webnovel

Roullete

"Bambang?" pekikku panik. Aku langsung berlari menghampiri Bambang yang sudah menungguku di parkiran.

"Kok kamu babak belur gini?"

Bambang hanya menghela napas panjang, sambil menyodorkan helm kepadaku.

"Nggak usah ribut, yuk balik gue udah capek!"

Aku langsung menutup mulutku rapat-rapat. Setelah menggunakan helm, aku langsung naik ke boncengan motor Bambang, dan diam selama perjalanan.

Tadi, Bambang panik banget nelepon Paijo, terus sorenya babak belur? Tunggu! Bambang itu anggota Roullete? Dan Roullete itu sekumpulan anak bandel?

Aku yakin, dia habis tawuran. Lihat wajahnya!

"Lo kok bisa bawa hape-nya paijo?" tanya Bambang tiba-tiba.

"Anggep aja aku lagi apes ketemu dia! Kamu habis tawuran? Sama sekolahan mana?"

"Sst, mingkem! Mulut lo kemasukan angin ntar!" sahut Bambang dengan santainya.

"Kamu nggak mau minggat dulu, Mbang? Kalau Tante Yuyun tahu kamu habis tawuran, bisa dihajar kamu nanti! Tante kan mantan atlet!"

Bambang tertawa pelan mendengar ucapanku, terlihat jelas garis senyum di wajah pria itu dari spion.

"Tenang aja, nyokap nggak akan ngamuk, paling ngomel doang terus potong uang jajan!"

Aku menghela napas panjang. Tawuran itu sesuatu yang sangat serius. Gimana Bambang bisa sesantai itu.

"Mel," panggil Bambang.

"Apa?"

"Lo jangan naksir Paijo, ya!"

Hah?

Gimana?

"Kenapa? Maksudku, kenapa juga aku harus naksir dia? Tenang Mbang, aku gak akan naksir cowok nyebelin kayak dia!"

Bambang mengangguk pelan.

"Bagus! Jangan sampai! Dia itu playboy, gue takut kalau lo sampai naksir dia, lo bakal sakit hati kayak cewek lainnya."

Playboy?

Sialan, perempuan macam apa yang bisa naksir orang menyebalkan seperti dia?

"Mbang, aku mau nanya sesuatu!"

"Apa?"

"Nanti aja tapi, kalau udah sampai rumah, gak enak teriak-teriak terus di atas motor!"

Bambang mengangguk pelan. Sesampainya kami di rumah, aku memberikan helm itu kembali pada Bambang.

"Lo mau tanya apa tadi?" tanya Bambang pelan.

"Kamu anak Roullete?"

Bambang terlihat tidak terkejut saat aku menanyakan itu. Dan dilihat dari ekspresinya, kelihatannya benar bahwa dia adalah anggota Roullete.

"Jadi, kamu anak bandel?" desakku.

Bambang masih enggan menjawab, dia hanya menatapku datar.

"Kamu suruh aku jauhin Roullete lho, berarti kamu mau aku jauhin kamu?"

Bambang terlihat gusar mendengar pertanyaanku. Ia menggaruk pelan tengkuknya dengan alis berkerut.

"Lo cukup mengenal gue sebagai Bambang aja tanpa ada embel-embel Roullete. Jangan terlibat sama anak-anak Roullete. Bahaya!"

Bahaya?

"Nggak tahu ah, pusing! Mau masuk dulu nggak? Kita obatin dulu muka kamu, jelek banget tahu nggak!"

"Nggak usah, kalau nyokap lo lihat gue, bisa gempar nantinya!"

Benar juga, sih.

"Gue balik dulu!"

***

Aku menunggu Bambang di parkiran sekolah. Motor pria itu sudah tidak ada, tapi dia mengirimiku pesan agar aku menunggunya di parkiran.

Ke mana dia?

"Hei, lo yang namanya Melody?"

Aku langsung berbalik melihat siapa yang menyebut namaku barusan. Seorang pria bertubuh jangkung dengan kulit putih bersinar, dan rambut coklat, berjalan menghampiriku.

"Kamu siapa?"

"Bambang lagi ada urusan mendadak, dia minta gue anterin lo pulang!"

Tapi, ibu bilang, jangan pergi dengan orang asing.

"Nggak perlu, aku naik taxi aja!"

"Lo nggak percaya sama gue? Gue bukan orang jahat! Tanya aja ke Bambangnya langsung!"

Aku menghela napas panjang, kutarik handphone dari dalam saku rokku, dan mencoba menyalakannya.

Dan, eng ing eng!

Kenapa benda ini mati disaat yang tidak tepat? Baiklah, salahku yang beberapa hari ini maraton menonton drama tanpa memperhatikan baterainya.

"Mau pakai hape gue?" tawar prua itu sambil mengulurkan handphone miliknya.

"Gimana, Peng? Udah lo anter si Melody?" seru Bambang begitu telepon tersambung.

"Heh, kamu di mana?!" sentakku kesal.

"Kok belum balik sih lo, Mel? Udah sepi kan sekolah? Cepetan lo balik, jam segini rawan!"

Rawan dari apa? Mengingat ini menjelang magrib, mungkinkah dedemit?

"Aku mau pulang naik taxi aja ya?!"

"Jangan! Lo balik sama Gepeng aja!"

"Ibu pasti heboh kalau tahu aku pulang di anter orang lain yang bukan kamu!"

Terdengar helaan napas berat dari sebrang sana.

"Kali ini aja, Mel! Please lo balik sama Gepeng! Lo akan aman kalau sama dia!"

Setelah mengatakan itu, Bambang langsung mengakhiri panggilannya.

Sialan!

"Bareng gue? Atau, tetep mau pakai taxi? Atau, terserah aja kalau lo mau balik pakai taxi, gue bisa ikutin dari belakang!"

"Ribet tahu, bareng kamu ajalah! Emangnya si Bambang ada urusan apa sih? Dia tawuran lagi? Tunggu, kamu ini Roullete juga? Tapi kan si Bambang nyuruh aku jauh-jauh sama anak Roullete!"

"Berisik lo! Ikut gue!" samber pria itu sambil menarik tasku untuk berjalan mengikutinya.

Aku kira, dia membawa motor seperti Bambang, tapi ternyata dia membawaku mendekati sebuah mobil berwarna hitam.

Pria itu membukakan pintu untukku.

Nice, itu sungguh sikap yang sangat baik. Berarti, dia adalah tipe pria yang menghormati perempuan.

Setelah melesat meninggalkan sekolah, kami melewati sebuah gang yang di penuhi dengan pria berbadan kekar dan berbagai macam motor yang terparkir asal di pinggir jalan.

Aku sudah sering lewat sini bersama Bambang, dan tidak pernah seperti ini sebelumnya.

Mungkin ini yang Bambang maksud dengan bahaya.

"Pegangan Mel, gue mau tancap gas!" seru pria di sebelahku itu dengan raut wajah serius.

Benar saja, setelah mengatakan itu, pria itu langsung mempercepat laju mobilnya tanpa mau repot-repot menginjak rem.

Para pria yang sebelumnya berniat menghadang kami itu pun, langsung menepi dengan panik, bahkan ada yang hampir tertabrak.

"Kamu hampir nabrak orang!" pekikku kaget.

"Kalau kita nggak melaju cepat, mereka akan menghadang kita, dan sesuatu yang buruk pasti terjadi! Ini sebabnya Bambang nyuruh lo bareng sama gue! Ngerti nggak?"

Aku menghela napas panjang. Tak lama setelahnya, pria itu mulai mengemudikan mobilnya dengan kecepatan standart.

"Mereka itu musuh Roullete? Kok kayak preman? Bukannya kalian tawuran sama sesama pelajar?"

"Kepo amat lo!" sinis pria itu.

Astaga, apa bertanya saja tidak boleh? Wajar bukan jika aku bertanya? Aku harus tahu apa yang terjadi, agar suatu saat nanti bisa lebih hati-hati.

Aku kesal sekarang. Kukatupkan mulutku rapat-rapat, dan memandang jauh ke luar jendela.

"Oh iya, rumah lo mana?" tanya pria itu tanpa menoleh ke arahku.

Karena masih kesal, aku enggan menjawab pertanyaan pria itu.

"Nggak mau jawab? Ya udah, gue bisa tanya ke Bambang!" ucapnya dengan santai.

Aku tidak menghiraukan ucapan pria itu dan hanya terus memandang keluar jendela.

"Mbang, di mana rumah Melody?"

Setelah diberi tahu oleh Bambang, pria itu langsung mengantarku ke rumah.

"Thanks!"

Setelah mengatakan itu, aku bergegas turun dari mobilnya. Dan sudah kuduga, ibu sudah menungguku di teras. Ia memicingkan mata melihat mobil pria itu bergerak mundur.

"Bu, kok di luar? Masuk yuk, udah magrib!"

Aku menarik lengan ibu untuk masuk ke dalam rumah.

"Tadi itu siapa?" tanya ibu penuh selidik.

"Temennya Bambang, anak kesayangan ibu itu tiba-tiba ada urusan mendadak, jadi dia nyuruh temennya buat anter Melody pulang."

"Ganteng nggak dia? Sama Bambang gantengan mana?"

Ya Tuhan ....

Next chapter