4 Maafkan Aku

Depresi Mamak berakhir saat tragedi itu terjadi. Pada malam itu, Mamak yang akan pergi kehilangan kunci sepeda motornya. Dicari kemana pun kunci itu tak juga kelihatan. Wajah Mei dan Juni sudah pucat, siap menerima amarah dan raungan Mamak. Namun, Mamak yang sudah memuncak amarahnya tanpa pikir panjang melempar gelas tepat di kepala Juni. Gelas itu pecah bersamaan dengan mengalir nya darah dari kepala Juni. Mei histeris. Mamak yang melihat darah dari kepala Juni terkejut dan panik. Lalu meneriaki Mei agar membantunya mengangkat Juni yang pingsan. Untungnya masih ada becak yang lewat di gang rumah mereka. Darah yang mengalir dari kepala Juni tak kunjung berhenti.

Perawat yang ada di puskesmas tak kalah panik melihat kondisi Juni. Mereka langsung memberi pertolongan pertama. Juni mendapat 8 jahitan di kepalanya. Dokter bilang dia bisa pulang malam ini juga. Juni tidak boleh keramas dan memegang kepalanya. Besok-besok luka kepala Juni tidak bisa hilang bekas jahitannya.

Mei bangun pagi tepat ketika azan subuh berkumandang. Lalu dia berwudhu dan shalat serta melanjutkan aktivitasnya seperti biasa. Namun ada satu keanehan pagi ini. Mengapa Mamak ada di dapur ?. Mei jadi salah tingkah di dekat Mamak. Apalagi melihat Mamak yang menyiapkan sarapan. Mamak hanya meminta Mei untuk memandikan Januari. Lalu Mamak juga menyiapkan bekal untuk Mei dan Ahadia. Juni belum bisa masuk sekolah.

"Kak, ada apa dengan Mamak. Biasanya mamak hanya marah-marah saja tapi hari ini mamak yang mengerjakan tugas rumah. Mamak juga tidak marah hari ini. Ahadia jadi takut Mamak akan pergi meninggalkan kita kak. seperti yang di film-film itu.." Manyun bibir Ahadia memikirkan kemungkinan itu. Mei tertawa melihat tingkah Ahadia yang terlalu polos itu. Di usapnya kepala Ahadia.

"Tidak Ahadia. Mamak tidak akan meninggalkan kita seperti di film kesukaan mu itu. Karena Mamak sayang kita. Setelah ini juga Mamak tidak akan marah-marah lagi kok. kecuali kau membuat kesalahan. Mengerti ? " Mei tersenyum ke Ahadia. berusaha menenangkan adiknya itu. Hadia mengangguk. Akhirnya Ahadia tertawa. Memikirkan betapa konyolnya dia membayangkan bahwa hidupnya sama seperti di film-film. Mei yang melihat wajah malu Ahadia tertawa terpingkal-pingkal. Ahadia memang terlalu polos.

"Kak Mei, mengapa Juni tidak masuk sekolah kak ? " Indah, teman sekelas Juni sekaligus tetangga Mei, sudah berdiri tegak di depan Mei. Bersiap melontarkan banyak pertanyaan pada Mei.

"Juni demam. Bukankah sudah tertulis jelas di surat bahwa Juni demam. Lalu mengapa kau masih bertanya ?" Mei kesal sekali dengan Indah. Tidak ada rahasia yang aman di tangan Indah.

"Iya kak. Indah tau Juni sedang demam. Tapi mengapa Juni demam ? apa karena kakak bertengkar kemarin ? Karena kemarin malam aku mendengar suara orang menangis dari rumah kakak." satu hal lagi yang membuat Mei tidak menyukai Indah adalah Indah tidak punya rasa malu. Muka tembok.

"Haish. Apakah hidup mu itu tidak tenang kalau tidak mencampuri urusan orang lain ? Kalau aku bilang demam ya demam !! pergi sana. Aku mau makan saja tidak tenang ! " Mei langsung menutup pintu kelasnya. Di luar, Indah teriak dan menggedor pintu kelas Mei dengan keras. Desi yang merasa terganggu membuka pintu kelas dan mengusir Indah. Lalu mengancam akan menjahit mulut Indah kalau dia berani menginjakkan kaki di kelas mereka. Indah yang merinding mendengar ancaman itu langsung lari begitu ada kesempatan. Mei tertawa terbahak-bahak melihat wajah ketakutan Indah. Desi memang selalu bisa di andalkan.

"Berhenti tertawa Mei. Itu tidak lucu sama sekali. Tawamu juga sangat mengerikan. Seperti tawa penjahat saja." Desi mendengus sebal.

"Dasar nenek lampir. Apa kau tidak bisa merasa senang melihatku tertawa ? " Mei menggerutu sebal karena Desi memarahinya.

"Mei, alangkah baiknya jika kau menghabiskan waktumu untuk belajar, bukan bermain dan tertawa tidak jelas seperti ini. Agar nantinya kau bisa masuk ke SMP favorit. Yah.. memang kau adalah seorang jenius, namun jenius sekalipun bisa di kalahkan oleh seorang pekerja keras Mei." Desi meletakkan tangan kanannya di pundak Mei lalu menepuk pundak Mei dengan lembut.

"Desi, kata-katamu barusan membuat ku merasa merinding. Seperti bukan dirimu saja. " Mei melepaskan tangan Desi di pundaknya.

"Ya.. sebenarnya itu memang bukan kata-kata ku. Itu adalah kata-kata ceramah yang diucapkan Bapak ku kemarin." Desi menghelas nafas. Bahkan Mei dapat mendengar suara helaan nafas Desi itu.

"Pantas saja. Seorang Desi tidak mungkin bisa bicara seperti itu. Aku juga tidak ingin belajar keras. Kalau masalah sekolah, aku sudah putuskan bahwa aku akan lanjut ke SMP negeri dekat rumah ku saja." Mei tersenyum getir menghadapi kenyataannya saat ini. Padahal dulu Bapak Mei berjanji akan menyekolahkan nya ke sekolah elit di pusat kota. Jangankan untuk sekolah elit, Nafkah sehari hari saja tidak diberikan oleh Bapak. Mei jadi merasa sangat membenci Bapaknya itu.

" Apa kau serius Mei ? Kalau begitu nanti kita di sekolah yang sama dong. Karena aku juga akan mendaftar di sekolah itu. Tapi aku takut aku tidak lolos." Desi menghela nafas dengan kuat lagi.

"Tentu saja Desi sang ratu kebodohan merasa khawatir. Lulus sekolah saja dia belum tentu. " Mei tertawa menghina. Mencoba mencairkan suasana. Desi langsung memukul Mei kuat-kuat.

"Kau tenang saja Desi.Ada aku di sampingmu saat ujian nanti." Mei mengacungkan jempolnya lalu tertawa licik membayangkan rencananya. Desi yang langsung mengerti maksud dari tawa Mei juga ikut tertawa licik membayangkan nilai ujiannya yang bagus nantinya.

"Ternyata aku memang tidak salah memilih teman selama ini. Betapa bangganya aku memiliki teman jenius seperti mu Mei. Tidak sia-sia aku memberikan contekan pr ke dirimu selama ini." Mereka berdua tertawa cekikikan membayangkan ujian nasional nantinya. seisi kelas merasa prihatin melihat mereka berdua yang seperti orang gila karena ujian nasional.

avataravatar
Next chapter