendela studio dimana kini ia hanya sendirian didalamnya. Sesekali hela napas lelah terdengar dari arahnya.

"Apa yang terjadi denganku? Apa pilihanku menjadi seorang penyanyi salah?" kalimat itu keluar dari mulut Jaeta kepada pantulan bayangan dirinya sendiri.

Ucapan Echa tadi sore masih terngiang-ngiang dibenak laki-laki berpostur jangkung itu. Penampilannya tadi benar-benar kacau, ia lupa lirik, kehilangan tempo bahkan tidak fokus dengan arah kamera. Keputusan Erik untuk menahan ponsel Jaeta adalah keputusan terbaik, pasti banyak komentar buruk kini tertuju kepadanya di dunia maya. Lagunya sedang memuncaki berbagai chart musik, namun dirinya malah memberikan penampilan yang sangat buruk.

"Begitu sulit dulu mendapatkan izin dari keluargaku, dan sekarang dia bisa bicara demikian? Apa yang dipikirkannya!? Dia adalah orang yang tahu benar bagaimana perjuanganku hingga sampai di titik ini!" rutuk Jaeta lagi sangat bingung.

Jaeta mundur hingga akhirnya ia terduduk di atas sofa. Ia memijat pelipisnya yang berdenyut.

"Tidak! Aku sudah berada di titik ini, aku sudah memilih. Aku akan menyingkirkan siapapun mereka yang menentang karierku, termasuk kamu Cha," Jaeta tiba-tiba berdiri dan meraih gitar yang terletak di sudut ruangan.

Jaeta mulai memetik gitar dengan jarinya coba melantunkan lagu miliknya dengan mata tertutup. Beberapa bait meluncur dengan mulus dari bibir Jaeta dengan suara yang memang merdu, kemampuan vokal Jaeta memang tidak perlu diragukan lagi, namun mendadak tangannya beku dan dia terdiam. Ia masih belum bisa mengingat lirik dari lagunya sendiri.

Pria berkulit kuning langsat itu coba menenangkan dirinya lagi coba mengingat bait demi bait yang ia lupakan. Dengan sabar ia coba mengulang dan mengingat lirik berikutnya, namun tidak berhasil, ia hanya bisa merangkai nada.

"Argh! Sial!!" maki Jaeta kepada dirinya sendiri sembari membuang gitar sembarangan sehingga menimbulkan bunyi gaduh.

Kekurangan yang sampai detik ini belum bisa dirinya atasi. Jaeta tidak mengerti kenapa ia begitu mudah untuk lupa lirik disaat dirinya merasa tertekan dan memiliki beban pikiran berlebihan. Suatu kekurangan yang membuatnya terlihat sangat tidak profesional sebagai seorang musisi.

"Bodoh bodoh bodoh! Hanya karena seorang perempuan kamu membuat dirimu sendiri menjadi bodoh!" Jaeta terus memaki-maki dirinya.

Jaeta tersandar di bahu sofa dengan tatapan kosong menatap langit-langit yang hampa. Pikirannya mulai melayang kemana-mana. Tanpa sadar jari-jari Jaeta mengetuk-ngetuk dengan irama yang teratur, alunan deheman lembut juga terdengar pelan dari mulut Jaeta.

Bukannya mengingat apa yang ia lupakan, dirinya kini malah menciptakan rentetan nada baru untuk menyalurkan kekacauan yang kini tengah ia rasakan.

Dengan pergerakan lambat Jaeta meraih kertas dan pensil yang kebetulan ada di meja dihadapannya. Tangan Jaeta menulis apapun yang ia rasakan melalui nada-nada yang tersusun sendirinya.

"Aku yang salah, kamu yang salah, pilihanku yang salah, pandanganmu yang salah, kita yang salah atau tidak ada yang salah. Aku tidak mengerti, yang kutahu untuk saat ini aku akan melepaskannya,"

Jaeta terdiam memperhatikan kertas yang tanpa terasa sudah penuh dengan goresan pensilnya.

"Jae?" tiba-tiba pintu terbuka dengan suara seorang wanita memanggil.

Jaeta menoleh dan kaget dengan siapa yang berniat masuk. "Apa yang kamu lakukan disini?"

avataravatar
Next chapter