6 My first love

Tepat setelah kematian ayahnya dua bulan yang lalu, Steve menjadi anak yang pemurung. Tak banyak teman yang bisa ia ajak berbicara. Semua menghindar. Semua seolah tak peduli akan kehadirannya. Entah apa sebabnya. Ia merasa dikucilkan. Bukankah seharusnya ia yang diberi semangat?.

Boy, si pembunuh sudah ditangkap oleh pihak kepolisian malam itu juga. Tak hanya tuan Richardson, ternyata ia juga membunuh ayahnya. Tuan John meninggal karena luka tembak di tempat yang sama dengan ayahnya. Sedangkan ibunya, hanya luka ringan karena membela diri.

Steve makin terpukul, saat ia kembali ke sekolah dengan reaksi teman-temannya yang ternyata mengucilkan dirinya.

Steve duduk di bangkunya seperti biasa. Jane menghampirinya dan memberikan satu kotak susu ukuran sedang untuknya. Steve sepatutnya bersyukur karena hanya Jane yang masih setia menemaninya. Gadis itu tulus, ia kadang membantu Steve mengusir orang yang mengejek dan mengucilkan pria bermata hazel itu.

"Steve, Mr Hanson mengucapkan turut berduka cita. Ia baru mengetahuinya hari ini karena ia baru kembali dari Los Angeles." Jane menghibur Steve. Ia tahu, Steve masih kehilangan ayahnya. Dua bulan Steve kuat menjalaninya. Ia anak yang kuat.

"Terima kasih, Jane."

Brakk...

Seseorang bertubuh besar dan tinggi menghampiri meja Steve. Remaja itu menyeringai. Tatapannya seakan sedang meledek keadaan Steve yang hancur.

"Kau, kuah ayam. Bagaimana rasanya kehilangan ayahmu? Kau dulu selalu menyombongkan ayahmu yang seorang detektif, kini kau bukan siapa-siapa lagi. Kau bahkan tidak bisa mengadu jika kami mengusilimu." remaja itu mengejeknya. Steve berdiri, napasnya memburu. Ia mengangkat kerah baju remaja itu dengan satu tangannya. Lalu menghempaskannya. Ia berjalan menghampirinya dan akan menginjaknya dengam satu kakinya. Namun....

"Stop!! Steve, jangan lakukan. Sadar Steve. Kau juga, buat apa kau mengejek Steve. Kau bahkan tak sadar kalau ayahmu adalah pembuat onar di lingkungan kami." Jane menyeret Steve. Ia mengajak Steve untuk duduk kembali di kursinya.

Remaja itu berdiri, ia mengibaskan pakaiannya. Lalu ia mengejeknya lagi." Jane, dia monster. Lihat saja perbuatannya tadi. Kau bisa mati dicekik olehnya. Oh, ya satu lagi. Reputasi ayahmu yang seorang dokter akan hancur jika kau masih bersamanya."

Remaja itu keluar dari ruangan kelas Steve. Beberapa orang yang melihat kejadian sempat berdecak kagum pada Steve. Baru kali ini ada yang berani bertindak seperti itu.

'Wah, dia hebat!'

'Steve pahlawan!'

Selanjutnya, Steve berdiri dari kursinya dan pergi ke suatu tempat di belakang sekolah. Jane mengikutinya. Ternyata Steve duduk di sebuah bangku area lapangan basket. Ia duduk sambil menarik rambutnya kasar.

Detik berikutnya ia berdiri lalu meninju sebuah dinding di sudut lapangan. Jane menghampirinya, ia bahkan menarik tubuh Steve dan menamparnya sekali.

"Sadarlah Steve. Sadar!! Jangan terbawa suasana. Kata-kata mereka jangan kau dengar. Kau, tetap temanku yang terhebat. Ayo, kau harus bangkit dari keterpurukanmu. Aku akan selalu di sampingmu." Jane memberikan semangat untuk Steve. Ia bahkan mengguncang-guncang tubuhnya. Berusaha menyadarkan remaja yang sudah sejak kecil bersamanya.

"Terima kasih, Jen. Tapi, aku memang pecundang. Aku bodoh." tangis Steve pecah. Jane memeluknya.

"Kau memang bodoh. Tapi, aku suka."

***

Steve dan Jane berjalan pelan menyusuri jalan setapak menuju komlpeks perumahannya. Biasanya, Steve memakai sepedanya. Namun saat ini, ia ingin berjalan kaki. Ia ingin menemani Jane.

Di sepanjang jalan, Jane bersenandung kecil. Suaranya tak begitu bagus, tapi terdengar merdu. Steve menyukai suaranya

"Hei, tanganmu masih sakit? Kalau kau mau mampir rumahku, aku bisa mengobatimu lagi. Bagaimana?" tanya Jane. Steve menggeleng.

"Ibuku pasti mencariku nanti."

"Kau bisa menghubungi ibumu. Aku yang akan memberitahunya. Bagaimana?" Jane menawarkan diri untuk membantunya.

"Terima kasih."

Akhirnya, sesuai yang diusulkan oleh Jane. Steve pun mampir sebentar ke rumahnya. Hanya ada Ibu dan Bibinya. Suasana rumahnya begitu hangat. Terasa banyak cinta di dalamnya. Steve tersenyum, ia ingin merasakan kehangatan itu lagi.

"Oh, honey. Kau sudah pulang, sayang? Ah, boleh kutebak kau Steve Richardson bukan?" Steve mengangguk, ia tersenyum. Lalu, nyonya Ann melanjutkan lagi," Aku suka senyum manismu. Apa kabar dengan Ibumu?"

"Ibuku? Dia sibuk. Bisnisnya berkembang pesat, sekarang ia jarang di rumah. Hanya ada kakak, adik dan Bibi Steu di rumah." Steve menjawab dengan lancar. Nyonya Ann tersenyum kembali. Ia menepuk bahu Steve dan berbisik di telinganya.

"Kau anak yang cerdas, suatu hari nanti kau akan jadi orang yang hebat."

"Terima kasih Nyonya Ann."

"Jangan panggil Nyonya, itu terlalu mewah untukku. Panggil Bibi saja. Kalian segeralah makan siang, aku akan berkebun sebentar."

Steve tertawa melihat tingkah Nyonya Ann. Sampai ia tak sadar jika Jane melihatnya dengan mata yang tidak berkedip. Steve menjadi malu dan salah tingkah.

"Kau lucu jika tertawa."

Steve menyentuh wajahnya lalu berkata," Benarkah?"

Jane dengan sabar dan teliti membersihkan luka Steve. Luka yang ia dapatkan saat meninju dinding kuat di lapangan basket tadi siang. Jane tertawa saat mengingatnya. Steve yang merasa risih menarik tangannya lalu di sembunyikan.

"Hei, kenapa kau? Sini, tanganmu harus diobati." Jane menarik kembali tangan Steve. Namun Steve menggeleng. Ia makin menyembunyikannya.

"Kau menertawaiku."

"Tidak, aku tidak menertawaimu."

Jane makin tidak sabaran dengan tingkah Steve. Kini, mereka hanya berdua saja di balkon lantai atas. Tempat Jane biasa bermain. Jane mendekat ke arah Steve. Ia makin gencar mengincar tangan Steve yang terluka.

"Kemarikan tanganmu!" teriak Jane. Steve makin menyembunyikan. Jane makin mendekat. Kepala Steve terantuk dinding kayu di belakangnya. Saat ia akan menghindar, Jane sudah lebih dulu mendekatinya. Tepatnya, mendekati wajahnya.

Dalam jarak dekat, napas mereka beradu. Jane dan Steve terjebak dalam situasi yang sedikit aneh. Jantung mereka berdebar kencang saat saling menatap. Mereka tak memutus satu sama lain. Tanpa Steve sadari, ia memberanikan diri mengecup bibir Jane. Hanya sekelebat mata. Steve hanya mencoba-coba.

"Ma-maaf. Aku....."

"Haa...haa...kau lucu Steve. Bukankah sudah biasa, remaja berbuat seperti ini. Sudahlah. Haa..haa.." Jane menghindar, ia membalikkan tubuhnya. Sempat ada hawa panas menjalar di sekitar wajahnya. Ia mengipasinya dan merutuk dalam hati.

"Apa yang kulakukan tadi?"

****

Steve mengingat lagi kejadian tadi sore, saat ia berkunjung ke rumah Jane. Bukan mengingat saat Jane sedang makan atau mengobati lukanya. Tapi, saat bibirnya bersentuhan dengan bibir Jane. Ah, tidak. Ia malu saat mengingatnya.

"Astaga, otak kotorku. Jane pasti menganggapku gila." Steve menepuk sendiri kepalanya. Konsentrasinya buyar. Tangan kanannya masih sedikit nyeri. Ia mengusap lagi perban di tangannya. Ada sentuhan hangat penuh ketulusan di dalamnya. Ketulusan Jane saat mengobatinya.

Krekk...

"Ibu menganggumu, Steve?" Ibu tiba-tiba masuk kedalam kamar Steve. Ia membawa satu piring buah segar untuknya.

"Ibu baru pulang? Bagaimana pekerjaan Ibu?" tanya Steve. Ia menghentikan sementara pekerjaannya.

"Iya. Ibu sangat sibuk melayani pembeli. Kau sudah makan malam?" Steve mengangguk. Ibu melihat keanehan di wajah anaknya. Wajah Steve merah." Apakah kau sakit, nak?"

Steve menggeleng. Ia malu jika harus jujur kalau ia dan Jane.....

"Tidak, Bu. Aku sehat."

Ibu kemudian melihat tangan Steve. Ada perban putih mengelilinginya. Ibu mengernyitkan dahinya. Wajahnya seolah mengatakan kalau ia sangat khawatir.

"Ini, kenapa?"

"Hanya luka kecil. Tidak terlalu serius, Bu. Tenanglah." Steve melebarkan senyumnya. Ibu mengusap kepala Steve.

"Minggu depan persidangan kedua. Kita semua diminta menjadi saksi. Ibu mohon, datanglah. Dan bicara yang sebenarnya." Ibu seperti mengharap sesuatu pada Steve.

"Percuma, Ibu. Tetap saja hukumannya ringan. Tetap saja ia masuk penjara anak-anak dan hanya rehabilitasi mental. Aku membencinya."

Steve membanting kasar buku pelajarannya. Ia benci, ia benci berada pada situasi ini. Ibu pun tak bisa membujuknya lebih dari ini. Steve anak yang sedikit keras kepala. Akan sulit sekali bagi dia untuk menjatuhkan egonya.

"Baiklah, jika itu maumu. Ibu tak akan memaksa."

***

Steve duduk di dekat jendela. Ia sudah meminta maaf pada Ibunya tadi. Ia bukan marah pada Ibu, tapi pada kenyataan yang harus Steve terima. Steve belum bisa berdamai pada mimpi buruknya. Kematian ayahnya dan penyesalannya berteman dengan pembunuh kecil itu.

Mata Steve memandang ke arah rumah kosong tepat di depan rumahnya. Sejak kejadian itu, Bibi di depan rumah menghilang. Ada yang bilang, ia pergi ke pusat kota New York. Mungkin menggelandang disana. Entahlah.

"Steve, ada telpon dari Jane." teriak kakaknya. Steve segera berlari ke lantai bawah. Ia bahkan mendorong kakaknya dan hampir terjatuh.

"Halo, Jane. Ada apa?"

"Kau belum tidur?"

"Belum, kau juga."

"A-aku merindukanmu. Ehmm...ah, lupakan saja."

"Aku juga. Sudah malam, kau tidurlah."

"Baiklah, selamat malam. Mimpi indah, Steve."

"Selamat malam. Mimpi indah juga, Jane."

Dari jauh Chloe mendengar perbincangan singkat antara Steve dan Jane. Ia tertawa. Steve mencurigainya. Chloe itu licik. Ia pasti punya seribu cara untuk mengerjainya.

"Kenapa kau tertawa?" tanya Steve.

"Aku merindukanmu, selamat malam Steve, mimpi indah. Woahh...kau mulai berkencan? Dia cinta pertamamu? Jane? Woahh...aku menyukainya." teriak Chloe. Ia sukses membuat Steve malu dan wajahnya merah.

"Kau...apa yang kau lakukan?"

"Aku menguping pembicaraan kalian." Chloe memegang gagang telpon tanpa kabel yang ada di ruang tv. Chloe menjulurkan lidahnya.

"Kau...licik. Awas kau, lain kali aku akan menguping pembicaraanmu dengan George. Awas kau!" ancam Steve.

"Silakan saja. Aku tak takut...."

"Ibu..."

*****

avataravatar
Next chapter