[ CERITA INI HANYA FIKSI BELAKA. JIKA ADA KESAMAAN TOKOH, TEMPAT, KEJADIAN ATAU CERITA, ITU ADALAH KEBETULAN SEMATA DAN TIDAK ADA UNSUR KESENGAJAAN ]
Karya orisinil Ookamisanti_ jikapun ada kesamaan mohon maaf dan mungkin tidak sengaja.
><><><
Haku pun membantuku untuk duduk di sofa sedangkan Fujio merapikan ruangan yang sempat berantakan sembari menutup pintu. Ku sandarkan diri ini di sandaran sofa.
"Apakah dia yang kau lihat tadi?" tanya Haku. Aku menganggukkan kepalaku.
"Kau harus segera mengalihkan pikiranmu dengan pekerjaan, Rei. Jika tidak kau akan terus menerus seperti itu. Jika saja kami tidak datang, entah apa yang akan kau lakukan kepada dirimu sendiri dan ruangan ini," kata Fujio.
"Aku sedang mencoba beristirahat tapi entah mengapa tiba-tiba saja penyakit itu muncul. Aku juga sempat mengalihkan pikiranku, tapi rasa sakit itu membuatku mengingatnya. Menyebalkan sekali," balasku.
"Sudahlah, setidaknya sekarang kau baik-baik saja. Asal kau tahu, para karyawan di luar sana mengkhawatirkanmu." Aku pun mengangguk lalu bangkit dari dudukku. Ku hampiri para karyawan di luar ruangan dan memberi tahu kepada mereka tak perlu mengkhawatirkan aku. Aku baik-baik saja dan memerintahkan mereka kembali bekerja. Setelah itu aku masuk ke dalam ruanganku. Ku hubungi Hotaka, asistenku di perusahaan ini untuk datang ke ruanganku. Ada yang ingin ku bicarakan dengannya.
Sembari menunggu kedatangan dia, aku menanyakan tentang bagaimana bisa kedua orang di depanku ini tahu bahwa aku sedang tidak baik-baik saja di dalam ruangan ini. Fujio berkata kalau mereka ingin mengunjungiku, kebetulan sekali mereka melihat orang-orang berada di depan pintu ruangan ini. Karena khawatir aku kenapa-kenapa, maka mereka pun langsung masuk. Beruntung mereka langsung menyadarkanku, jika tidak, entah apa yang akan terjadi kepadaku saat aku sendirian seperti tadi.
Tidak lama kemudian Hotaka datang. Ku katakan kepadanya bahwa apa yang terjadi jangan sampai diberitahukan kepada orang tuaku. Mereka tak akan percaya dengan apa yang akan aku jelaskan nanti. Lebih baik dirahasiakan daripada mereka menanyakan tetapi tidak percaya, bukan? Ya, orang tuaku tidak tahu bahwa aku mengidap penyakit itu. Jikapun ku beri tahu, mereka tidak akan pernah mempercayainya. Alih-alih menyetujui, Hotaka berkata, "Maafkan aku, Tuan Reizero! Bukannya aku ingin menolak, hanya saja aku tidak bisa tidak memberitahukan hal ini kepada Tuan Rizer. Tuan bilang, jika terjadi sesuatu terhadap Tuan Reizero, maka aku harus memberitahunya. Apapun itu masalahnya, beliau menyuruhku untuk memberi tahu tanpa kebohongan. Jadi, aku tidak bisa menerima apa yang Tuan Reizero pinta. Maafkan aku!"
Aku memejamkan mataku. Si tua brengsek itu sudah merasuki kepala dan hati asistenku sendiri. Seharusnya sejak dulu aku sudah memecat si Hotaka ini agar tidak berurusan lagi dengan pria itu. Namun karena orang ini sudah diutus oleh papa untuk menjadi asisten direktur di perusahaan ini, aku tak akan bisa menolak kalau papa sudah memutuskan. Wajar saja ia tak menuruti permintaanku ini, karena kini tuan paling besarnya adalah papaku.
"Jika kau inginkan sesuatu katakan saja padaku! Aku akan menuruti semua permintaanmu asalkan kau menutup mulut tentang apa yang terjadi denganku hari ini," kataku terpaksa mengatakan hal itu agar dia tak mengatakan apapun kepada orang itu.
"Maafkan aku, Tuan! Aku tidak bisa," katanya. Aku berdecak kesal.
"Hei, orang yang kau layani itu Rei bukan ayahnya. Sekarang lebih baik kau turuti apa yang diperintahkan Rei daripada kau mendapatkan hajaran dariku," ancam Fujio sembari menunjukkan kepalan tangannya. Aku tersenyum melihat hal itu. Masih ku ingat jelas kalau saat sekolah menengah pertama dia sering kali bertengkar dengan para senior.
"Sekali lagi maafkan aku. Aku tidak bisa."
"Jangan terus meminta maaf. Lebih baik kau pergi sebelum Fujio menendangmu," sahut Haku. Aku pun memerintahkan Hotaka untuk pergi meninggalkan kami. Setelah dia pergi aku pun menarik nafas dan membuangnya dengan keras. Aku yakin si tua itu akan datang memarahiku dan beranggapan bahwa aku hanya sekedar akting saja. Aku harus siap menerima omelannya.
"Aku yakin dia tidak akan percaya dengan penjelasanmu dan menganggap kalau kau hanya berakting saja. Sama seperti beberapa bulan yang lalu," kata Haku. Aku mengangguk menyetujui. Ya, tiga bulan yang lalu aku mengalami gangguan yang sama seperti beberapa menit yang lalu. Papa langsung mendatangiku saat dia tahu aku mengalami hal itu. Kau tahu apa yang dia katakan padaku? Ya, dia berkata bahwa aku hanya berakting. Ia mengira kalau aku hanya berpura-pura tersiksa dan sakit agar tidak bekerja. Aku bersikeras untuk meyakinkannya bahwa aku mengalami sindrom trauma, tapi sepertinya ia sama sekali tak mempercayaiku. Aku yakin, si Hotaka brengsek itu akan memberi tahu papaku dan papa akan memarahiku serta berkata lagi bahwa aku hanya berpura-pura atau bahkan dia akan menyiksaku lagi? Entahlah. Aku tak bisa menebaknya dengan pasti. Pria itu sulit ditebak.
Kembali ku tarik nafasku dan membuangnya. Aku bergumam, "Andai saja aku tidak mengalami kedua sindrom itu."
"Sudahlah! Aku akan bekerja lagi. Jika kalian tetap ingin di sini, jangan menggangguku," kataku sembari berpindah tempat duduk. Aku kembali ke meja kerjaku dan melakukan pekerjaanku. Ternyata teman-temanku itu memilih berada di sini dan membicarakan sesuatu. Aku hanya menggeleng tanpa ingin mengganggu mereka. Selagi mereka tak menggangguku, maka akan ku biarkan mereka di sini.
Sore pun datang dengan cepat, aku merentangkan kedua tanganku ke atas. Rasanya tubuhku terasa kaku karena seharian berada di depan laptop dan berkas-berkas kantor. Kedua sahabatku sudah pulang beberapa jam yang lalu. Nanti malam pun aku akan menghadiri meeting penting. Sungguh, rasanya letih sekali tubuhku. Apakah lebih baik aku beristirahat sebentar? Aku pun bangkit dari dudukku lalu keluar dari kantor. Ku katakan kepadanya Hotaka kalau aku akan ke apartemen sebentar.
Sesampainya di apartemen, aku langsung membersihkan diri. Rasanya tubuhku kembali segar. Ku sandarkan diriku di sofa dan memejamkan mata. Seperti tidur akan membuatku lebih baik, tetapi aku harus melakukan meeting nanti malam. Sungguh menyebalkan! Aku ingin berhenti dari kesibukanku ini tapi aku tahu keinginanku hanyalah sebuah angan yang mustahil terjadi. Seketika ku dengar seseorang mengetuk pintu apartemen, dengan cepat aku pun membukanya.
Aku terkejut saat melihat siapa tamu malam ini. Ya, dia adalah papaku, Rikuto Rizer. Papa mendorong tubuhku dan masuk ke apartemen. Saat aku hendak berbasa-basi, papa bertanya, "Kau jarang sekali pulang ke rumah. Apakah rasa takutmu kepadaku membuatmu enggan pulang?"
Jujur saja, aku tidak takut denganmu tetapi aku membencimu, Rikuto. Makanya aku malas ke rumah karena ada dirimu yang sedang bersantai ria di sana. Ingin ku katakan hal itu tapi aku tak berani mengucapkannya dan menjawab, "Aku tak ada waktu untuk ke rumah. Banyak pekerjaan yang harus aku lakukan."
Bersambung ...
><><><
ATTENTION : [ Please, jangan lupa tinggalkan komentar dan collection! ]
Arigatou! Thank you! Nuhun! Terima kasih! Obrigada!