14 13. Sebut saja Takdir

Harus disebut apa, kejadian yang mempertemukan kita bertiga malam itu_Binar.

.

.

.

.

.

Flashback On

Kedua anak manusia itu akhirnya memilih diam tanpa perdebatan lagi. Menikmati keindahan pusat kota dengan tenang. Mungkin kalimat itu hanya berlaku untuk Skala karena Dastan jelas tidak terlihat santai bahkan dia cenderung marah dan kesal.

"Kok feeling gue bilang, lo kenal sama nih cowok ya. Bener nggak, sih?" tanya Skala tiba-tiba. Menoleh pada Dastan yang sibuk dengan ponselnya.

Dastan hanya diam saja tanpa berniat menjawab, dahinya berkerut tipis tanda dia sedang serius.

"Sebenernya, gue itu paling nggak suka lho sama yang namanya kecelakaan. Maksud gue, gue sedikit trauma gitu. Apalagi kalau harus berurusan sama yang namanya darah dan rumah sakit," ucap Skala bercerita.

Masih pembicaraan satu arah tanpa jawaban.

"Lo di kelas apa? IPA atau IPS?" tanya Skala lagi, mencoba memancing obrolan normal tanpa perdebatan seperti sebelumnya. Dia tidak ingin melanjutkan ceritanya barusan. "Gue nggak pernah lihat Lo di area IPA. Lo anak IPS ya?" Skala masih terus mengoceh ria.

Dastan masih tetap diam tak menanggapi, membuat Skala jadi kesal sendiri.

"Elah, nih orang budeg atau gimana sih. Moodyan banget jadi orang," gerutu Skala pelan. "Eh, daripada lo cuma diem nggak ada kerjaan, mending sekarang lo beli minum buat orang ini. Siapa tau aja nanti dia sadar," perintah Skala memandang Dastan yang memainkan Hpnya tanpa minat.

"Ogah! Males gue," respon Dastan untuk pertama kalinya.

"Terus lo mau gue yang beli? Sebenarnya kenapa sih, sikap lo jadi berubah? Lo ada dendam pribadi sama orang ini? Berarti feeling gue bener 'kan, lo itu ken...."

"Cerewet banget sih lo, biar gue yang beli minum!" ujar Dastan beranjak berdiri.

"Eh, tunggu!"

"Apa lagi?" balas Dastan menoleh malas.

"Lo jangan berani-berani kabur ya. Awas aja kalau sampai Lo ninggalin gue sendirian sama orang ini," ancam Skala.

"Iya," jawab Dastan jengah. "Nggak mungkin gue ninggalin lo sama Si Bangsat itu," gumamnya sebelum berlalu pergi.

"Lo bilang apa?"

"Gue habis doa supaya amal gue ini di catat sama Allah," celoteh Dastan asal. Membuat Skala tersenyum geli.

Beberapa menit kemudian.

"Nih," ujar Dastan memberi Skala minuman soda.

"Eh, lo gila ya! Orang sakit malah lo kasih minuman soda, lo mau bunuh anak orang!" teriak Skala marah-marah.

"Sebenarnya sih, iya," gerutu Dastan pelan, namun masih dapat di dengar oleh Skala.

"Apa?"

"Nggak ada," sahut Dastan. "Itu minuman buat lo," imbuhnya menunjuk minuman di tangan Skala dengan dagunya.

"Oh, buat gue toh. Lha terus buat orang ini mana?" tanya Skala heran.

"Emang tadi gue bilang mau beliin dia minuman," balas Dastan santai.

"Lo budeg, ya? Gue tadi 'kan nyuruh lo beliin minuman buat nih cowok. Walaupun lo nggak suka sama orang ini dan gue juga nggak tahu alasannya apa. Seenggaknya lo punya niat baik buat nolong or...."

"Stop-stop!" potong Dastan jengah. "Ini minuman buat dia. Lo tuh bener-bener bawel, ya." Dastan cepat menambahi sebelum rentetan omelan yang keluar dari bibir Skala semakin panjang.

"Lo sih bikin gue kesal," ujar Skala lalu meraih air mineral yang di sodorkan oleh Dastan. Membuka tutup kemasannya lalu menggunakan air itu untuk menghapus darah di pelipis lelaki yang pingsan.

Tiba-tiba ada 2 mobil dan 2 motor gede berhenti tak jauh dari mereka.

"Eh, Ada apa, nih? Mereka preman di sini atau gimana?" tanya Skala heran juga takut.

Masalahnya kalau mereka memang preman, sudah pasti Dastan akan kalah. Orang mereka rame-rame gitu. Atau yang lebih parah lagi, Dastan kabur gara-gara takut. Ninggalin gue sendirian.

"Sahabatnya udah datang," ucap Dastan membuyarkan imajinasi Skala.

"Oh, bukan preman toh," gumam Skala mendesah lega.

"Eh, lo apain Binar? Huh!" teriak seorang lelaki berjaket hitam tiba-tiba menarik kerah baju Dastan. "Lo bener-bener cari ribut sama kita!" geram lelaki itu lagi.

Binar? Skala mengamati lelaki yang masih tak sadarkan diri itu.

"Dasar, nggak tau di untung ya lo pada," maki Dastan. "Seharusnya kalian bilang terimakasih sama gue, karena gue udah nyelametin sohib lo yang baru putus cinta ini," imbuhnya dengan tenang, melepas tautan tangan lelaki berjaket hitam di kerah bajunya.

"Apa? Bilang makasih? Denger ya, kalaupun lo beneran nyelametin Binar, lo nggak akan pernah dapat ucapan terimakasih dari mulut Binar sendiri ataupun dari kita-kita. Dasar BANCI!" ujar lelaki berjaket hitam itu sedikit memancing emosi Dastan.

"Lo!"

"Apa!"

"BISA NGGAK, SIH? DENDAM PRIBADINYA DISELESAIN NANTI. ADA ORANG YANG BUTUH BANTUAN NIH!" teriak Skala jengah.

"Nar!" ucap lelaki berjaket hitam itu melirik lelaki tampan yang masih tidur di paha Skala. "Jov, bawa Binar ke mobil!" perintahnya kepada lelaki yang memakai jaket putih. Kemudian fokusnya dia alihkan pada satu-satunya makhluk perempuan di tempat itu. "By the way, gue reyan. Lo  yang nel...."

"Yuk, cabut! Nggak baik perempuan pulang larut malam begini," potong Dastan seraya menarik tangan Skala dan membawanya menuju motor gadis itu. Dengan sigap dia menyuruh Skala menaiki motornya. "Langsung pulang ke rumah, kalau enggak nanti lo bisa kena sial lagi. Cukup sekali lo ketemu sama laki-laki gestrek kayak mereka," celoteh Dastan santai tanpa peduli respon dari ucapannya.

"Eh setan! Lo mau ngajak berantem? Sini gue bikin bonyok lo!" teriak Reyan kesal.

"Kalau lo  mau ngajak ribut? Besok aja, gue lagi capek dan nggak mood berantem. Lagian gue pantang berantem di depan perempuan," desis Dastan dengan tatapan super tajam ke arah Reyan.

"Lo!"

"Rey, udah! Mending kita cabut, Binar butuh pertolongan," lerai Jovan dari dalam mobil.

"Eh, Makasih karena lo udah nyelametin sohib gue," ujar Reyan ke Skalq.

"It's ok," ucap Skala tersenyum ramah. Reyan kemudian melangkah menuju mobilnya sebelum melontarkan tatapan permusuhan pada Dastan. "Gue pulang dulu," ujar Skala berlalu pergi, disusul sahabat-sahabat Binar baru kemudian Dastan.

"Feeling gue nggak enak. Sumpah," gumam Skala dalam perjalanan pulang. "Semoga aja hidup gue nggak sial," doanya kemudian.

*****

Well, feeling Skala memang benar. Setelah kejadian malam itu, hidupnya sama sekali tidak tenang. Lelaki bernama Dastan itu memang sangat berbahaya. Dia selalu mengusik ketenangan hidup Skala, selalu membuat gadis itu kesal setengah mati dan itu berlangsung selama 1 bulan penuh.

Mulai dari lelaki itu yang tiba-tiba mendatanginya di kelas, menawarkan jasa antar jemput, membelikan barang-barang dari yang penting sampai yang nggak penting dan yang paling ekstrem, Dastan pernah datang ke rumahnya dan nekat meminta ijin kepada orangtuanya untuk mengajak Skala jalan keluar.

Gila 'kan!

"Oh, jadi pertemuan pertamanya kasih botol minuman. Ck, sekarang gue tahu betapa menyebalkannya sikap Dastan," gumam Skala.

"Tapi bukannya itu kayak pedekate ya?" Skala tiduran di atas kasurnya. "Ah, enggak-enggak. Mana mungkin gue sama Dastan ada hubungan lebih."

Flashback Of

avataravatar
Next chapter