1 Prolog: Pertemuan

Setitik cahaya dalam lorong gelap yang panjang, membentuk siluet tinggi memanjang yang membelakangi pandangan. Seorang pria berkaki jenjang yang terbentuk dari siluet tersebut mengangkat bohlam pada tangan kirinya, melihat pantulan cahaya lilin dengan senyuman mencerca sosok di belakangnya sesaat setelah dia mengangkat benda bulat tersebut melebihi kepalanya.

"Bukankah tidak baik untuk seorang wanita di tengah gelap seperti ini? Bersama hewan buas sepertiku." Ujar pria itu, melirik sosok yang sebelumnya terpantul pada bohlamnya.

Sosok itu menunjukkan dirinya. Raut kesal muncul di wajahnya karena telah terpergok oleh si pria jenjang. Dengan alis berkerut dan ekspresi tegang, gadis itu memberanikan diri untuk bertanya, "Kenapa kau gelap-gelapan seperti ini?"

Dengusan pelan terdengar dari hidung pria. "Itu hakku, ini wilayahku." Wilayah tersebut adalah ruang basement ukuran tiga kali tiga meter yang terletak di ujung lorong rumah besar kosong, ruang itu memiliki meja di tengahnya, juga ada beberapa barang daur ulang yang tersimpan rapih di lemari sebelah kirinya. Pria jenjang tersebut melirik, menunjukkan seberapa tajam tatapan mata yang bisa ia berikan meski lawan bicaranya adalah seorang wanita. "Sedang apa kau di sini?" nadanya rendah, tenang dan dingin.

Sang wanita mengerucutkan bibir setelah mendengar kalimat menyebalkan dari lawan bicaranya, hidungnya mendenguskan nafas pelan ketika wajahnya teralih ke sisi lain. Itu tidak menjawab petanyaan yang telah diajukan.

"Apa yang kau inginkan? Kenapa kau  memasuki wilayahku tanpa izin?" Pria itu menaruh bohlam ke dalam kantung di atas mejanya, di sambung dengan kegiatan saling menatap antara dia dan wanita di hadapannya.

Sang wanita bersedekap, menyilangkan kedua tangan di depan uluhatinya. "Tidak ada. Aku hanya lewat, aku pikir rumah ini kosong." Dengan nada sinis, ia mengangkat dagunya cukup tinggi. Menunjukkan seolah dialah yang berkuasa di sini.

Sebelah alis terangkat, pria itu membentuk seringai miring di bibirnya. "Tidak, kau mengikutiku," tebaknya.

"Aku tidak...."

"Kau terpergok," potong sang pria, membuat mata gadis tersebut membulat lebar. "di balik dinding toko perkakas, kau melihatku dan memutuskan untuk mengikutiku hingga ke sini. Benar? Apa tujuanmu? Kenapa kau mengikutiku? Apa urusanmu denganku?"

Sang gadis tanpa sengaja menengguk liurnya, lidahnya keluh dan bibirnya kaku. Ia sama sekali tidak mampu menjawab runtunan pertanyaan yang diberikan oleh pria jenjang di depannya, dia cukup terkejut karena ternyata pria ini mengetahui keberadaannya sejak lama.

Sang lawan bicara akhirnya terkekeh. "Oh.. Aku penasaran." Pria itu merogoh kantung besar di hadapannya, mencari sesuatu yang entah itu penting atau tidak. "Bagaimana perasaanmu padaku?"

Kening wanita itu berkerut kebingungan, kepalanya sedikit menengleng ke samping kanan dengan mulut terbuka seolah berkata 'hah' tanpa suara.

"Ketika seseorang mengikuti orang lainnya, tandanya orang itu mulai tertarik pada orang yang diikuti."

Sang wanita menautkan alis dengan kasar. "Apa maksudnya?"

Pria itu menggendikkan bahu sekali dengan gerakan yang cepat. "Itu hanya kutipan dari tulisan yang pernah kubaca," ujarnya.

Tawa kecil keluar seolah mendengus dari hidung wanita dalam lorong tersebut. "Kau terlalu banyak membaca."

Tangan yang merogoh kantung akhirnya keluar tanpa mengambil apapun, terdiam dalam beberapa saat sebelum terjatuh di samping tubuhnya.

Ketika wajah sang pria menatapnya dengan seringai tipis di bibir, keringat keluar dari kening wanita tersebut bersamaan dengan perasaan yang terus bertanya 'orang ini kenapa?' kepada dirinya yang kebingungan setengah mati.

Kaki jenjang itu mulai melangkah mendekati sang lawan dan berhenti di depan jari kakinya yang tertutup kets hitam kecoklatan. "Aku memang banyak membaca buku, tapi tidak sebanyak pertanyaanku tentangmu." Tangannya mengambil dagu yang sebelumnya memang sudah terangkat, membuatnya semakin terangkat menatap mata sang pria. "Siapa namamu, manis?" senyum kecil di wajahnya akhirnya mengembang dengan bentuk yang terlihat menyenangkan.

"Ck! Dasar pria hidung belang!" Tangan wanita yang ternyata bertubuh lebih mungil itu menepis sentuhan pada dagunya, rona wajah yang ikut memerah bersama dengan pipinya yang menggembung tampak seolah dia sedang marah. "Namaku Liza." Tapi dia tidak marah.

Sang pria tersenyum puas, "Baiklah, panggil aku Axer."

Kisah manis yang penuh liku tentang perbedaan status ini pun di mulai, dapatkah kapal mereka berlabuh?

TBC....

.

.

.

Semoga suka :)

avataravatar