1 Cermin Baru, Teman Baru

Sebotol vodka tergenggam ditangan kirinya sementara disela jari telunjuk dan jari tengahnya terselip sebatang rokok. Perempuan itu menghisap dalam batang rokok yang ke lima, setelah asap rokok lolos dari bibir kecilnya, ia menimpalinya dengan seteguk vodka. Begitu terus sembari berputar tidak jelas didalam kamar berukuran dua kali empat meter itu. Wajah basah oleh air mata, maskara meluber dipelupuk matanya, badan lengket oleh keringat yang hanya terbalut bra dan celana dalam hitam.

Jelas sekali perempuan itu sedang tidak baik-baik saja. Setelah putaran yang keseratus, ia berhenti tepat didepan sebuah cermin besar. Terpampanglah dengan jelas pantulan wajah mengenaskannya disana. Tiba-tiba perempuan itu meraung melihat wajahnya sendiri. Menangis dengan begitu sendu hingga bahu kecilnya melorot, namun sedetik kemudian wajahnya berubah menjadi garang.

"Kamu!...". Perempuan itu menunjuk dirinya sendiri didepan cermin, sebatang rokok masih terselip cantik disana. Asapnya juga masih mengepul, perempuan itu tak peduli jika batang rokoknya mulai tumpul.

"Harusnya gak dilahirkan!!!!"

Prang!!!

Dilema lemparnya botol vodka yang ia bawa tepat kearah cermin hingga pecah berkeping-keping dan menimbulkan suara yang memekakan telinga. Perempuan itu menutup kedua telinganya, merasa takut dengan suara pecahan kaca itu. Ia merosot kebawah hingga kedua dengkulnya terluka oleh beling kaca. Tapi ia tidak peduli, bahkan sakitnya goresan beling di dengkulnya tidak sepadan dengan rasa sakit hati yang ia rasakan. Tak pernah ia sangka rasa sakit datang bertubi-tubi dihidupamya.

Ruby berlari kearah ranjang berukuran King sambil tersedu. Ditariknya selimut hingga menutupi tubuhnya. Ia takut dengan perbuatannya, memecahkan cermin. Perempuan itu tertidur dengan lutut dan kaki penuh darah, rasa sakit terkalahkan oleh rasa letihnya. Ia tidur dengan darah yang menodai sprei.

Saat pagi tiba, ia bangun sambil mengedipkan matanya. Sedikit mengerutkan kening lantaran rasa perih menjalar begitu ia bangkit dari ranjang. Ruby berjalan terseok-seok menuju ruang tengah dan menyambar telepon wireless disana. Dipencetnya tombol hingga deretan nomor yang selama ini ia ingat tercetak disana.

"Halo, dokter?". Ucap Ruby terburu begitu panggilan diseberang sana diangkat.

"Halo, siapa ini?".

"Dok, aku butuh anda". Suara Ruby memelas. Perempuan itu menggigit jarinya cemas.

"Iya, ini siapa?".

"Saya... pasien".

"Baiklah, ada yang bisa saya bantu?".

"Saya butuh pengobatan".

"Datang saja ke tempat praktik saya dan saya akan membantu anda".

"Tidak! Tidak bisa!". Potong Ruby cepat dengan nada suara agak tinggi. Dokter perempuan diujung sana mengernyitkan dahinya tanda bingung. Baru kali ini ia mendapatkan telepon dari seorang pasien yang menolak datang ke tempat praktik. Lantas bagaimana ia bisa membantu pasien itu?

"Kenapa?".

"Karena saya tidak bisa keluar".

"Maksudmu?".

"Saat ini saya ingin pengobatan via telepon saja. Pembayaran akan saya transfer".

"Maaf ini bukan masalah pembayaran. Kenapa anda tidak bisa mendatangi tempat praktik saya?".

"Karena saya sedang sakit". Lagi-lagi jawaban tidak jelas diberikan oleh Ruby hingga sang dokter semakin dibuat bingung.

"Sakit apa?".

"Bantu saya, Dok?". Suara lemas dari Ruby membuat dokter tersebut merasa iba.

"Oke, mudah-mudahan saya bisa bantu. Tapi tidak bisa sekarang karena saya sedang praktik. Bagaimana kalau malam?".

"Jam berapa?".

"Sekitar jam sepuluh?".

"Baiklah, jam sepuluh!". Ruby menutup teleponnya dengan perasaan lega luar biasa. Perempuan itu kembali melamun di sofa tempatnya duduk. Setahun ia terpuruk dengan keadaan, dan selama tiga puluh hari ini ia berdiam diri dirumah dengan pikiran kosong, tidak tahu apa yang ingin ia lakukan. Semuanya berkecamuk, dan Ruby sadari ia membutuhkan pengobatan.

"Aku harus sembuh". Lirihnya. Waktu berlalu begitu cepat, matahari tergantikan bulan dan selama itu pula Ruby masih terdiam ditempatnya. Barulah suara jam yang berdenting menandakan pukul enam sore membuatnya bangkit dengan kaki terpincang-pincang menuju kamar mandi. Ia ingin membasahi tubuhnya dengan air dingin. Dinyalakannya shower tanpa melepaskan bra dan celana dalamnya. Perempuan itu membiarkan tubuh dan dua kain itu basah oleh air dari kucuran shower.

Setelah dirasa cukup, Ruby membalut tubuhnya dengan handuk. Membiarkan bra dan celana dalamnya yang basah, tidak berniat menggantinya dengan yang kering. Juga membiarkan rambut pirang panjang sedikit bergelombang miliknya tetap basah meski setiap ia melangkah tetesan air itu mengenai lantai yang ia pijaki.

Ruby kembali duduk di sofa, menatap telepon wireless sembari menghisap nikotin hingga pukul sepuluh malam kemudian kembali menelepon sang dokter.

"Halo, Dok?".

"Ya? Bisa saya bantu?".

"Tolong sembuhkan saya". Suaranya lirih penuh harap saat Ruby mengatakan ingin sembuh.

"Siapa namamu?".

"Ruby, Ruby Jane. Tolong sembuhkan saya!!!".

"Ruby, Ruby tenang". Ruby menghela nafasnya sebelum menyahut.

"Ya, saya tenang".

"Nah, sekarang ceritakan masalahmu".

"Entahlah. Saya bingung menceritakan darimana".

"Jika kamu tidak bisa menceritakannya, bagaimana saya bisa membantu kamu?".

"Saya sakit".

"Sakit apa Ruby?".

"Ini adalah hari ke tigapuluh saya mengurung diri di rumah".

"Kenapa?".

"Aku kesepian".

"Kesepian kenapa?".

"Karena aku sendiri disini. Ibuku meninggal dan ayahku pergi bersama wanita lain bahkan saat makam ibuku masih basah. Aku tidak punya saudara, teman, bahkan kekasih. Ku pikir itu yang membuatku sakit, sakit...". Ujar Ruby pilu.

"Kenapa kamu pikir kamu sakit?".

"Aku tak ingin keluar rumah, tidak ingin melihat matahari ataupun bulan. Aku merasa lelah".

"Apa sebabnya?".

"Mungkin sejak dia pergi".

"Siapa dia? Kekasihmu?".

"Bukan, dia sahabatku. Aku punya dua sahabat, aku mencintai salah satunya. Tapi justru mereka menghianatiku. Aku benci saat mereka seakan mentertawakan kebodohanku. Kami tinggal bertiga satu atap, tapi aku bahkan tidak tahu kalau mereka menjalin kasih selama ini. Mereka menikah dan meninggalkanku". Ruby mulai emosional. Dihisapnya lagi rokok yang ia jepit amat dalam, meski sudah tumpul dan api hampir mengenai tangannya, ia tidak peduli.

"Jadi kamu cemburu dia menikah?".

"Aku tidak pernah melarang mereka menikah. Aku benci saat mereka tidak berterus terang padaku, Auryn tahu aku menyukai Victor!!!". Teriak Ruby kalap.

"Auryn? Victor?".

"Dua keparat yang meninggalkanku".

Victor sahabat Ruby sejak kecil dan bahkan ia sudah sangat bergantung padanya. Dan lelaki itu menikah dengan sahabatnya yang baru ia temui saat masuk kuliah semester pertama, Auryn. Auryn jelas tahu jika Ruby menyukai Victor dan dengan teganya perempuan itu mengambil Victor darinya. Jelas saja setelah Victor pergi, hidup Ruby hancur, sehancur hancurnya. Ruby telah bergantung pada Victor.

"Oke, lantas kenapa kamu tidak mencari sahabat baru untuk menggantikan Victor dan Auryn? Mungkin kau akan kembali seperti dulu".

"Susah sekali mencari seseorang yang tulus. Jika ketulusan bisa dibeli dengan uang, jika kasih sayang bisa dibeli dengan uang, aku akan membelinya. Tetapi aku tahu, itu tidak bisa dilakukan".

"Heemmm... bagaimana jika kamu mulai mencari seorang teman atau kekasih? Usahakan keluar rumah dan hirup udara segar, bagaimana?".

"Mungkin akan ku coba".

"Baiklah Ruby, saya harus istirahat sekarang. Besok pagi saya harus praktik, semoga usahamu berhasil!".

"Terimakasih atas waktunya, Dok. Selamat beristirahat".

Ruby meletakan telepon ketempat semula. Ia melangkah menuju kamarnya untuk beristirahat. Beban pikirannya sedikit terangkat setelah mengobrol dengan dokter tadi. Perempuan itu membuka lemari kemudian mengganti bra dan celana dalam yang baru. Setelahnya ia berjalan kearah kamar mandi untuk mengambil kotak obat, kemudian ia masuk kembali kedalam kamarnya. Menatap cermin yang ia pecahkan kemarin malam.

"Haruskah aku membeli cermin yang baru?". Gumamnya. Namun hanya lalu, setelah mengobati kakinya, Ruby pergi tidur.

***

Pagi datang kembali, Ruby bergegas mandi dan membasahi tubuhnya dengan sabun. Kali ini ia cuci rambutnya yang kusut dengan shampo agar terasa segar. Ia berpakaian rapi dan harum hari ini. Tiba-tiba saja ia terisak begitu melihat cermin yang ia pecahkan tempo lalu, perempuan itu mulai gelisah. Ia menangis dan berjalan kesana-kemari seperti orang kebingungan. Dan seperti hari-hari yang lalu, Ruby melepaskan pakaiannya sampai menyisakan dalamannya saja.

"Cerminku? Cerminku telah tiada". Ujarnya berulang-ulang, frustasi sekali. Ruby terus menangis sambil terlentang dilantai, tangisan itu berubah menjadi kebisuan. Sekelebat suara dokter malam tadi menyadarkan sisi warasnya. Hanya dokter itu yang bisa membantunya. Langsung saja ia sambar telepon wireless dan menghubungi dokter itu. Lima belas kali dipanggil namun tidak diangkat, hingga tepat dipanggilan ke Duapuluh barulah Ruby bisa mendengar suara dokter itu.

"Saya butuh anda sekarang!".

"Halo, siapa ini?".

"Ini saya Dok, Ruby".

"Maaf Ruby saya sedang banyak pasien".

"Tapi saya...".

Tut... tut...

Telepon ditutup secara sepihak, Ruby kesal sekali. Perempuan itu membanting telepon dan menangis. Ia terduduk dengan memeluk lututnya, terus menangis hingga terlelap disudut ruang itu.

Bangun dengan wajah sembabnya, Ruby berjalan sempoyongan menuju kamar. Ditatapnya cermin yang ia pecahkan, hanya menatapnya lama kemudian mengambil sebotol vodka dan menyalakan sebatang rokok dengan pemantik. Lalu ditatapnya lagi pecahan kaca itu sambil meneguk vodka dan rokok secara bergantian.

"Aku harus sembuh". Dua jam lebih menatap cermin tanpa kedip, Ruby mulai bergumam.

Ia bangkit untuk membersihkan pecahan kaca itu. Mengumpulkannya kemudian membuangnya ketempat sampah. Cermin itu adalah teman bicara Ruby kala ia kesepian. Hanya cermin itu yang setia mendengarkannya mengoceh. Kini ia merasa kehilangan, bak kehilangan seorang teman. Hari ini ia memutuskan untuk membeli cermin baru, keputusan yang membuatnya keluar dari rumah setelah tigapuluh hari mengurung diri.

Di toko cermin, Ruby kebingungan memilih cermin. Cermin-cermin yang berjajar disana seakan berlomba menyombongkan diri, membuat Ruby pusing bukan main. Seorang lelaki bertubuh besar, wajah tampan, dan rambut sedikit gondrong namun disisir rapi kebelakang itu mengamati Ruby sedari tadi. Bibir tipisnya melengkungkan senyum samar. Lihatlah Ruby yang hanya mengenakan dress bermotif mawar dengan tali kecil dikedua pundak mungilnya terlihat begitu menawan dimata lelaki itu.

Ditambah tatto-tatto kecil disepanjang tangan perempuan itu membuatnya terlihat berbeda. Ruby yang terlihat begitu polos wajahnya menunjukan hal yang tak terduga. Sayang rasanya jika hanya mengagumi dari kejauhan, lelaki itu menghampiri dan menawarkan bantuan.

"Halo. Perlu saya bantu". Ruby mengangkat wajahnya dan menatap lelaki didepannya itu dengan tatapan datar. Apa-apaan lelaki dengan mata yang seakan seluruh isi galaksi ada disana itu sok akrab padanya? Ruby benci mata indah itu, sebab dimatanya yang ada hanyalah pesakitan.

"Oh... Terimakasih. Saya bisa sendiri". Jawab Ruby sesopan mungkin. Perempuan itu sedikit tergesa karenanya, dan lelaki bermata galaksi itu tentu menyadari. Sempat mengamati dalam diam, menatap mata yang berkata seakan minta dilindungi dan diberi limpahan kasih sayang itu. Lelaki itu mengalah, ia berjalan keluar dari toko cermin. Tidak benar-benar pergi, melainkan menunggu Ruby sambil bersandar di mobilnya.

"Sudah dapat cerminnya?". Ketika Ruby keluar dari toko cermin lelaki itu segara menghampiri Ruby, tidak ingin lepas begitu saja.

"Eung... sudah". Jawab Ruby agak ragu. Lelaki dengan stelan jas rapi didepannya ini membuat detak jantungnya anomali. Kenapa? Padahal Ruby jarang merasakan perasaan semacam itu, kecuali pada Victor.

"Maaf, boleh kenalan?". Tangan lelaki itu terulur. Ruby diam dan berfikir. Apakah aku mau berkenalan dengannya? Siapa dia? Berani sekali dia menyapaku? Tapi mungkin ini sebuah kesempatan. Tetapi apakah secepat itu aku bisa mendapatkan teman?

"Aku, Ruby". Ujar Ruby pada akhirnya menyalami tangan lelaki itu.

"Jake, senang bisa mengenalmu nona". Manis sekali tutur kata lelaki bernama Jake didepannya ini, tanpa sadar mampu menggerakkan bibir kaku Ruby untuk melengkungkan senyum. Cermin baru? Teman baru?

***

Cerita ini terinspirasi dari novel Melanchocolates. Enjoy till the end :)

avataravatar
Next chapter