11 10. Desperate

Ck, desperate banget Lo ya. Sampai minta bantuan gue yang notabennya mantan lo.

.

.

.

"Assalammu'alaikum, La," sapa Binar tersenyum cerah pada Skala yang baru saja masuk ke dalam kelas.

Skala mendengkus saat melihat Binar dan antek-anteknya sudah nongkrong di dalam kelasnya, di bangkunya malah. Gadis itu mengabaikan sapaan tersebut dan duduk di meja Sava yang masih kosong.

"Orang Islam kalau denger salam, wajib jawab salam itu lho, La. Kok Lo diem aja sih," komentar Binar atas sikap cuek Skala.

"Gue jawabnya dalam hati, jadi Lo nggak denger," sahut Skala ketus.

"Hari ini Sava nggak masuk lho," ujar Binar tanpa diminta.

Skala mengerutkan dahinya mendengar hal tersebut. Tadi pagi Sava masih bertukar pesan padanya dan ia tidak mengatakan apapun.

"Dia lagi sak..."

Bruk!

Sebuah tas melayang dan mengenai wajah Binar, menghentikan ocehan lelaki itu. Si pemilik tas berjalan tak berdosa masuk ke dalam kelas, menatap tajam ke arah Binar.

"Ops, sorry ya, gue kira wajah lo bangku sekolah," oceh Sava tersenyum mengejek.

"Lo kalau bercanda suka nggak asyik nih, masa' tampang secakep gue di samain sama papan kayu sih," omel Binar tak terima. "Lagian kok Lo masuk sekolah, bukannya istirahat di rumah? Bandel banget maksa datang ke sekolah." Binar memeriksa kening Sava dengan punggung tangannya. "Tuh 'kan masih panas! Gue antar ke UKS yuk!"

"Apaan sih, gue nggak apa-apa. Panas doang ih," tolak Sava mentah-mentah.

"Kalau nanti Lo pingsan, gue yang repot."

"Lebay banget sih, anget doang ini. Udah deh, mending Lo cabut sana! Bawa sekalian antek-antek Lo! Bikin kelas gue gerah aja deh," usir Sava mendorong tubuh Binar keluar kelas.

"Kalau ada apa-apa, Lo harus telfon gue!" ujar Binar sebelum pergi.

Skala kembali duduk di mejanya, begitu juga dengan Sava yang duduk di bangkunya sendiri.

"Sav, Lo yakin nggak punya hubungan apapun sama Binar?" tanya Skala tiba-tiba.

"Gue sama Binar nggak mungkin punya hubungan, La. Hati gue udah jatuh di orang lain," sahut Sava tersenyum tipis.

"Wah, siapa? Kasih tau gue dong," seru Skala antusias.

"Nanti Lo juga akan tau."

*****

Enggar menatap jengah lelaki yang sedari tadi mondar-mandir di depan kelas. Lelaki itu terlihat gelisah dengan rambut acak-acakan, baju yang tak rapi dan bibir bergumam entah mengomeli apa atau siapa.

Sudah dari beberapa menit yang lalu lelaki itu berjalan layaknya model. Membuat dua sahabatnya yang duduk di bangku paling depan hanya geleng-geleng kepala.

"Das, Lo kalau mau catwalk jangan di sini! Bikin mata gue sakit aja deh," komentar Enggar setelah beberapa menit tak tahan dengan sikap Dastan.

"Lo kenapa sih?" tanya Delo ikut nimbrung.

"Si bangsat itu berani-beraninya main ke rumah Skala. Gimana gue bisa tenang kalau dia ngedeketin Skala sampai segitunya," omel Dastan menatap dua sahabatnya.

"Lo takut Skala jatuh cinta sama dia?" tanya Enggar lebih menyerupai ejekan.

"Diem lo! Bukan itu yang gue takutin," dengkus Dastan kesal.

"Terus apa?" tanya Delo.

"Gue takut kalau Skala di apa-apain sama Binar."

"Dia nggak mungkin main fisik sama perempuan, Das. Lo tenang aja."

"Kalau dia mainnya mental, gimana? Bikin Skala nggak betah di sekolah, bikin dia nangis atau mungkin stres."

"Ngawur Lo!" oceh Delo.

"Lo tau Skala 'kan, dia nggak mungkin kalah sama cowok blangsak kayak Binar. Gue yakin Skala bisa ngatasin Binar, dia 'kan perempuan tangguh. Lo aja bisa jinak gini."

"Sialan Lo, Nggar," omel Dastan menendang kaki yang menggantung di atas meja.

Dastan mencoba menarik nafas dalam-dalam dan kemudian menghembuskanya pelan. Merilekskan otaknya dan membuang jauh-jauh fikiran negatifnya tentang perlakuan Binar ke Skala.

"Udah tenang sekarang?" tanya Delo setelah hening beberapa saat.

"Enggak," jawab Dastan cepat. Membuat dua sahabatnya memutar mata jengah. "Gue harus lakuin sesuatu supaya hati gue bisa tenang," gumamnya kemudian. Meraih tasnya yang ada di atas meja dan kemudian pergi begitu saja. Meninggalkan dua sahabatnya yang hanya bisa geleng-geleng kepala.

*****

Kring.

"Halo," sapa gadis yang berdiri di depan gerbang SMA Deandles. Gadis itu sedang menunggu jemputan bersama dengan temannya.

"Ketemu sekarang? Dimana?" Dahi gadis itu berkerut lantaran heran. "Baiklah, di kafe tempat biasa kita ketemu." Gadis itu mengakhiri panggilan tersebut lalu memasukan ponselnya ke dalam tas.

"Siapa yang telfon?" tanya temannya.

"Ehm, teman," jawab gadis itu seadanya.

"Oh." Teman gadis itu hanya mengangguk. "Eh, itu mobil jemputan gue. Duluan ya!" pamitnya pergi

"Hehm, hati-hati di jalan." Gadis itu melambaikan tangannya ke udara.

Begitu sedan putih itu menjauh, gadis itu bergegas menyetop sebuah taksi. Menelfon supir keluarganya agar tidak menjemput di sekolah melainkan di kafe Delamor.

*****

Dastan menatap gadis di hadapannya, menelan ludah lantaran gugup. Lelaki itu bergerak gelisah di tempat duduknya. Menyeruput cairan bening di hadapannya hingga tandas, melirik gadis itu sebentar dan kemudian mengalihkan pandangannya ke sekeliling saat tatapan gadis itu mengarah kepadanya.

"Ada apa, Das?" tanya gadis itu saat lelaki di hadapannya hanya diam saja. Dalam hati dia tersenyum melihat lelaki itu salah tingkah.

"Gue... Gue mau minta bantuan lo," ujar Dastan akhirnya buka suara.

"Tentang Skala," tebak gadis itu tepat sasaran. Dastan mengangguk, tidak berani menatap wajah ayu di hadapannya. Gadis itu kemudian diam sejenak. "Lo berubah, ya. Waktu kita bersama, gue bukan orang tepat yang bisa ngerubah Lo. Tapi dengan Skala, Lo bisa berubah jadi orang yang lebih baik."

Dastan tersenyum tipis. "Yeah, perlu proses yang panjang sampai akhirnya gue bisa berubah. Kejadian kemarin semakin membuat gue sadar." Dastan diam sejenak. "Gue minta ma'af, Sav," ujarnya pelan.

Sava hanya diam di tempatnya. "Kenapa minta ma'af?" lirihnya pilu. "Bukan salah Lo, Das. 'Kita' memang tak berjodoh."

Dastan menatap iba gadis rapuh di hadapannya, tangannya terulur untuk menepuk pundak gadis itu.

Sava tersenyum tipis. "Lo tenang aja, Das. Skala aman kok. Gue bakalan jagain dia di sekolah."

"Thanks, Sav. Gue nggak tau lagi mau minta bantuan ke siapa. Gue nggak bisa jaga Skala di sekolahnya."

"Ck, deasperate banget Lo ya. Sampai minta bantuan gue yang notabennya mantan lo," cibir Skala tersenyum mengejek.

Dastan hanya menggaruk tengkuknya sembari tertawa.

"Jatuh cinta sama Binar itu semudah jatuh hati sama Lo, Das. Kalau Lo nggak mau Skala pindah ke lain hati, Lo harus mulai ngedeketin dia. Buat dia jatuh cinta sama Lo sekali lagi," ujar Sava pelan.

"Itu yang gue usahain sekarang, Sav."

Sava tersenyum tipis mendengar jawaban tersebut.

avataravatar
Next chapter