7 Tenang, Aku Disini...

"Mei, apa kau juga ikut pertandingan softball nanti ?" Desi melangkah cepat, mengikuti langkah Mei yang selalu cepat.

"Hmm memangnya hari ini ada pertandingan ? dimana ? aku belum tahu... tidak ada yang mengajakku..." Mei berhenti melangkah dan menatap mata Desi. Lalu Mei mengalihkan pandangannya ke langit-langit koridor kelas mereka. Berpikir.

"Oh iya.. Aku lupa Desi. Maulana tadi memang mengajakku untuk bertanding di timnya, tapi aku sedang terlambat tadi. Aku tak dengar jelas apa yang di katakan nya. Aku mengabaikannya. Aku akan ke kelas Maulana untuk menerima tawarannya itu. Dah Desi. Nanti sore kita bertemu di sekolah ya, kau harus menyaksikan pertandingan ku.." Mei mengedipkan sebelah matanya lalu berbalik badan dan berlari ke arah kelas Maulana.

"Dasar kau nenek tua yang pikun..!" Desi teriak keras mengejek ingatan Mei yang buruk itu. Mei hanya tertawa di kejauhan.

Nafas Mei terengah-engah. Keringat nya mengucur deras tidak terhenti. Wajahnya memerah karena kepanasan dan kelelahan. Debu beterbangan ditiup angin semilir. Langit gelap gulita saat ini. Mendung. Sebentar lagi hujan akan bergantian bunuh diri. Menikam wajah tanah dengan tiap tetesnya. Desi duduk di pinggir lapangan menyaksikan pertandingan itu dengan cemas. Tim Mei saat ini kalah telak. Sejak tadi tidak ada pukulan Maulana dan Mei yang berhasil. Desi khawatir Mei akan menghajar tim lawannya kalau dia kalah. Mei benci kekalahan.

Entah mengapa sikap Mei hari ini sangat aneh. Sejak tadi dia terlihat gelisah. Hanya tubuhnya saja yang saat ini berada di lapangan. Pikiran dan konsentrasinya entah berada dimana sekarang. Mungkin dia meninggalkannya di rumah. Mei adalah anak yang sangat pelupa bukan ?.

Mei terlalu sering melihat ke langit. Sejak awal pertandingan Mei hanya sibuk melihat langit yang mendung. Sesekali Mei menggigit bibir nya sendiri. Mei terlihat ketakutan. Begitulah yang dipikirkan Desi. Apakah Mei merasa se-takut itu dengan tim lawan ?. Desi yang melihat dari pinggir lapangan sekolah mereka semakin cemas. Ada apa dengan Mei ?.

"Mei ! Ayo kemari ! Istirahat lah sebentar Mei !" Desi berteriak dari pinggir lapangan. Mei yang mendengar teriakan Desi tersadarkan dari lamunannya. Mei mengangguk ke arah Desi dan berlari ke pinggir lapangan. Semua pemain merasa lelah.

"Mei, ayo kita masuk ke ruang kelas kita. Sepertinya sebentar lagi akan hujan.. Jadi ayo kita berteduh di kelas kita. " Desi tersenyum hangat untuk Mei. Mei hanya mengangguk tanda setuju.

"Maulana, Mei istirahat dulu di ruang kelas kami. Aku akan menemaninya. Jadi kau berusaha lah untuk membalikkan keadaan. dah.." Maulana mengangguk mendengar perkataan Desi. Desi berlari kembali ke pinggir lapangan, tempat Mei sedang berdiri.

"Ayo Mei " Desi memimpin jalan, Mei mengikuti dari belakang. Tatapan mata Mei terlihat kosong.

Pintu berderit saat Desi mendorong pintu itu. Diiringi petir yang menyambar di langit. Tiba-tiba Mei berteriak keras dan jatuh terduduk. Desi yang melihat hal itu panik. Di ajak bicara pun Mei tidak bisa. Mei tidak mendengarkan Desi saat ini. Tubuhnya bergetar. Lalu terdengar suara Mei yang menangis sesegukan. Desi yang mendengar suara tangis Mei semakin kalap. Desi merasa bingung untuk bertindak. Tidak pernah Desi melihat Mei menangis.

Akhirnya Desi menarik paksa lengan Mei. Membawa Mei masuk ke ruang kelas. Di ruang kelas Mei langsung duduk menyandar di pojok kelas. Desi langsung menutup rapat kelas mereka. Agar tidak ada yang melihat keadaan Mei saat ini. Desi merasa sangat khawatir. Semua pertanyaan yang di ajukan Desi tak di gubris Mei.

Di luar sana, hujan dan petir sudah hadir beramai-ramai. Menyerbu tim softball yang masih berdiri di lapangan. Kocar-kacir tim softball berlari ke sekolah untuk berteduh, berlindung dari serangan hujan yang tiba-tiba itu. Petir pun sahut menyahut di atas langit sana. Udara yang bertiup semakin kencang dan dingin. Semua pohon di sekolah mereka sedang mencoba untuk bertahan hidup. Memegang erat-erat tanah tempat mereka berdiri, agar tidak terbawa arus angin yang kencang.

Tangisan Mei semakin kuat saat hujan turun. Mei memeluk erat kaki nya ketika mendengar suara petir. Tubuh Mei bergetar hebat. Entah apa yang membuat Mei merasa se-takut ini. Desi berusaha menenangkan Mei, namun tidak berhasil. Semua perkataan Desi tak di hiraukan Mei.

Desi memutuskan memeluk Mei erat-erat. Tubuh Mei berangsur-angsur tenang saat di peluk Desi. Kini hanya tinggal tangisan Mei yang masih tidak berhenti. Desi menepuk-nepuk bahu Mei dengan lembut.

"Tenang Mei. Aku ada disini. Tenang Mei..." Desi berkata dengan lembut. Menenangkan Mei. Kini, Desi tidak peduli lagi penyebab Mei menangis. Menenangkan Mei saat ini adalah hal terpenting bagi Desi.

Mei melihat jam dinding yang ada di kelas mereka. Pukul lima sore. Di luar, hujan sudah berhenti bunuh diri. Tim softball juga sudah bubar sejak tadi. Dengan hasil kekalahan tim Maulana.

Mei sudah berhenti menangis. Tangisan Mei berhenti ketika hujan reda. Desi yang sejak tadi memeluk Mei tertidur di pundak Mei. Mungkin Desi merasa lelah saat berusaha menenangkan Mei tadi. Melihat sahabatnya yang kelelahan karena dirinya membuat Mei tak sampai hati membangunkan Desi. Mei hanya diam melamun melihat jam dinding kelas mereka. Menunggu Desi bangun dari tidurnya.

Pukul enam sore. Desi akhirnya bangun dari tidurnya. Matanya melihat keliling kelas mereka. Berusaha menyadari situasi nya saat ini. Setelah melamun beberapa saat, ingatannya akhirnya kembali. Dia langsung berdiri tegak, mencari keberadaan Mei. Betapa takutnya Desi saat ini. Wajahnya kalap. Tiba-tiba dugaan yang berlebihan menyerang Desi.

Jangan-jangan Mei bunuh diri, menusuk jantungnya dengan belati karena mengira bahwa dia meninggal. Seperti kisah Romeo dan Juliet. Karena Mei dan dirinya sudah sangat dekat sekarang. Desi takut bahwa Mei berpikir untuk bunuh diri, karena kehilangan dirinya. Menurut Desi, alasan Mei tetap hidup saat ini adalah dirinya. Jika dirinya tidak ada saat Mei bertengkar, pasti Mei sudah babak belur dan sekarat. Kalau dia tidak menjadi penengah dalam setiap pertengkaran Mei.

Atau mungkin Mei di culik oleh para preman di pasar yang pernah di hajar Mei. Lalu tubuh Mei di mutilasi dan di jadikan pakan buaya. Semakin pucat wajah Desi membayangkan semua hal itu. Padahal itu tidak mungkin terjadi bukan ?

"Mei, kamu di mana ?" Desi berlari keluar kelas sambil berteriak memanggil nama Mei. Desi menangis tersedu-sedu membayangkan bahwa khayalan nya itu mungkin terjadi...

Dari kejauhan, Desi melihat seseorang keluar dari kantor guru. Desi yang sejak tadi kalap membayangkan khayalannya berlari kencang kembali ke kelas nya. Pasti orang itu adalah penculik Mei. Aku harus menyelamatkan Mei sebelum Mei di bunuh dan dimutilasi. Begitulah pemikiran Desi saat ini. Namun, ketakutan nya yang besar membuatnya terduduk di kelas dalam keadaan bergetar. Kaki nya tidak mau menerima perintah otaknya. Keringat mengucur deras di kening Desi.

Pintu kelas mereka di dorong oleh seseorang dari luar. Pintu itu terbuka dengan sedikit rintihan kecil. Tubuh Desi bergetar hebat. Membayangkan bahwa dia akan mati dan menjadi pakan buaya.

avataravatar
Next chapter