2 1. Bukan Pertemuan Pertama

Jantungku sepertinya bermasalah. Berdetak lebih cepat pada 'dia' yang kurasa pernah kukenal sebelumnya. Sebelum dia dengan lantangnya menyebutkan nama lengkapku_Skala

Bi, apa kita pernah mengenal sebelumnya?

__________________

Wangi tanah basah yang baru tersiram air hujan begitu menyejukan untuk dihirup. Hari baru di bulan Februari mendapat sambutan hangat dari peri hujan. Hujan yang mengguyur kota Jakarta di malam hari baru berhenti saat subuh tadi. Untungnya tidak sampai seharian karena pasti akan sangat menyusahkan kalau harus beraktifitas saat hujan.

Seorang gadis berseragam biru tua menuruni anak tangga dengan santai. Tas warna merah marun menggantung di pundaknya yang sebelah kiri. Gadis itu lantas berjalan menuju meja makan yang sudah di tempati oleh kedua orangtuanya. Raja, duduk tenang sembari menikmati kopi dan koran paginya di ujung meja. Sedangkan Ratu duduk di sisi kiri Raja, wanita itu tersenyum hangat pada putrinya yang baru bergabung di meja makan.

"Pagi, Sayang," sapa Ratu.

"Pagi, Ma," sahut gadis berseragam tersebut ramah. "Pagi, Pa," sapanya pada sang kepala keluarga yang wajahnya hilang dibalik koran.

"Pagi." Raja hanya menyapa lewat lirikan mata.

"Mau sarapan apa? Nasi goreng atau roti?" tanya Ratu.

"Roti aja, Ma."

Ratu lekas menyiapkan dua buah roti tawar yang dilapisi selai kacang kesukaan putrinya, kemudian meletakkan roti tersebut di hadapan sang putri.

"Makasih," sahut gadis itu mulai melahap roti buatan Mamanya.

"Sayang, kamu yakin mau masuk sekolah sekarang? Kenapa nggak besok atau beberapa hari lagi aja? Memangnya kamu udah bener-bener sehat? Nanti kalau kamu pingsan di sekolah gimana? Kalau kepalamu pusing, mual, terus ... bla bla bla." Lagi-lagi Ratu menyuarakan kekhawatirannya sejak putrinya mengatakan ingin masuk sekolah.

"Aku yakin, Ma. Aku udah sehat kok. Mama nggak usah khawatir."

Ratu terlihat masih ragu. Ia takut jika harus membiarkan Skala pergi ke sekolah. Ia masih khawatir. Sebagai seorang ibu tentu wajar kalau mengkhwatirkan putrinya, apalagi Skala baru saja keluar dari rumah sakit.

"Tenang aja, Ma. Putri kita pasti baik-baik aja, nggak usah khawatir berlebihan begitu," nasehat Raja pada istrinya.

Ratu menghela nafasnya sejenak. "Ya udah iya, Mama percaya. Tapi kamu jangan lupa nasehat Mama semalam, ya? Pokoknya setelah pulang sekolah, kamu jangan kemana-mana! Langsung pulang ke rumah. Kalau Pak Udin telat jemput, kamu tungguin di kelas aja. Jangan tunggu di depan sekolah!" nasehatnya panjang lebar.

"Hehm." Skala hanya bergumam saja.

"Skala, jangan ham-hem aja. Kamu ...."

"Astaga, iya, Mama ku Sayang," potong gadis bernama Skala itu gemas. "Aku akan pulang tepat waktu," imbuhnya tersenyum.

Ratu lega melihat senyum merekah di bibir putri semata wayangnya.

Skala menyuap sisa roti di tangannya. Dengan mulut penuh roti, dia bertanya,"Owh, iywa ... katwa Giwa, akwu dwulu sekwolah di Rwoma. Kenapwa sekwarang pindwah ke Deandles?"

Walaupun tak jelas, tapi masih bisa di tangkap oleh Ratu dan juga Raja. Pertanyaan tersebut sukses mengambil atensi dari Raja yang semula fokus pada bacaan korannya dan juga Ratu yang tengah menyuap nasi goreng ke mulutnya.

"Itu ...." Raja diam sejenak. Pria paruh baya itu berdehem sebentar, melirik istrinya meminta bantuan.

"Itu karena Deandles lebih deket dari rumah. Kamu 'kan baru aja kecelakaan, Mama khawatir kalau sekolah kamu jaraknya jauh dari rumah. Roma 'kan jaraknya lebih jauh, Sayang," sela Ratu secepat mungkin menampilkan ekspresi santainya. Membuang ketegangan yang sempat tercipta.

"Mama lebay, ih," komentar Skala menatap Mamanya heran. Pindah sekolah menurutnya terlalu berlebihan.

"Terserah, deh, kamu mau bilang Mama lebay, posesif atau apalah. Pokoknya mulai sekarang, Mama akan selalu memantau kamu."

Skala hanya mendengkus mendengar omongan Mamanya barusan.

"Ya, udah. Berangkat sana! Pak Udin udah nunggu di depan," suruh Ratu saat melihat sarapan putrinya sudah habis.

"Iya, aku berangkat sekolah dulu ya, Ma, Pa," pamit Skala.

"Hehm, hati-hati di jalan," ujar Raja.

"Suruh Pak Udin nyetirnya pela-pelan, jangan ngebut."

"Iya."

*****

Sepanjang perjalanan, Skala hanya menatap ke luar jendela dalam diam. Pemandangan gedung-gedung pencakar langit, mobil-mobil yang saling mendahului, juga jeritan klakson yang memekakkan telinga. Rasa gugup yang menjalar membuat tangannya yang saling tertaut berubah dingin.

Setelah mengetahui fakta tentang ingatannya yang hilang, Skala sedikit khawatir dengan hari-hari yang akan dia lalui kedepannya. Dalam hati dia berdoa supaya apapun yang akan terjadi kedepannya diberi kelancaran.

"Semoga saja," gumam Skala pelan.

Beberapa menit kemudian, mobil sedan warna putih itu berhenti di depan gerbang sekolah bertuliskan SMA DEANDLES. Gerbang megah yang menjulang kokoh dengan cat warna putih. Skala menatap gerbang tersebut dari dalam mobil, sebelum kemudian pintu di sebelah kirinya dibuka oleh Pak Udin.

Skala menghembuskan nafasnya pelan dan kemudian turun dari mobil. "Makasih, Pak. Nanti kalau saya udah pulang, saya telfon Bapak."

"Siap, Non," jawab Pak Udin kemudian kembali masuk ke dalam mobil. Mobil tersebut bergerak pelan meninggalkan area depan sekolah.

Skala berdiri diam memandang gerbang sekolah barunya. Entah, kenapa ada perasaan takut yang tiba-tiba menghinggapinya. Namun Skala mencoba untuk berfikir positif. Ini hari pertamanya di sekolah baru, jadi wajar saja kalau dia gugup dan juga khawatir.

Skala berjalan melewati gerbang utama, berhenti sebentar di pos satpam untuk menanyakan ruang kepala sekolah. Kemudian berjalan mengikuti arahan dari pak satpam yang bernama Satrio tadi.

"Guys! Ternyata gosipnya beneran! Ibu Negara sekolah Roma pindah ke sini!" teriak seorang lelaki yang nongkrong dengan teman-temannya di lapangan basket.

Skala menoleh sekilas ke arah lapangan, namun tak mengacuhkannya karena merasa tidak mengenal gerombolan tersebut. Ya iyalah, ini 'kan hari pertamanya datang ke sekolah ini. Gadis itu memutuskan untuk melanjutkan langkahnya, namun baru beberapa langkah tiba-tiba ada seseorang yang menarik lengannya hingga dia menoleh ke belakang.

Lelaki yang berteriak tadi yang sekarang berdiri di hadapannya. Mereka saling berhadapan dengan tangan lelaki itu yang masih menggenggam lengan si gadis.

"Lo mau kemana, Skala Lembayung Putri? Nggak mau nyapa gue dulu?" tanya lelaki itu tersenyum jahil.

Gadis bernama lengkap Skala Lembayung Putri itu mengernyitkan dahinya bingung. "Kamu mengenal saya?" tanyanya kemudian.

Kontan saja lelaki di hadapannya itu tertawa keras, mentertawakan pertanyaan Skala yang menurut lelaki itu konyol. Senyum jahil terbit di bibirnya tanda bahwa lelaki itu tengah merencanakan sesuatu. "Gue 'kan pacar lo, gimana sih?" goda laki-laki itu kemudian.

Kedua mata Skala melotot seketika. "Hah? Pacar? Kamu pacar saya?" tanya Skala bingung. Kedua orangtuanya memang mengatakan kalau dia hilang ingatan, tapi apa benar dia mengenal lelaki ini, sebagai pacarnya pula.

Awalnya lelaki itu sangat menikmati kebingungan di wajah Skala, tapi lama kelamaan dia jadi canggung sendiri. Lelaki itu menggaruk-nggaruk kepalanya salah tingkah. "Bukan lah, bercanda gue," ocehnya tengsin.

Skala mendesah lega.

Laki-laki itu menatap dalam wajah Skala hingga membuat gadis itu salah tingkah. Mendekatkan wajahnya hingga menyisakan sedikit centimeter di antara mereka. "Jadi lo beneran hilang ingatan?" tanyanya kemudian. Informan yang dia suruh untuk menyelidiki gadis ini ternyata jujur saat mengatakan kalau Skala mengalami amnesia.

Skala mengangguk mengiyakan. "K-kita beneran nggak pacaran, 'kan?" tanyanya gugup lantaran jarak mereka yang cukup dekat.

Lelaki itu menegakkan kepalanya, membuat Skala mendesah lega. "Kenapa? Lo maunya kita pacaran?" Lelaki itu tersenyum jahil.

"Baguslah, kalau bukan. Saya sangat tidak berharap bisa mempunyai pacar seperti kamu," ujar Skala datar. Tak menanggapi godaan laki-laki itu.

Gadis itu mengamati penampilan lelaki di hadapannya ini dari ujung kaki hingga ujung kepala. Lelaki di hadapannya ini berambut cepak dengan warna rambut sehitam jelaga, tanpa anting ataupun kumis tipis, juga tidak ada janggut. Kulitnya putih untuk ukuran anak lelaki, seragam sekolahnya terlihat acak-acakan padahal hari masih pagi. Jas dan juga dasi entah hilang kemana.

"Eh, ngapain lihat-lihat? Sana pergi!" usir lelaki itu dingin.

"Binar Senoaji," gumam Skala membaca name tag lelaki itu.

Binar. Lelaki itu merubah ekspresinya secepat kilat. Kembali mengikis jarak di antara mereka, hingga Skala harus mendongak ke atas karena perbedaan tinggi badan mereka.

"La," panggil Binar. Pelan tapi cukup tajam.

Skala dapat menyadari perubahan ekspresi dan nada suara dari lelaki di hadapannya. Gadis itu sedikit gugup saat membalas tatapan tajam milik Binar.

"Hubungan kita benar-benar nggak baik, kita nggak pernah dekat bahkan hanya sebatas tegur sapa. Gue kasih tau lo dari awal, supaya nanti lo nggak kaget pas gue nyari ribut," ancam Binar lantas pergi meninggalkan Skala yang bingung dengan kalimatnya barusan.

Mencoba tak ambil pusing, Skala kembali melanjutkan langkahnya setelah sempat terinterupsi tadi. Mencari ruang kepala sekolah SMA Deandles.

avataravatar
Next chapter