15 Your name is....

"Kabar buruk, Steve." Bee membuang lembaran kertas dan beberapa foto wanita yg sudah dibuat terperinci lengkap dengan data-data mereka. Steve menatap malas lembaran itu. Rapat baru saja dimulai lima menit yang lalu. Tanpa rasa bersalah, Bee datang terlambat lalu melempar dokumen itu.

"Apa maksudnya ini? Emma? Dan tanggal lahirnya sama semua. Jane, jelaskan."

Jane maju ke depan lalu menjelaskan isi lembaran kertas itu. Alis Steve berkerut tak percaya. Jane juga sebenarnya tak percaya. Tapi...

"Ada dua ratus lebih nama Emma di kota New York. Apa kita harus lindungi mereka semua? Ini gila."

"Semua hal yang berhubungan dengan psikopat adalah gila. Kau seperti baru saja berkecimpung di dunia kriminal, Steve."

Steve meremat ujung pena dengan tangannya lalu membuangnya ke tempat sampah. Pikirannya kembali terfokus pada nama korban.

"Aku seperti tidak asing dengan nama Emma." Steve menggeram. Ia menarik kasar rambutnya lalu berdiri membelakangi timnya.

"Menurutmu siapa dalang di balik pembunuhan ini?" tanya Bee dengan pandangan mengejek ke arah Steve.

"Entahlah. Kita tunggu hasil labnya yang lain. Bukankah kita sedang menunggu hasil DNA pembunuh itu?"

Semua yang ada di dalam ruangan terkejut, hanya Bee yang tampak diam tak merasakan reaksi apapun. Ia mengutak-atik ponselnya seolah tak peduli dengan apa yang dikatakan oleh Steve.

"Bukankah kau yang membatalkannya, Steve?" Jane mencari-cari bukti jika memang Steve yang menandatangani berkas acara pemeriksaan.

"Kapan? Apa kau kirimkan ke mejaku?"

"Aku menitipkannya pada Bibi Claire. Dan ini buktinya." Jane menyerahkan bukti tanda tangan miliknya. Steve tak merasa menandatangani, tapi mengapa ada buktinya?.

"Bagaimana ini?"

"Bukti sudah diserahkan ke bagian forensik. Kalau kau ingin mengambilnya, kau harus berurusan dengan para pejabat di sana. Dan, satu hal lagi. Jangan pernah perbudak aku untuk meminta pada mereka." Bee berdiri. Ia merapikan jas dan kemejanya lalu menepuknya.

"Kau mau kemana?"

"Aku? Lebih baik aku bersandar di ruanganku. Aku butuh penyegar ruangan." Bee pergi. Ia keluar ruangan dengan kaki yang ia hentakkan di atas lantai.

"Kita akhiri rapatnya."

***

Arts High School, salah satu sekolah terkenal di kota New York. Tempat para murid yang berasal dari kalangan atas dengan segudang uang juga penunjang lainnya. Artis, pejabat bahkan politikus berkumpul menyekolahkan penerus mereka di sini.

Pria itu mengintai. Ini sudah lama, sudah hampir sebulan lamanya ia berdiri di dekat pohon ek yang sudah mulai tinggi. Ia bersembunyi diantara rerumputan liar.

Ia sering mengendap-endap untuk sekedar mengintip beberapa siswa yang hendak keluar dari balik pagar.

Terkadang ia mengepalkan tangan dan merematnya. Ia juga tersenyum ketika banyak anak kecil berjalan riang keluar pagar hendak bertemu penjemputnya.

Masa sekolah yang indah.

Ada satu sosok yang sangat mengusik pandangannya saat ini. Sosok pria tegap berwibawa yang baru saja keluar dari dalam mobil mewahnya. Lalu tak lama kemudian, terlihat seorang anak kecil berambut panjang datang menghampiri sosok pria tersebut.

"Daddy...." sosok anak kecil itu berlari menghampiri pria tadi. Ia berlari dan merentangkan tangannya lalu memeluk pria itu.

"Oh, Dawny. Bagaimana sekolahmu? Daddy datang untuk menjemputmu." pria itu mengangkat tubuh si anak dan menggosokkan hidungnya.

"Andrew mengangguku daddy...." rengek gadis kecil itu. Tiba-tiba mata sang gadis kecil mengarah pada pohon ek di seberang jalan lalu ia menunjuknya.

"Ada apa sayang?"

"Ada yang melihat daddy. Dia bermata kelam, sepertinya sedang marah."

Pria itu menoleh. Ia mengikuti arah telunjuk gadis kecilnya. Atensinya tak melihat siapapun di balik pohon itu. Ah, mungkin saja gadis kecilnya salah melihat.

"Tidak ada siapapun. Kau pasti salah lihat. Ayo, kita pulang. Mommy pasti sedang memasak makanan enak." pria itu membujuk si gadis kecil. Ia menurut. Saat si gadis kecil sudah masuk kedalam mobil mewahnya, mata pria itu tetap saja mengarah pada pohon yang ditunjuk oleh gadis kecilnya.

"Daddy, ayo pulang. Mommy menunggu."

"Ah, baiklah. Maaf, daddy tadi melamun."

Keduanya pun berlalu dari halaman depan sekolah elit itu. Sepeninggal mereka, si pria misterius mencatat satu nama yang pastinya harus hapalkan.

"Keluarga Mc Cartney." gumamnya.

***

Tak ada yang salah dengan makan malam bersama. Hanya saja, jika makan malam kali ini dilakukan bersama kekasih yang bukan miliknya tentu itu akan menimbulkan kesalahpahaman. Apalagi, sang empunya kekasih adalah seorang pengusaha terkenal di New York. Siapa lagi kalau bukan Ronald Mc Cartney.

Steve selalu saja cari masalah. Ia dengan beraninya mengajak Jane menyambung pertemuan tadi di luar. Ia memesan ruangan privat yang hanya mereka berdua. Kesannya akan sangat romantis. Ah, tapi mereka bukanlah sepasang kekasih.

"Kau yang memesan restoran ini? Sangat romantis sekali. Ada keperluan?" Steve menggeleng. Ia menangkupkan kedua tangannya di atas dagu dengan posisi terkepal. Matanya liar bergerak bergantian seperti memikirkan sesuatu.

"Aku sedang bingung. Aku tak tahu apakah aku mencintainya atau tidak. Tapi, aku merasa nyaman di dekatnya. Dia begitu indah, tapi dia begitu rapuh. Dia romansa sejuta pesona, tapi sayangnya dia retak bila ku sentuh." Steve menghela napasnya. Ia mengapit gelas wine diantara jarinya lalu menyesap aroma wine yang ia minum.

"Tunggu, kau membicarakan siapa? Apakah ini seorang gadis?" tanya Jane. Steve mengangguk. Memang benar, ia sedang membicarakan seorang gadis yang berhasil meraih hatinya lagi.

"Yup, kau benar. Intuisimu tak pernah gagal. Aku bangga padamu," ujar Steve. Ia membuka ponsel dan memperlihatkan satu foto seorang gadis yang diam-diam ia curi saat sang gadis sedang duduk.

Hati Jane mencelos hebat. Ia pikir gadis itu adalah dia. Ia pikir Steve masih mengharapkan dirinya. Ah, Jane masih terlalu menginginkan Steve. Bahkan disaat ia pun sedang menjalin percintaan dengan orang lain, ia tetap mengharapkan Steve.

"Ehmm...dia gadismu?" tunjuk Jane pada foto itu. Steve mengangguk. Ia menutup ponselnya. Dua tangannya ia taruh ke belakang kepala lalu ia melepas kalung yang selama ini ia pakai. Ia mengeluarkan cincin yang selama ini jadi liontin kalung itu lalu menaruhnya di meja.

"Jane, aku jatuh cinta padanya. Aku berani membuka cincin ini karena, aku pikir ini adalah saatnya untuk mengakhiri seluruh perasaanku padamu." Steve berdiri. Ia berjalan ke pinggir balkon restoran yang mengarah ke jalan. Di sana ada jendela berukuran lebar. Steve berdiri mematung, Jane mengikutinya.

"Steve, apakah kau....."

"Aku mengakhirinya, Jane. Kau bebas, tak akan terperangkap lagi di dalam hatiku."

Steve membuang cincin itu ke jalanan kota New York. Ia membuangnya dari lantai dua. Steve melihatnya jatuh diantara pot bunga. Lalu ia berbalik. Jane menatapnya datar. Tanpa ada rasa sedih ataupun tangisan kehilangan.

"Kita adalah teman mulai sekarang."

"Iya, kita adalah teman."

***

"Kau sudah pulang Steve?" satu suara manis terdengar dari balik sofa yang menghadap ke arah tv. Steve tersenyum. Amanda berdiri menghampiri dan mengusak pakaian Steve yang kusut lalu meraih kemeja yang ia letakkan di lengannya.

"Kau belum tidur?" Amanda menggeleng.

"Mau kusiapkan makan?" kini giliran Steve yang menggeleng.

"Kiehl mana?"

"Di kamarnya. Sepertinya sudah tidur. Kenapa?"

Steve menggiring tubuh Amanda ke pojok pintu masuk apartemen. Ia mengurung Amanda dan hanya menyisakan sedikit ruang untuknya. Amanda merasa tersudut. Ia mendorong tubuh Steve namun kedua tangannya digenggam oleh pria dewasa itu.

"Kau pernah jatuh cinta?" Amanda mengangguk. Wajahnya merah, karena saat ini Steve memandanginya penuh perasaan. Apakah ini artinya?.

"Steve, kau mabuk?"

"Tidak, aku sepenuhnya sadar. Katakan, kau mencintaiku Amanda. Kau harus jujur padaku. Katakanlah." Steve memaksa Amanda. Rasa panas mencekat tenggorokan Amanda. Seperti menelan segumpal bola panas.

"Aku mencintaimu, Steve."

Steve mengulum senyumnya lalu mendekap tubuh Amanda. Ia memeluknya erat. Lalu berbisik lembut di telinganya," Aku pun mencintaimu."

***

"Steve, kau melukaiku. Kau telah menghancurkan perasaanku untuk ke sekian kali. Kenapa, kenapa kau setega ini?"

Jane terus meracau dalam tangisnya. Di tangannya kini terdapat cincin yang selama ini melekat di leher indah Steve. Tadi, di depan matanya sendiri ia membuangnya. Ia melemparkan kenangan indahnya.

"Steve, kenapa kau tak membiarkan aku kembali padamu? Hikss....hikss..."

Satu langkah berjalan masuk ke dalam apartemen Jane. Langkah itu terdengar lirih, bahkan hampir tak terdengar. Ia berjalan menuju kamar Jane. Ia mendengar sesuatu yang membuat ia geram. Jane berteriak, meneriakkan sesuatu yang paling ia benci.

"Steve, aku masih mencintaimu..."

Ctakk...

Lampu kamar dinyalakan. Jane menoleh, ia mendapatkan seseorang berdiri di depan kamarnya.

"Ronald, kau?"

"Jane, sekali lagi kau menyebut nama bedebah itu, akan kupastikan ia tak bisa menghirup udara lagi."

"Jangan Ronald, jangan."

Aarrgggghhhhhh.....

*****

avataravatar
Next chapter