webnovel

Makhluk Gaib Lagi

Ke esokan paginya, ayam berkokok berkumandang suaranya menggetarkan, hingga jam Walker milik Reyna pun ikut berdering merdu.

Reyna bangkit dari tempat tidur kayunya, mematikan jam Walker yang mengganggu tidur lelapnya.

Padahal hari ini hari libur, Minggu yang di nantikan semua orang untuk weekend bersama keluarga atau bersama kekasih mereka ke sebuah tempat yang sangat di idamkan para Wanita.

Reyna tak begitu ingin bangun pagi setiap hari Minggu, baginya hari Minggu adalah hari dimana dirinya harus banyak mengistirahatkan tubuh juga pikirannya bersama bayangan Makhluk-Makhluk gaib atau halus dan sebagainya.

Ia tak ingin memikirkan itu, tapi semalam membuat Reyna harus menggali lebih dalam lagi tentang teman Ayahnya, yang bernama Dini.

Pertama kalinya Reyna melihat Wanita itu, memang sudah tak suka, ternyata tak terduga menyelimuti hatinya itu benar. Perasaannya mulai bimbang.

"Aku harus melakukan sesuatu itu, entah darimana memulainya. Tapi harus Aku selidiki!" Gumam Reyna bersemangat, mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi.

***

Sebelum perjanjian Beni menjemputnya, ponsel Reyna berdering. Satu pesan masuk dari Beni.

[Nanti jam 10 tunggu Gue di gerbang rumah Lu ya Rey. Gue jemput Lu]

Reyna melirik jam Walker di meja kabinetnya, jam menunjukan pukul 08.00 WIB.

"Rajin sekali Beni pagi-pagi sudah memberikan pesan," batin Reyna senyam-senyum seperti habis falling in love gitu memandangi layar ponselnya.

[Oke] balas Reyna singkat.

Reyna berjalan menuju meja rias, menyisir rambut panjang hitamnya. Membayangkan hal yang tak mungkin Ia lupakan, kejadian semalam, Reyna berfikir kembali ingin mengetahui teman Ayahnya, si Dini itu.

Reyna mengepang semua rambut panjangnya, agar terlihat lebih fresh, jika orang memandangnya. Berbalut baju kaos panjang coklat polos dan celana jeans biru, membuat penampilannya sedikit terlihat cantik. Mengambil sebuah tas selempang hitam yang berada di dalam lemari hiasan kaca.

Reyna memang banyak mengoleksi tas selempang hitam di lemari kaca, memang tak banyak, tapi tetap semua tas yang di miliki selalu Ia pake di saat-saat berpergian kemana dan kapan pun.

***

Di meja makan Reyna terkejut mendapati Ayahnya sedang menyeruput secangkir kopi dan di sebelahnya duduklah Wanita yang membuat Reyna meliriknya dengan sinis, sedang sama-sama menikmati secangkir kopi.

Bi Inah tengah asik memasak, Reyna mencium wangi masakan bumbu-bumbu komplit menggugah selera, sehingga perutnya rasanya ingin mendemo meminta makan.

"Selamat pagi Ayah," sapa Reyna lalu duduk di kursi berhadapan dengan Rendra dan Dini, Wanita yang tak ingin Ia panggil Tante itu.

"Pagi sayang, rapih sekali mau kemana?" tanya Rendra dengan senyuman di bibirnya yang rapih tanpa bulu kumis atau pun jenggot di dagunya.

"Mau jalan-jalan sama temen!" jawab Reyna singkat. "Bi Inah masak apa hari ini?" lanjut Reyna ke Bi Inah.

"Sup iga dan ayam goreng, Non. Ini Tuan yang minta Non!" ucap Bi Inah.

Dini memulai percakapannya dengan berbasa-basi menanyakan tentang kegiatan Reyna selama ini "Hai, Rey. Bagaimana pekerjaanmu? Apakah baik-baik saja?"

"Baik Tante," Jawab Reyna dengan malas.

"Ayah, Aku lihat semalam mobil Ayah tidak ada di garasi. Memang kemana?" tanya Reyna memulai pembicaraan kepada Rendra Ayahnya.

"Di bengkel, sayang! Mungkin Ayah terlalu sibuk jadi Mobil Ayah ngadet," jawab Rendra kembali menyeruput kopinya.

"Ooh!" bibir Reyna membulat.

Makanan telah siap di hidangkan dan di tata di tengah-tengah meja makan oleh Bi Inah. Semua sibuk, Rendra dengan Ponselnya dan Dini memperhatikan Rendra pada ponselnya.

Mereka begitu mesra.

"Hmm!" Reyna mendeham mencairkan suasana yang sepi.

"Apakah Ayah besok masih keluar kota?"

"Tidak sayang!" Rendra tersenyum, meletakkan ponsel di atas meja. "Memang Kenapa?" Rendra membalikan piring di atas meja dan memulai mengambil nasi, sayur dan lauk. Tetapi di dahulukan oleh tangan Dini.

"Saya yang ambilkan ya Mas!" Dini menuang nasi, sayur dan lauk satu persatu ke piring Rendra.

Raut wajah Reyna tampak kesal, tak suka.

"Kamu juga mau Tante ambilkan makanan juga?"

Reyna menggeleng, "Tidak usah Tante, Aku bisa sendiri kok!"

Tangan Reyna tergesah-gesah mengambil nasi, sayur dan lauk menuangkannya ke piring bening putih miliknya. Masih mengamati gerak-gerik Wanita yang membuatnya semakin harus menyelidikinya.

"Ayah, Tante Dini ini siapanya Ayah mengapa menginap di sini?" Reyna begitu khawatir dengan keadaan Ayahnya mulai juga bertanya tanpa berbasa-basi lagi. Dari pada di pendam sendiri, membuatnya pusing kepala.

"Oh ini Dini, teman Ayah. Ayah berkenalan sewaktu bertemu di luar kota beberapa hari pada saat di cafe. Waktu itu Ayah sedang ada meeting dengan Pak Sugeng mengenai proyek kami yang sudah lama belum kelar juga," jawab Rendra bercerita panjang lebar.

"Oh, berarti Tante hanya menginap sehari saja di sini? Tante tinggal dimana?" Pertanyaan Reyna yang tak berbelit-belit langsung di sambar seperti sedang memata-matai sebuah kasus besar.

"Tante tinggal sendirian, ngontrak dulu di Bandung. Bekerja sebagai pelayan Cafe. Sekarang sudah tidak semenjak bertemu dengan Ayahmu," Dini tersenyum. Terlihat di matanya banyak sekali pertanyaan dan terselip bayangan mengerikan di balik senyumnya yang manis, sesuatu maksud dan tujuan tertentu.

"Lalu? Apakah akan bekerja bersama dengan Ayah?"

"Sayang, makan dulu nanti kita bicara lagi soal ini. Ayah akan mengatakan sesuatu padamu ketika Ayah senggang nanti yah Putri cantikku!" Rendra tersenyum, di tepisnya pertanyaan Reyna agar tak lagi menanyakan soal Dini.

"Ayah tak pernah ada waktu senggang, sekalinya datang malah bawa teman, tak bercerita bahkan tak mengabariku." Reyna murung wajahnya di tekuk dan meletakan sendok dan garpu di atas piring yang masih tersisa sedikit makanan.

Reyna beranjak dari kursi makannya tanpa berbicara, berjalan perlahan. Seketika Rendra menyahut, "Reynaaa!"

Langkahnya terhenti di ruang tamu. Menengok kepalanya ke belakang sesaat, "Aku ada janji dengan teman." Reyna berjalan kembali membuka pintu dan menutupnya kembali.

***

Di teras rumah, Reyna duduk di kursi besi. Menyilangkan kakinya, merogoh tas selempang hitam untuk mengambil ponsel. Di layar ponselnya terpampang gambar Ibunya dengan banyak menu di dalamnya.

Terngiang sesuatu masa lalu waktu Reyna berusia 11 tahun.

Mengenang saat Ibunya selalu hadir dalam bayangannya, rasanya kangen, rindu menggejolak.

Flash back

Sebuah sudut ruang kamar mandi, Reyna berjongkok dengan menyender di bak mandi beralaskan keramik cream tersebut, tangannya menggigit bibirnya yang bergemetar hebat. Rasa takut yang teramat baginya. Masa kecilnya tak seindah masa kecil anak-anak lain seusianya. Reyna mendongakkan kepala sambil melirik langit-langit atap yang hanya di dapati lampu bohlam bulat dengan cahaya yang terang.

Hanya tempat ini Reyna merasakan kesunyian dan nyaman untuk Ia naungi. Tanpa ada sosok mengerikan selalu menggerayanginya.

Bi Inah, pengganti Ibu keduanya sedang keluar rumah membeli sesuatu yang terlupakan di warung.

Padahal tak terlalu lama di tinggal, tetapi rasanya begitu amat sangat lama di tinggal.

Rumah lamanya dulu terpendam banyak kisah, kisah yang tak tau mengerti dari Reyna, karna umurnya masih belia.

Sesosok berbaju putih panjang hingga tak terlihat kakinya di ujung lantai, wajahnya tertutupi rambut yang tak beraturan. Entah matanya melotot atau matanya bentuknya seperti apa, karna tak terlihat, benar-benar tak terlihat karna terhalang rambut panjangnya yang hanya sebatas dada.

Menangis, yah! Hanya menangis yang bisa Reyna lakukan!! Siapa lagi yang akan membantunya?

Terlihat cahaya terang di hadapan Reyna, Ia mengusap buliran air mata di bawah kelopak matanya, menyipitkan pandangannya ke depan.

"Reyna sayang! Jangan takut! Keluarlah dari tempat ini, Bi Inah sedang mencarimu." Wanita cantik dengan mata sipitnya tersenyum.

"Ibu?" Reyna berdiri mengucek kedua matanya, apakah yang di lihat Reyna itu sebuah mimpi atau hayalan yang Ia lihat.

Wanita ber gaun putih seperti pengantin itu melambaikan tangan lalu menghilang dengan kilat.

"Ibuuuuu!" teriak Reyna. Sampai seseorang mengetuk pintu dari luar kamar mandi.

"Non, Non, Non Reyna!" sahut Bi Inah menggedor-gedor pintu.

Reyna membuka pintu kamar mandi dengan air mata dan ketakutan yang teramat sangat tertekan di raut wajah Reyna.

Tangan dan bibirnya masih bergemetar seperti mandi di air yang dingin, seperti musim salju tak pernah berhenti menerpakan angin di luar tanpa selimut tebal.

"Kenapa Non?" Reyna memeluk sangat erat pinggang Bi Inah yang berisi hingga tak ingin lepas.

"Bibi lama sekali, A-ku ta-kut Bi!" ucap Reyna menangis, tersendat-sendat suaranya karna ketakutan.

Sesosok Wanita, yang biasa orang-orang katakan kuntilanak itu selalu menghantui Reyna, selalu membayanginya, bahkan mengikutinya kemana-mana. Entah apa yang kuntilanak itu inginkan. Atau mungkin penunggu rumah ini yang mungkin terganggu atas kehadiran seorang manusia di dalamnya.

Bi Inah mengelus rambut panjang Reyna yang lurus. "Sudah, sudah Non! Ayuk kita ke kamar saja. Nanti Bibi yang temani."

Flash off

Ternyata Beni sudah menantinya berdiri di hadapannya. Reyna terkejut, kedua matanya berkedip dan nafasnya cepat, mulutnya pun menganga.

"Lu ngagetin aja!" ucap Reyna, mengusap kedua matanya yang menepuk pundak Beni di hadapannya lalu berdiri.

"Dari kapan Lu di sini?" lanjut Reyna bertanya.

"Yah beberapa menit yang lalu, soalnya Lu kelihatan sedih sekali. Makanya Gue masih menunggu di sini."

"Yaudah yuk kita pergi saja," ucap Reyna menarik tangan Beni.

Next chapter