16 15. Ancaman Binar

Gue cuma main-main, abis asyik, sih, ngelihat dia ngomel-ngomel. Siapa tau ntar dia betah gue gangguin, 'kan kalau gitu nggak usah repot-repot ganti status. Skala akan tetep jadi ibu negara, tapi di sekolah gue, di sisi gue_Binar.

.

.

.

.

.

Lamunan Dastan akan kenangannya bersama Skala buyar lantaran suara gaduh di depan cafe tempat ia dan teman temannya nongkrong. Laki-laki itu melirik asal suara gaduh tersebut, dilihatnya rombongan Binar baru saja datang ke cafe ini.

"Das, lo nggak mau titip salam sama Skala? Mumpung gue lagi baik hati nih, lo boleh titip salam deh, besok gue sampaiin. Mau salam apa? Salam rindu? Sayang atau cinta nih?" Binar sengaja memancing amarah Dastan dan itu berhasil.

Dastan yang awalnya berlalu pergi, sekarang dia menerjang ke arah Binar lantas mencengkeram kerah kemeja laki-laki itu. "Berani lo nyentuh Skala, gue nggak segan-segan bikin perhitungan sama lo! Ngerti!" geram Dastan.

Teman-teman Binar yang siap membantu lelaki itu langsung diam saja begitu melihat kode agar tetap diam di tempat oleh Binar.

"Sayangnya, gue nggak takut sama ancaman lo. Kita lihat aja nanti, seberapa menderitanya Skala di wilayah gue dan frustasinya lo yang nggak bisa bantuin dia?" balas Binar dengan tatapan meremehkan. Laki-laki itu melepas paksa cengkeraman tangan Dastan di kerah bajunya.

"Brengsek! Nar, lo!

"Lo tenang aja, Das," oceh Binar menepuk-nepuk pundak Dastan. "Aturan kita masih sama, kok, gue nggak akan ngelibatin cewek. Tapi gue cuma main-main, abis asyik, sih, ngelihat dia ngomel-ngomel. Siapa tau ntar dia betah gue gangguin, 'kan kalau gitu nggak usah repot-repot ganti status. Skala akan tetep jadi ibu negara, tapi di sekolah gue, di sisi gue." Binar tersenyum puas melihat Dastan yang menggeram kesal. Dia tau kalau saat ini Dastan tengah mati-matian menahan emosinya. Dastan pasti tidak igin emosinya meluap dan nantinya akan meyulitkan Skala.

Dastan menarik nafasnya pelan, lantas menetralkan emosinya, setelah cukup tenang dia kembali mendekati Binar, berbisik lirih di telinga laki-laki itu, "Berhenti jadi pecundang yang mengemis cinta seseorang, Nar. Gue nggak mau mengalah lagi dan akhirnya menyesal atas pilihan gue sendiri. Sampai kapan pun Skala akan tetap jadi milik gue. Urus hati lo sendiri! Nggak usah ikut campur ke dalam takdir oranglain. Lo nggak mau 'kan, kalau ada tangis dari orang yang lo cintai."

Setelah mengatakan kalimat panjang tersebut, Dastan segera pergi dari hadapan Binar, memacu motor besarnya di jalanan Kota Jakarta. Malamnya akan terasa panjang dan penuh dengan rasa kesepian, rasa marah, kecewa, semua rasa bercampur jadi satu. Alasan masalalu yang kembali menghantui hubungannya dengan Binar. Musuh bebuyutannya.

*****

Keesokan harinya, Dastan pergi ke rumah Skala untuk menemui orangtua gadis itu. Ia akan menceritakan rencananya untuk mengembalikan ingatan Skala.

"Jadi begitu?" tanya Ratu setelah mendengar penjelasan dari lelaki yang duduk di hadapannya. Lelaki berseragam itu hanya mengangguk mengiyakan. "Lalu apa rencana kamu?"

"Seperti yang sudah saya bilang, Tan. Saya akan melakukan apapun supaya hubungan kami baik-baik saja. Sekalipun saya harus memulai semuanya dari awal. Sekalipun ingatan Skala tidak pernah pulih. Saya ingin menjadi bagian di hidup Skala sekali lagi. Tante dukung saya, ya?"

Wanita paruh baya itu tersenyum ramah. "Pasti Tante dukung kamu."

"Asalkan itu tidak membebani Skala, Om juga tidak keberatan. Kalian bisa memulai lagi dari awal."

"Iya, Om."

"Tapi kamu sudah tau konsekuensinya, 'kan?"

"Maksud, Om?"

"Kalau hati Skala tidak jatuh ke hati kamu, apa kamu siap melepas dia untuk orang lain?"

Lelaki berseragam merah marun itu terdiam sejenak. "Saya siap, Om. Setelah saya berjuang habis-habisan tentu saja."

"Baiklah."

"Lho, Dastan! Kok Lo bisa ada di rumah gue, sih?" tanya Skala bingung saat melihat sosok Dastan bergabung di meja makan dengan orangtuanya.

"Dia teman kamu di Roma, 'kan? Tadi katanya mau anterin kamu ke sekolah. Ya udah, Mama tawarin sarapan bareng aja," ujar Ratu menjelaskan.

Skala menatap orangtuanya bingung. Merasa ada yang aneh dengan situasi ini. Orangtuanya adalah tipe orangtua yang over protective sama anaknya. Apalagi semenjak dia kecelakaan.

"Mama ijinin aku berangkat sekolah sama Dastan?" tanya Skala ragu-ragu.

"Iya."

"Kok bisa?" kaget Skala. "Maksud aku... Biasanya Mama over protective sama aku, ini kok malah di ijinin pergi sama cowok," ralatnya kemudian.

"Ya 'kan Mama udah kenal sama Dastan. Mama percaya sama dia."

"Mama udah kenal?"

"Dulu dia sering ke rumah, La. Kadang bareng sama Gia juga," ujar Raja menyadari keheranan di wajah putrinya. "Ya, Papa sama Mama jelas lebih percaya teman sekolah kamu dulu daripada temen sekolah yang sekarang. Sekalipun itu cowok."

"Oh." Skala mengangguk mengerti.

"Ya udah, ayo sarapan," ajak Ratu supaya Skala berhenti bertanya-tanya.

avataravatar
Next chapter