6 5. Ibu Negara di Sekolah Baru

Kalau Lo minta gue berhenti ganggu Lo, gue nggak bisa, La. Tanyakan sama takdir kenapa dia mempertemukan kita sekali lagi_Binar.

.

.

.

Baru dua hari, Skala menjadi bagian dari SMA Deandless. Masih banyak hal yang membuatnya bertanya-tanya, tentang ingatannya yang hilang, juga tentang kecelakaan yang menimpanya. Skala berjalan menelusuri lorong kelas XI dalam diam, matanya tertuju pada sepatu putih yang dipakainya. Samar-samar dia mendengar pembicaraan dari beberapa orang yang dilaluinya.

"Eh, itu orangnya," bisik salah satu gadis berkucir kuda pada teman di sebelahnya.

"Iya, iya. Ibu negara sekolah ROMA," balas temannya yang lain.

"Duh, untung aja dia hilang ingatan, kalau enggak pasti udah habis sama gengnya Dona."

"Iya, bener banget, tuh."

"Kenapa pindah ke sini, ya?"

"Entahlah." Gadis berkucir kuda menjawab tak acuh.

Skala mencoba untuk tak mengacuhkan bisik-bisik tentangnya, juga tatapan penuh selidik dari teman-teman barunya. Sampai di dalam kelas, Skala langsung duduk di bangkunya, deretan dekat jendela bangku paling belakang. Skala harus bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan di sekolah barunya. Tatapan dan bisik-bisik yang membicarakan tentangnya. Tatapan tajam dari Binar, juga tingkah menyebalkan lelaki itu.

Seperti tadi saat dia melewati gerbang sekolah ROMA, Skala bisa merasakan tatapan tajam milik Binar yang melubanginya dari lapangan basket. Sama seperti saat kali pertama dia menginjakkan kakinya di sekolah ini, pagi ini Binar dan teman-temannya juga tengah nongkrong di pinggir lapangan basket.

Skala dapat merasakan aura tajam milik Binar yang menghunusnya, mengamatinya dari awal masuk gerbang sekolah hingga dia menghilang di balik belokan menuju lorong kelas XI. Walaupun hanya berupa tatapan, tetap saja Skala merasa risih akan hal itu.

"Woy! Bengong aja lo!" teriak Sava mengagetkan Skala, gadis dengan rambut sebahu serta mata berlensa coklat itu baru tiba di kelas rupanya. Gadis itu kemudian duduk tepat di sebelah bangku Skala. "Lo kenapa?"

"Nggak apa-apa sih, cuma sedikit kepikiran aja sama anak-anak," sahut Skala tersenyum tipis.

"Kepikiran anak-anak? Emang mereka kenapa?"

"Gue ngerasa kalau mereka itu ngejauhin gue. Gue juga sering dengar mereka bisik-bisik tentang gue dan tatapan mereka itu... bikin gue risih, aneh banget tau nggak," curhat Skala pada teman barunya itu.

Sava memang orang pertama yang mengajaknya berkenalan, mengajaknya makan di kantin bersama dan dia juga mengajak Skala untuk keliling sekolah. Sava adalah gadis manis dengan mata berwarna coklat serta rambut sebahu, gayanya periang dan mudah sekali akrab dengan orang baru seperti Skala.

Mendengar curhatan dari Skala barusan, gadis itu bergerak gelisah di bangkunya, bingung harus menjawab apa. "Ehm, mungkin itu hanya perasaan lo aja kali. Mereka semua baik kok, mungkin karena belum kenal aja makanya jadi canggung," ucap Sava pada akhirnya.

Skala menghela nafasnya pelan. "Iya, mungkin gue aja yang terlalu neting sama mereka. Duh, jadi nggak enak," gumam Skala.

"Udah nyantai aja, wajar kok. Lo 'kan murid baru, pasti ada sedikit perasaan khawatir dan juga canggung."

"Iya, lo bener."

Sava tersenyum dari bangkunya, mendesah lega bisa mengusir fikiran negatif Skala tentang teman-teman sekolahnya. Bisa gawat kalau Skala sampai tau apa yang menjadi penyebab mereka membicarakan gadis itu.

Belum saatnya Lo tau, La.

*****

Dastan memasuki ruang kelas XI-IPS 2 dengan langkah gontai, satu hal yang membuatnya semangat berangkat ke sekolah sudah tidak ada. Semangatnya langsung meredup saat melewati kelas IPA tadi, melihat bangku yang biasa di tempati oleh Skala kosong tak berpenghuni.

"Ya elah, baru di tinggal dua hari, udah lecek aja tuh muka. Mau gue laundry-in?" ledek Enggar, teman sekelas Dastan.

"Bibir lo tuh, gue laundry-in. Orang lagi sedih, bukannya dihibur malah di ledekin," gerutu Dastan semakin nggak mood.

"Waduh, bibir seksi gue bisa jadi bimoli kalau sampai lo laundry," gumam Enggar. Lelaki itu lantas menghampiri bangku Dastan, kemudian duduk di kursi depan bangku tersebut. "Gue yakin kalau suatu saat nanti, Skala akan ingat sama lo. Nggak usah sedih gitu, dong," hiburnya kemudian.

"Kalau itu gue juga yakin. Yang nggak gue yakin itu, keselamatan Skala. Dia sekarang sekolah di SMA Deandles, Nggar. Gimana gue bisa tenang, kalau dia sekolah di sekolah musuh. Gimana kalau Binar sampai bikin masalah sama dia?" ujar Dastan mengeluarkan segala kegelisahannya pada sahabatnya itu.

"Gue yakin Binar nggak akan macam-macam sama Skala. Ingat perjanjian kalian, 'kan? Pertempuran tanpa melibatkan perempuan."

"Ck, nyatanya Reyan tetap melibatkan perempuan," gumam Dastan mendengkus kesal.

"Udahlah, Binar nggak mungkin ngelakuin hal bodoh kayak Reyan. Lo tenang aja," ucap Enggar menepuk pundak Dastan pelan.

"Semoga aja. Kalau sampai tuh anak macam-macam sama Skala, gue akan buat perhitungan sama dia," geram Dastan serius.

avataravatar
Next chapter