19 Sembilan Belas

Anala terkejut mendengar pertanyaan Jaeta, "kamu menyadarinya?" dan langsung dibalas anggukan oleh pria itu.

"Aku tahu masalah itu dari Kenzi, kembaranku. Mungkin papa tidak tahu kalau kamu adalah anak dari musuhnya, tapi aku pikir kata 'musuh' juga tidak tepat untuk mereka," Anala memaparkan pandangannya berharap Jaeta juga memberikan pandangannya.

"Dunia terlalu sempit ya? Aku tidak bisa membayangkan ekspresi papaku jika mengetahui hal ini," Jaeta tertawa sendiri sambil mengusap tengkuknya sekilas.

"Aku pribadi tidak begitu mempedulikan ini. Aku tidak paham masalah bisnis tapi ada satu hal yang janggal bagiku, bagaimana bisa kamu masuk ke dunia entertain? Bukannya kamu satu-satunya anak lelaki Pak Juan? Perusahaan papamu lumayan besar, siapa yang mengurusnya kalau bukan kamu?"

"Apa saat ini kamu bertanya selaku mata-mata dari pihak Pak Raka?" canda Jaeta enggan untuk menjawab pertanyaan Anala.

"Aku buka tipe orang yang mencampur adukkan semua hal. Aku tidak memiliki andil dalam bisnis papa."

Jaeta menarik napas dalam seraya melihat Anala yang sepertinya penasaran dengan jawabannya. "Aku tidak ingin mengurusnya, papa awalnya menentang keinginanku untuk masuk ke dunia musik dan kecewa mendengar bahwa aku tidak bersedia ambil alih kendali perusahaannya. Aku cukup keras kepala untuk tetap masuk ke dunia musik walau tak direstui."

"Papamu pasti sangat kecewa," tutur Anala spontan dengan wajah prihatin yang mengusik Jaeta.

"Kenapa wajahmu seperti itu mendengar pernyataanku?"

"Aku membayangkan di posisi papamu, lebih kurang pasti mirip dengan papaku. Aku tidak bisa membayangkan respon papa jika Kenzi juga bersikap sepertimu."

Jaeta terdiam, ia ingat wajah papanya saat dia bersikeras dengan keinginannya. Ia paham perasaan papanya, tapi bagaimanapun Jaeta tentu ingin menjalani sesuatu yang ia inginkan sendiri.

"Jadi kamu pikir keputusanku salah? Terlalu banyak orang yang seolah menilai langkahku adalah kesalahan yang begitu besar," Jaeta bicara seperti orang linglung.

Anala mendehem lama untuk berpikir, "harusnya kamu membantu papamu, dia pasti sudah bekerja keras untukmu selama ini. Lagipula sepertinya dunia hiburan tak kalah keras dibanding dunia bisnis, bahkan bagiku ini terlihat lebih mengerikan."

"Apa aku harus berhenti?" sesuatu yang menjadi ganjalan bagi Jaeta beberapa waktu belakangan akhirnya tersampaikan tanpa sengaja pada wanita yang padahal belum lama ia kenal ini.

"Kamu gila? Ingin membuat papamu lebih kecewa!?"

"Apa maksudmu?"

Anala menghela napas pendek, "apa mimpimu sedangkal itu? Memangnya kamu tidak malu berbalik arah setelah dengan keras kepala ingin masuk ke dunia hiburan? Jika aku jadi kamu aku akan sangat malu. Buktikan jika kekeras kepalaan mu itu benar, papamu pasti berharap lebih saat akhirnya mengizinkanmu masuk ke dunia ini. Memangnya kenapa kamu harus berhenti? Kariermu sedang bagus."

Jaeta tersentak mendengar pernyataan Anala yang menyadarkannya walau terkesan wanita itu terlalu blak-blakan. Ia sudah berjanji untuk bersungguh-sungguh di dunia musik dan menjadi produser musik terkenal sesuai cita-citanya dan itu adalah janjinya kepada orang tuanya.

"Hey, kenapa diam saja?" Anala coba membuyarkan lamunan Jaeta.

Jaeta menggeleng dan terkekeh, "mau mendengarkan lagu?"

"Apa kamu ingin bernyanyi untukku?"

Jaeta mengangkat alisnya mengiyakan dan mengambil gitar yang tadi sempat dibuangnya sembarangan.

"Astaga, ini rusak," gumam Jaeta menyadari badan gitar itu pecah akibat lemparan kekesalannya tadi.

"Apa tadi kamu mengamuk saat sendirian? Emosimu labil sekali," komen Anala coba menerka dan memang benar adanya.

"Tidak ada sesuatu yang selesai dengan cara mengamuk ternyata," Jaeta malah tertawa dan meletakkan lagi gitar itu.

"Jadi kamu tidak jadi bernyanyi untukku?"

Jaeta menggeleng, "sepertinya tidak. Lagian perlu bayaran mahal untuk membuatku bernyanyi secara langsung. Kamu mau pulang? Apa perlu kuantar?"

Anala menunjukkan ekspresi kecewa dengan jelas, "aku bawa mobil, nggak usah, terima kasih," dan gadis itu berdiri hendak keluar sekarang juga.

Jaeta ikut berdiri dan berlari mengejar Anala untuk berjalan beriringan, "sepertinya menyenangkan berteman denganmu, ayo bertemu lebih sering lagi,"

Dengan masih berjalan Anala melirik pria tinggi disebelahnya itu, "apa berteman denganmu tidak akan merugikan untukku?"

"Apa ruginya berteman denganku? Harusnya kamu bersyukur, ayo simpan kontakku sekarang, kita harus sering saling memberi kabar," Jaeta dengan semangat meminta ponsel Anala.

"Kenapa seolah aku yang meminta kontakmu? Kenapa tidak kamu sendiri?"

"Aku sedang tidak pegang handphone, handphoneku disita Erik,"

"Kenapa?" Anala akhirnya memberikan ponselnya pada Jaeta yang terus berjalan bersamanya dengan langkah yang sudah senada.

"Dia tidak ingin aku melihat komentar negatif di media sosial mengenai penampilanku yang kacau malam ini," Jaeta tersenyum kecil mengembalikan ponsel putih milik Anala.

"Kenapa hidupmu terdengar ribet sekali?"

"Makanya kamu selaku teman bantu agar hidupku tidak ribet lagi,"

"Tampaknya kamu akan membuat hidupku ikutan ribet,"

"Tidak, tenang saja," dengan santai Jaeta merangkul Anala seolah mereka sudah akrab saja.

"Ngomong-ngomong rumahmu didekat sini kan? Apa itu dekat dengan apartemenku?" lanjut Jaeta bertanya.

"Lumayan dekat, kamu bisa jalan kaki jika mau," jawab Anala melepaskan tangan Jaeta dari bahunya karena tidak nyaman.

"Oh ya? Lain kali aku akan main ke tempatmu karena kamu juga sudah pernah ke rumahku,"

"Jangan! Papaku belakangan ini sering di rumah," tolak Anala cepat mendengar keinginan Jaeta.

"Apa salahnya? Lagian dia juga tidak akan tahu langsung siapa papaku."

"Ish, nggak usah! Jangan mulai-mulai nyari masalah deh!"

avataravatar
Next chapter