8 Sstt Ini rahasia kita berdua ya..

Mei berdiri canggung di depan pintu kelas. Bingung Mei memulai percakapan dengan Desi yang sekarang sedang berjongkok menutup telinganya rapat. Sementara Desi,yang saat ini sedang merasa ketakutan itu bahkan masih belum menyadari Mei ada di dekatnya. Mei masih canggung untuk mulai berbicara dengan Desi. Di letakkan nya segelas air yang tadi di ambil Mei dari ruang guru. Tersentak Desi melihat Mei berjongkok di sebelahnya saat ini. Tanpa terasa air matanya mengalir, membayangkan bahwa khayalan nya tidak terjadi. Desi merasa bahagia sekaligus terharu. Desi langsung memeluk Mei. Memastikan bahwa saat ini dia tidak berkhayal.

"Mei... aku kira kau sudah menjadi pakan buaya di Cina sana.." Desi menangis tersedu-sedu. Mei yang mendengar perkataan Desi semakin bingung dan canggung.

" He...!!! Mengapa kau berpikir seperti itu ?" Wajah Mei merah padam saat ini. Entah dia merasa terharu atau marah. Desi segera menyadari situasi saat ini.

"Huwa...!!! Mei, kau takut dengan suara petir dan hujan karena kau pernah di culik kan ? jangan takut Mei, meski aku juga merasa takut. Aku akan melindungi mu. Agar para penculik itu tidak berani mendekatimu." Desi menghembuskan nafasnya kencang-kencang. Tiba-tiba saja jiwa nya bergelora dengan semangat melindungi Mei. Sahabatnya itu.

Mei menghela nafas pelan. Sebenarnya, saat ini dia hendak tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata Desi. Tetapi rasa ragu nya saat ini mengalahkan selera humornya. Apa Desi akan memercayai perkataan Mei ?. Mei tidak ingin dikasihani oleh orang lain. Dia benci perasaan itu. Tetapi mungkin Desi berbeda. Mungkin dia bisa memercayakan satu kelemahannya. Mei juga sudah tahu kelemahan Desi. Biarlah Desi tahu kelemahan Mei. Agar situasi mereka adil. Toh, Desi tidak bisa mengendalikan cuaca.

"Desi, aku punya satu rahasia. Aku ingin agar kau menyimpan rahasia milikku ini." Mei memulai percakapan. Tatapan mata Mei begitu sayu saat ini. Desi mendengarkan dengan serius dan penasaran.

"Desi, orang tua ku saat ini sudah bercerai. Bapakku selingkuh. Mamakku membesarkan kami sendirian. Sebelum bercerai, orangtua ku bertengkar hebat di ruang tamu kami. Saat itu, hujan turun lebat sekali. Petir di luar rumah menyambar sahut-sahutan. Jendela rumah kami ber derik setiap kali petir menyambar. pertengkaran orangtua ku juga tidak kalah menyeramkan saat itu. Aku menguping pembicaraan mereka dari kamarku. Sampai saat ini mereka tidak tahu bahwa aku menguping." Desi mulai berderai air mata. Sejak tadi Mei mati-matian menahan air matanya.

"Aku merasa benci sekali dengan keadaan ku. Aku harus mengurus adik-adikku ketika pulang sekolah. Aku harus memasak dan mencuci. Belum lagi menghadapi depresi yang Mamak derita. Setiap malam aku menangis. Menghibur diriku sendiri. Entah sejak kapan, setiap kali hujan turun di sertai sambaran petir, aku merasa takut bahwa hidupku yang nyaman akan di renggut. Bahwa sekali lagi orang yang ku sayangi akan meninggalkan ku. Aku takut sendirian Desi..." Desi semakin terisak mendengar penjelasan Mei.

"Desi, aku punya satu permintaan untukmu. Bisakah kau rahasiakan ini ?" Mei tersenyum hangat. Desi mengangguk menangis tersedu-sedu. Dia sudah tidak mampu menahan tangis yang di tahannya sejak tadi.

Mei dan Desi berlarian penuh tawa di halaman sekolah mereka yang penuh lumpur. Mereka bertelanjang kaki dengan pakaian basah. Matahari tenggelam perlahan di ufuk barat. Sayup-sayup terdengar suara mengaji dari masjid. Pertanda sebentar lagi adzan Maghrib berkumandang.

Mei berlari di depan, di susul Desi di belakang. wajah Desi kini penuh lumpur halaman sekolah mereka. Tentu saja itu adalah ulah Mei. Saat ini Desi berusaha membalas Mei yang berlari sangat cepat.

"Stop Desi. Kita harus pulang, sebelum orang tuamu marah."

"Hah ! Seenak jidatmu meminta berhenti." Desi mengambil lumpur di bawah kaki nya lalu di lemparkan nya ke arah Mei. Sayangnya, lumpur itu mengenai pakaian Mei,bukan wajahnya. Mei tertawa kencang.

"Dasar payah. Hanya aku yang bisa seperti itu." Mei lalu melempar lumpur ke wajah Desi. Desi yang mendapat pukulan telak terdiam membatu di posisinya. Mei semakin tertawa melihat itu. Untuk mengakhiri perang mereka, Mei mengambil tas dan sepatunya lalu berlari menuju rumahnya sambil tertawa menghina kekalahan Desi.

"Awas saja kau Mei !!!" Desi berteriak murka. Mei berlari tidak peduli. Tertawa penuh kemenangan.

Ah... ternyata pilihanku saat ini benar. Kau adalah sahabatku Desi. Senyum lebar yang tulus untuk pertama kalinya kembali menghias wajah Mei. Dia tampak sangat cantik saat ini.

***

Mei duduk menunggu Mamak mulai bicara. Mei menatap seluruh kamar Mamak. Kamar Mamak tampak kusam Sekarang. Bahkan dinding kamar Mamak di penuhi gambar coretan Januari.

"Mei, Apakah kau setuju kalau Mamak menikah lagi ?" Mamak membuka pembicaraan mereka berdua.

"Mamak punya seorang teman yang mau menerima kondisi Mamak. Dia teman SMA Mamak dulu Mei. Minggu lalu, dia melamar Mamak. Dia juga seorang duda beranak dua. Mamak tidak akan menikah lagi kalau kau tidak setuju Mei." Mamak menatap Mei dalam. Mei diam sejenak. Berpikir.

"Apa mamak merasa bahagia ? Mei tidak masalah dengan hal itu. Yang penting adalah kebahagiaan Mamak." Mei tersenyum, berharap senyumnya itu menenangkan hati Mamak yang cemas menunggu jawaban Mei. Mamak mengangguk sebagai jawaban pertanyaan dari Mei.

"Apakah Nenek dan Bolang setuju Mak ?" Mei menatap mamak sendu. Dia hanya mencoba menahan air matanya saat ini.

"Nenek dan Bolang sudah setuju Mei. Minggu depan akan dilaksanakan akad nikah." Mamak tersenyum cerah. Mei semakin sulit menahan air matanya. Dipeluknya tubuh Mamak. Di bisikkannya kata selamat untuk Mamak. Mamak yang menyadari betapa dewasa sifat Mei menangis terharu. Lalu mengucapkan terima kasih. Jam dinding menunjukkan pukul satu dini hari. Mei yang sudah tidak bisa menahan air matanya pamit undur diri.

"Kalau begitu Mei masuk ke kamar Mak. Ada tugas yang belum Mei kerjakan." Mei tersenyum. Mamak hanya mengangguk setuju.

Mei menutup pintu kamarnya rapat. Adik-adiknya sudah tertidur lelap saat ini. Mei duduk di pinggir kasur mereka. Dia diam menatap langit-langit kamarnya. Meleleh air matanya,perlahan. Lalu dia menangis dalam diam.

"Ternyata aku masih belum cukup dewasa untuk di andalkan." Baru beberapa jam yang lalu dia tertawa lepas dengan Desi. Bahagia dan penuh gelak tawa.

Mei teringat dengan Bapak. Dia merasa begitu rindu dengan Bapak. Cinta pertamanya. Wajah bapak yang serius saat bermain catur dengan nya. Raut wajah yang membuat Mei membenci kaum Adam saat ini. Sepanjang malam itu di habiskan Mei memikirkan kenangannya dengan Bapaknya. Dia menangis dalam senyap nya malam. Dari kejauhan, suara lolongan anjing menjadi temannya mengarungi panjangnya malam. Saat ini, Mei sungguh berharap kepada Tuhan agar Mamak tetap bahagia.

avataravatar