webnovel

Chapter 1 : Sejak awal aditya pratama memanglah pribadi yang buruk.

Guru bahasa indonesiaku, ibu firdan terlihat emosi ketika membaca essay milikku dengan keras-keras, ketika kudengar dengan cermat, aku ternyata baru sadar kalau kemampuan menulisku jauh dari kata bagus, kupikir akan terlihat pintar jika kutaruh beberapa huruf asing disana, tapi ternyata terlihat seperti sebuah kritik murahan yang dimiliki seorang penulis bermasalah.

   Apakah karena tulisanku yang terkesan amatir tersebut, alasan dibalik dia memanggilku kesini? Mungkin saja begitu. Pasti itulah alasannya. Setelah bu firdan selesai membacanya, dia menaruh tangannya di kening.

   ''Begini, Aditya, apa tugas yang kuberikan kepadamu ketika di kelas tadi?''

  ''...Yah, itu adalah menulis essay dengan topik 'Pandangan terhadap kehidupan anak SMA'.''

  ''Benar sekali. Jadi kenapa kau menulis surat ancaman seperti ini? Apa kau teroris? Atau mungkin idiot?''

   Dia mengatakan itu sambil merapikan rambutnya, lalu tatapan matanya sangat tajam ke arahku.

   Kalau di pikir-pikir, dia mungkin lebih tepat dikatakan 'Nyonya' daripada 'Guru Wanita' karena yang terakhir tadi lebih terkesan erotis. Ketika aku memikirkan banyak hal, kepalaku di pukul oleh kertas yang di gulung olehnya.

   ''Perhatikan yang benar.''

   ''Ya, bu.''

   ''Matamu, seperti mata ikan yang membusuk.''

  ''Tapi ikan kaya akan omega-3 bukan? Saya rasa itu bisa membuat saya terkesan pintar.''

   Tapi gerakan mulutnya semakin emosi mendengarkan jawabanku.

   ''Aditya. Apa-apaan dengan essay semacam ini? Aku ingin mendengar dulu alasanmu.''

   Tatapan matanya seperti orang yang melempar pisau kearahku. Hanya wanita yang dikutuk untuk menjadi cantik, adalah wanita yang bisa memberikan ekspresi yang cukup kuat, sehingga membuatmu terseret dalam auranya, dia terlihat menakutkan.

   ''Hmm... Bukankah itu mencerminkan kehidupan SMA, benar tidak? Essay itu sudah melebihi ekspetasi sebuah essay yang ditulis anak SMA!''

   Aku terus menggumam kata-kataku, aku sebenarnya gugup berbicara kepada orang, apa lagi berbicara kepada orang yang lebih tua, membuatku bertambah gugup.

   ''Biasanya, judul essay seperti itu akan membuat para siswa akan menuliskan pengalaman mereka didalamnya, benar tidak?''

   ''Memang benar judulnya seperti itu, bu, kalau ibu menulis judulnya lebih detail, mungkin saya bisa menulis essay sesuai dengan apa yang ibu ingin baca di essay saya. Namun kalau tidak sesuai harapan ibu, bukankah itu salah ibu sendiri yang memberi judul essay kurang detail?''

   ''Kau jangan mengajariku, dasar bocah.''

   ''Bocah...? Ya masuk akal juga kalau usia seperti ibu mengatakan itu kepada saya, mungkin saya memang bocah.''

   Ada sebuah angin bertiup. Dan ternyata itu adalah sebuah pukulan. Pukulan yang dilepaskan tanpa adanya gerakan awalan. Dan kalau itu belum cukup, itu adalah pukulan yang mengagumkan sehingga hanya beberapa mili dari pipiku.

   ''Selanjutnya kupastikan tidak akan meleset.'' Dia mengatakannya dengan tatapan mata yang serius.

   ''Maafkan saya. Saya akan menulis ulang essaynya.''

   Untuk mengesankan penyesalan, aku akan menuliskan kata-kataku dengan bijak. Tapi sekarang, dari semua yang bu firdan lakukan, tampaknya menulis ulang essay tidak termasuk dalam salah satu cara untuk memaafkanku. Kurasa yang tersisa untukku adalah berlutut dan membungkuk di depan kakinya.

   Ketika aku sedang mempersiapkan diriku untuk itu, dia lalu berkata.

   ''Tau tidak, aku sebenarnya tidak marah kepadamu.''

   Oh, jadi bgini. Hal-hal mengganggu yang selalu mereka bilang. 'Aku tidak akan marah, jadi tolong beritahu'. Dan setelah ku beritahu, ternyata mereka marah. Tapi anehnya, kali ini dia tidak terlihat marah. Nah, kecuali adegan ketika aku membahas usianya.

   Aku lalu melihat reaksinya ketika aku batalkan lututku yang hendak berlutut tadi.

   Dari saku mantelnya, dia mengambil rokok sampoerna mild dan mengetuk-ngetuk mejanya dengan bungkus rokok yang ada sisi filternya. Persis seperti yang dilakukan para pria yang sudah tua setelah membuka rokoknya, dia lalu menyalakan korek zippo tersebut dan menyalakan rokoknya. Dia lalu menghisap rokoknya dalam-dalam dan mengeluarkan asapnya di depanku, dengan ekspresi wajah yang serius.

   ''Kamu tidak ikut kegiatan manapun, benar?''

   ''Benar.''

   ''... Kau tidak punya satupun teman, benar tidak?''

   Dia bertanya seperti itu, seperti sudah menyimpulkan kalau aku memang tidak punya teman.

   ''Saya beritahu saja kalau saya ini hidup dengan pandangan yang parsial, sehingga saya tidak bisa punya hubungan yang dekat dengan orang lain!.''

   ''Kesimpulannya, kau tidak punya, benar.?''

   ''Pada dasarnya, yah begitulah...''

   Seperti sudah menduga jawabanku seperti apa, ekspresi wajah bu firdan tiba-tiba berubah menjadi sangat antusias.

   ''Jadi begitu ya! Kau benar-benar tidak punya teman! Tepat seperti diagnosisku. Melihat kedua mata yang terlihat mati sepertimu, aku langsung tahu!''

   Jadi kau bisa mengetahuinya hanya dengan melihat mataku? Kalau begitu kau tidak perlu repot-repot Tanya kepadaku lah.

   Dia lalu mengangukan kepalanya dengan mengatakan 'Hmmm..' dan melihat ke arahku.

   ''... Bagaimana dengan pacar atau semacamnya itu?''

   Apa-apaan dengan 'Semacamnya itu?'.

   ''Untuk sekarang ini, belum punya...''

   Aku masih memiliki harapan agar memiliki itu di masa depan, jadi kukatakan 'Sekarang ini'. Untuk jaga-jaga..

   ''Begitu ya...''

   Kali ini dia menatapku dengan tajam, dengan mata yang sedikit berembun. Kuharap itu karena asap rokoknya yang membuat matanya iritasi.

   Hei hentikan itu! Jangan mengasihani nasib ku dengan tatapan mata seperti itu!.

   Ngomong-ngomong ujung pertanyaan tadi kemana sih? Apakah bu firdan memang guru yang seantusias ini?.

   Setelah mempertimbangkan sesuatu, dia mematikan rokoknya di asbak dan mulai membakar rokoknya lagi.

  ''Baiklah, begini saja. Tulis ulang essay mu.''

   ''Siap.''

   Pasti akan ku lakukan.

   Baiklah, kali ini, aku akan menulis banyak hal yang 'Normal', tidak menyinggung siapapun.

   Seperti : Makan malam hari ini adalah... sop!.

   Apa-apaan mengatakan 'Adalah...'? tidak ada yang mengejutkan akan memakan sop.

   Sampai saat ini, reaksinya masih sesuai dugaanku. Tapi apa yang dikatakan selanjutnya adalah hal yang di luar dugaanku.

   ''Tapi. Faktanya kalau mengatakan hal-hal yang melukai perasaanku itu tetap ku catat. Apa kau tidak pernah diajari agar tidak membicarakan usia wanita di depannya? Sebagai hukumannya, kau akan bergabung dengan kegiatan perkumpulan relawan. Lagi pula, yang salah harus menerima hukuman."

   Dia tampak terluka, malahan dia seperti memerintahku saja. Tapi, kurasa dia seperti orang licik saja.

   Ngomong-ngomong licik, ini mengingatkanku dengan hal yang lain... kedua mataku berusaha kabur dari realitas dimana dari tadi aku melirik kearah dada bu firdan yang berusaha keluar dari sesaknya blus yang dipakai.

   Sungguh pemikiran yang tercela... tapi kalau begitu, hukuman macam apa yang tadi dia berikan?

   "Kegiatan perkumpulan relawan... saya harus melakukan apa di perkumpulan itu?"

   Aku menanyakan itu karena bingung. Aku merasa kalau di perkumpulan itu aku harus melakukan perbuatan-perbuatan kotor, seperti menculik orang.

   "Ikuti saja aku."

   Bu firdan lalu mematikan rokoknya diasbak dan berdiri. Ketika aku berdiri saja karena bingung tidak ada penjelasan yang memadai, ternyata bu firdan sudah ada di pintu, melihat ke arahku.

   "Oi, cepatlah!."

   Dengan penasaran kuikuti dirinya.

• • •

Next chapter