webnovel

Bambang dan Roullete

"Bagusnya pita warna merah, apa biru ya, Mel?"

Aku hanya tersenyum saat ibu sibuk memilihkan jepit pita mana yang harus kukenakan ke sekolah.

Sejujurnya, siapa yang peduli dengan warna pita yang kukenakan? Apa pun itu, aku hanya akan tetap terlihat seperti anak orang kaya yang manja.

Tapi, aku sama sekali tidak keberatan dengan hal itu. Mendapat kasih sayang dan perhatian dari ibu, lebih penting dari penilaian orang-orang di luar sana.

"Pink saja!" seru ibu sambil memasangkan jepit pita warna pink yang baru saja ia ambil dari laci.

"Oh iya, bagaimana dengan sekolah barumu itu? Kalau kamu merasa nggak nyaman atau apa pun itu, kamu harus kasih tahu ibu!"

"Sekolahku yang sekarang, jauh lebih baik dari yang dulu. Teman-teman sekelas menyambutku dengan baik, Bambang juga selalu menemaniku, dan asal Ibu tahu, anak-anak di sana cukup takut dengan Bambang, jadi mereka nggak akan berani mencari gara-gara."

Ibu langsung tertawa renyah mendengar ceritaku.

"Kamu tahu? Orang tua si Bambang dulunya atlet! Si Yuyun itu atlet pencak silat, ayah Bams juga seorang atlet taekwondo, jadi nggak heran kalau anaknya kayak gitu!"

Aku mengangguk mengerti. Pantas saja, dibanding dengan teman sosialita ibu yang lain, Tante Yuyun paling tomboi. Ia tidak begitu peduli jika yang lain sedang membicarakan berlian, tas branded, dan sebagainya. Ia hanya mempedulikan makanan apa yang dihidangkan, dan mobil sport keluaran terbaru.

"Dulu, ibu pernah berpikir, kalau suatu saat punya anak, ibu akan menjodohkannya dengan Bams," ucap ibu tanpa melirik sedikit pun ke arahku. Pandangannya masih terfokus pada jepit pita yang melekat pada rambutku yang tergerai.

Matilah aku! Aku baru ingin memulai kehidupan yang baru, semoga tidak akan ada drama perjodohan apa pun yang akan membuatku tertekan.

"Tapi, itu dulu! Ibu nggak akan maksa kamu buat berjodoh sama Bams. Toh, jadi mantu ataupun enggak, Bams itu akan selalu siap siaga kalau ibu butuh."

"Baik banget Bambang sama Ibu, sampai mau siap siaga gitu."

"Mungkin dia mau balas budi atau entahlah. Dulu, bengkel keluarga Yuyun pernah kebakaran, semua habis, dia benar-benar bangkrut. Dan kebetulan, saat Uyon mau merintis usaha dari awal lagi, ibu bantu."

"Uyon itu siapa?"

"Ayahnya Bams."

Aku mengangguk mengerti. Jika aku ada di posisi Bambang, aku pasti akan melakukan hal yang sama.

"Bams sampai sekarang, masih jualan durian lho! Ayahnya ngurusin bengkel baru mereka. Heran, keluarga mereka itu sebenarnya kaya tujuh turunan, tapi mereka masih aja susah-susah kayak gitu."

Mungkin, karena karakter Tante Yuyun dan suaminya, makanya terciptalah sebuah keluarga yang mandiri dan pekerja keras.

***

Bruk!

Hampir saja aku jatuh tersungkur karena seseorang menabrakku saat kami berada di tikungan koridor.

Tapi, bukan itu masalahnya! Masalahnya adalah, minuman yang kupegang jadi tumpah ke seragamku, yang membuat dalamanku terlihat samar dari luar.

Aku langsung menutupi seragamku yang basah menggunakan dua tangan, dan saat mendongak melihat siapa si menyebalkan yang tidak menggunakan matanya, aku terkejut bukan main.

Baiklah, ternyata dia!

"Kamu sengaja? Kamu mau balas dendam buat tempo hari? Sekarang udah puas?" omelku kesal.

Pria itu menatapku tajam. Sangat tajam hingga tubuhku langsung bergidik ngeri hanya dengan melihat tajamnya tatapan mata pria itu.

"Nih! Daleman lo kelihatan! Lain kali pakai yang polos aja, jangan polkadot!" sinis pria itu sambil melemparkan jaketnya ke arahku.

Jika saja memungkinkan, aku pasti sudah melemparkan jaket itu kembali kepadanya. Tapi, apalah daya, aku sangat membutuhkan benda itu sekarang.

Setelah aku memakai jaket itu, pria tersebut langsung beranjak meninggalkanku begitu saja.

Terserah!

Ah, sial! Kenapa dia melihat dalamanku? Ingin kumengumpat sekasar-kasarnya.

Tapi, dia ada benarnya juga. Sebaiknya aku menggunakan yang polos saja untuk lain kali. Siapa sangka jika akan ada kejadian seperti ini?

Drrrrt drrrt!

Aku terkejut sendiri merasakan sebuah getaran dari saku jaket yang kukenakan.

Sebenarnya, tidak sopan jika mengangkat panggilan di handphone milik orang lain. Tapi, bagaimana jika itu penting?

Karena getaran tersebut tak kunjung berhenti, aku memutuskan untuk memeriksanya. Siapa tahu si pemanggil ini adalan orang penting.

Alisku menyatu saat aku mengernyitkan dahi melihat nama Bambang dan wajahnya muncul di layar.

Tanpa ragu, aku pun mengangkat panggilan tersebut.

"Halo," sapaku.

"Ini siapa? Mana Paijo?" seru Bambang dengan paniknya.

"Ini aku, Melody!"

"Mel? Kok hape Paijo ada di lo? Ah, sial! Tolong lo sambungin teleponnya sama Paijo, penting banget, Mel!"

Paijo? Bagaimana ini? Dia di mana saja, aku tidak tahu.

"Dia gak lagi sama aku, Mbang!"

"Hah? Please lo cari dia sampai ketemu! Penting Mel!" seru Bambang setengah berteriak.

Ini terlihat sangat penting, jadi mau tidak mau, aku langsung berlari mencari keberadaan pria itu.

Oh, andai aku tahu di mana kelas si Paijo ini.

Kantin!

Aku langsung berlari menuju kantin, karena itu adalah satu-satunya tempat yang belum kucari, dan syukurlah, dia memang ada di sana.

Pria itu sedang menikmati semangkuk bakso dan segelas es teh.

"Paijo!" teriakku sambil berlari menghampirinya.

Paijo mendongak menatapku dengan kebingungan.

"Telepon! Bambang!" seruku dengan napas tersengal-sengal.

Tanpa mengatakan apa pun lagi, Paijo langsung meraih handphone-nya dari tanganku, lalu menempelkan benda itu di telinganya.

Tak lama setelahnya, ia langsung berlari meninggalkanku dan makanannya yang masih tersisa banyak, begitu saja.

Oh, sayang sekali bakso yang begitu menggiurkan itu harus terabaikan.

"Mel, lo kenal sama Aji?" celetuk seseorang dari belakangku.

Saat aku menoleh ke belakang, seorang gadis dengan rambut sebahu berdiri menatapku penuh selidik.

Aku mengenalnya. Dia adalah teman sekelasku, namanya Miya.

"Enggak bisa dibilang kenal juga sih, aku hanya tahu kalau namanya Paijo!" sahutku sejujur mungkin.

Well, aku tidak ingin mereka salah paham bahwa aku mengenal pria menyebalkan itu, terutama para fansnya.

Entah apa yang membuat para gadis itu tergila-gila padanya.

"Kalau lo kenal sama dia, comblangin dong gue sama dia!" desak Miya.

"Enggak, Mi! Aku nggak kenal dia! Aku kenalnya sama Bambang! Mau kukenalin sama Bambang aja?" ucapku asal.

Miya langsung cemberut menatapku kesal.

"Si Bambang mah nggak doyan cewek! Ngapain juga gue kenalan sama dia? Sia-sia dong kecantikan gue!" gerutu Miya.

Aku langsung tertawa mendengar ucapan gadis itu. Tapi ....

"Tunggu! Kok kamu bisa bilang kalau Bambang gak doyan cewek?" todongku.

Miya mengedikkan bahu, lalu duduk di salah satu bangku kosong tak jauh dariku.

Karena penasaran, aku terus mengikuti Miya. Serius, jiwa kepo-ku langsung membara seketika.

"Dia itu dari SMP nggak pernah kelihatan punya pacar! Ke mana-mana sama Roullete terus, kan mencurigakan!"

Wait! Apa dia bilang tadi?

"Roullete? Bambang kenal sama mereka?"

Kali ini, gantian Miya yang kaget mendengar pertanyaanku.

"Jangan bilang lo nggak tahu kalau Bambang itu anak Roullete?!"

Ya Tuhan, konspirasi macam apa ini? Bukankah Bambang menyuruhku untuk menjauhi Roullete?

Next chapter