webnovel

Meet

Saat Richard akhirnya tiba di tempat yang diduga sebagai lokasi penyekapan, adrenalin menyentuh nadinya dengan cara paling tidak terduga.

Daerah di sekitar gedung itu sepi, hanya ada satu mobil dan tidak ada tanda kehidupan. Tapi Louis sudah mengatakan, bahwa tuan rumah mereka mungkin bersembunyi; menunggu saat-saat yang tepat untuk keluar dan melumpuhkan mereka. Tim Alpha yang masuk memberi kode dan dengan sekumpulan pengawal serta Louis di sisinya ia berjalan menuju gedung.

Keadaan di dalam gelap gulita, tapi hawa dingin yang menusuk seolah memberitahu bahwa ada sesuatu yang salah disini. Saat langkah Raja Muda itu tiba di tengah gedung, matanya teralih pada drum bekas yang masih berkobar oleh api di tengahnya; bersama sekumpulan balok kayu dan putung rokok.

"Mereka ada di sini,"Louis berujar pada alat komunikasi yang terpasang di tubuhnya."Bawa setengah Tim Alpha masuk lebih dalam dan tetap hati-hati."

Kesemuanya mengangguk, sementara Tim Alpha menyusuri penjuru gudang. Richard bersama Louis menuju sisi lainnya, masuk ke salah satu ruangan yang gelap dengan pintu terbuka, bersama debur ombak dikejauhan dan atmosfer dingin menusuk.

"Sepertinya ada seseorang di sini," Richard berbisik pelan.

"Aku akan memanggil tim."

Raja itu mengangguk, sudah akan melangkah menuju pojok ruangan untuk membuka jendela saat lampu tiba-tiba menyala dan suara pintu yang tertutup berdebum keras. Louis langsung siaga, ia berkata cepat melalui sambungan di telinganya bahwa Raja dana bahaya. Richard sendiri berdiri tegap, mengerjap menerima cahaya sebelum kemudian memindai seluruh ruangan. Nafasnya tertahan begitu saja, kala matanya menangkap sosok Reed di tengah, terikat di kursi dengan sapu tangan menutupi mulut. Raja itu sudah akan bergerak, namun Louis menahan tangannya sembari mengendik ke sekitar mereka yang dipenuhi beberapa pengawal berbaju hitam, yang jelas tidak ditujukan untuk melindungi keduanya.

Richard mendecih, memilih mengalah walau matanya menatap Redd tanpa usai. Ia mencoba bersabar, menahan perasaan yang seluruhnya tertahan selama setahun sebelum kemudian terkesiap kala melihat dua orang laki-laki yang berdiri dengan superior di ujung. Tersenyum kepadanya dengan tatapan tenang.

"Justin?" Richard kebingungan. "Apa yang kau ..."

"Halo Yang Mulia," Justin tersenyum. "Anda pasti terkejut."

"Ap-apa?"

"Bawahan Andrew," Louis mengucap penuh racun. "Tangan kanan yang luar biasa."

Richard masih tidak mengerti, matanya menatap Andrew yang tidak bicara, beralih pada Justin dan Redd yang menangis tanpa suara; memberinya gelengan penuh kecemasan seolah memberitahu agar ia tidak mendekat.

"Sepertinya Raja tidak memahami apa yang ada di sini," Andrew terkekeh. "Hanya tersisa beberapa menit sebelum para pelindungnya tiba." Ia memberi kode. "Lakukan dengan cepat."

Lantas kemudian, tidak ada slow motion saat dua orang pengawal menghampiri Redd dan sebagian lainnya melepas tembakan begitu saja. Louis bergerak cepat, melumpuhkan sebagian sementara Richard berlari ke tengah ruangan, menendang dua orang pengawal yang mencoba menyeret kursi Redd menjauh dan berjibaku setelahnya bersama pukulan dan tembakan.

Redd menjerit teredam, mencoba memberontak walau sia-sia. Sementara Richard memukul tanpa ampun dengan mata yang melirik ke arah Justin serta Andrew yang kini tersenyum, melambai ringan kala dobrakan pintu terdengar keras dan menghilang melalui pintu lainnya saat Tim Alpha masuk seperti ombak. Melepas tembakan pada pengawal-pengawal yang masih mencoba melawan.

Tidak ada lagi, kesempatan. Richard bertukar pandang dengan Louis yang langsung bangkit untuk mengikuti jalan keluar Louis serta Andrew sementara dirinya membantu Redd. Membiarkan Tim Aplha mengurus sisanya sementara ia mendekati separuh hidupnya.

"Redd, Redd," Raja itu melenting ke arah wanita itu, dengan gemetar mengurai ikatan tali dan sapu tangan lantas memeluknya begitu erat. Membiarkan air mata mereka berdua jatuh bersama sementara dadanya terasa sesak oleh kerinduan, nafasnya habis dan penciumannya tenggelam di rambut Redd; menghirup aromanya yang begitu pekat.

Mensyukuri bahwa ia masih hidup.

"Demi Tuhanku, kau di sini. Maafkan aku," Richard membisik. "Maafkan aku, maafka aku."

Redd tidak lagi menjawab, ia hanya terisak tanpa daya dengan badan lemas. Dadanya sakit, kepalanya sakit dan kenangan serta kejujuran kejam yang baru di dapatkannya membuatnya menderita. Ibunya, Ayahnya dan sosok yang ia percaya.

"Kau baik?"

Redd mengangguk, memberi senyum tipis dengan mata yang menatap netra Richard. Tertawa bersama tangis kala akhirnya mendapat kesempatan untuk berjumpa setelah sekian waktu.

"Aku baik," ia tersedak air matanya sendiri. "Aku baik."

"Syukurlah Demi Tuhan," Richard mendesah lega. Menarik wanita itu lagi ke pelukan tanpa lepas. "Aku tidak akan melepaskanmu lagi, aku bersumpah aku akan melindungimu."

Redd hanya membalas dengan anggukan dan tangis, selanjutnya membiarkan saja saat Richard menggendongnya menuju keluar dan masuk ke mobil. Ratu itu lelah, wajahnya pias dan ia terus mendekat pada Richard yang tidak melepaskan tangannya barang sedetik pun.

Mobil yang mereka tumpangi akan menuju ke rumah sakit yang akan dilindungi dari publik, sementara Louis dan Tim Aplha mengejar Justin dan Richard yang menghilang. Disepanjang jalan tidak ada percakapan, hanya keduanya yang terus saling menatap dan bersama-sama dipenuhi kelegaan.

Setelah sekian lama diperdaya waktu, dan kebohongan. Richard membuka lembarnya, ia belum mendapat penjelasan dan jawaban atas ratusan pertanyaan berdentum-dentum di kepalanya. Namun itu bisa diurus nanti, yang terpentin Redd, Ratu dan hatinya; hidup. Walau begitu lemah dan nyaris tampak tidak hidup sebab kesedihan nyata yang tercermin di matanya.

Wanita itu kini dipelukannya, malam-malam sedih, dan penderitaan panjang. Usai, sekarang usai. Setelah ini Richard akan menggengam tangannya erat dan tidak akan melepaskannya. Ia bersumpah demi segalanya.

"Kau pasti kesulitan sekali," Richard membisik. "Maafkan aku."

Redd menggeleng, memberi senyum dengan mata merah. "Aku baik, mereka melindungiku," lantas ia membawa telapak Richard ke perutnya yang tertutup dress. "Dan anak kita."

Raja itu terperangah, matanya bergerak cepat dengan telapak yang langsung menyusur; menahan nafas dengan mata netra berkaca. "Kau?"

"Dia luar biasa, alasanku bertahan."

Richard melepas nafas, membiarkan debaran di dadanya menggila sementara kesenangan dan kesedihan menghantamnya. Anaknya, selama ini ia memiliki calon anak, yang seharusnya ia lindungi namun harus hidup begitu jauh. Raja itu merasa bahagia sekaligus menyesal.

"Tuhanku, Redd," air mata Raja itu jatuh sementara ia menarik istrinya mendekat lagi ke pelukan. Mendekapnya begitu erat kala ia menangis sekali lagi. Tidak tahu harus berkata apa atau bagaimana. "Maafkan aku, maafkan aku. Demi Tuhan maafkan aku."

Hening. Redd yang pada akhirnya kembali terlarut dalam duka yang bercampur suka, dan dalam deru mobil yang nyaris tanpa suara. Keduanya hanya saling merengkuh, membiarkan emosi mereka setelah sekian waktu terlepas. Kerinduan kejam dan harapan semu yang kini akhirnya berakhir.

"Aku akan melindungimu setelah ini. Aku akan menangkap orang-orang yang menyakitimu dan menghukumnya. Aku bersumpah."

...

Next chapter