webnovel

Not Alone

Hampir menjelang malam setelah menemui dokter terlebih dulu, kami tiba di rumah. Luke membiarkan aku sendiri di ruang tamu. Sekuat tenaga mencoba mengumpulkan tenaga untuk kembali menguasai diri. Luke datang dengan membawa secangkir teh hangat susu kesukaanku. Dia duduk di sofa sambil membuka ponselnya. Jarinya lincah mengutak atik layar dan wajahnya tampak serius membaca.

Aku menghirup teh susu dan aliran hangat yang mengalir di tenggorokan membuatku nyaman. Entah, perasaan apa ini, tapi baru kusadari setiap Luke ada, aku merasa damai. Aku manusia terkutuk yang bersekutu dengan iblis! Ampuni aku Tuhan.

"Pertama, ketahuilah kamu bukan manusia terkutuk yang bersekutu denganku karena kamu tetap memiliki kehendak bebas. Suatu waktu kamu akan lepas dari janji darah itu, dan tidak butuh aku lagi. Kedua aku lebih suka di sebut sebagai -Servant From Hell- karena aku bukan iblis pemakan jiwa manusia, aku hanya melayani kebutuhan neraka dan juga menghukum manusia sesuai perbuatannya. Mungkin kamu tidak akan pernah percaya, bahwa tugasku hanya MENGUMPULKAN jiwa-jiwa penghuni neraka. Bukan MEMBUAT jiwa itu sendiri menjadi sesat," jelasnya santai. Aku lupa bahwa dia bisa membaca pikiranku.

"Atas ijin siapakah kamu melakukan itu?" tanyaku sinis. Luke tersenyum dan meletakkan ponsel di meja.

"Zat tertinggi di alam semesta. Yang kalian sebut sebagai : Allah, Tuhan atau Sang Hyang Widhi, atau Bapa Di Surga. Aku lebih suka menyebutnya : Magna Patris (Bapa yang Agung). Percaya atau tidak, Dia juga membutuhkan bantuan. Terutama untuk mengurusi kalian manusia kotor dan sadis. KemuliaanNya tidak akan pernah layak menyentuh kalian. Makhluk yang diciptakan sebagai makhluk paling sempurna, tapi hancur oleh kehendak bebas yang kalian salah gunakan!" sahutnya tajam. Aku bergidik mendengar suaranya. Terdengar tegas, tajam dan berkumandang.

"Rie, aku tegaskan sekali lagi, lain kali jangan pernah berpikir untuk kabur lagi dariku. Kau pikir bisa melindungi dirimu sendiri? Rie … Rie, picik sekali pikiranmu. Tipikal kesombongan manusia, bangga akan kekuatannya sendiri," cibir Luke bangkit dan berlalu dari ruang tamu menuju kamarnya.

Aku menangis tergugu. Pada siapa aku akan mengadu dan menangis. Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Semua saudara kandungku sudah menjadi tumbal berikut om dan tanteku yang ikut menikmati kekayaan orang tuaku. Oh Tuhan alam semesta. Betulkah kami manusia sudah tidak layak lagi di hadapanMu? Kenapa sulit bagiku mempercayai ini semua? Kapan mimpi ini berakhir?

***

The Friendship.

Keesokan paginya adalah hal paling berat bagiku untuk menghadapi hari. Rasanya sulit bangun dari tempat tidur dan menghadapi hari baru yang bagiku tidak ada harapan yang cerah setelah mengetahui bahwa iblis yang menuntut nyawaku masih memburu. Semakin lama ini menjadi beban tersendiri. Begitu tiba di kampus, aku semakin merasa lemas. Apa yang harus aku jelaskan nanti pada sahabatku? Maya tampak berlari dari jauh ketika kakiku menapak di taman menuju gedung tempat kami kuliah pagi ini.

"Rie, aduh aku senang banget kamu nggak papa. Makasih ya Luke udah nelpon mama buat jemput aku, gila kejadian horor itu kok bisa ya terjadi di tempat rame, siang-siang lagi," cerocosnya sambil memelukku. Aku sempat bingung.

"Aku yang seneng kamu baik-baik aja. Maaf Luke nggak anter kamu," sesalku sambil mengajak Maya duduk di taman kampus. Ingin memastikan bahwa Maya mengerti dan tidak marah padaku.

"Santai aja, dia kan mesti bawa kamu ke dokter. Kita berdua cukup shocked kan. Mama aja udah jadwalin aku untuk ikut terapi kedua. Luke baik banget ya," puji Maya sambil mendekap tas didadanya. Aku tersenyum simpul. Pandai sekali iblis itu membuat alasan.

"Eh ngomong-ngomong, Bian sama Puri minta gabung ke dalam tim kita. Aku udah iyain aja. Soalnya tugas Pak Har kan harus diikuti data akurat. Jadi mesti survei segala nih," kata Maya, aku mengernyit. Aku tidak terbiasa berteman dengan siapapun kecuali Maya. Sejak orang tuaku meninggal, aku menarik diri dan tidak memiliki teman kecuali dia.

"Oh ya? Kirain cuman buat sampel aja," sahutku mulai menduga ini akan butuh penelitian yang cukup ribet.

"Enggak, kita diminta buat sampel berdasarkan laporan pajak perusahaan Rie, biar bisa langsung terjun ke aplikasi nyata. Bagus juga sih aku ajak Puri, orang tuanya dia kan punya usaha batik, kita bisa langsung dapet datanya," jelas Maya mencoba meyakinkan aku. Belum sempat kujawab, Bian dan Puri datang menghampiri kami.

Bian adalah salah satu mahasiswa idola yang pintar dan cukup menjadi incaran mahasiswi, aku tidak begitu mengenalnya, namun pernah mengagumi cowok itu saat bertanding basket di kampus. Penampilannya sederhana dan sikapnya riang. Aku yakin banyak sekali gadis yang meleleh saat dia menebarkan senyum yang menjadi pesonanya.

Sedangkan Puri adalah gadis cantik keturunan keraton Yogyakarta. Gadis yang anggun namun terlihat tegas, sangat pandai bergaul dan ceplas ceplos. Puri terkenal dengan gaya pakaiannya yang modern dan fashionable. Rambutnya yang pendek lurus sebahu menambahkan kecantikannya. Sebagai putri pemilik pengusaha baju batik di Jogja dia cukup mempresentasikan karya unggul orang tuanya dengan penampilan sehari-hari. Cara yang smart untuk promosi.

"Pagi, boleh nggak nih kita gabung jadi satu Kelompok!" seru Bian. Puri langsung duduk di sampingku.

"Seneng banget waktu Maya membalas pesan, kapan lagi bisa ikutan belajar sama kamu Rie," kata Puri sambil meremas lenganku gemas. Aku meringis dan tertawa.

"Ah biasa aja, aku yang seneng banget kalian mau gabung sama kita," sahutku menepuk kaki Puri.

"Ternyata kamu bisa ngomong ya, kirain cuman bahasanya Maya aja yang kamu pahami," sindir Bian jahil. Aku tertawa kecil. Ternyata pamorku sebagai mahasiswi kulkas benar-benar menjadi cap kental dan abadi.

"Awas kalo genitin Rie. Kalo tidak bisa jaga sikap, kamu siap-siap out dari kelompok!" ancam Puri judes. Bian hanya menanggapi dengan terbahak.

"Aduh, aku mana berani, bulldog-nya selalu siap siaga terus," tangkis Bian. Maya yang kini bergantian mendelik dengan ekspresi tidak terima.

"Gue bilangin Luke baru tau rasa ya, dia itu cowok dewasa yang tanggung jawab, nggak kayak loe!" ledek Maya membela Luke. "Dan jangan konyol, dia itu paman Rie bukan cowok yang asal tinggal bareng dengan Rie!" tegas Maya kembali. Kenyataannya, hampir semua temanku mengenal Luke karena dia senang sekali tebar pesona setiap menungguku selesai kuliah.

Bian mencibir kesal. Maya dan Bian berasal dari Jakarta, kedua orangtua mereka pindah karena tugas kantor. Terkadang aku tertawa tiap mendengar bahasa Jakarta yang menurutku lucu. Bagi aku dan Puri yang asal Yogyakarta, kami tidak biasa mengucapkan kata-kata slank tersebut.

"Eh dosen killer udah datang tuh, kita mau masuk apa terus ngobrol nggak sih," seru Bian sebagai dalih menghindari serangan para wanita.

"Kamu pinter banget mengalihkan pembicaraan ya!" sindir Puri dengan lirikan maut. Bian hanya memberikan cengiran tanpa dosa. Aku menengahi dan mengajak mereka segera bergegas.

Berempat kami beriringan menuju kelas di gedung depan taman. Tidak pernah kami sangka bahwa pertemanan kami akan menjadi erat di kemudian hari. Ternyata inilah takdir yang Tuhan gariskan pada hidupku. Mungkinkah Allah yang Mahakuasa masih menjadi pegangan teguh bagi umatNya? Ini pertanyaan wajar yang mungkin menjadi pertanyaan umum bagi manusia yang sedang menjalani cobaan berat.

Next chapter