webnovel

Emang Situ Artis?!

Peralatan tulis sudah dibereskan. Dokumen ditumpuk di dalam kardus. Meja dikosongkan. Komputer sudah dipindahkan.

Rinai siap untuk turun gunung!

Dibantu oleh Bang Dewa, Rinai memboyong semua barang-barangnya ke lantai satu. Hari ini ia mulai bekerja menjadi Counter Sales. Saat hendak pergi tadi, Bang Dewa menatapnya lama. Seakan mereka tak akan bertemu dalam beberapa waktu. Padahal kan jaraknya cuma satu tangga. Bang Dewanya aja yang lebay. Mungkin masih galau karena menjadi satu-satunya penghuni ruangan lama mereka.

Kemarin sore Bang Dewa sudah memindahkan komputer Rinai ke bawah atas suruhan pak daniel. Itu komputer khusus yang dipegang admin penjualan seperti Rinai. Ada aplikasi yang hanya ada di sana, dan tidak ada di komputer lain. Meski Rinai bingung, lah, kan tinggal copy-paste aja loh aplikasinya, tapi Pak Daniel benar-benar berniat membungkam rinai tanpa bisa membantah lagi.

Ia meletakkan kardus-kardus itu di belakang meja. Celingak-celinguk ke kiri dan kanan mencari tempat yang cocok untuk menyimpan semua dokumen.

"Ngapa, Nai?" Bang Sutan bertanya sambil memperpendek jarak. Ia admin faktur yang juga terpaksa merangkap menjadi CS, dan salah satu karyawan senior di sana. Ia memiliki tubuh gendut dan mata sipit. Sedikit agak rese dan jahil, tapi selalu ada di posisi depan kalau CS dan marketing mulai bertengkar. Dia selalu bisa diandalkan dalam rebutan unit. Kalau konsumen cari motor, unitnya nggak ada, kasih tahu saja dia, simsalabim! Besoknya ada. Nggak tahu dia curi punya siapa. Yang penting, jangan lupa makan-makannya.

Dari 4 counter sales yang dulu pernah ada, hanya mereka berdua yang dipertahankan. Yang lainnya di rumahkan. Karena itu lah Rinai jadi diperintahkan untuk turun gunung mengisi kekurangan. Padahal Rinai sama sekali tidak mengerti dan tidak pernah training menjadi counter. Bisa-bisanya diserahi tanggung jawab untuk membantu mencapai target dealer.

"Ini Bang, mau nyimpan dokumen dimana, ya? Data untuk pengurusan STNK konsumen," tanya Rinai.

"Ohhh, di lemari yang itu aja, yang di belakang meja kamu! Itu emang lemari kamu, tu. Buku servis, STNK fisik, dan kebutuhan lain kamu di sana semuanya."

Alis Rinai berkedut. Apa tuh maksudnya?

"Buku servis sama STNK fisik konsumen Rinai juga yang pegang, Bang?"

"Iya lah! Sama plat juga. Tapi kalau plat letaknya di lantai dua. Tau kan, yang di sebelah ruangan kamu dulu?"

"Tapi kan Rinai sales counter, Bang!"

"Ya, kan itu emang kerjaan kamu juga. Kan kamu ngerangkap, Nai. Jadi kamu juga bertugas buat menyerahkan kelengkapan kendaraan konsumen juga."

"Bukannya sales counter tugasnya cuma jualan ya?" Rinai mencoba konfirmasi.

"Iya. Tapi itu dulu, sebelum negara api menyerang," balas Bang Sutan sambil ketawa rese.

Rinai terdiam. Kan Rinai cuma disuruh jualan unit sama Pak Daniel, masa jadi triple gini sih tugasnya.

Dengan menahan kesal, Rinai mulai menyusun dokumen ke dalam lemari. Ia menumpuk-numpuk setiap dokumen dengan tanggal yang urut.

Apes banget sih Rinai. Baru saja enam bulan lalu ia bersyukur diterima di dealer ini, tapi siapa sangka kedatangan Pak Daniel yang menggantikan posisi Pak William akan membawanya ke situasi menyebalkan seperti ini.

"Dek, bisa minta buku servis?" Saat Rinai masih sibuk dengan dokumen, seorang konsumen berdiri di balik meja datang menyela.

Rinai menatap konsumen itu, dan konsumen balas menatap.

Tatap.

Tatap.

Tat-

"Selamat pagi, ada yang bisa dibantu?" Bang Sutan datang mengambil alih, memutuskan acara tatap-tatapan antara rinai dan konsumen.

Rinai menghentikan pekerjaan dan memutuskan untuk mendekat. Bagaimanapun nanti ini akan menjadi tugasnya, jadi ia harus memperhatikan agar cepat paham.

"Servis gratisnya ada 4 kali ya, Pak," jelas Bang Sutan, "terus ada oli gratis juga. Jadi jangan sampai tanggal jatuh temponya lewat, nanti hangus pula kuponnya, Pak."

Konsumen itu mengangguk puas. Setelah berterimakasih, ia berlalu pergi.

"Paham kan cara kasih buku servis ke konsumen?" Bang Sutan menatap Rinai seringai menyebalkan.

"Ngerti, Bang," jawab Rinai singkat.

"Tinggal tanya namanya aja, atau liat surat jalannya. Terus ambil buku atas nama konsumen di dalam lemari. Suruh taken. Selesai. Gitu aja. Gampang, kan? STNK juga gitu ngasihnya. Yang penting ingat, jangan lupa taken!" tandas Bang Sutan.

"Iya, Bang," jawab Rinai lagi sembari mengangguk-angguk pelan.

"Nanti kalau nggak ada yang ngerti tanya abang lagi aja. Yang penting, kamu pahami aja dulu kerjaan yang ini, yang jualan unit nanti aja kalau udah ngerti. Nanti keteteran pula, semua dikerjain tapi nggak selesai," lanjutnya.

"Siap, Bang!" Kali ini Rinai menjawab dengan semangat.

Wah, senangnya punya senior pengertian seperti ini.

Apa gak selamanya aja, Bang, Rinai gak usah jualan unitnya? Nanti Rinai doain masuk surga, deh. Rinai kan baik!

Bang Sutan kemudian pergi. Rinai kembali menyusun dokumen dengan perasaan yang lebih ringan. Ia merasa begitu lega bahwa tak perlu buru-buru. Ia diberi waktu untuk belajar, dan itu benar-benar sangat membantu.

Beberapa hari berlalu begitu saja. Rinai sudah mulai memahami pekerjaan barunya meski masih sering kewalahan.

Tugas Rinai sebagai admin penjualan butuh fokus, soalnya Rinai harus menginput data konsumen untuk pengurusan STNK. Sedangkan menjadi sales counter membuat Rinai juga harus melayani banyak konsumen yang datang di waktu yang tak diduga-duga, terutama yang meminta kelengkapan kendaraan seperti STNK fisik, buku servis, dan plat. Belum lagi harus jualan unit, semakin tak ada waktu. Mana Rinai masih juga belum mampu jualan karena belum begitu paham.

Tapi, kata Bang Dewa, lama-lama Rinai pasti bisa kok! Yang penting mau usaha. Asiaaap!

#RinaiCemangat!

#RinaiKuat!

#RinaiNakzCounterSales!

o-O-o

Siang itu, menjelang pukul 12 menjadi jam sibuk di mana Rinai sangat benci diganggu. Ia akan berpacu dengan waktu untuk menginput penjualan dan berharap tak ada satu konsumen pun datang untuk

meminta kelengkapan kendaraan. Dia sedang mengejar beberapa inputan yang hampir selesai bersamaan jam tutup kantor selama sholat Jumat.

Dealer Rinai kalau hari Jumat itu memang bakal tutup selama 2 jam, yang artinya jatah istirahat lebih lama dibandingkan dengan hari biasa. Jadi Rinai lebih memilih menyelesaikan pekerjaannya sebelum dealer tutup sementara, supaya nanti habis istirahat dia bisa mulai mencetak buku servis yang sudah menumpuk lama.

Tapi ...

"Dek, kalau mau ambil buku servis di mana ya?" Rinai mendelik kesal. Tangannya yang tadi sibuk menginput data konsumen mendadak berhenti. Di depan Rinai, berdiri seorang laki-laki menggunakan baju kaos hitam dengan sebuah jaket hijau yang menggantung di lengannya.

"Selamat Siang. Atas nama siapa, Bang?" tanya Rinai, setengah hati, tapi tidak melupakan sopan santun sebagai karyawan dealer.

Tangannya mulai menggerakkan mouse untuk mencari data konsumen. Mengambilkan buku servis adalah yang paling tidak Rinai sukai selain mengambilkan plat motor. Jika untuk mengambil plat Rinai harus bolak-balik naik-turun tangga berkali-kali sebanyak konsumen yang datang untuk minta plat, sedangkan untuk mencari buku servis Rinai harus memeriksa satu persatu nama konsumen di tumpukan besar di dalam lemari. Itu juga kalau ada. Kalau nggak ada, Ia harus mencetaknya terlebih dahulu.

Rinai lagi kejar setoran, tahu! Nggak bisa gitu ambil lepas sholat Jumat aja? Kan cuma 2,5 jam lagi.

"Atas nama saya sendiri," sahutnya, kalem. Ia kemudian menghempaskan dirinya ke kursi di depan meja Rinai. Rinai menahan diri untuk tidak melotot. Memang Rinai kenal sama dia?!

Oke, tarik napas ... lepaskan.

Tarik lagi.

Lepaskan.

"Nama saya siapa ya, Bang?"Tanya Rinai, mendadak ngaco! Gak nyambung banget gitu pertanyaanya. Kening laki-laki itu berkerut. Dia mengedipkan matanya beberapa kali seakan terpesona melihat Rinai.

"Lah, mana tahu saya," kekehnya. Tatapannya berubah geli, seakan Rinai sedang mengajaknya bercanda. Padahal kalo bisa mah, Rinai pengennya ajakin dia baku hantam di depan dealer.

Ini orang paham gak sih, kalau Rinai lagi ngejar waktu? Malah memperlambat 5 detik dengan mengulur-ulur memberitahu namanya.

Iya, waktu.

Kalo dikejar jodoh sih, Rinai ikhlas diganggu.

Kesel!

"Loh, kok bisa nggak tau sih, Bang? Saya kan pakai nama saya sendiri!"

Kali ini laki-laki itu terdiam. Ia melirik karyawan lainnya yang sama tampak bingungnya. Mereka sampai berhenti bekerja dan menatap Rinai terang-terangan.

"Ya... Tapi kan saya nggak tau nama kamu siapa?" jawabnya ragu.

"Nah, itu ngerti! Emangnya saya juga tau nama Abang siapa? Abang ini artis? Terkenal? Datang minta buku servis ditanyain nama malah jawabannya 'Nama saya sendiri'. Ya, saya mana tau nama abang siapa!? Apa susahnya sih kasih tau aja namanya, kan saya gak jadi gondok kayak gini!" Bentaknya.

Suaranya menggema ke seluruh dealer, menghentikan aktifitas apapun di sana. Dadanya naik turun dengan cepat. Ia berdiri dan menatap laki-laki itu tanpa menyembunyikan rasa kesal sedikitpun.

Laki-laki itu terhenyak. Wajahnya pias dan merah padam. Sedangkan karyawan lain menatap rinai jengkel.

Kan bisa di omongin baik-baik loh, Nai! Gak pake ngegas! Pikir mereka, kompak..

"Dek! Dek!" Seseorang mengibaskan selembar kertas di depan wajah Rinai.

"Ya, Bang?" Rinai tersentak.

"Ini surat jalannya,dia mengulurkan sebuah kertas.

"O-ooh ...."

Rinai mengambil cepat kertas itu dan melihat isinya. Surat jalan adalah selembar kertas yang diberikan dealer pada konsumen saat STNK dan surat-surat penting lainnya belum keluar. Bisa digunakan sebagai pegangan sementara dengan batas waktu tertentu Rinai melirik namanya. Birai Angkasa.

Rinai kemudian beranjak menuju lemari tempat penyimpanan buku servis. Suasana dealer masih sama seperti sebelum laki-laki itu datang. Karyawan yang lain masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Dan laki-laki itu masih duduk dengan nyaman di depan meja kerja Rinai. Yah, tadi memang cuma khayalan Rinai aja. Mana berani dia! Nyali Rinai kan lembek kayak permen kapas. Tapi … Dongkolnya nyata!

Lagi-lagi, Rinai cuma bisa memendam isi hatinya dan terus menunjukkan wajah datar sebagai perlindungan terkuat. Agar tak salah langkah. Agar tak salah mengambil tindakan.

Iya, Rinai bego!

Next chapter