12 Lady hurt

Tepat pukul sembilan pagi, Steve sudah tiba di bandara New York. Ia duduk, dua teguk air mineral ia habiskan sesekali setelah membaca surat kabar terkenal di seantero New York.

Steve melirik arlojinya. Ia mendengus kasar, ingin kembali ke apartemen namun tidak mungkin. Adiknya dan sahabat yang dikenalkan padanya saat natal akan datang dan menginap di apartemennya.

"Hais, lama sekali," gerutu Steve. Ia berinisiatif berjalan pelan ke arah announcer untuk menanyakan apakah ada masalah dengan pesawat yang datang dari Minnesota.

Baru saja ia selesai menanyakan pada announcer, tiba-tiba saja di sampingnya sudah berdiri dua orang yang sejak tadi ia tunggu. Kiehl dan Amanda.

"Hai, Steve. Maaf terlambat, kami tertidur di ruang tunggu bagasi." Kiehl menyeringai. Senyum anehnya membuat aura dingin di sekitar Steve lebih terasa. Tanpa banyak berkata-kata, ia segera menyambar dua koper yang dibawa oleh dua gadis di belakangnya. Ia berjalan lebih dulu dari mereka.

"Kiehl, sepertinya kakakmu marah. Aku jadi....."

"Tenanglah Amanda, biarkan saja. Sudah biasa dia seperti itu. Dia itu sedikit pemarah tapi sebenarnya tidak."

"Masuklah. Aku ada pertemuan siang ini. Aku tak ingin terlambat."

Kiehl menaikkan satu alisnya dan memiringkan kepalanya. Hei, bukankah ini weekend?.

"Kau ada pertemuan dengan siapa? Wanita atau pria?" tanya Kiehl. Steve tak menjawab, ia terus menyalakan mesin mobil menuju ke apartemennya.

Amanda tak banyak bicara. Sejujurnya, ini kali kedua ia bertemu dengan Steve. Sejak pertemuan mereka di malam natal, Steve terkadang mengabaikan pesan yang ia kirimkan.

Steve melirik ke arah ponselnya yang berkedip, ada panggilan masuk rupanya. Ia segera menyambungkannya dengan earphone bluetooth yang ada di telinganya sejak tadi.

"Iya, Bee ada apa menghubungiku?" panggilan dari Bee, teman satu timnya.

"Lucas terluka. Semalam, saat ia berjaga di apartemen saksi ia melihat ada orang mencurigakan di sana. Lucas mengikutinya dan terjadilah perkelahian."

'Shit!!' Steve mengumpat.

"Bodoh! Sudah kubilang untuk hubungi pusat jika ada yang mencurigakan. Kenapa ia bertindak sendiri? Dimana dia sekarang?" Kiehl dan Amanda terhenyak. Suara Steve menggelegar seperti suara sambaran petir.

"Dia ada di Southamp Hospital. Kau mau ke sana?"

"Iya, sehabis makan siang. Beritahu Jane untuk menyiapkan rapat darurat. Hari ini."

Haa...haaa..

Terdengarlah tawa menggelegar dari ujung sana. Steve mengernyitkan dahinya. Temannya sudah gila?.

"Steve, ini weekend. Jane pastinya sedang berkencan dengan kekasihnya. Lebih baik, bicarakan ini di ruangan Lucas."

"Dia tidak berkencan. Aku bisa pastikan itu, ikuti saja perintah atasanmu ini Bee."

Klikk..

Steve mematikan sambungan telpon dan tetap menyetir dengan tenang hingga mendekati kompleks apartemen mewahnya.

"Steve, kau sedang sakit? Kau banyak tugas?" tanya Kiehl. Ia memegang pundak kakaknya dan mengusapnya pelan. Ia melihat ada raut wajah kegelisahan di setiap garis rahangnya yang tegas.

Steve pun akhirnya sampai di ruang parkir apartemennya. Ia mematikan mesin dan membuka bagasi belakang. Ia mengeluarkan dua koper milik Kiehl dan Amanda. Lalu menyuruh mereka keluar dari mobil menuju kamar apartemennya.

"Aku akan pergi ke rumah sakit. Ada percobaan pembunuhan. Kalian istirahatlah, aku sudah siapkan bahan masakan di lemari pendinginku. Jika ada yang kurang, hubungi saja delivery," ujar Steve. Ia mengantarkan dua gadis belia yang berjalan di belakangnya menuju satu kamar di dekat ruang tamu. Kamarnya cukup besar. Cukup nyaman untuk Kiehl dan Amanda selama di New York.

"Wow...lebih besar dari kamarku di Pine Woods," seru Kiehl. Tak berbeda dengan Amanda. Ia pun berkali-kali mengungkapkan ketakjubannya melihat isi kamar Steve. Nuansa putih dengan sedikit kesan taman berwarna pink.

"Jangan pergi kemana-mana. Aku pulang sedikit malam. Oh, iya aku sudah kirimkan password apartemenku. Amanda, semoga kau senang tinggal di sini." seutas senyum menghampiri bibir manis Steve. Ini berhasil membuat Amanda berbunga-bunga. Astaga, apakah ia terpesona oleh pria berumur tiga puluhan ini?.

"Baik, Steve. Hati-hati di jalan."

Steve menutup pintu kamar dan segera beranjak pergi meninggalkan mereka berdua.

"Apa-apaan ini, kau tersenyum hingga wajahmu merah. Kau, menyukai kakakmu?" Kiehl menggoda sahabatnya. Amanda tersenyum dan terlihat mengipasi wajahnya sendiri dengan tangan.

"Kurasa iya. Astaga, apakah ini normal? Karena, usiaku dan dia...."

"Tenang, ini normal. Tidak masalah."

****

"Kau ini bodoh. Sudah kubilang, kau harus minta bantuan jika ada sesuatu yang mencurigakan. Kau tahu akibatnya jika kau tak menghindar? Kau akan mati konyol di tangan pelaku." Steve menunjuk dada Lucas yang terbaring lemah di atas ranjang.

"Tapi aku bukan incarannya. Dia hanya melukaiku, bukan membunuhku."

"Terserahlah."

Tiba-tiba pintu ruang perawatan terbuka. Muncullah Jane yang datang sambil membawa map di tangan dan beberapa cup coffee sebagai teman rapat mereka hari ini.

"Oh, Jane. Mana bagianku?" Lucas menengadahkan tangannya meminta satu cup untuk dirinya. Jane menertawakannya.

"Tak boleh, kau sedang sakit. Diam saja di sana."

Steve menggelar rapat mendadak. Hanya ada Jane, Bee dan dirinya. Satu berkas yang di bawa Amanda, cukup membuktikan kalau memang penjahat itu tak mengincar Lucas. Ia mungkin hanya menggertaknya saat itu.

"Lucas, bagaimana rupa orang itu?"

Lucas melengos pelan. Ia tak menggubris pertanyaan Bee.

"Untuk apa aku beritahu."

"Kau kan saksi. Kau harus jelaskan semuanya."

Lucas lagi-lagi tak menggubrisnya. Ia lebih senang bermain dengan remote tv dan mencari siaran berita tentang dirinya.

"Lucas, kau masih ingat kejadian di Toronto?" ucapan Steve mengejutkan Lucas yang berakhir dengan kebekuan di tangannya. Ia menoleh pelan-pelan. Sekelebat mata ia melihat satu seringai di bibir Steve. Lucas mendengus pasrah. Mau tak mau ia harus menuruti perintah Steve.

"Baiklah. Aku beritahukan semuanya. Wajah orang itu menakutkan, banyak sekali bekas luka. Ehm, tangannya kasar seperti parutan kayu. Dan....." Lucas berusaha mengingat detail wajahnya. Ah, sayangnya malam kemarin sungguh gelap. Bahkan Lucas tak berkonsentrasi mencari cahaya saat itu.

"Teruskan!"

"Dia menyeramkan. Persis seperti monster air atau sejenisnya. Kau tahu Freedy? Kira-kira hampir mirip."

Steve menambahkan satu lagi ciri-ciri si pembunuh yang telah jadi buronan itu. Ia mencoret beberapa kemungkinan orang itu adalah salah satu pembunuh menjijikkan yang telah membunuh pengemis wanita di New York beberapa tahun silam.

"Lady hurt"

****

Pria itu, ia membuka topeng penyamarannya yang hampir melekat di kulit wajahnya. Kulitnya hancur, bopeng dan banyak bekas luka membusuk. Kalau saja waktu itu ia berhasil membunuh wanita tua itu dalam sekali percobaan, ini tak akan mungkin terjadi.

Ia meringis kesakitan saat satu usapan alkohol menyirami luka di wajahnya yang masih menganga. Sial, polisi tadi melukainya. Ia pun menjadi terinhat kejadian sepuluh tahun yang lalu. Awal mula, ia mulai menjadi pembunuh lagi.

"Kau wanita tua menjijikkan. Kenapa kau tak ikut mati saja malam itu?"

Brakk....

Seorang pria muda menendang seorang wanita tua yang mengemis di pinggiran New York. Ia menendang hingga hampir wanita itu mengerang kesakitan. Ia menyeretnya dengan kasar dan menghempaskannya ke dinding. Wanita itu tampak kesusahan. Satu tetes bulir darah merah segar jatuh diantara sela hidung dan bibirnya.

"Dengar, kau anak tak tahu diuntung. Kau yang seharusnya mati!!"

Wanita itu bangkit lalu berjalan menuju perapian yang tidak jauh dari sudut jalanan kota New York. Perapian yang sengaja dibangun untuk para tuna wisma seperti dirinya.

Ia menghantamkan sebuah balok kayu yang masih menyala. Ia mengarahkannya pada pria muda itu. Ia sempat menghindar, namun naas satu bongkahan besar berhasil mengenai pipinya dan membakar sebagian wajahnya. Ia mengerang kesakitan.

Tanpa banyak pertimbangan, ia pun menghantamkan sisa balok ke kepala wanita tua itu dan mendorongnya kasar.

"Kau yang harusnya mati, nenek tua."

Pria itu mengeluarkan pisau lipat dan menusukkannya pada bagian hati si wanita tua.

"Kau....." wanita tua itu melotot dan sempat menunjuk sosok pria muda yang tersenyum di hadapannya sambil membawa pisau lipat.

"Goodbye, mom. God bless you."

avataravatar
Next chapter