2 No wonder

If you see me you have to scream

You will know that you will end

Today...

Suara lirih itu, Steve mendengarnya. Di luar jendelanya yang temaram, ia menatap sesosok anak yang duduk di bawah pohon ek kecil. Sosoknya yang mungil mengingatkan Steve pada Lassy, anjing kecilnya dulu.

Steve bangun dari ranjangnya dan menguap lebar. Diliriknya jam meja di nakasnya. Tepat pukul dua pagi. Dan anak itu, masih ada di sana? Apa yang dia kerjakan? Hei, ini sudah masuk musim dingin. Apakah dia tak ingin merasakan hangatnya perapian atau selimut tebal di ranjang?.

"Masuk, kau!!" satu teriakan lolos dari bibir seorang wanita yang selalu anak itu panggil, Ibu. Steve menoleh ke arah jendela. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, anak itu menjerit ketakutan saat sang Ibu memaki dirinya.

"Maaf, Ibu...." rintihnya.

Steve turun ke lantai bawah. Ia menuju dapur dan menyalakan lampunya. Ia melapisi dahaganya dengan segelas air hangat. Lalu berjalan ke pintu depan dan berniat membuka pintunya.

Krekk...

Tangan Steve digenggam seseorang. Tepat di atas handlenya. Steve menoleh. Ternyata, Ibunya. Steve menarik napas panjang dan menelan ludahnya sendiri. Ia ketakutan.

"Jangan ikut campur urusan orang lain. Tidurlah," tegas sang Ibu.

Steve kembali menuju kamarnya, menaiki tangga dan melihat sebentar ke arah bawah. Ibunya sedang berdiri memandangi kejadian tadi.

Pikiran Steve berputar, melayang-layang. Ia sedih melihat anak kecil tadi meringkuk dan menangis lirih di depan rumahnya. Apa kesedihan yang ia alami? Mengapa ia tak pernah bercerita padanya?.

Steve teringat perbincangan antara ayah dan Ibunya beberapa minggu yang lalu. Ini cerita mengenai Boy, anak tetangga yang sering dipukul oleh orangtuanya. Ayahnya bercerita, bahwa Boy bukanlah anak kandung tuan Jo. Itu panggilannya. Tapi, ia adalah anak hasil perselingkuhan istrinya dengan pengusaha kaya yang ada di kota New York.

Tuan Jo adalah orang yang baik, hanya saja ia berubah saat mengetahui bahwa istrinya bermain gila dengan orang lain.

Steve masih ingat pertama kali Tuan Jo datang setelah melihat istrinya hamil. Ia menendang keras perutnya dan memukul kepala istrinya dengan ranting kayu di halaman rumah. Tuan Jo murka. Ia bahkan sempat ingin menabrak istrinya dan ayah menolongnya.

Waktu itu Steve berumur dua tahun, ia sedang bermain di halaman rumah ditemani oleh Chloe kakaknya. Mereka sedang berkebun. Lalu tiba-tiba Tuan Jo datang dengan tergesa-gesa serta menjambak kasar rambut nyonya Emma. Dan, terjadilah keributan itu.

"Kau harusnya mati!! Aku tak sudi merawat anakmu. Mati saja kau. Mati saja!!" Tuan Jo menginjak tangan nyonya Emma. Wanita itu merintih kesakitan.

"Jangan kau bunuh anakku. Kumohon." Nyonya Emma menangis pilu. Steve melihatnya, Chloe juga. Ia beranjak masuk menemui dan memanggil sang ayah yang kebetulan ada di rumah.

Ayah Steve berlari dan melerai keduanya. Bahkan, Tuan Jo ia pojokkan ke tembok dan tangannya ditekuk ke belakang.

"Kalau kau ingin membunuh, lakukan di tempat sepi bukan di tempat ramai. Bodoh!!"

"Jangan ikut campur urusanku, detektif tengik. Kau dan teman kayamu sudah menghancurkan hidupku."

Ayah Steve menekan kepala Tuan Jo lebih rapat. Ia berteriak kencang di telinganya," Kau yang tengik. Laki-laki pecundang!"

Itulah hal pertama yang Steve ingat tentang Boy. Anak yang tak pernah diinginkan oleh orangtuanya. Bahkan sebelum ia lahir ke dunia.

****

Steve membolak-balikkan sendoknya. Ia tak berselera dengan makanan pagi ini. Bubur oat, sereal dan daging asap tak membuatnya berselera. Bahkan, susu hangatnya pun dilewatkan.

"Kau sakit, Steve?" suara sang Ibu menyadarkannya. Ia tadi sedikit melamun. Entah apa yang dipikirkannya.

"Tidak, bu. Aku hanya terkena syndrom musim dingin," jawab Steve. Chloe dan Kiehl tertawa. Jawaban Steve cukup aneh. Steve melirik mereka, mendengus pelan dan memasukkan satu lembar daging asap ke dalam mulutnya.

Steve berdiri, menyambar tas punggungnya dan meneguk sisa terakhir dari susunya. Ia berpamitan," Aku pergi Bu."

"Hati-hati di jalan." Ibu mengecup pipi Steve.

Steve pun melambaikan tangannya, dibalas oleh ibunya. Dan seperti biasa, di persimpangan jalan ia melihat anak kecil itu berjalan. Kali ini dengan kaki yang sedikit pincang.

"Hei, Boy. Mari naik ke atas sepedaku. Ayo!" ajak Steve. Boy menengadahkan kepalanya. Ia tersenyum lalu menggeleng.

"Tidak, terima kasih."

Dan ia pun melanjutkan perjalananannya. Steve terdiam. Dahinya mengerut. Apakah karena pertengkaran semalam, anak itu jadi menolak ajakannya? Entahlah. Steve menggedikkan bahunya dan mulai mengayuh sepedanya jauh meninggalkan anak kecil itu.

Tiba di sekolah, Steve yang sudah sampai di depan kelasnya harus menahan kesal. Lagi-lagi Jane menepuk bahu dan menghadang jalannya. Apa yang gadis ini inginkan?.

"Ada apa?"

"Kau begitu dingin padaku, kenapa? Apakah aku memuakkan? Pada teman yang lain kau bertingkah biasa saja. Denganku tidak," gerutunya. Bibirnya sengaja di majukan. Steve membuang pandangannya.

"Aku memang muak padamu. Setiap hari kau hanya berdiri di depanku. Kau tak punya pekerjaan?" tanya Steve dengan nada ketus. Jane mendelik. Tega sekali Steve berkata kasar padanya. Bukan Jane namanya jika ia menyerah. Tidak pula pada Steve.

"Oh, yang benar saja. Apa aku tak terlihat istimewa?" teriak Jane. Steve tambah muak melihatnya.

Baru saja Steve akan menjawab, tiba-tiba seseorang datang dan memanggil namanya.

"Hai, Steve. Kau ada kelas olahraga hari ini?" Steve mengangguk. Jane yang berdiri di depan Steve merasa diabaikan. Karena arah pandang Steve hanya berpusat pada gadis yang memanggilnya tadi.

"Kenapa kau menanyakan itu?" tanya Steve. Gadis itu, tersenyum lebar. Namanya Luna. Ia blasteran Mexico, Amerika. Tubuhnya sexy, ia berkulit eksotis dan memiliki mata yang indah.

"Artinya, kita akan sekelas nanti. Mr. Shane akan mengambil nilai basket untuk penutup sebelum liburan musim dingin. Kita bisa satu tim, kan?" satu kedipan mata di arahkan pada Steve. Jane menatap jengah pada gadis itu.

"Oww...bisa dilihat nanti. Kalian berdua minggir. Aku ingin masuk."

Jane melonggarkan hadangannya. Ia menyipitkan matanya dan menatap Luna dengan mata penuh api cemburu. Luna terkekeh.

"Hei, kau sudah kalah Miss Sarah Jane. I win, you lose."

"Aku tak akan menyerah."

"Lihat saja nanti."

****

Tepat pukul satu siang setelah makan bersama, Steve dan beberapa kawannya berkumpul di gelanggang olahraga. Hari ini pengambilan nilai untuk basket.

Jane tidak hadir, karena nilainya sudah tinggi. Ia gadis yang menyenangi olahraga.

Steve berdiri diantara barisan para gadis yang ternyata sudah menunggunya dari tadi. Hah, Steve tidak terlalu tampan. Tapi, ia punya pesona maskulin yang kuat. Bahkan, walau ia belum mempunyai otot bisep tetap saja ia mempesona.

Luna berjalan ke arah Steve, menggamit lengannya dan mengajak Steve ke tengah lapangan. Ia ingin Steve mengajarkannya cara mendrible bola yang benar.

Steve berusaha profesional. Ia mengajarinya dengan benar. Luna berpikir sebaliknya. Ia malah merasa kalau Steve sengaja berlama-lama berdekatan dengannya.

"Kau menyukai Jane?" tanya Luna tiba-tiba. Steve tak menggubris. Sekali lagi, ia bersikap profesional.

"Hei, kau tak menjawab pertanyaanku," tanya Luna sekali lagi. Steve menghentikan permainannya. Ia menggelengkan kepalanya. Bosan dengan pertanyaan ini.

"Kenapa kau ingin tahu? Itu masalah pribadiku."

Luna mendekat. Lalu membisikkan sesuatu di telinga Steve. Matanya menatap satu pasang mata yang sedang berdiri di dekat pintu masuk. Lalu ia berkata," Karena seseorang sedang memandangmu dengan mata cemburu."

Cupp...

Luna mengecup pipi Steve. Ia tersenyum mengejek seseorang yang berdiri di dekat pintu yang tengah meremas tangannya.

*****

avataravatar
Next chapter