3 Announcer

New York turun salju hari ini, debu tipisnya berterbangan di udara. Steve berjalan cepat memasuki gedung kepolisian lima lantai. Hampir saja ia terpeleset karena kecerobohannya. Dengan langkah cepat ia masuk ke dalam lift lantai dua dan masuk ke dalam ke dalam ruangannya dengan tergesa-gesa.

"Steve. Sudah ada perkembangan kasus sebelumnya. Ini pembunuhan berencana, berantai dan pelakunya sudah pasti psikopat," Jane membawakan kopi hangat dan menaruhnya tepat di meja kerja Steve.

Layar komputer Steve menyala. Ia memasukkan password dan mencari data tentang pelaku. Sampai saat ini ia belum menemukan titik temu. Sama sekali.

Steve menggosok-gosok telapak tangannya pada dagunya yang klimis. Sesekali ia mengerucutkan bibirnya lalu berdecak aneh. Jane, tetap setia duduk di kursi di hadapannya.

"Jane, kau sudah cek stasiun radionya? Aku ingin tahu, siaran langsungnya yang terakhir."

Jane menyerahkan satu map bening berisi dokumen percakapan antara penyiar dan produser. Juga tersedia rekamannya yang sudah Jane kirimkan melalui email semalam.Steve membacanya secara teliti. Lalu, ia mengambil earphone yang diserahkan oleh Jane dan menyetel percakapan langsung antara mereka.

Steve memejamkan matanya. Ia mendengarkan dengan teliti percakapan tersebut. Beberapa poin penting ia catat. Salah satunya, sang penyiar menyebut kata 'Black Jack'.

Black Jack? Apa itu? Kode?.

Trakk...

Steve membuka earphone dan meletakkannya di meja. Kemudian, ia mencatat sebuah kalimat di atas kertas putih dan memberikannya pada Jane.

"Apa ini?" Jane menatap bingung tulisan tersebut.

"Temui seseorang di cafe Black Jack. Kau akan tahu maksudku," jawab Steve. Jane mengernyitkan dahinya. Ia menatap Steve.

"Apa maksudmu? Aku tak mengerti," tanya Jane lagi.

"Kau harus menemui John Anderson. Dia temanku. Maksudku, aku pernah mengenalnya. Hanya saja aku lupa dimana. Temui dia."

Jane mengangguk. Ia berdiri dan segera keluar dari ruangan. Steve meliriknya sejenak. Jane menjadi dingin sejak kejadian itu. Apakah ia masih benci dan dendam padanya?.

Hari itu, Jane yang sudah berpamitan akan ke Los Angeles memilih kembali lebih awal dari jadwal. Jane dan Steve saat itu adalah sepasang kekasih. Tepatnya, dua tahun yang lalu.

Jane berencana memberi kejutan pada Steve akan kepulangannya. Ia rindu pada kekasihnya. Sangatlah rindu.

Jane mengendap-endap masuk ke dalam apartemen mereka. Berjalan pelan, karena ia ingin melihat apakah kekasihnya ada di dalam apartemennya. Senyumnya yang mengembang, tiba-tiba menyusut. Jane melihat ada pakaian, stiletto dan pakaian dalam wanita berserakan di ruang depan.

Hati Jane serasa teriris. Ia kembali berjalan menapaki lantai apartemen menuju kamarnya dan Steve. Setelah sampai di depan kamar, tangannya bergetar saat akan membuka handlenya. Ia pun menempelkan telinganya di pintu kamar yang tertutup itu.

Suara desahan.

Jane menutup matanya, menahan airmata yang hampir lolos dari pelupuknya. Pelan-pelan ia membukanya. Dan....

Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri. Kekasihnya bermain gila dengan wanita lain. Oh, tidak. Dia kekasih leader mereka di sebuah agency detektif swasta.

Wanita itu duduk di atas kaki Steve tepat berada di arah selatannya. Yang paling mengecewakan bagi Jane adalah wanita itu menghentakkan tubuhnya dan berteriak penuh kenikmatan.

Airmata Jane lolos seketika. Ia tak sanggup melihat ini semua.

Brakkk...

Jane membanting kasar pintu kamar dan berlari ke arah pintu keluar. Steve mendengarnya. Secepat kilat ia memakai pakaiannya dan mengejar wanitanya. Wanita yang ia cintai.

"Jane....." teriak Steve. Jane terus berlari sepanjang lorong dengan tangan menutup mulutnya. Airmatanya mengalir deras.

Steve berlari dengan kencang, ia berhasil mendapatkan tangan Jane dan menariknya.

"Lepaskan aku! Mulai sekarang, aku pergi dari hidupmu." Jane melepas cincin pertunangan mereka.

"Tidak, Jane. Maafkan aku. Kumohon. Aku tergoda oleh rayuannya. Kumohon jangan tinggalkan aku." Steve mengguncang tubuh Jane.

Plakk....

Jane menamparnya. Napasnya naik turun. Ia membenci pria kejam di hadapannya. Steve mengelus pipinya yang tadi ditampar oleh Jane. Ia tak merasa kesakitan sama sekali.

"Kita berpisah, Steve. Anggap tak pernah ada hubungan diantara kita."

***

Jane menghabiskan sore hari di musim dingin dengan duduk santai di dalam sebuah cafe. Ini atas perintah atasannya. Yang sialnya, ia adalah mantan kekasihnya yang dulu mengkhianatinya.

Satu cangkir cappucino hangat menemani kesendirian seorang Jane. Sambil menatap pemandangan luar jendela, ia menyeruput minumannya dan meletakkan kembali gelasnya.

Seseorang datang, ia menepuk bahu Jane. Lalu duduk di hadapan wanita itu dan tersenyum manis sambil mengulurkan tangannya. Jane sedikit terperangah. Ia seperti pernah melihat pria di hadapannya. Tapi, entahlah ia lupa dimana.

"Perkenalkan namaku, John. John Anderson. Siapa nama tuan puteri yang cantik ini." Jane sedikit jengah. Pria ini membuatnya seperti picisan. Kata-katanya terlalu 'cringe' untuk seorang Jane.

"Namaku Jane, Sarah Jane. Aku adalah....."

"Teman sekaligus mantan kekasih tuan Steve. Sang penakluk wanita, detektif jenius dan ahli dalam strategi. Bukan begitu, nona?" ucapnya sambil megedipkan sebelah matanya.

"Apa saja yang sudah ia ceritakan padamu?"

"Banyak. Yang paling sering adalah, ia menyesal melakukan perselingkuhannya dulu. Andai saja ia...."

"Cukup. Langsung ke pokok intinya. Kau kenal wanita ini?" Jane menyodorkan foto seorang wanita berkulit putih dengan ras hispanik. John menatapnya datar, lalu ia menggeleng.

Ia menyerahkan kembali fotonya dan menggedikkan bahunya. Ia memanggil pelayan dan meminta secangkir coklat hangat. Ia mulai menatap kembali wajah Jane lalu menampilkan smirknya.

"Aku tak mengenalnya. Dan, untuk apa kau menanyakan hal itu padaku. Lagipula, pasti banyak orang yang datang ke cafeku dan membeli sesuatu disini. Bagaimana aku bisa menghapal semuanya?" John mengangguk mengucapkan terima kasih setelah pelayan datang membawakannya coklat hangat.

"Ehmm...aku ingin mengecek di cctv cafe. Bagaimana?"

John menggeleng. Ia menyeruput coklat panasnya hingga habis tak bersisa.

"Maaf nona Jane. Kau menganggu waktuku. Silakan nikmati menunya dan.....jangan bertanya apapun padaku." John berdiri dan meninggalkan Jane seorang diri.

"Kenapa kau tak bersedia?" teriak Jane sedikit pelan. John berbalik ia menyeringai lalu berkata," Aku berhak menolak penyelidikan kalian. Bukankah itu ada di dalam undang-undang?"

"Polisi berhak memaksa."

"Aku berhak menolak."

Pembicaraan yang alot. Jane tidak mencapai kesepakatan dengan John. Ia tak bisa diajak bekerjasama. Jane meremas tangannya. Ia mengetikkan sesuatu di ponselnya.

"Aku gagal."

***

Steve mengetukkan jarinya di atas meja kerjanya dengan lembut. John tidak mau bekerja sama dengannya. Ia harus mencari kemungkinan yang lain. Bukti itu harus ada.

Steve membuka lagi map putih di hadapannya. Ia meneliti satu demi satu kronologis pembunuhan itu.

Diawali dengan siaran radio yang terhenti, lalu diikuti dengan peretasan dan ada suara aneh yang terdengar. Tunggu, bukankah tadi ada kode selain 'Black Jack'?

Steve memutar kembali rekaman itu. Ia perdengarkan lagi dengan seksama. Lagi dan lagi hingga berulang-ulang

Bingo!!

'Ik heb er een hekel aan'

'Ik haat jou'

'Moeder'

Steve mencatatnya. Ini bahasa asing, sepertinya Steve pernah mendengarnya. Ah, bahasa apa. Ayo, Steve cepat berpikir. Ayo.

Steve membuka halaman empat. Ia melihat daftar nama dan tanggal lahir korban. Ah, ia tak temukan apapun.

"Aku harus temukan maksud kode ini. Siapa yang bisa memecahkannya?" gumam Steve. Ia kemudian teringat pada seseorang. Ya, dia pasti bisa.

Steve segera melajukan mobil sedannya ke sebuah apartemen mewah yang terletak di pusat kota New York. Dengan cepat ia keluar dan naik ke lantai yang sudah di beri tahukan sebelumnya.

Steve sudah tiba di depan pintu dan dengan tidak sabarannya ia mengetuk pintunya. Seorang wanita membuka pintu dan tampak tersenyum manis melihat kedatangan Steve. Tanpa banyak bertanya, ia menyeret Steve untuk masuk kedalam apartemennya.

Steve duduk di salah satu sisi sofa. Mata wanita itu mengedip nakal pada Steve. Lalu menyerahkan satu gelas champagne untuknya.

"Aku tidak minum, aku menyetir. Aku hanya ingin tahu apakah kau bisa menerjemahkan kalimat yang aku tulis," Steve menolak dengan halus. Wanita itu tampak tak suka dengan penolakan yang diberikan oleh Steve.

Wanita itu membacanya sambil bergumam,"Ia membenci ibunya, itu intinya. Kenapa kau tiba-tiba ingin menerjemahkannya? Apa ini berkaitan dengan kasusmu?" tanya wanita itu. Ia mendekat dan duduk di sebelah Steve. Ia mengelus pelan tangan Steve. Namun ditepis olehnya.

"Maaf, aku harus segera pergi. Permisi."

"Kapan kita bercinta lagi? Sudah dua tahun, kan?"

"Kau yang menjebakku."

"Kau,suka kan?"

Steve tak menggubris. Ia pergi meninggalkan wanita itu. Tanpa Steve tahu, ada suatu rencana dibalik senyum manis wanita penggoda yang dulu berhasil menjebaknya dan menghancurkan karirnya.

"Kau tak akan bisa lepas dariku, Steve Richardson."

****

avataravatar
Next chapter