webnovel

BURGER

"Maaf ya, aku ada kerja sambilan dari malam sampai pagi. Hari Minggu aku akan menemanimu sebagai gantinya." Tsukasa menolak rencanaku. Wajahnya tampak di tekuk. Aku tak tahu, dia kecewa karena ada kerja sambilan dan tak bisa bermain denganku atau kecewa karena hal lainnya.

Yah mau bagaimana lagi kan?

"Tapi rencana kita ke game center sepulang sekolah tetap jadi kan?" aku bersikeras. Tentu saja, rasanya tak menyenangkan jika hari Sabtu aku pulang cepat. Ibuku tak akan mau bergantian menonton televisi. Jika aku berdiam di kamar, ibuku akan merajuk dan berkata 'oh putraku yang sedang mengalami pubertas tak mau lagi ngobrol dengan ibunya' dengan wajah dramatis di depan ayahku.

Rasanya memang menggelikan, tapi ayahku akan marah. Bagi ayahku, dalam keluarga yang terpenting adalah komunikasi. Jika komunikasi tidak aktif dan bergerak lambat satu sama lain. maka akan sering terjadi kesalahpahaman lalu akhirnya bertengkar karena tak bisa mengerti satu sama lain.

Sangat menyebalkan rasanya kalau kita tak bisa menunjukan apa yang kita rasakan pada orang lain kan? Lalu orang lain dengan seenaknya melakukan sesuatu yang benar-benar menganggu untuk kita. padahal mereka tak mengerti jika itu salah. Karena itu, ayahku bilang komunikasi bisa mencegah hal itu.

Aku seakan sedang belajar psikologi keluarga dari ayahku dan ibuku setiap kali mereka marah. Banyak hal teoritis yang akan mereka paparkan padaku, tentang bahaya ini dan itu hingga akhirnya mereka malah membahas anak tetangga yang ketahuan memakai obat-obatan terlarang.

Aku tak bisa menyanggah mereka untuk berhenti bergosip dan fokus padaku. Jika aku lakukan, pelajaran psikologi akan makin panjang bahkan hingga tengah malam.

Oke, berhenti membahas ayah dan ibuku.

Makan siang kami sudah habis sejak 15 menit lalu. Tapi pembahasan tentang rencana setelah pulang sekolah masih belum rampung juga. Seakan Tsukasa sebenarnya tak ingin pergi denganku.

Ia tak ingin?

"Apakah kau tak ingin pergi denganku? kau ada rencana lain?" Akhirnya aku menanyakannya juga.

"Eh! tidak! tidak!" Tsukasa terdiam sebentar, "Baiklah! baiklah! sepulang sekolah aku akan menemanimu kemana pun. Asalkan jika sudah pukul 6, kita pulang? bagiamana?"

"Ok!" Tak apa walau tak sampai malam. Yang terpenting aku bisa bersama Tsukasa lebih lama.

.

.

.

Pelajaran terakhir benar-benar terasa membosankan. Tsukasa meminjamkan catatannya padaku, karena aku tak mencatatnya dengan baik.

Ia selalu mengeluh ketika melihat hasil tulisanku. Dia akan berkata 'Ya ampun, kau bukan anak SD. Setidaknya benahi tulisanmu. Orang lain mungkin saja tak bisa membacanya.' ledeknya.

Aku kadang berpikir. Memangnya sejelek itu tulisanku?

Di sepanjang perjalanan dari sekolah menuju game center di kota, aku membonceng Tsukasa. Kami membahas banyak hal. Terutama tentang liburan musim dingin yang akan datang sebentar lagi.

Tsukasa tampak ceria, tapi tidak denganku. Dia tak pernah tahu, pada liburan musim dingin sebelum Natal itulah kematian datang padanya.

Tapi kali ini, aku harus pastikan bahwa dia tak akan memilih jalan itu lagi, bunuh diri!.

.

.

.

Tsukasa bermain lincah dengan gun di tangannya, membunuh banyak zombie lebih dari yang aku bisa.

Tentu saja, Dia adalah orang yang cermat dan berpikir cepat. Ini hanya game, aku tidak yakin jika dalam kenyataannya Tsukasa bisa memakai senjata setenang itu.

"Aku menang lagi!" Tsukasa berseru, melompat dan tertawa mengejekku.

"Sial! tak akan, jika permainan yang lain!" Aku tak mau kalah dengannya.

"Ah! Aku mau ke toilet dulu! perutku sakit. Kurasa karena soda yang kita minum tadi!" Tsukasa memegangi perutnya, bergegas tanpa menungguku menjawabnya. "Oiya aku titip tasku!"

Aku meraih tas yang tergeletak di bawah kursi besi. Memindahkannya ke atas kursi agar tak kotor oleh debu. Bukankah itu tas kesayangan Tsukasa? seharusnya ia tak sembarangan menyimpannya.

Aku tak tahu jika posisi tas yang aku pindahkan terlalu berada di tepian kursi. Hal itu menyebabkan tas Tsukasa terjatuh ke lantai, restletingnya tak tertutup sehingga barang-barang yang ada di dalam menyembul keluar ketika aku angkat.

Beberapa buku aku rapihkan, sebuah kotak alat tulis dan satu bungkus plastik putih kecil yang diikat kuat.

Aku sangat penasaran dengan isinya, sehingga dengan spontan aku membukanya. Di dalamnya banyak sekali obat-obatan yang di jual di apotek dan balsem, semuanya baru. Ada obat mual, obat nyeri, obat flu, Paracetamol, balsem dan salep serta ada sebuah benda yang tak pernah aku lihat sebelumnya.

Benda itu berbentuk tub, isinya seperti gel yang bening berwarna biru. Apakah ini sabun cuci muka jenis baru?

Karena aku penasaran, aku mencoba memotretnya dengan kamera ponsel dan akan aku cari tahu di internet ketika sampai di rumah.

Setelah mengetahui semua isi kantong plastik tadi. aku mengikatnya lagi semirip mungkin seperti sebelumnya. Lalu menyimpannya di dalam tas. Lalu menutupnya.

Tak berselang Lama, Tsukasa datang sambil terus memegangi perutnya.

"Ah! leganya!" ia cengengesan di hadapanku.

"Haruskah bilang begitu? jorok sekali!" Aku meninju pelan pundaknya, hingga ia mundur selangkah. Kami tertawa.

Pandangan Tsukasa langsung tertuju pada tasnya. Ia terkejut dan langsung meraihnya. "Kenapa ada di atas?"

"Aku memindahkannya, agar tak terinjak-injak oleh yang lain."

"Apa kau membukanya?!" Wajah Tsukasa berubah panik. Terlihat jelas, meski ia berusaha menutupinya.

"Tidak. Karena tadi jatuh aku tutup resletingnya." Jawabku santai. Jika aku melihat isinya pun bukankah tak akan ada yang mengejutkan?

Aku yakin Tsukasa membeli banyak obat-obatan di apotek karena luka-luka kemarin saat kami di hajar Seito dan teman-temannya.

Pasti rasanya ngilu, atau bahkan sakit dan perih. Sehingga membuatnya tak konsentrasi dalam bekerja. Sehingga mau tak mau ia membeli semua obat-obat yang hanya ia ketahui. Aku sempat melihat Seito menendang perut Tsukasa.

"Tsukasa, kau mau makan burger? aku yang traktir!"

"Tidak, tidak! aku sudah banyak merepotkan mu. Makan siang yang ibumu buatkan untukku sudah termasuk traktir bukan?" Tsukasa melambai-lambaikan tangannya padaku.

"Itu ibuku yang traktir. Sekarang giliranku. Ayo! memangnya kau tidak lapar?" Aku menggodanya. Akhirnya ia mengangguk juga.

Moment makan bersama dengannya selalu menyenangkan. Karena, cara Tsukasa menikmati makanan selalu terlihat lucu dan menggemaskan. Aku jamin, hanya dengan melihatnya, rasa lapar itu akan menular padamu.

Benarkan? gigitan besar mendarat di atas roti bun bertabur wijen, yang di dalamnya terdapat daging panggang, slice keju cheedar, potongan-potongan tipis tomat dan timun serta selembar selada hijau yang segar.

Saus tomat dan mayonaise serta mastard bercampur dengan lemak daging seakan meletus dan meleleh di sudut bibir Tsukasa. Belepotan sekali. Aku tertawa melihatnya, Tsukasa sendiri ikut tertawa dengan mulut penuh.

"ihi Shushah Shekali Dhi khunyah" katanya, memaksa bicara padahal masih mengunyah. Aku tak henti-hentinya tertawa melihat kekonyolan Tsukasa.

"Kau pura-pura menolak padahal kau sesuka itu dengan burger?!" Aku memukul kepalanya dengan pipet minuman colaku.

"Aku lapar, jadi aku menerimanya. Tadi belum lapar makanya aku tolak." Jawabannya terkesan sangat seenaknya. Tapi itu adalah hal jujur yang ia ucapkan hari ini.

***

Next chapter