13 12. Gulungan Memori

Sedalam apapun ingatan terpendam, suatu saat pasti akan muncul ke permukaan.

.

.

.

Jawaban dari Dastan sangat membuat Skala penasaran. Lelaki itu seperti enggan untuk menjawab pertanyaan Skala. Gadis itu jadi berfikir pasti ada yang disembunyikan oleh Dastan. Mencoba menerawang kembali ingatan yang sempat muncul tadi sore, Skala berharap dia bisa mendapatkan sedikit pencerahan.

"Malam itu, apa ada sesuatu yang salah?" gumam Skala pelan.

Flashback On

"Haish! Kenapa sampai lupa waktu, sih, jadi kemalaman nih gue," gerutu Skala saat mengendarai sepeda motor miliknya, membelah suasana malam yang gemerlap di pusat kota Jakarta. Tiba-tiba motor yang berada di depannya berhenti mendadak hingga membuatnya ikut berhenti juga. Bahkan ia hampir saja menabrak motor tersebut. "Aduh, Mas! Ada apa, sih? Bahaya tau!" teriaknya tanpa turun dari motor.

"Maaf, Mbak, di depan ada kecelakaan," jawab yang punya motor tanpa menoleh ke belakang. Lelaki itu kemudian turun dari motornya, melepas helm dan menaruhnya di atas motor. Dia menoleh ke belakang dan matanya langsung menyipit saat melihat wajah gadis yang masih memakai helm tersebut. Wajahnya hanya di temani cahaya bulan tapi lelaki itu tau siapa gadis itu.

"Oh," ucap Skala segera membelokan motornya ke arah kiri, siap melanjutkan perjalanannya yang sempat tertunda.

"Eh, Lo mau kemana?" tanya lelaki itu menghadang motor Skala.

"Ya pulanglah, Mas, emang saya mau ngapain lama-lama disini," celoteh Skala tak habis fikir.

"Astaghfirullah hal azim! Lo nggak punya hati banget, sih. Lo tau sendiri kalau jalanan ini sepi banget. Lo nggak pengen nolong orang itu? Saya aja yang bukan orang baik-baik mau nolong tuh orang, masa' lo perempuan-yang katanya gampang tersentuh-nggak ada niatan untuk nolong orang yang kesusahan," tegur lelaki itu menasehati Skala.

"Hah? Ee... tapi saya...."

"Udah deh, buruan kita tolongin. Nambah pahala 'kan nggak ada ruginya. Yuk! Ntar keburu mati lagi," paksa lelaki itu menarik tangan Skala supaya turun dari motornya.

"Eh, t-tapi saya...."

"Lo tenang aja deh, gue nggak kenal kok sama dia. Lo jangan berfikir yang macam-macam kayak yang ada di sinetron. Mereka nipu orang dengan pura-pura kecelakaan," ujar lelaki itu tiba tiba, tangannya masih betah bertengger pada lengan Skala.

Dengan cepat, Skala menoleh ke arah lelaki itu. "Kok nih orang bisa tau kalau gue mikir kayak gitu, emang muka gue tampang drama queen," celotehnya dalam hati, menatap ngeri wajah tenang yang lumayan tampan itu.

Wajahnya kok nggak asing, ya? Kayak pernah lihat, tapi siapa?

"Oh, astaga! Lo yang waktu itu kasih botol minuman ke gue, 'kan? Kita satu sekolah ternyata," seru Skala ingat tentang lelaki di hadapannya.

"Udah ingat," gumam Dastan pelan. "Ya udah, Lo bantuin orang itu, biar gue urus motornya dulu," suruunya kemudian.

Dengan langkah agak diseret Skala mengikuti perintah Dastan tadi. Pelan-pelan dia membangunkan lelaki yang terkapar di atas aspal jalan, lalu memapahnya ke pinggir. Gadis itu duduk di pinggir trotoar dan menjadikan pahanya untuk bantalan kepala lelaki yang masih setengah sadar tersebut. Dia mengusap darah yang ada di dahi dengan menggunakan saputangannya,  sesekali mengamati Dastan yang bertugas mengurus motor gede milik orang yang mereka tolong ini.

"Eh, Mas, bangun, Mas." Skala menepuk pelan pipi putih lelaki yang masih pingsan itu supaya sadar.

"Gimana keadaannya?" tanya Dastan melangkah ke arah Skala dan lelaki yang mereka tolong.

"Dia nggak mau bangun. Apa kita telfon ambulance aja?" jawab Skala sarat akan rasa panik dan khawatir.

Tubuh lelaki yang berdiri di samping Skala itu tiba-tiba saja kaku, diam di tempat tanpa menimpali kalimat gadis itu. Hingga tiba-tiba dia melengos pergi. "Lo aja deh yang ngurus dia!" ketus Dastan sebelum pergi. Meninggalkan Skala yang melongo heran.

"Lhah, nih bocah! Eh, lo mau kemana? Lo 'kan tadi yang maksa gue buat nolong orang ini. Kok sekarang lo malah nglimpahin ke gue sih!" teriak Skala kesal tanpa beranjak dari tempatnya.

"Tiba-tiba aja mood gue langsung hilang setelah ngelihat wajah tuh orang," jawab Dastan dengan santainya. Dia sudah bertengger di atas sepeda motor gedenya. Meskipun terlihat kesal, tapi rupanya lelaki itu enggan untuk pergi meninggalkan Skala sendirian. Terlebih lagi dia tahu, seberapa berbahayanya lelaki yang tiduran di paha gadis itu.

"Hah? Emang kenapa dengan wajahnya?" celoteh Skala heran seraya memandangi wajah lelaki yang tiduran di pahanya dengan serius, yang telihat hanya wajah tampan yang sekarang tertutup darah di pelipisnya."Nggak ada yang sal...."

"T-telfon." Suara serak terdengar memotong ucapan Skala barusan.

"Telfon? Siapa? Oh, iya... Telfon keluarga lo ya. Bentar-bentar," ujar Skala baru tersadar. "Maaf ya," izin gadis itu saat hendak meraba saku celana lelaki itu. "Eh, lo telfon rumah sakit gih!" celoteh Skala ke arah Dastan yang hanya diam di singgasananya. Di atas motor gedenya.

"J-jangan rumah sakit. Reyan... t-telfon Reyan." Suara serak itu lagi, kemudian pria itu hilang kesadarannya.

"Telfon Reyan," gumam Skala berusaha mencerna kalimat dari lelaki yang kembali tak sadarkan diri itu. "Eh, jangan telpon rumah sak...."

"Gue denger bawel, nggak usah lo ulangin juga. Lagian dari tadi juga gue nggak punya niat buat nelfon rumah sakit. Kalau rumah sakit jiwa sih nggak masalah," gerutu Dastan memotong ocehan Skala.

"Tega banget sih lo, nih orang tuh sakit fisik bukannya sakit mental," omel Skala tak habis fikir.

"Lo nggak tahu aja, mentalnya juga terganggu," gumam Dastan pelan. "Ck, buruan lo gunain handphone nih monyet, lama banget kebanyakan ngoceh," perintahnya kemudian.

"Iya-iya." Skala segera mengutak-atik handphone canggih berlogo buah khas Malang itu. Mencari-cari nomer telfon Reyan di kontak telpon, setelah ketemu jari tangannya lalu menggeser kontak tersebut ke arah kiri. Lama terdengar nada sambung yang belum diangkat.

"Eh, Nar, lo ada dimana sekarang? Anak-anak udah pada di kafe nih!" sembur seseorang yang kemungkinan bernama Reyan.

"M-maaf tapi saya...." Tiba-tiba hpnya dirampas Dastan yang entah sejak kapan berdiri di samping Skala.

"Sahabat lo kecelakaan. Mending sekarang lo cepet ke jalan Soekarno-Hatta buat jemput nih orang, supaya gue bisa segera cabut dari sini," ucap lelaki itu to the point. Tanpa perlu basa-basi terlebih dahulu dan bahkan nada suaranya dingin tanpa terselip ramah tamah.

"Lo nggak sopan banget, sih!" sembur Skala begitu Dastan mengembalikan telfon lelaki yang berlumur darah tadi. Tanpa menjawab omelan Skala, Dastan berjalan menjauh dan duduk di samping Skala, walaupun jarak di antara mereka terpaut 5 meter.

Flashback Of

avataravatar
Next chapter