1 Si Makhluk Terancam Punah

"Karya seorang maestro, bukan?"

Fana menghampiri seorang laki-laki yang menggunakan kemeja lengan panjang bermotif kotak-kotak dengan jaket bomber biru tua dan sebuah topi hitam dikepalanya.

Ia menoleh ke arah Fana dan kembali menatap miniatur desain jembatan di depan matanya. Leo mengambil ponsel dari saku jaketnya, ia mengaktifkan kameranya dan ingin memotret.

"Oh, kau mau mengambil gambar?" 

Fana yang sedang membawa tote bag mendekat ke arah miniatur jembatan dan berpose disampingnya.

Saat Leo mengarahkan ponselnya ke arah miniatur jembatan, ia mengubah arahnya ke arah keterangan mengenai pembuat dan perancang jembatan yang berada di sisi samping dinding. Tertulis di sana ada nama Fana Rosevelt sebagai pembuat dan perancang, namun sayangnya Leo tidak tahu bila wanita yang ada di depannya adalah Fana.

Setelah mendapatkan gambar yang ia butuhkan, Leo langsung pergi meninggalkan Fana yang masih berpose. 

"Hah? Aku ditinggal pergi?" 

Fana nampak bingung dengan laki-laki itu. Ia merasa tidak berharga sama sekali. Tidak beberapa lama berselang, beberapa teman Fana datang menghampirinya dan memberikan selamat atas rancangan miniatur jembatan miliknya.

"Siapa dia?" Fana merasa penasaran.

***

Terik matahari begitu menyengat kulit. Namun, panas yang menyerang tidak bisa menembus tebalnya lapisan pakaian Leo yang sedang beristirahat di luar gedung pameran teknik konstruksi sipil & arsitektur yang diselenggarakan oleh pihak kampus.

Ia membuka notebook miliknya dan membuat beberapa catatan dari yang ia dapatkan di dalam pameran. Leo juga memasukkan nama Fana Rosevelt ke dalam daftar nama yang penting.

"Melelahkan …."

Duduk di bawah pohon rindang sendirian di tengah-tengah kerumunan mahasiswa yang sedang berkumpul dengan teman-temannya, menjadi pemandangan yang biasa bagi Leo, sang socially awkward.

Tidak sengaja saat selesai dari toilet yang berada diluar gedung pameran. Fana melihat laki-laki dengan style pakaian yang mirip dengan yang ia temui tadi di boot miniatur jembatan miliknya. Ia menghampirinya perlahan, berusaha membuat jantung laki-laki itu terjebak dalam rasa tidak karuan, alias terkejut.

"Woy!"

Fana berteriak dan menepuk punggung Leo dari arah belakang. Walau sedikit gerakan, tapi Leo tersentak terkejut.

Fana duduk di depan Leo sambil tersenyum. Leo menatap Fana begitu dalam, bukan karena ia suka, melainkan kesal karena waktu privasinya yang sudah di ganggu oleh Fana.

"Kenapa sendirian? Mana temanmu?" 

Fana melirik ke sana kemari untuk mencari apakah ada spesies yang sama dengan Leo, tapi ternyata benar, Leo memang sendirian seperti hewan yang terancam punah.

"Ada apa?" Leo merasa terganggu.

"Kenapa tadi hanya memotret keterangan dari miniatur jembatan? Apa kau tidak ingin berfoto denganku?" Fana menggantung kedua tangannya di atas notebook Leo.

"Memangnya kau siapa?" Leo menoleh ke arah Fana dengan tatapan datar.

Fana terkejut bila dirinya tidak dikenal oleh si laki-laki terancam punah. Ia merasa heran dan tidak menyangka bisa bertemu dengan satu manusia yang benar-benar tidak tahu tentang dirinya.

"Kau tidak mengenalku? Serius?" Fana merasa heran.

Leo hanya mengangguk dengan ekspresi lugu. Tatapan matanya menjurus ke arah Fana dengan perasaan bingung. Fana langsung mengangkat kedua tangannya dari notebook Leo, ia menyandarkan dirinya di kursi. 

"Wah, ini kemajuan yang luar biasa. Kukira di semester dua ini, aku bakal terkenal dengan beberapa aktivitas organisasi di kampus, tapi kenyataannya tidak." 

Fana adalah si ratu kampus. Aktif dalam berbagai macam organisasi dan merupakan wakil dari ketua BEM. Ia juga memiliki kecerdasan di atas rata-rata. IP di semester pertama juga menjadi yang tertinggi seangkatan di fakultasnya, yaitu 3.95.

"Maaf, aku pamit, mau pulang."

Leo merapikan notebook dan beberapa buku catatan. Ia memasukkannya kembali ke dalam ransel hitam miliknya. Leo bangun dan meninggalkan Fana sendiri tanpa berkata apapun lagi.

"Aneh, tapi bila diperhatikan, dia oke juga."

Fana memilih pergi menemui teman-temannya kembali. Ia kembali ke dalam gedung pameran. 

***

Pandangan mata Leo memudar, ia mencari tempat yang tidak terkena sinar matahari. Leo berjalan menuju ke bawah pohon besar nan rindang. Lokasinya sudah cukup jauh dari area gedung pameran, lalu ia bersembunyi di balik pohon besar itu dan duduk dibawahnya.

Leo mengambil sebuah botol plastik miliknya dari ransel. Ia membukanya dan meminum cairan di dalam botol itu. 

"Kenapa hari ini matahari begitu menyengat?" 

Ia menenggak sekali lagi. Sebuah cairan merah membekas di sekitar bibirnya. Ia mengelapnya dengan sapu tangan yang ia bawa.

"Halo …." 

["Apa kamu baik-baik saja? Hari ini begitu panas. Apa kamu sudah meminum darah segar yang kuberikan tadi pagi?"] Alfred, kepala pelayan di kediaman Leo Constantine mulai khawatir.

"Aku baru saja meminumnya. Tapi sepertinya aku butuh lebih banyak. Terasa haus sekali tenggorokan." Leo menahan rasa hausnya.

["Apa perlu aku jemput?"] Alfred menawarkan diri.

"Aku akan naik kereta saja. Tolong siapkan makanan saja, Alfred." 

Leo menutup panggilannya. Ia menenggak darah segar sekali lagi. Tiba-tiba ia jadi teringat dengan perkataan Alfred tentang legenda darah murni. Bila seorang vampir bisa mendapatkan di darah murni, maka ia bisa menjadi manusia seutuhnya. Tapi ia belum tahu detail dari legenda tersebut.

Leo bangun kembali, tubuhnya mulai segar kembali. Ia seperti baru saja disuntik booster, tenaga dan pandangannya kembali pulih. Ia melanjutkan jalannya menuju ke stasiun kereta. Acara hari ini hanyalah mengunjungi pameran teknik konstruksi sipil dan arsitektur di gedung balairung kampus.

***

Fana mendapatkan pesan mengenai keadaan ibunda tercinta yang saat ini sedang dirawat di rumah sakit. Ia harus segera pulang untuk menggantikan adik laki-lakinya yang sudah semalaman menjaga ibundanya. Dengan berat hati, ia berpamitan dengan beberapa teman sekelompoknya yang merancang miniatur jembatan itu.

Ia bergegas berjalan cepat dengan langkah terburu-buru menuju ke stasiun kereta yang lumayan dekat lokasinya dengan gedung balairung. Fana segera menuju ke mesin tapping tiket dan menuju ke area peron. Karena menggunakan kartu multi trip, ia tidak perlu mengantri untuk membeli tiket lagi.

Fana melihat dari kejauhan, ia mengenali satu wajah yang sedang bersandar di pagar besi pembatas peron. Orang itu sedang memegang ponsel, ia sepertinya begitu fokus. Fana menghampiri dengan berjalan perlahan.

"Hai!" 

Satu sapaan membuat Leo tersentak kaget. Ia langsung menoleh ke arah Fana. Ekspresinya mengatakan bila ia merasa terganggu dengan keberadaan Fana.

"Kita bertemu lagi, mungkin ini yang dinamakan jodoh ala-ala sinetron atau dalam film. Mau ke mana? Pulang?" Fana merasa penasaran.

Leo menghela napas, ia berpikir wanita ini terlalu merasa akrab dengan dirinya. Ia lebih memilih menyingkir berpindah tempat ke arah samping kirinya. Leo menjauh tanpa berkata apapun.

Fana mengikutinya dari belakang. Mereka berdua terus jalan hingga menuju ke ujung peron yang sudah tidak ada orang lagi yang terlihat. Leo berhenti, ia balik badan dan menatap Fana.

"Kenapa kau ikuti aku?" Leo mau gusar.

"Cuma penasaran, kenapa kau itu selalu menghindar dan terlihat misterius." Fana melirik mata Leo yang tertutup oleh topi yang ia kenakan.

"Maaf, bila boleh, tolong biarkan aku sendiri." Leo pergi ke arah kursi besi panjang yang kosong. Ia duduk sambil membuka ponselnya lagi.

Fana menghampiri si makhluk terancam punah. Ia duduk di sampingnya tanpa berkata apapun, seketika Leo melirik ke arah Fana. Sorotan matanya nampak kesal.

"Aw!"

Tidak sengaja, Fana terluka akibat besi kursi yang ia duduki ada yang tidak rata. Darah keluar dari ujung telunjuk tangan kanannya.

Leo segera melirik ke arah Fana, matanya melotot tertuju pada setitik darah yang keluar dari tangan Fana. Ia melihat darah itu begitu merah bersinar, insting vampir miliknya sadar akan darah yang ada di depannya adalah darah yang berbeda.

"Darah murni …."

"Hah? Apa?" Fana langsung melirik Leo.

avataravatar
Next chapter