5 Lima

"Huaaah! Akhirnya selesai juga..," Jaeta keluar dari ruang rekaman sambil membaringkan tubuhnya di atas sofa studio.

"Selamat ya Jae, lagu pertama kamu bakalan rilis secara resmi," ujar produser berbadan sedikit tambun duduk disebelah Jaeta.

"Makasih bos, aku seneng banget banget banget! Aku akan lebih semangat untuk kedepannya," senyum Jaeta kembali duduk.

"Siap-siap besok kita shooting video musik lagu utama, walau bagian take mu hanya sedikit, tetap saja istirahat yang baik malam ini,"

"Siap, kita jadi pakai Eca untuk modelnya?"

Sang produser mengangguk sambil mencek ponselnya, "kamu sendiri bukan yang minta? Kita ikuti kemauanmu,"

Jaeta tersenyum puas, "padahal awalnya aku hanya bercanda,"

"Dia terlihat bagus untuk konsep kita," jawab sang produser pendek dan berjalan keluar karena ponselnya berdering tanda panggilan masuk.

Jaeta kembali membaringkan tubuhnya setelah menenggak air mineral karena kerongkongannya sudah kering karena rekaman yang berulang-ulang.

Pria berhidung mancung itu menatap langit-langit studio seolah memikirkan sesuatu hingga Erik datang meletakkan dua gelas cappucino di meja, "itu minuman yang kamu minta,"

"Kenapa lama sekali?" Jaeta kembali bangkit untuk mengambil cappucino hangat yang dibawakan Erik untuknya.

"Aku tadi bertemu Eca dibawah,"

"Oh ya?"

"Ya hanya sebentar, dia tampaknya sedang buru-buru,"

"Dia harus siap-siap untuk shooting besok," Jaeta mengangkat kakinya ke atas sofa sambil bersender.

"Apa tidak masalah kalau Eca yang akan menjadi model musik video mu?"

"Apa salahnya? Dia model yang cukup bagus bukan?"

"Tapi dia kan mantan pacarmu, ini bisa saja jadi masalah,"

Jaeta menghela napas panjang, "itu sudah lama sekali, waktu kita SMA. Kita hanya teman sejak saat itu sampai sekarang. Lagian produser menyetujuinya,"

"Karena kamu tidak memberi tahunya kan? Jae kamu harus ingat posisimu, image mu harus dijaga dengan baik, termasuk masalah percintaan," Erik mengingatkan dengan suara merendah.

"Lagian jika publik tahu itu tidak akan masalah. Itu bukan hal yang akan merusak citraku, itu jauh sebelum aku masuk ke dunia entertain. Yang penting sekarang aku tidak menjalin hubungan dengan siapapun bukan?"

"Syukurlah kamu masih paham dan ingat dengan hal itu,"

"Jangan khawatir, kamu tahu aku bukan pria yang mudah goyah hanya karena perempuan. Untuk saat ini karier masih menjadi prioritasku,"

"Itu memang harus," Erik menyimpulkan dan kini ikut meminum cappucino miliknya.

"Hum..., masalah yang waktu itu aku kepikiran," Jaeta bicara dengan ragu kepada Erik.

"Masalah yang mana?"

"Ituloh, perempuan jadi-jadian waktu itu,"

"Maksudmu Anala?"

Jaeta mengangguk, "dia benar-benar tidak membatalkan kerja sama dengan perusahaan kan?"

Erik menghela napas panjang, "syukurlah dia tidak jadi mengusik bahkan memberitahu ke perusahaan. Kita aman,"

Jaeta menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "aku pikir aku memang salah waktu itu,"

"Kamu baru menyadarinya?! Kamu memang sangat sangat sangat salah!" geram Erik ingin mencakar wajah Jaeta.

"Tapi dia juga salah, dia awalnya yang salah bawa buku. Wajar bukan aku panik?"

"Masalahnya itu kenapa kamu ngerusak milik Anala dan malah balik memarahinya? Satu desain miliknya sangat berharga, bahkan harganya bisa berlipat-lipat bayaran perform kamu. Kalau aku jadi dia, mungkin aku sudah membunuhmu."

Jaeta hanya diam menyadari kecerobohannya, "tapi penampilannya tidak seperti seorang desainer. Lihat saja penampilannya waktu itu, sangat berantakan. Bahkan aku ragu dia menyisir rambutnya atau tidak, dia memasukkannya sembarangan ke dalam topi,"

"Bukan hakmu untuk menilai penampilan orang,"

"Ya walau bagaimanapun penampilan adalah penilaian pertama seseorang yang akan diingat,"

"Besok mungkin akan bertemu dengan Anala, minta maaf lah padanya,"

Jaeta memajukan bibirnya malas, "aku malas berhadapan dengannya. Bukankah menurutmu dia terlalu angkuh dan terlihat keras kepala?"

"Lalu bagaimana denganmu? Lebih baik memangnya? Lucu sekali mendengar manusia paling keras kepala mengatakan orang lain keras kepala," Erik tertawa meledek.

"Ish! Aku pulang sekarang, aku capek!" kesal Jaeta memasang jaket dan topinya meninggalkan Erik keluar.

*

"Kenapa tempat ini sangat nyaman?" Jaeta meregangkan tubuhnya sambil merapikan topi hitam yang ia kenakan.

Malam ini ia duduk di swalayan dekat apartemennya lagi, tempat yang paling ia sukai walau harus waspada dengan keberadaan fans nya yang kadang kurang 'santai'. Jaeta meminum teh hangat yang tadi terletak di atas meja sambil memperhatikan jalanan dibalik dinding kaca.

Jaeta yang tadianya hendak memasangkan earphone ke telinganya, menoleh kesamping menyadari ada seseorang hendak mendekat kearahnya.

"Ck," terdengar decakan dari orang tersebut menyadari kehadiran Jaeta, bahkan ia hendak berbalik pergi.

"Hey tunggu!" secara spontan Jaeta menahan wanita itu untuk tidak pergi.

Tidak ada jawaban, gadis yang tengah memakai hoodie berwarna putih itu hanya menunjukkan wajah datar.

"Kamu ingin duduk disini bukan?"

"Sepertinya sudah penuh."

Jaeta mengerutkan dahinya memperhatikan sekitarnya, "tidak ada siapa-siapa selain aku, semua kursi kosong,"

"Kesabaranku yang sudah penuh, melihatmu membuatku kesal," jawab Anala malas memutuskan untuk pergi.

Namun dengan cepat Jaeta berdiri dan menahan dengan cara memegang tangan gadis yang memiliki postur badan cukup tinggi ini. Anala menoleh melihat tangannya yang ditahan Jaeta.

"Aku minta maaf karena hal waktu itu,"

Anala menarik tangannya dari Jaeta, "wow, aku tidak menyangka kamu akan meminta maaf,"

Jaeta membuang pandangannya sekilas karena sedikit gengsi juga, "tapi itu memang bukan salahku seutuhnya, kamu yang waktu itu asal mengambil barang milikku."

Anala menghembuskan napas keras, "tidak tulus, masih menyalahkan orang lain."

"Tidak hanya aku yang harusnya minta maaf, kamu juga seharusnya!"

Anala memperbaiki posisinya dengan berdiri tepat di depan Jaeta, "aku meminta maaf!? Kamu ini benar-benar ya! Gara-gara kamu aku batal untuk.., ah sudahlah! Tidak ada gunanya bicara denganmu!" kesal Anala tidak ingin bicara lebih dengan pria perusak kehidupannya ini.

Jaeta menghela napas lelah sambil kembali duduk diposisinya tadi, "jika kamu tadinya memang ingin disini, duduk saja."

Anala berpikir sejenak, dia datang berniat memang untuk duduk disini. Ini adalah tempat biasanya ia mencari ide desain dengan memperhatikan orang yang berlalu lalang dibalik dinding kaca.

Setelah diam sejenak, akhirnya Anala memutuskan tetap duduk dengan jarak satu kursi dari Jaeta yang sudah menutup telinganya dengan earphone dan menutup mata.

Cukup lama mereka saling diam sibuk dengan kesibukan masing-masing sampai Jaeta melepas earphone nya dan melirik gadis yang masih menutup kepalanya dengan topi dari hoodie putih besar yang ia pakai.

"Ini sudah malam, kenapa kamu masih disini?"

Anala tidak langsung menjawab, ia melirik Jaeta, "bicara denganku?"

"Yaiyalah, lalu kamu pikir dengan siapa?"

"Wajar aku bertanya, kamu bicara tanpa alamat."

Jaeta menghela napas pendek dan kini menjulurkan tangannya ke Anala, "kita belum berkenalan dengan baik, aku Jaeta."

"Anala," jawab Anala pendek tanpa ingin membalas jabat tangan Jaeta.

Pria bertopi hitam itu menarik tangannya lagi dan meminum minuman miliknya.

"Bukannya besok kamu shooting? Kenapa masih disini?" Anala bertanya sambil melihat layar ponselnya yang menunjukkan pukul sembilan malam.

"Sebentar lagi aku akan pulang, tadi aku hanya ingin mencari angin segar saja."

Anala mengangguk sekilas.

"Kamu sendiri ngapain disini? Ini sudah malam dan kamu perempuan. Kabarnya besok kamu juga akan ke lokasi shooting bukan?" lanjut Jaeta bertanya karena tadi Anala tidak menjawabnya.

"Aku hanya sedikit stres dan rumahku juga tidak jauh dari sini, untuk besok semuanya sudah beres. Untuk ikut datang besok, lihat situasi dulu, rasanya aku tidak harus datang,"

Mendadak Jaeta merasa bersalah lagi, "apa karena aku merusak desainmu?"

Anala melirik Jaeta sekilas, "salah satu faktornya."

Jaeta menarik napas dalam, "bagaimanapun aku diajarkan orang tuaku untuk menjadi laki-laki yang bertanggung jawab. Kamu bisa minta aku melakukan apapun untuk menebus kesalahanku. Aku tahu desainmu itu sangat berharga,"

Gadis itu menurunkan topi hoodie dari kepalanya sambil merapikan rambut hitam miliknya yang panjang, "aku juga diajarkan untuk tidak menyimpan dendam pada orang lain oleh orang tuaku,"

Jaeta terdiam memperhatikan pergerakan wanita disampingnya itu, baru kali ini ia bisa melihat sosok Anala seutuhnya. Waktu pertemuan pertama, gadis ini memakai topi dengan rambut yang dilipat kedalam topi asal-asalan, lalu tadi Anala menutup kepalanya dengan topi hoodie. Dan ternyata wanita ini cantik juga.

"Apa itu fansmu?" Anala membuyarkan lamunan Jaeta.

"Hah??"

"Itu lihat," Anala menunjuk kearah luar, segerombolan remaja wanita yang tampak hendak menyeberang jalan menuju swalayan sambil melihat kearah mereka.

"Apa yang dilakukan mereka malam-malam begini diluar? Sepertinya mereka juga bukan golongan fans yang normal," umpat Jaeta kesal mulai panik.

Anala terbahak, "larilah sekarang sebelum kamu kelelahan menghadapi mereka."

"Aku terkepung, bagaimana caranya untuk keluar?" bingung Jaeta mencari cara.

Setelah berpikir sejenak Jaeta tiba-tiba menarik Anala untuk pergi.

"Hey!?" bingung Anala masih diseret Jaeta entah kemana.

"Aku butuh kamu sekarang!"

avataravatar
Next chapter