9 Catch me

Kress...

Kress...

Kress...

'Ik heb er een hekel aan'

'Ik haat jou'

'Moeder'

Siaran radio itu mulai bermasalah. Si penyiar dan si produser hanya bisa terpaku mendengar suara yang keluar dari radionya. Ada yang mulai meretas jaringan mereka. Seketika bulu kuduk sang penyiar mulai merinding.

Ia keluar dari ruangan siaran dan berjalan ke arah produser yang sama merindingnya. Ini stasiun radio kedua yang mengalami peretasan. Beberapa radio sempat, namun berhasil diatasi. Dari hari ini, sudah terhitung hampir sebulan yang lalu kejadian terakhir pembunuhan itu terjadi. Pembunuhan yang menggemparkan New York.

"Oh, ayolah aku tak ingin mati mengenaskan. Kau tak bisa bekerja dengan baik tuan produser?" sang penyiar memarahi produser yang menurutnya tak bisa mengatasi perihal peretasan stasiun radionya.

"Aku juga tak mengerti, mengapa bisa dia...."

"Aku akan menghubungi NYPD. Kau, cukup amankan buktinya." sang penyiar segera melapor pada pihak kepolisian. Ia berjalan keluar studio dan duduk di salah satu ruangan sepi. Hari hampir pagi saat ia dan produser itu siaran.

"Aku melaporkan, bahwa ada peretasan di radio tempatku bekerja. Apa? Aku harus menghubungi 911? Bukankah sama saja dengan NYPD? Oh, ayolah nyawaku dalam bahaya. Kau tak..."

Tut..tut..

Sambungan diputus oleh pihak kepolisian. Entah diputus atau terputus. Sang penyiar mulai geram, ia berdiri dan berjalan keluar ruangan dengan wajah garang.

Krekk...

"Bagaimana salurannya?" penyiar itu tak mendapati produsernya di dalam ruangan siaran. Berkali-kali ia memanggilnya. Tak ada yang menjawab. Bulu kuduknya semakin merinding.

Ia segera menyambar tas tangannya dan berjalan keluar ruangan. Ia berjalan cepat hingga ke pintu masuk dan secepat kilat ia berlari menyusuri jalan setapak sekitar gedung. Ia berkali-kali menengok ke belakang dan mengeratkan mantel yang ia pakai.

Ia terus berjalan. Ia menoleh ke belakang sekali lagi dan ia melihat seseorang mengikutinya. Oh, tidak ia semakin dekat. Wajahnya semakin pucat dan ia semakin mempercepat langkahnya.

Tiga meter, ia semakin mendekat. Dua meter. Satu meter. Dan...

Bugghh...

Penyiar itu terjatuh. Ia mengaduh kesakitan memegangi lututnya. Bayangan itu, bayangan yang mengikutinya tadi. Penyiar itu berusaha bangkit dan menyeret kakinya yang masih sakit.

Ia berhenti di perempatan gang menuju apartemennya. Ia bersembunyi di sana, diantara celah-celah pipa air. Ia menutup mulut dan hidungnya serta memejamkan matanya.

Orang itu mendekat. Ia mengendus sesuatu dari hidungnya. Wajah orang itu ditutupi kantung hitam. Penyiar itu menghapal perawakannya lalu menahan tangisnya. Ia benci ada di situasi seperti ini.

Sekitar tiga menit lebih, orang itu diam dan mengendus di persimpangan jalan itu. Sang penyiar semakin ketakutan. Ia berdoa dalam hati semoga saja ada yang menolongnya saat ini.

Tiba-tiba dari kejauhan, terdengar beberapa orang berteriak." Hei, kau. Jangan berkeliaran tengah malam. Ada patroli polisi. Pulanglah."

Orang itu pergi setelah mendengar teriakan polisi yang berpatroli di kawasan itu. Si penyiar mengembuskan napas lega. Ia mulai keluar perlahan-lahan dari lorong kecil.

Namun, baru saja satu langkah kakinya keluar tiba-tiba ada yang menepuk bahunya dari belakang. Si penyiar semakin ketakutan. Tak tahan, ia pun menangis.

"Tuan, kumohon jangan bunuh aku. Demi tuhan, aku tak berbuat salah apapun pada anda tuan." suara sang penyiar terdengar ketakutan. Si penepuk bahu malah tertawa mendengarnya.

"Hei, siapa yang akan membunuhmu? Justru aku ingin bertanya, sedang apa kau disini?"

Si penyiar menoleh. Ia mendapati satu orang berpakaian polisi tertawa melihat penampilannya. Rambut yang acak-acakan dan pakaiannya pun basah karena bersembunyi di pipa air.

"Kau polisi?"

"Kau kira ini kostum badut? Hei, kau sedang apa bersembunyi di dekat pipa air? Kau ingin bermain petak umpet? Ini sudah pukul dua pagi, omong-omong. Pulanglah." polisi itu berbalik. Penyiar yang tadi bersembunyi akhirnya mengikuti si polisi keluar dari lorong sempit itu.

Penyiar tadi berlari menghadang si polisi dan mengulurkan tangannya."Terima kasih atas bantuannya. Namaku Larry, aku penyiar radio. Tadi, ada yang mengikutiku. Jadi, aku bersembunyi di antara pipa air itu."

"Orang yang mengikutimu? Maksudmu, orang yang berpakaian hitam tadi?" Larry mengangguk. Ia masih ketakutan tapi ia merasa aman di samping si polisi tadi. Ia mengintip sedikit nama si polisi melalui name tagnya. Namanya Lucas.

"Aku juga terluka saat diikuti olehnya. Ehmm...bolehkah aku menginap di kantor polisi? Aku ingin menceritakan sesuatu." Larry mengajukan usul. Entah di terima atau tidak. Ia menggumam lirih menyebutkan nama si polisi," Lucas."

"Kau melihat namaku? Dasar penguntit." Lucas berjalan santai. Larry mengikutinya lagi.

Lucas berjalan ke arah mobilnya yang terparkir tidak jauh dari lorong tadi. Di kursi pengemudi, ada satu orang temannya yang sedang duduk sambil berbicara dengan seseorang di walkie talkienya.

"Aku boleh ikut? Aku mohon, aku takut kembali ke apartemenku." Larry memohon. Wajahnya masih ketakutan, Lucas tak tega melihatnya.

"Masuklah. Katakan semuanya di kantor polisi. Awas kalau kau berbohong," ancam Lucas.

"Kau boleh cari aku jika memang aku berbohong."

****

Brakk..

"Jadi, ada yang menyuruhmu menghubungi 911 tapi menolakmu saat menghubungi NYPD? Siapa? Kau ingat namanya?" tanya officer. Ia mengambil alih interogasi karena Larry sempat mengatakan jika ia menghubungi NYPD namun ditolak.

"Aku lupa. Tapi aku merekamnya di ponselku." Larry memperlihatkan bukti rekamannya. Officer menerima dan menyerahkannya pada Lucas.

"Cek, siapa yang dihubungi olehnya kemarin."

Officer itu pergi, berganti dengan Steve. Ia datang membawa beberapa lembar kertas ke ruang interogasi. Ia duduk berhadapan dengan Larry. Lalu ia menyerahkan kertas itu padanya.

"Isi data dirimu." Larry mengangguk. Sambil melihat Larry yang mengisi lembaran kertas, Steve menghubungi Jane di tempat kejadian.

Panggilan pun terhubung dengan Jane.

"Halo, Steve. Aku masih di tempat kejadian. Ada apa menghubungiku?"

"Apa yang kau dapatkan di sana?"

"Penyekapan. Satu orang produser yang mengaku sedang melakukan siaran tadi malam, disekap di ruang penyimpanan berkas. Beruntungnya kami menemukannya tepat waktu, kalau tidak mungkin ia bisa mati membeku."

Mata Larry membelalak tajam, ia mendengar sayup-sayup suara Jane. Ia menghentikan jarinya menulis di atas kertas. Steve melihatnya. Lalu bertanya lagi pada Jane.

"Apa yang dia katakan?"

"Banyak. Salah satunya, ciri-ciri orang itu. Berwajah buruk rupa, bernapas bau dan terakhir dia selalu berbicara dengan bahasa asing. Seperti bahasa Belanda atau entahlah bahasa apa, ia tak mengerti."

Steve terdiam. Ia teringat kata-kata si pembunuh beberapa saat lalu. Ada kalimat yang mengatakan bahwa ia membenci ibunya. Apakah orang ini ingin membunuh ibunya atau....

"Terus gali informasi. Aku sedang bersama saksi yang lain saat ini."

Klik.

Sambungan terputus. Steve menatap Larry yang ketakutan. Ia mengambilkan satu gelas air dingin dan memberikannya pada Larry.

"Minumlah. Aku akan menanyakan sesuatu padamu." Steve duduk dengan tenang. Ia memperhatikan Larry yang gemetar ketakutan sambil memegang gelasnya.

"Terima kasih." Larry menghabiskan satu gelas air dingin tadi.

"Jadi, bagaimana rupa orang itu? Maksudku, orang yang mengejarmu." Steve menyilangkan kaki dan tangannya di dada.

"Dia ehmm...dia pendek, gempal, memakai tutup wajah. Lalu, jalannya terseok-seok. Seperti ini." Larry berdiri lalu memperagakan cara berjalan si pembunuh.

"Lalu?"

"Dia....dia...selalu mendengus seperti ini." Larry menirukan lagi cara si pembunuh mendengus. Steve mencatatnya dalam laporan. Ia pun menyuruh Larry duduk kembali.

"Lalu, ada ciri-ciri yang lain? Aku tak menemukan sesuatu yang berbeda." Steve sengaja memprovokasi Larry agar ia memberikan informasi yang akurat. Beginilah insting penyidik yang sudah melekat padanya belasan tahun yang lalu.

"Ahh..aku masih ingat. Aku mencium bau endusannya. Baunya seperti sampah. Aku saja sampai menutup hidungku saat bersembunyi kemarin."

Tepat. Ini yang diinginkan oleh Steve. Memprovokasi saksi hingga ia mengatakan hal-hal yang tak terpikirkan olehnya.

"Baik, nona Larry. Keteranganmu cukup menarik. Ku harap kau mau bekerja sama dengan pihak kepolisian. Aku akan kerahkan anak buahku menjaga apartemenmu selama dalam penyidikan," ujar Steve. Ia berdiri dan membereskan seluruh meja di ruang interogasi.

"Tunggu! Aku akan bersembunyi saja. Kurasa, dia tak akan berbuat macam-macam padaku. Terlebih, saat ini dia sedang dalam incaran polisi," ujar Larry. Ia tak mau diawasi. Menyeramkan jika dirimu selalu diintai oleh orang lain walaupun itu polisi.

"Tidak. Aku tidak mau kehilangan saksi dalam kasusku. Malam ini, Lucas akan mengawasimu."

Larry menepuk jidatnya. Astaga, polisi dengan wajah penuh lelucon itu. Larry membayangkan dirinya yang akan insomnia malam ini.

****

Jane masuk kedalam ruangan Steve dan menutup pintunya dengan kaki. Oops, tangannya penuh dengan kertas dan barang bukti.

"Ketuklah pintu dahulu sebelum masuk," ujar Steve. Ia masih mengetik dan tak menoleh sedikitpun. Tapi ia tahu, yang masuk tadi adalah Jane.

"Kau tak lihat, tanganku?" Jane bersuara. Steve menoleh dan menghentikan acara mengetik laporannya.

"Apa yang kau dapatkan?" tanya Steve.

"Sidik jari dan potongan kulitnya. Maaf, ini menjijikkan. Dia memiliki kulit bersisik seperti ular." Jane menyerahkan semua bukti pada Steve.

Steve menelitinya. Memang menjijikkan, bahkan ada sebagian bekas potongan kuku yang mungkin terjatuh di tempat kejadian bisa dijadikan barang bukti.

"Sudah laporkan ke bagian forensik?" Jane menggeleng.

"Aku melaporkannya padamu lebih dulu," ujar Jane. Steve menatap mata Jane, lalu menggedikkan bahunya.

"Laporkan langsung pada forensik. Setelah ada hasilnya, kita rapatkan bersama tim.....

Kalimat terjeda. Satu deringan ponsel Steve menyapa pendengaran mereka berdua. Ada nama Amanda di sana. Steve menjawab panggilan di hadapan Jane sambil menatapnya. Jane membuang tatapan itu.

"Halo, Amanda. Ada sesuatu hingga menghubungiku?"

"Aku dan Kiehl berencana akan ke New York lusa nanti. Ia menyuruhku menghubungimu. Apa kau bisa menjemput kami berdua? Itupun kalau kau tidak sibuk."

"Pasti, pasti akan kujemput."

"Kirimkan saja pukul berapa kau tiba di New York."

"Baiklah, maaf menganggu. See you."

"See you."

Klik.

"Kekasih barumu?" tanya Jane. Steve tersenyum sinis. Ia berpura-pura membuka pena dan menuliskan sesuatu di atas berkas.

"Ini masih jam kantor, Jane. Dilarang menanyakan masalah pribadi. Apa untungnya jika aku memberitahumu?" Steve menutup pena dan balik bertanya pada Jane.

"Tidak. Lupakan saja pertanyaanku tadi. Permisi."

Jane berdiri dan pergi dari ruangan Steve. Ia berjalan seolah tak ada beban. Steve melihatnya, ia melihat Jane dengan mata berkaca-kaca. Apakah Jane cemburu?.

'Maaf Jane. Kita sudah benar-benar berakhir.'

***

avataravatar
Next chapter